Lubuklinggau, Sebelumnya, Amy mengira keputusannya untuk melarikan diri ke kota kecil ini amatlah tepat. Dalam bayangannya, sebuah kota di ujung selatan kota Palembang ini tentulah terpencil dan tidak begitu banyak yang tahu keberadaannya. Tetapi, ternyata ia salah. Kota ini begitu pesat perkembangannya. Sebagai sebuah kota transit dari berbagai kota lain, Lubuklinggau tidaklah sehening perkiraannya. Daerah ini ramai. Bahkan macet pada jam-jam sibuk. Meskipun tidak semacet Jakarta. Bisnis yang berjalan di sini juga maju pesat. Hingga Lily Fazo mau berinvestasi mengembangkan bisnisnya yang menggurita itu. Alur komunikasi dan transportasi juga bergerak cepat dan dinamis, seiring dengan kemajuan layanan data dan internet yang memudahkan untuk bertukar informasi. Entahlah. Saat itu dia hanya memikirkan bagaimana secepat dan sejauh mungkin menghindari Hamam, terlebih Ali. Hingga begitu saja menerima tawaran Lily. Dia tahu, bagaimana kerasnya watak Ali yang tidak akan menyerah begitu s
Hanya dengan ilmu yang akan membawamu jauh melebihi dari apa yang kau harapkan.***♡♡♡***Reinaldi Ghazali.Apa yang bisa diceritakan tentang dia?Bahwa ia ditemukan di antara sampah, terbungkus di dalam plastik kresek hitam. Berjuang untuk mencuri udara dari simpul kuat yang mengikat kresek itu. Atau, ia menjadi sebuah cerita usang di dekat perumahan warga. Yang sering mendapat 'kiriman' berupa anak-anak yang tak berdosa. Buah hasil perbuatan keji berujung maut. Ditinggalkan begitu saja. Di antara sampah. Di tepi sungai kecil. Atau, yang paling halus, diletakkan di depan pintu panti asuhan, yang terletak tak jauh dari kompleks perumahan itu. Reinaldi salah-satunya. Wak Hasan, pria terhormat yang disegani di kampung itu, terenyuh hatinya ketika mencurigai sebuah kantung kresek berwarna hitam bergerak-gerak lemah tanpa suara. Dengan gemetar, tangannya mengangkat benda itu dan beristigfar ketika menemukan bayi merah penuh luka. Tubuhnya mulai membiru dan dikerubungi semut merah. Tak b
Ternyata hanya seekor kucing hitam yang masuk menaiki jendela rumah.Wak Hasan kembali menghela nafas dalam. Ia segera berdiri dan membimbing tubuh kurus itu ke dalam rumahnya. “Tak usah malu. Allah mencukupkan rezeki Uwak melebihi yang bisa kami makan. Ayo, sebentar lagi Mahgrib. Isilah perutmu lalu mandi dan pergilah ke Masjid. Sebentar lagi kau khatam Qur’an. Sayang jika tak kau teruskan,” bujuk Wak Hasan sambil mengantarkan Ali ke meja makan. Membuka tudung makanan dan menyuruh Ali duduk. Tak lama, Poppy, anak perempuan satu-satunya lewat dan seketika berseru melihat Ali. “Ayah, Ali tadi bolos sekolah. Dia bawa krecekan, ngamen di lampu merah. Padahal dia ada ulangan di sekolah, kata Kak Bastian.” Wajah Ali merah padam mendengar aduan Poppy kepada ayahnya. Wak Hasan tersenyum lalu membelai rambut anaknya dengan sayang. “Ya. Biar Kak Ari dan Kak Bastian yang mengajari Ali nanti. Sekarang, biarkan ia makan dulu,” ucapnya sambil menunduk mengecup ubun-ubun Poppy. Anak perempuan ber
Berhentilah selalu menangis. Tak akan selesai masalahmu jika kau hadapi dengan tangisan.***♡♡♡***“Ali!” panggil Bastian dan Ari hampir berbarengan. Sosok anak yang memakai baju koko dan kopiah putih khas seragam panti menoleh. Ia sedang duduk di bangku beton, di depan sebuah rumah berpagar besi. Wajahnya tampak murung dan terluka. Bastian dan Ari saling pandang sambil mengernyitkan alis. Mereka berdua hendak pergi mengaji ke Masjid. Pada masing-masing dekapannya tergenggam sebuah Al Qur’an berwarna hijau kekuningan. “Mau kemana kamu? Udah cakep banget kek gitu?” tanya Ari sambil melemparkan cengiran usilnya yang khas. Ali hanya menatap sekilas. Lalu membuang muka. Tampak benar ia merasa malu. Matanya bergerak-gerak resah, kedua tangannya tergenggam di samping tubuh. Lalu ia menarik kopiah putih itu dan memain-mainkannya di antara jari-jari tangan yang panjang dan kurus. Memperlihatkan rambut lurus yang kering dan sedikit memerah. Bastian menatapnya mahfum. Anak sulung Wak Hasan i
Kejadian itu telah berlalu berbulan lamanya. Kehidupan kembali berjalan dengan tenang dan damai. Hingga pada suatu siang menjelang sore. Anak-anak sebaya sedang menghabiskan waktu. Ramai bermain di sungai kecil dekat dengan perumahan kampung itu. Baik anak-anak panti maupun anak-anak yang ada d perkampungan berbaur dengan senang hati. Tak memperdulikan status ataupun kehidupan mereka. Bermain layaknya anak-anak dengan jiwa yang murni dan jernih. Ada yang bermain Cingkling, gundu, gasing ataupun yoyo yang terbuat dari kayu.Sementara, banyak juga anak lelaki dan perempuan yang bermain di sungai. Yang lelaki menaiki pohon dengan dahan-dahan menukik ke arah sungai. Dan sulur menjuntai ke dalam air bening di bawah sana. Mereka menarik sulur itu dan bergelantungan lalu berayun sambil berteriak senang. Meneriakkan kata-kata favorit ataupun kekonyolan yang memancing amarah dan tawa teman-teman yang lain. Sebelum akhirnya mencebur masuk ke dalam air. Poppy dan Amy sedang berdiri memperhatika
“Sini!” panggil Bastian keesokan harinya. Tangannya melambai ke arah Ali yang baru pulang dari sekolah. Anak lelaki kurus itu segera menghampiri. Seragam merah putihnya tampak lusuh dan dekil. Heran dengan mimik wajah Bastian yang tampak serius. Ia sampai di hadapan anak lelaki berseragam putih biru. Bercelana pendek dengan seragam rapi. “Ya, Kak?” tanyanya heran. Tak biasanya Bastian memandangnya sedalam ini. Pasti ada hal yang benar-benar penting yang ingin disampaikannya. Alis Bastian bertaut dengan tangan bersedekap di depan dada.“Gini...,” ucap Bastian memulai sambil menghembuskan nafas. Ali menunggu. “Kenapa lu lakuin itu kemarin? Nelusurin sungai sampe malem. Lu tau kan bahayanya bagaimana. Cuma gara-gara selendang?!” Ali menunduk. Lalu mengusap belakang kepalanya. Dengan malu ia menjelaskan semuanya. “Yah..., bukan sembarang selendang sih kak. Itu selendang peninggalan ibunya Amy. Kata dia, selendang itu yang dipakai ibunya waktu terakhir kali sebelum kecelakaan,” wajahnya b
Setelah insiden pemukulan yang berakhir dengan patah dua gigi di pihak Badrun dan tepung tawar bernilai dua ratus ribu. Maka dimulailah siklus pendewasaan mereka. Anak-anak Wak Hasan tumbuh menjadi anak yang rupawan dan disegani. Bastian yang sekarang sudah kelas tiga SMA, tumbuh menjadi laki-laki bertubuh gempal dan kekar. Sedangkan Ari yang seumur dengan Ali, sudah menduduki kelas satu SMA. Bertubuh ramping dan tampan. Dengan seringai usil yang selalu menghiasi wajahnya. Sedangkan Ali, ya Ali. Ia tumbuh menjadi pemuda gagah yang dewasa sebelum waktunya. Tubuhnya yang dulu kurus dan ringkih mulai berisi dengan otot-otot, yang terbentuk alami karena kerasnya kehidupan. Rahangnya tampak kekar dengan mata setajam elang yang menaungi wajah. Kulitnya cokelat karena sering terbakar sinar matahari. Dia tumbuh menjadi pemuda yang jangkung dan rupawan. Tapi, miskin. Akan halnya Amy. Ia menjelma menjadi gadis rupawan. Bertubuh langsing dengan porsi yang sesuai. Tubuhnya yang kecil dengan
Hari berganti hari. Bulan ke bulan menjadi tahunan. Lalu, setelah bilangan menyapa di usia dewasa, anak lelaki dan perempuan itu telah tumbuh menjadi pemuda dan pemudi rupawan. Yang matang dalam kehidupan yang serba kekurangan. Menjadikan pribadi mereka menjadi sosok yang dewasa sebelum waktunya. Bastian tak meneruskan jenjang pendidikannya. Merelakan semua kemewahan itu untuk Ali dan adik-adiknya supaya bisa meneruskan SMA. Setelah melalui perdebatan sengit dengan Wak Hasan, yang menginginkan anak sulungnya untuk kuliah, Bastian akhirnya memenangkan debat itu. Dan menyisakan kekecewaan yang menjadi bibit penyakit di tubuh Wak Hasan. Lelaki yang beranjak tua itu, merasa tak berarti, karena tak mampu menyekolahkan semua anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Akan halnya Bastian, yang tumbuh menjadi laki-laki tangguh dan bertanggung-jawab, menghibur ayahnya. Memberikan estafet perkuliahan itu kepada Ari saja. Sedangkan Ali dan Amy tahu diri. Tak berniat menuntut lebih. Di