Reni memarkir mobilnya di halaman luas indekos Rendi. Nampak ada beberapa motor yang terparkir di sana. Beberapa pintu kamar kos juga setengah terbuka menandakan bahwa pemiliknya ada di dalam. Sembari menenteng kantung kresek berukuran besar, Reni turun dari mobilnya. Ia celingukan, di kamar sebelah mana Rendi hidup selama ini? Melihat ada yang kebingungan, seorang bapak-bapak pun mendekat. "Nengnya teh cari siapa?" tanyanya seraya mendekat. Reni menoleh dan mengulas senyum. "Saya mau cari kosnya Rendi, Pak. Kebetulan saya baru pertama kali ke sini, Pak!" "Oh, cari Mas Rendi. Mangga, Neng. Saya antar!" Bapak yang diperkirakan Reni berusia sekitar 50 tahunan itu berjalan terlebih dahulu. "Nengnya ini pacarnya Mas Rendi, ya? Meni gelis pisan!" Reni tertawa. "Saya temannya Rendi, Pak. Hari ini saya ke sini karena katanya Rendi sedang sakit. Kasian, Pak. Biasanya anak kos kalau sakit kan makin malas keluar kamar meskipun cuma untuk beli makan." Bapak terseb
Setelah insiden tiba-tiba itu, keduanya duduk diam. Bahkan suara napas keduanya pun seperti hilang tidak terdengar. Hanya suara hewan mengerik di luar sana yang mengisi kesunyian di kamar kos kecil itu. "Ehm, aku minta maaf," Rendi membuka suara setelah hampir sepuluh menit ia memilih diam. "Maaf karena aku udah kurang ajar sama kamu." Reni menggeleng. "Enggak kok, Ren. Aku juga tadi yang salah. Kenapa bisa-bisanya tidur di sebelah kamu tanpa ijin. Coba aja kalau aku nggak sembrono, kamu nggak mungkin tiba-tiba aja begitu tadi." "Enggak, Ren. Kamu nggak salah–" "Kamu juga nggak salah, aku yang salah!" Sahut Reni tak mau kalah. "Kan aku yang mulai du–" satu kecupan singkat dibibir Rendi membuatnya tak jadi melanjutkan kata-katanya. Saking gemasnya, Reni menghentikan perdebatan keduanya dengan memberikan kecupan singkat itu. "Udah ya, jangan didebatin lagi!" ujar Reni lirih. Ia sendiri malu sebenarnya sudah main cium cium saja. Rendi mengangguk dan suasan
Arjuna terbangun ketika tenggorokannya terasa begitu kering. Dengan mata sedikit menyipit, Arjuna mendudukkan tubuhnya. Ia mencoba mengumpulkan kesadarannya. Setelah melakukan sedikit peregangan, ia segera mencari ponselnya. Matanya menyipit kala cahaya dari ponsel menyilaukan matanya. Sudah pukul dua pagi dan ada banyak sekali notifikasi. Cepat-cepat Arjuna membuka aplikasi WhatsApp dan benar saja. Notifikasi itu muncul dari Reni. "Mampus! Kenapa aku bisa ketiduran!" Arjuna menepuk keningnya. Keringat dingin mulai membasahi wajahnya. Arjuna mencoba menghubungi Reni, sialnya nomor itu tidak aktif. "Apa Reni marah ya?" gumamnya mulai panik. Arjuna benar-benar melupakan janjinya untuk selalu memberikan kabar pada Reni. Gara-gara tadi terlalu menikmati adegan bersama Sandra, ia sampai melupakan tunangannya. Pikiran Arjuna mulai kacau. Ia benar-benar merasa bodoh kali ini karena membiarkan dirinya dikuasai nafsu dan bukannya mendahulukan logikanya. Arjuna bangk
Reni terdiam mendengar apa yang dikatakan Mamanya bahwa Arjuna semalaman mencoba menghubungi. Mamanya juga bilang bahwa Arjuna ketiduran setelah meninjau proyek seharian. "Kamu kenapa sampai matiin HP, Ren?" tanya Lesmana sembari menikmati sarapan paginya. Pagi ini, Santi memasak banyak sekali makanan lezat. Ia sudah berjanji akan mengirimi Rendi makanan agar anak baik itu segera sembuh dari sakitnya. "Kesel aja, Pa. Masak buat ngasih kabar aja susah? Emangnya di Semarang susah sinyal ya, Pa?" Lesmana meletakkan sendoknya. "Bukan masalah susah sinyal, Sayang. Mungkin setelah meninjau proyek, Arjuna langsung pulang. Ketika sudah di tempat kontrakannya, ia terlalu lelah dan akhirnya tertidur jadi belum sempat menghubungimu. Lagipula, jika dia memang tidak berniat menghubungimu, untuk apa dia susah payah menghubungi Mama?" Reni terdiam. Ia benar-benar sudah kesal pada Arjuna karena mulai sering mengabaikan dirinya. Padahal, Reni tidak menuntutnya harus menelepon a
Ponsel di genggaman tangan Arjuna menggantung. Arjuna melongo ketika teleponnya diputus begitu saja oleh Reni. Otaknya mendadak berhenti beroperasi untuk mencari cara agar bisa membuat Reni mau memaafkannya ketika panggilan itu berakhir sepihak. Ia merasakan rasa bersalah luar biasa karena sudah mengkhianati Reni dengan tidur bersama Sandra. Apalagi ia baru beberapa minggu di sini. Bagaimana jika berbulan-bulan ke depan, Arjuna semakin tidak bisa mengerem tindakannya? Lelaki berambut klimis itu terus merutuki kebodohannya. Padahal ia begitu ingat bagaimana tatapan tidak rela Reni ketika mengantar kepergiannya ke bandara. Bahkan, ada pesam yang terus terngiang di telinga Arjuna untuk tidak genit kepada perempuan lain. Tapi, ia bahkan melewati garis batas dari arti kata 'genit' itu sendiri. "Apa Reni mulai merasa kalau aku menyembunyikan sesuatu, ya?" Arjuna berpikir keras seraya mondar-mandir. Ia tidak bisa tenang sampai Reni memaafkannya nanti. "Pokoknya aku ha
Permainan panas antara Sandra dan Arjuna berlangsung cepat karena sudah mendekati jam istirahat. Biasanya di sebelah toilet juga digunakan sebagai tempat untuk beristirahat. "Gila kamu!" semprot Sandra sembari memakai kembali pakaiannya. Ia jengkel karena dengan brutalnya Arjuna melucuti semua pakaian Sandra tanpa terkecuali, termasuk g-stringnya. "Kan aku biar leluasa!" bisik Arjuna setelah membuang cairan kenikmatannya di toilet. Bahkan pakaian Arjuna masih sangat rapih tanpa ada satupun yang tanggal. "Ya kan tadi kamu nyaranin aku pake ini biar enak kalo masuk. Kalo kayak gini kan tetep sama aja. Mending aku nggak pake baju sedari berangkat tadi!" ujar Sandra ngambek. Arjuna menggosokkan jarinua di selangkangan Sandra hanya dari luar. "Nggak usah ngambek gitu dong, baby! Apa mau kita ulang lagi?" "Ah! Ah! Ah! Maaauuu!" jawab Sandra binal. Ia segera melumat bibir Arjuna. "Jangan di sini ya! Bentar lagi orang-orang istirahat. Kita cari tempat yang aman unt
Setelah izin tidak masuk selama beberapa hari, akhirnya hari ini Rendi memutuskan untuk masuk magang. Tanpa memberi kabar pada Reni, lelaki itu langsung berangkat ke rumah Reni lebih pagi dari jadwal biasanya ia menjemput gadis itu. Ketika sampai di pintu gerbang, Santi yang sedang menyiram bunga-bunga kesayangannya menyambutnya dengan sangat ramah. "Ya ampun, Nak Rendi! Apa kabar?" Santi segera mendekat. Ia mengelus pundak Remdi saat lelaki itu mencium tangannya. "Udah sehat?" "Alhamdulillah, Tante. Saya langsung sehat karena masakan tante bergizi semua. Hehehe..." "Kamu tuh bisa aja!" Santi tersenyum. "Reni kayaknya masih siap-siap. Kamu tunggu di dalem aja. Nanti kita sarapan bareng ya?" Rendi tersenyum sungkan. Sambutan yang kelewat hangat ini membuatnya merasa tidak enak pada keluarga Reni. Ia tak pernah memberikan apa-apa pada keluarga Reni, tapi keluarga ini terlewat baik padanya. "Kok malah ngelamun? Yuk, masuk!" Santi menarik tangan Rendi tanpa mem
Sepanjang perjalanan menuju galeri, Reni mengunci rapat-rapat mulutnya. Ia tidak mengucapkan apapun setelah badannya dibuat panas dingin oleh Rendi. "Kamu kenapa sih? Sariawan?" tanya Rendi saat motornya berhenti di lampu merah. Rendi mengarahkan spionnya tepat ke wajah Reni. Reni sama sekali tidak mengeluarkan suara. Ia hanya menggeleng pelan. Hal ini membuat Rendi gemas. "Ya udah kalau sariawan, nanti aku beliin mie jontor. Katanya ampih buat bikin sembuh sariawan." ujarnya yang kemudian mendapatkan pelototan dari Reni. Ia tidak peduli dan langsung mengegas motornya saat lampu berubah menjadi hijau. Reni menoyor helm Rendi sampai lelaki itu menunduk cukup dalam. "Aduh, aku lagi nyetir ini, Ren! Nanti kalo nabrak gimana?" omel Rendi seraya mengelus hidungnya yang mencium spidometer motor. "Biarin!" Rendi tertawa. Tiba-tiba muncul ide konyol di pikirannya. "Oh, kamu pengen sehidup semati sama aku? Bilang atuh, Ren!" ujarnya sebelum kemudian memperce