Berhentilah selalu menangis. Tak akan selesai masalahmu jika kau hadapi dengan tangisan.***♡♡♡***“Ali!” panggil Bastian dan Ari hampir berbarengan. Sosok anak yang memakai baju koko dan kopiah putih khas seragam panti menoleh. Ia sedang duduk di bangku beton, di depan sebuah rumah berpagar besi. Wajahnya tampak murung dan terluka. Bastian dan Ari saling pandang sambil mengernyitkan alis. Mereka berdua hendak pergi mengaji ke Masjid. Pada masing-masing dekapannya tergenggam sebuah Al Qur’an berwarna hijau kekuningan. “Mau kemana kamu? Udah cakep banget kek gitu?” tanya Ari sambil melemparkan cengiran usilnya yang khas. Ali hanya menatap sekilas. Lalu membuang muka. Tampak benar ia merasa malu. Matanya bergerak-gerak resah, kedua tangannya tergenggam di samping tubuh. Lalu ia menarik kopiah putih itu dan memain-mainkannya di antara jari-jari tangan yang panjang dan kurus. Memperlihatkan rambut lurus yang kering dan sedikit memerah. Bastian menatapnya mahfum. Anak sulung Wak Hasan i
Kejadian itu telah berlalu berbulan lamanya. Kehidupan kembali berjalan dengan tenang dan damai. Hingga pada suatu siang menjelang sore. Anak-anak sebaya sedang menghabiskan waktu. Ramai bermain di sungai kecil dekat dengan perumahan kampung itu. Baik anak-anak panti maupun anak-anak yang ada d perkampungan berbaur dengan senang hati. Tak memperdulikan status ataupun kehidupan mereka. Bermain layaknya anak-anak dengan jiwa yang murni dan jernih. Ada yang bermain Cingkling, gundu, gasing ataupun yoyo yang terbuat dari kayu.Sementara, banyak juga anak lelaki dan perempuan yang bermain di sungai. Yang lelaki menaiki pohon dengan dahan-dahan menukik ke arah sungai. Dan sulur menjuntai ke dalam air bening di bawah sana. Mereka menarik sulur itu dan bergelantungan lalu berayun sambil berteriak senang. Meneriakkan kata-kata favorit ataupun kekonyolan yang memancing amarah dan tawa teman-teman yang lain. Sebelum akhirnya mencebur masuk ke dalam air. Poppy dan Amy sedang berdiri memperhatika
“Sini!” panggil Bastian keesokan harinya. Tangannya melambai ke arah Ali yang baru pulang dari sekolah. Anak lelaki kurus itu segera menghampiri. Seragam merah putihnya tampak lusuh dan dekil. Heran dengan mimik wajah Bastian yang tampak serius. Ia sampai di hadapan anak lelaki berseragam putih biru. Bercelana pendek dengan seragam rapi. “Ya, Kak?” tanyanya heran. Tak biasanya Bastian memandangnya sedalam ini. Pasti ada hal yang benar-benar penting yang ingin disampaikannya. Alis Bastian bertaut dengan tangan bersedekap di depan dada.“Gini...,” ucap Bastian memulai sambil menghembuskan nafas. Ali menunggu. “Kenapa lu lakuin itu kemarin? Nelusurin sungai sampe malem. Lu tau kan bahayanya bagaimana. Cuma gara-gara selendang?!” Ali menunduk. Lalu mengusap belakang kepalanya. Dengan malu ia menjelaskan semuanya. “Yah..., bukan sembarang selendang sih kak. Itu selendang peninggalan ibunya Amy. Kata dia, selendang itu yang dipakai ibunya waktu terakhir kali sebelum kecelakaan,” wajahnya b
Setelah insiden pemukulan yang berakhir dengan patah dua gigi di pihak Badrun dan tepung tawar bernilai dua ratus ribu. Maka dimulailah siklus pendewasaan mereka. Anak-anak Wak Hasan tumbuh menjadi anak yang rupawan dan disegani. Bastian yang sekarang sudah kelas tiga SMA, tumbuh menjadi laki-laki bertubuh gempal dan kekar. Sedangkan Ari yang seumur dengan Ali, sudah menduduki kelas satu SMA. Bertubuh ramping dan tampan. Dengan seringai usil yang selalu menghiasi wajahnya. Sedangkan Ali, ya Ali. Ia tumbuh menjadi pemuda gagah yang dewasa sebelum waktunya. Tubuhnya yang dulu kurus dan ringkih mulai berisi dengan otot-otot, yang terbentuk alami karena kerasnya kehidupan. Rahangnya tampak kekar dengan mata setajam elang yang menaungi wajah. Kulitnya cokelat karena sering terbakar sinar matahari. Dia tumbuh menjadi pemuda yang jangkung dan rupawan. Tapi, miskin. Akan halnya Amy. Ia menjelma menjadi gadis rupawan. Bertubuh langsing dengan porsi yang sesuai. Tubuhnya yang kecil dengan
Hari berganti hari. Bulan ke bulan menjadi tahunan. Lalu, setelah bilangan menyapa di usia dewasa, anak lelaki dan perempuan itu telah tumbuh menjadi pemuda dan pemudi rupawan. Yang matang dalam kehidupan yang serba kekurangan. Menjadikan pribadi mereka menjadi sosok yang dewasa sebelum waktunya. Bastian tak meneruskan jenjang pendidikannya. Merelakan semua kemewahan itu untuk Ali dan adik-adiknya supaya bisa meneruskan SMA. Setelah melalui perdebatan sengit dengan Wak Hasan, yang menginginkan anak sulungnya untuk kuliah, Bastian akhirnya memenangkan debat itu. Dan menyisakan kekecewaan yang menjadi bibit penyakit di tubuh Wak Hasan. Lelaki yang beranjak tua itu, merasa tak berarti, karena tak mampu menyekolahkan semua anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Akan halnya Bastian, yang tumbuh menjadi laki-laki tangguh dan bertanggung-jawab, menghibur ayahnya. Memberikan estafet perkuliahan itu kepada Ari saja. Sedangkan Ali dan Amy tahu diri. Tak berniat menuntut lebih. Di
Saat itulah, Amy pertama kalinya bertemu dengan Hamam Prasetyo. Pak Prasetyo yang satu-satunya terlihat antusias mengenalkan mereka berdua. Wak Hasan hanya tersenyum canggung dan berulangkali melirik Amy, menyaksikan wajah keponakannya yang memerah tanda tak nyaman. Tapi, ia tak ingin menyakiti hati sahabatnya yang sangat baik hati dan dermawan itu. Bukan main gagah dan tampannya pemuda itu. Kulitnya putih serupa dengan kulit Amy. Tubuhnya jangkung dan tegap. Dadanya bidang dengan rangkaian otot menyusun perutnya yang ramping. Wajahnya tegas. Dengan rahang mencuat angkuh dan bola mata cokelat hazel yang indah dan sedikit nakal. Hidungnya tegak lurus dengan bibir tipis serta menawan, yang menyunggingkan lekukan sedikit merendahkan setiap kali ia tersenyum. Aura aristokrat dan ningrat jelas menyelubungi keseluruhan dirinya. Poppy bahkan lupa menutup mulutnya saat ia bersalaman dengan Hamam. Akan halnya Amy, bergerak-gerak gelisah setiap Hamam memandanginya. Merasa tak nyaman deng
Duhai, betapa besar perbedaan antara cincin dua gram dengan cincin berbatu berlian belasan karat itu. ***♡♡♡***Perdebatan sengitpun terjadi. Antara Ali dan keluarga Wak Hasan. Mereka didudukkan dalam satu ruangan. Membahas tentang kabar mengejutkan yang baru saja diterima Ali.Perdebatan yang berujung dengan teguhnya keputusan Amy dengan pertunangan itu."Sudah bulatkah keputusanmu, Amy? Menikah bukanlah perkara main-main. Tak ada yang memaksamu untuk menikah dengan Hamam," tanya Wak Hasan. Mata tuanya lekat menatap anak adik semata wayangnya.Amy lama menunduk. Lalu, kemudian ia menegakkan kembali kepalanya. Memandang ke sekeliling, kepada Wak Hasan, Wak Hasan Tino, Kak Bastian, Kak Ali, Poppy dan berakhir di wajahAli."Amy sudah memutuskan, Wak. Tak ada paksaan atau apapun dari mereka, Ali. Ini adalah murni keinginanku," ucapnya teguh sambil terus memandang Ali.Mata lelaki itu terbeliak lebar. Masih tak percaya dengan semua mimpi buruk yang menimpanya. Bagaimana mungkin, setelah s
"Aarrghh!!"Suaranya yang berat dan dalam menggema di antara bebatuan. Begitu terus berulang-ulang hingga suaranya menjadi serak. Amy menjerit-jerit, memohon supaya Ali berhenti sambil menutup kedua telinganya."Ali ...! Hentikan! Hentikan, Ali! Aku salah! Aku salah! Maafkan aku! Maafkanlah, aku ...," rintih Amy sambil berusaha menarik pinggang Reinaldi supaya bergerak menjauhi bibir jurang.Akhirnya mereka berdua jatuh berguling ke atas permukaan tanah yang sedikit berumput menjauhi bibir jurang. Amy terus-menerus sesenggukan dengan air mata dan ingus yang berleleran di wajahnya."Aku pergi bekerja, Amy! Dua tahun! Dua tahun aku harus bertahan hidup di pedalaman hutan itu! Kau lihat bekas-bekas luka ini? Jangan tutup matamu!" teriak Ali sambil kembali mencengkeram bahu Amy dan memaksanya melihat gurat-gurat bekas luka yang telah memutih di sepanjang lengannya.Dengan geram Ali membuka kemejanya hingga lepas dan bertelanjang dada. Perempuan itu tersedu-sedu, berusaha mengalihkan pandan