Sebuah ruangan bercat tembok putih bersih terlihat lengang oleh manusia. Hanya seorang pria tinggi sekitar 177 cm, berwajah oval, berkulit sawo matang, dengan perut sedikit buncit-walaupun tidak seperti perut para koruptor. Ups! Tidak lupa kacamata tebal karena matanya yang rabun jauh -2,25 dioptri.
Pria itu sedang berdiri sambil menata rapi botol-botol berwarna cokelat gelap yang tiap dindingnya terdapat sepotong kertas informasi. Mengenakan jas putih panjang selutut, dan masker medis menutupi area hidung hingga dagu. Tidak lupa sarung tangan elastis menyembunyikan kulit jemari. Ia tampak serius melakukan aktivitasnya.Lantunan lagu milik penyanyi Indonesia maupun luar negeri dari handphone android keluaran lama, mengisi keheningan di ruangan itu. Sesekali lelaki itu ikut berdendang sember, demi menciptakan kegaduhan dalam kesunyian.Dialah Jacob Alfred, yang dipanggil Alf. Pemilik Astrea legend sekaligus pencetus semboyan saat bekerja, 'Walaupun mulut sedang bermasker bahkan susah napas, nyanyi fals tetap jadi prioritas'.š§¹š§¹š§¹"Lo gak makan, Alf?" Suara seorang pria pendek, berkulit gelap, gempal, dengan rambut kribo memasuki ruangan itu, dengan menyampirkan jas laboratorium di bahunya. Ia membuang pandangannya pada Alf yang sudah beringsut ke rak lain.Alf tidak menjawab. Pita suaranya lebih memilih menyanyikan lagu Listen milik Beyonce, sambil sesekali membuat gerakan tangan kanan terangkat saat ia mencapai nada tinggi.Pria gempal yang punya mata kecil, dan selalu mengatakan bahwa dirinya masih memiliki darah Korea Selatanābernama Willy itu, spontan meremas bajunya tepat di bagian dada."Gue belum mau mati, Alf! Plis, jangan bunuh gue!" jerit Willy yang dibalas lengkingan makin tajam si Alf.Jika saja botol-botol itu bisa memecahkan diri mereka sendiri, mungkin mereka sudah melakukannya daritadi karena suara Alf yang bak petir menyambar tanah."JACOB ALFRED!" Teriakan dari balik pintu ruangan laboratorium mengalahkan tarikan nada sumbang Alf. Alf langsung meāresleting mulutnya rapat-rapat, dan menekan tombol off di android.Seorang wanita tinggi semampai, berkulit kuning langsat, rambut lurusāpendek sebahu, berdiri di ambang pintu laboratorium. Napasnya memburu, seperti baru selesai lari maraton dan enggak juara. Ngos-ngosan bin emosi jadi satu.Matanya melotot, membuat Willy yang berdiri di depannya makin meremas baju. Bulu kuduk Willy mulai naik, karena ada hawa yang melebihi hawa Mbak Kunti."Kayaknya bakal kena dobel serangan jantung, nih!" gumam Willy yang rencanannya dalam hati, tapi mulut berkata lain.Wanita itu malah balik melotot pada Willy, walaupun hanya pipi kiri Willy saja yang terlihat saking lebarnya wajah Willy."Kamu ngapain! Cepat bersihkan lab!" lengkingan tajam kembali menyeruak dari bibir tipis wanita itu.Bibir yang pernah jadi penelitian Alf dan beberapa teman kantor termasuk Willy. Mengapa bisa keluar suara bagai gemuruh dari bibir setipis itu. Apa ini arti semboyan kecil-kecil cabe rawit?Willy dengan sigap langsung berlari menuju ke janitor room, mengambil sapu ijuk beserta pasangannya, serokan sampah.Alf menahan tawa melihat sahabat semata wayangnya di laboratorium, kayak cacing kepanasan."Dan kamu!" lanjut wanita itu, menunjuk Alf, membuat Alf terpaku, meski dari jarak sekitar 3 meter. "Berhenti mengeluarkan suara sumbang kamu yang bisa buat orang serangan jantung!""Bener!" sahut Willy dari balik janitor room yang terpisah sekat sebelah kiri, dengan ruangan Alf."Ini lab, bukan tempat audisi film horor!" Wanita itu berkacak pinggang."Hajar, Bu!" Willy menimpali."Kalau kamu masih nyanyi lagi ....""Sikat, bu!""Dan kamu di dalam sana masih menyambung kalimat saya! Kamu gak akan dapet cuti selama dua tahun!"Mampus!Willy menutup rapat bibirnya, bahkan hembusan napasnya pun tidak terdengar. Alf menundukkan kepala, terkekeh tanpa suara. Untung saja, ia masih menggunakan masker sehingga giginya yang sudah terbuka tidak diketahui oleh si wanita.Wanita itu menatap Alf dan menggelengkan kepala frustasi bercampur kesal, kemudian menghentakkan sepatunya kasar. Wanita itu kembali ke ruangan yang bersebelahan dengan ruang laboratorium. Alf hanya menduga, kalau bukan lagi PMS, berarti bosnya itu lagi pusing dengan laporan kantor.Alf kembali menyelesaikan kerjaannya yang tinggal sesaat lagi. Willy, yang sedari tadi terlanjur diam membisu, perlahan mulai mengeluarkan suara. Pria tambun itu berjinjit seolah-olah agen rahasia yang sedang menyusup ke rumah Putin. Matanya menyisir area pintu masuk. Aman.Willy menarik napas panjang, dan disambut tawa renyah Alf, tapi dibalas Willy dengan menyipitkan mata."Gara-gara suara lo, nih! Gue juga kena damprat!" keluh Willy sambil memanyunkan bibir tebal 5 cm-nya."Lah? Kok gue? Kan yang nyari gara-gara lo sendiri?""Nyari gara-gara apaan? Lo tuh yang suara sumbangnya buat Ibu Nover sampe rela keluar dari guanya ke sini!""Kalo bibir lo gak nyambung-nyambung kalimatnya, lo gak akan kena bantai juga!""Au ah! Lagi PMS kali tuh orang! Kerjaannya hari ini marah-marah mulu!"Alf hanya mengedikkan bahu. Willy masih manyun dan mulai membersihkan lantai ruangan. Aktivitas si Willy menarik perhatian Alf, menghentikannya dari menata botol bahan kimia di rak.Alf menatap plafon, dengan kening terkerut, memikirkan sesuatu. Sedangkan, Willy sedang bersusah payah menunduk sambil menyapu. Karena gagang sapu yang sebenarnya panjang, pernah dipakai Alf untuk jadi mic KW kualitas super rendahanāpatah saat mencium tembok laboratorium.Baru melangkahi 3 keramik, Willy sudah terengah-engah. Ia berdiri tegak dan meregangkan tangan. Keringat biji jagung sudah memenuhi wajah bakpaonya."Ini juga gara-gara lo, nih!" Willy mengangkat sapu yang sebenarnya sudah almarhum, dan perlu diganti. Selain gagang yang sudah patah, helai-helai sapu itu sudah mulai menunjukkan tanda-tanda tua, alias botak.Alf mengernyit menatapnya. Willy mencebik."Kenapa, gue bisa punya sahabat belum matang dari oven gini, ya," gumam Willy sambil tangannya mulai menari lagi alias menyapu. "Coba dulu gue ngelamar jadi bagian resepsionis aja," lanjut Willy sambil geleng-geleng kepala.Alf melongo. "Lo? Resepsionis?" Alf menatap Willy dengan tatapan takjub penuh tanya."Gue tau, lo mau bilang posisi itu lebih cocok sama tipe-tipe kayak lo, kan?" sahut Willy sambil terus menyapu."Gue gak bilang apa-apa, loh.""Halah! Muka lo udah terbaca jelas!""Apanya yang terbaca?""Itu di muka lo! Ada tulisan, yang gendut geser!""Lah, kok, lo jadi body shimmering sama gue!""Bukan shimmering, pret! Shaming! Lo tuh yang body shaming sama gue!"Alf mengernyit lagi. "Kan daritadi gue gak bilang apa-apa! Lo yang bilang sendiri tentang badan lo gendut!"Willy berdiri tegap sambil mengarahkan gagang sapu ke Alf yang satu meter di hadapannya. "Wah! Parah! Barusan lo bilang gue gendut!"Alf memutar kepala seperti melakukan pemanasan. Ia melepaskan masker, dan berkacak pinggang. "Kok lo jadi sensian begini, sih! Padahal gue gak ngomongin body lo daritadi!" Suara Alf mulai melengking."Lah, terus apa maksud pertanyaan lo yang awalnya itu? 'Lo? Resepsionis?' Helloooww!" Willy menirukan gaya bicara Alf dengan tatapan mengejek.Alf mengusap wajahnya kasar. Ia tidak ingin larut dalam pertengkaran unfaedah ini. "Oke! Oke! Kalau emang gue salah, maafin gue..." Alf berusaha tenang dan merendahkan nada suara."Tapi, gue gak bermaksud gitu. Gue cuma nanya aja," lanjutnya dengan kedua tangan terangkatāmenyerah a.k.a berdamai.Willy mengerucutkan bibir, dan kembali menunduk dengan gagang sapu yang mulai melambai lagi. Alf menggelengkan kepala sambil menarik napas panjang."Makanya, punya mulut tuh dijaga! Dasar mata empat macam orang tua!" gumam Willy yang lagi-lagi rencananya dalam hati, tapi malah keceplosan.Alf berbalik kasar menatap punggung Willy. "APA LO BILANG!" seru Alf sambil melangkah cepat ke arah Willy yang sudah berdiri tegap siap menantang. Ia melepas kasar kacamatanya."Apa lo!" teriak Willy."Lo yang kenapa!""Lah! Lo yang kenapa!"Mereka saling meninju dengan dada dan perut. Mungkin sekalian mengetes punya siapa yang daya pantulnya lebih baik."Lo kok suka cari gara-gara, sih hari ini!" Mata Alf melotot pada Willy, yang juga balas melotot sambil mengibas-ngibas gagang sapu, yang sialnya mendarat dengan mulus dan mesra di atas meja kayu panjang di sisi kanan mereka.KRAKK!!Dentuman meja diiringi patahan renyah gagang sapu dalam laboratorium, yang bersekat rak dengan ruangan Ibu Nover, menggema bak orkestra."ALF! WILLY! KE RUANGAN SAYA! SEKARANG!"Teriakan Ibu Nover dari ruangan sebelah, tanpa batang hidungnya, menghentikan pertengkaran ala bocah, dari kedua pria dewasa itu. Mata mereka berdua melotot dengan wajah memelas."Mampus, dah!" jerit mereka berdua.šššHai, pembaca sekalian! Terima kasih yang sudah menyempatkan waktu membaca novel ini. Semoga novel ini bisa menghibur kalian. Jangan lupa, kritik dan saran yang membangun, sangat diharapkan demi perkembangan novel ini.Ā
Suasana di ruangan Ibu Nover begitu mencekam dan kelabu. Tampak Alf dan Willy duduk tegak, berdampingan, dengan tumit belakang saling tolak-menolak. Wajah mereka berdua tegang dihiasi keringat bercucuran tak hentinya. Padahal dalam ruangan berāAC.Kengerian ini melebihi kengerian saat mereka masuk ke arena horor di taman bermain, atau nonton film psikopat pembunuh. Seolah aura membunuh di ruangan 3x4 meter ini, juga lebih hebat dari aura si Kunti di bawah pohon beringin samping laboratorium, yang biasa menggoda Willy. Dan kata Alf, itu karena mbak Kunti suka yang gempal-gempal, darahnya lebih banyak. Lah?!Mata mereka berdua sembunyi-sembunyi menatap sosok wanita di hadapan mereka. Tatapan balasan dari wanita berusia 30 tahun itu, bak samurai melesat hingga menembus jantung mereka, yang berdegup tak karuan sedari tadi. Bukan berdegup karena jatuh cinta, melainkan karena merasa sebentar lagi mereka akan mengucapkan salam perpisahan satu sama lain.Ibu Nover, pimpinan Laboratorium Sisili
Alf masih berusaha menstarter motor tuanya dengan susah payah. Peluh mulai bercucuran dari keningnya. Kacamatanya juga mulai buram. Dan sudah 10 menit Willy bertopang dagu, menunggu tebengan di motor Alf yang kebetulan satu kosan. Motor itu memang sering macet tanpa aba-aba terlebih dahulu, jangan diragukan lagi. Namanya juga motor tua. Alf dan Willy sudah banyak makan asam garam dengan motor legend ini, baik suka maupun duka. Tapi, tetap saja, karena sukanya dilalui bareng Willy, bukan sama cewek, jadi sebuah duka bagi Alf. Pengalaman paling terukir jelas dalam benak mereka berdua, saat mereka dalam perjalanan ke Laboratorium Sisilia, untuk interview kerja. Bayangkan saja, saat mereka keluar dari gerbang kos, mentari masih bersinar begitu terik sampai tidak terbersit bakal mendung apalagi turun hujan. Tapi, nahasnya, hanya jarak 100 meter dari laboratorium, alam berulah begitu juga s
Alf baru saja selesai mandi, saat handphone androidnya yang terbalut casing Naruto, berdering di atas nakas. Buru-buru ia meraih handphone itu, dan mendapati nama My Mom tertera di layar. Ujung bibir Alf terangkat, membentuk senyuman bahagia. Dengan hati riang gembira macam anak kecil diajak nonton karnaval, Alf langsung menggeser logo telepon berwarna hijau. "My mooommmmmm!" seru Alf sambil menghempaskan tubuh ke atas kasur berseprei mawar merah pemberian emak, yang diwanti-wanti harus digunakan, biar tidak perlu beli baru lagi. Emaknya Alf, yang dipanggil mom sama Alf, memang punya segudang seprei bunga-bungaan di rumah. Baik hasil berburu diskon di mall, ngutang di Mbak pedagang seprei keliling, atau hadiah ulang tahun dari adiknya, Tante Ismi, yang punya online shop jualan seprei. Ampun, dah! Hal ini yang selalu menjadi t
Alf sedang asyik memainkan game ular di handphone sambil rebahan, saat pintu kamar kosnya tiba-tiba diketuk dengan menggebu-gebu oleh seseorang. Dengan malas dan tanpa beranjak semili pun, Alf hanya berdecak kesal. Lebih asyik memainkan game ular gratisannya. "Alf! Kamu di dalem kan!" Teriakan Ibu Budi, karena anaknya bernama Budi, yang juga pemilik kosan sontak membuat Alf melompat dari rebahannya. "Iya, bu! Tunggu bentar, lagi ganti baju!" sahut Alf berbohong demi menyelamatkan diri. "Cepetan bukain pintunya! Ibu ada perlu, nih! Imijetli (maksudnya immediately)!" 'Ck! Gangguin orang lagi rebahan aja, nih! Lagian apes banget gue yang dihantui Ibu kosan, bukan si Willy aja!' Alf merutuki kesialannya dalam hati. Semua penghuni kos, mulai dari manusia sampai makhluk tak kasat mata, sudah tahu perangai Ibu Budi. Kalau ketahuan lagi re
"Belok kiri!" Willy yang sedang duduk di jok belakang, dengan hp berisi pesan suara Ibu Budi yang menempel di telinganya, memberi arahan pada Alf. "Abis ini ke mana!" tanya Alf setengah berteriak, tapi belum mendapat jawaban dari Willy, saking riuhnya jalanan dengan kendaraan meskipun sudah pukul 21.00. Ditambah lagi, Willy sedang konsentrasi penuh menyeleksi suara Ibu Budi dan Pak Budi di tengah suara kendaraan yang lalu lalang di sekitar mereka. Alf melepaskan tangan kirinya dari setang motor dan menepuk-nepuk kaki Willy, membuat Willy tersadar. "Apaan!" Willy memajukan kepalanya ke pundak kiri Alf. "Abis ini ke mana!" teriak Alf sambil menoleh sedikit ke arah Willy. "Katanya lurus aja sampai dapet kompleks perumahan!" jawab Willy yang disambut anggukan Alf. Motor tetap melaju dengan stabil di kecepatan 20 km/jam. Maklumlah, Alf ini sejenis pria langka. Saat sedang
Waktu menunjukkan pukul 07.59 saat Alf dan Willy mengisi absen elektronik mereka. Napas mereka ngos-ngosan, karena takut bakal terlambat. Bisa-bisa pagi mereka dihiasi dampratan dari Ibu Nover. "Briefing-nya belum dimulai kan?" tanya Alf pada Jessy, si resepsionis yang mukanya agak blasteran, sedang sibuk browsing tempat wisata. "Belum," jawab Jessy tanpa mengalihkan pandangan dari layar handphone, "Ibu Nover aja belum dateng, tuh!" Alf dan Willy bertatapan. "Serius?" Willy menimpali. Tangannya menghentak pinggiran meja resepsionis, karena tak percaya. Kali ini Jessy menatap mereka berdua dengan raut wajah mengandung kekesalan. Ia mengembuskan napas kasar. "Kalo gak percaya, langsung aja ke ruangannya buat ngecek!" decak Jessy sambil melotot, dan kembali melakukan aktivitas browsing-nya. Alf dan Willy secepat kilat melangkahkan kaki menuju
"Lo kenapa, sih, Alf?" Willy beringsut ke arah Alf yang sedang sibuk melakukan uji *fitokimia dari salah satu sampel yang masuk ke laboratorium. Alf hanya menjawab dengan dendangan lagu. Lagu yang baru diciptakan beberapa menit yang lalu. Yang Willy tahu, nadanya menggambarkan hati Alf yang sedang berbunga-bunga, bukan kesedihan sehabis keluar dari ruangan Ibu Nover. "Mencurigakan banget," selidik Willy sambil melirik tajam ke arah Alf, "jangan-jangan, gaji kamu dinaikkin? Kamu doang?!" Alf tidak menjawab dan masih sibuk dengan aktivitasnya, membuat Willy yang merasa dikacangin, jadi sensian. "Tega banget, sih, lo! Gak berbagi dengan sahabat sendiri!" Willy mencebik. Alf melirik ke arah Willy yang juga sedang menatapnya dengan tatapan menyimpan banyak tanya. "Jadi, lo gak mau berbagi sama gue? Sahabat senasib seperjuangan lo? Dalam suka maupun duka?" ulang Willy dramatis dengan menepuk pelan dadaābukan dada bidangnya.
Welcome to malam minggu, malam yang panjang. Malam yang bagi segelintir orang dihabiskan dengan bercengkerama ria bersama keluarga. Bagi sebagian workaholic, malam minggu tetap seperti malam biasanya yang penuh dengan pekerjaan. Dan bagi sebagian orang lagi, khususnya anak muda, malam minggu adalah saat yang tepat buat berkunjung ke rumah pujaan hati. Sedangkan bagi para jombloers, jangan ditanya, bisa perang dunia. Tapi, bagi jomblo bernama Alf, malam minggu kali ini berbeda. Tidak lagi dihabiskan dengan maraton film horor bareng Willy, takutnya kalau nonton drama Korea bisa-bisa jadi halu tingkat tinggi. Jadi, kalau bukan dihabiskan dengan film horor, maka malam minggu dilewati dengan menonton pertunjukan tunggal tarian 'ular disengat listrik' si Willy. Alf sudah mengenakan kemeja putih polos yang biasa dia gunakan kalau mau menghadiri kondangan. Kemeja ini dipakai untuk menunjukkan bahwa dirinya masih polos dan suci. L
Terima kasih untuk semua yang sudah menyempatkan diri membaca novel ini. Saya tahu, bahwa novel ini masih jauh dari kesempurnaan, entah dalam penulisan maupun alurnya. Karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun, dari para pembaca. Buat semua yang sudah membaca novel ini, baik yang hanya dibaca, yang sampai masukkin ke rak buku, bahkan yang mengeluarkan duitnya buat buka bab berbayar, ataupun pakai koin gratisan... KALIAN LUAR BIASA! I LOVE YOU, ALL! Tanpa dukungan kalian, novel ini tak berarti apa-apa.Akhir kata, tetap semangat membaca! Tetap semangat menulis! Semoga, kita bisa ketemu lagi di cerita-cerita berikutnya! PS : Yang mau kenalan, yuk kunjungi i*******m @kuandwicka. Ada banyak komik strip atau animasi juga. Thank you! ^^
Memang benar bahwa cinta datang tiba-tiba. Memang benar, bahwa cinta terkadang menunjukkan kepada kita, orang yang tidak pernah kita duga. Memang benar, bahwa cinta penuh misteri. Hanya Sang Pemilik cinta sejati, yang paling tahu apa yang terbaik buat makhluk ciptaan-Nya. Saat kita mendambakan seseorang, yang tidak pernah menginginkan kita. Ada satu hati yang berharap kehadirannya diketahui oleh hati kita. Dan, itulah yang terjadi pada seorang pria gempal, sahabat sejatinya Jacob Alfred, Willy. Willy sedang merapikan peralatan gelas, karena hari ini adalah jadwal piketnya. Alf sudah pamit lebih dahulu, karena katanya mau keluar bareng Inn. Akhir-akhir ini, semenjak punya gandengan, Alf memang jarang pulang bareng Willy. Alhasil, Willy diantar oleh Ellen. Sebenarnya, Willy sudah menolak penawaran Ellen, karena Willy ingin menjadi lelaki mandiri, dengan pulang pakai grab. Tapi, entah kenapa, Ellen terus memaksa, seperti hari ini. Ellen terlihat menunggu dengan sabar, di lorong laborat
Alf menemui Karlinda untuk terakhir kalinya, karena wanita itu memberi kabar bahwa dirinya akan dipindahkan ke daerah lain. Alf pun meminta izin pada Inn, agar bisa menemui Shafa, karena tujuan Alf salah satunya ingin bertemu Shafa. "Boleh... Gak usah minta izin ke aku, kali..." ujar Inn. "Yah... Takutnya, gak ngomong trus kamu tahu sendiri, malah mikir yang gak-gak," jawab Alf. "Aku percaya, kok sama kamu... Nunggu dari SMA aja bisa, masa aku harus curiga sama yang beginian," sahut Inn membuat hidung Alf kembang kempis, saking bangganya pada diri sendiri. Karena sudah mendapat kepercayaan dari sang pujaan hati, Alf pun bergegas ke tempat pertemuannya dengan Inn, tempat mereka bertemu pertama kali di luar urusan kantor, KeEfCe. Shafa terlihat sedang bermain di area permainan dengan wajah bahagia, khas anak-anak. Alf segera menuju ke meja Karlinda. Wanita itu tampak sedang memotret wajah bahagia putri tunggalnya. "Sore mbak!" sapa Alf sambil duduk di hadapan Karlinda. "Hai, Alf!"
Reuni sekolah yang diadakan bersama pentas seni, rupanya tak mau dilewatkan oleh Moiz dan Ui yang berada di kota lain. Mereka meminta cuti 'semester' kedua lebih awal dari biasanya. Namun, tidak bagi Yen yang bekerja pada instansi pemerintahan. Dia hanya bisa gigit jari kali ini karena tak ada kunjungan apapun ke kota Kupang. Ui : Sorry, Yen... Kali ini lo jaga kota Atambua aja, ya. Hahahah... Yen : Ish! Kenapa juga diadainnya hari kamis, gak hari sabtu aja, kek! Alf : Kan sekalian HUT sekolah, Neng! Yen : BETE! Pokoknya jangan ngirimin foto di grup ini! Bakal gue bakar grupnya! Inn : Cup cup cup... Sabar, say... Sabtu turun Kupang, ya... Biar kita jelong-jelong bareng lagi... Mumpung dua sejoli ini ada di sini. Moiz : Ehm... Sorry, tapi Sabtu ini gue udah ada janji... Yen : Janji sama siapa? Moiz : Mau tau aja, atau mau tau banget? Ui : Dia mau ketemu GEBETANNYA! Alf, Yen, Inn : WHAT?! WHO?! Ui : Itu mah gue gak tau. Dia gak ngasitau gue! Moiz : Maaf... Moiz telah meningga
Alf dan Inn sedang jalan-jalan di malam minggu-yang akhirnya dihabiskan Alf dengan PACAR. Keduanya tampak bercanda-tawa di alun-alun kota, sambil menatap berbagai aktivitas di tempat itu. Ada band jalanan, tari-tarian dari para pekerja seni, maupun beragam permainan untuk anak-anak. Meskipun hanya menghabiskan malam minggu 'receh', namun kedua sejoli itu tampak bahagia. Hingga dering ponsel Alf tiba-tiba, terasa mengganggu pendengaran Alf. "Ck! Siapa, sih? Gangguin malam minggu gue aja!" Alf berdecak malas sambil merogoh ponsel dalam saku celananya. Mata Alf membelalak sempurna, saat mendapati nama my mom di layar ponselnya. "Aduh! Emak nelpon? Ada apa, ya?" gumam Alf sambil menggeser tombol hijau di layar. Inn hanya menatapnya dalam diam. "Ya, halo mak!" sapa Alf. "ALF! HALO, ALF!" Suara emak terdengar menggelegar bak membelah telinga Alf. "Aduh, mak... Alf bisa budek kalau emak teriak begitu..." ujar Alf. "Ngomong pelan aja napa, sih?" "Halo, Alf?!" Emak masih terus memanggil n
Honda Grand Astrea melaju dengan pasti memasuki kompleks perumahan Dreamland, dan berhenti di depan sebuah rumah berwarna peach. Alf segera turun dari motor, sambil merapikan rambut dan kemejanya. Merasa bahwa penampilannya masih tampan melebihi Cha Eun Woo, Alf segera melangkahkan kakinya memasuki pekarangan rumah wanita yang sudah menjadi kekasihnya sejak dua bulan lalu. Inn. Alf menarik napas panjang, sebelum memberanikan diri mengetuk pintu rumah itu. Namun, belum sempat Alf melancarkan aksinya, sebuah suara dengan nada melengking, mengejutkannya. "Loooohhhh? Kak Alf!" Princess yang semakin montok, karena katanya Nugo suka sama wanita berisi-sudah berdiri di belakang Alf. "Mau ngejemput kak Inn, ya?" Alf hanya membalasnya dengan nyengir kuda. Meskipun hubungannya dan Princess semakin membaik, karena Inn sudah menceritakan pada Princess bahwa Alf adalah teman masa SMA-nya, yang dulu disukai Princess. Di samping itu, Princess yang sedang berbunga-bunga asmara, karena mendapat paca
Inn berdiri menatap Alf yang masih duduk di bangku, dengan wajah memohon. Memohon agar Inn tidak meninggalkannya. Wanita itu pun kembali duduk di samping Alf, sambil melepaskan tangannya dari genggaman Alf. "Jadi?" tanya Inn dengan pandangan lurus ke depan. Tak beralih pada Alf. Tangannya terlipat di atas perut. Alf menyiapkan pita suaranya, biar tidak tiba-tiba rusak. Beberapa kali terdengar dehamannya, membuat Inn mencebik. "Sebelumnya... Aku mau nanya sesuatu ke kamu dulu," ujar Alf. "Apa?" "Waktu itu... Saat kamu lagi makan bareng Nugo dan Princess, aku ngomong sesuatu... Tapi, kamu belum ngasih jawaban ke aku," jawab Alf. Wajahnya mulai terlihat serius. "Oooohhhh, yang waktu itu?" Inn memanjangkan nada suaranya. "Bener banget! Aku juga mau minta penjelasan kamu soal itu!" Kali ini Inn sudah berbalik cepat-menatap tajam Alf, tepat di matanya. Telunjuknya mengarah ke dada pria itu. Matanya perlahan menyipit, membuat Alf malah terheran-heran. "Apa maksud kamu gak suka aku jal
Alf masih berdiri terpaku, begitu juga Inn. Hingga ibu Nover menyadarkan Inn, bahwa mereka harus segera turun dari panggung. Inn dengan kikuknya berjalan menuruni tangga, tapi pandangan Alf terus melekat padanya. Seolah tidak mau melepaskan wanita itu dan menghilang di keramaian. Willy yang masih duduk, menatap Karlinda dengan senyum simpul menghiasi wajah cantiknya. Willy sudah merasakan sakit hati akibat wanita pujaannya bersama lelaki lain. Dia mengerti jika saat ini Karlinda mungkin saja merasakan hal yang sama dengannya. Dia hanya bisa membalas wanita itu dengan senyum penuh makna. Alf masih bergeming, seolah tubuhnya tak ingin duduk. Tak mau melewatkan tatapan Inn yang begitu hangat padanya. Ya, wanita itu sedang melangkahkan kakinya menuju Alf, dengan adegan slow motion dalam pandangan Alf. Senyum terukir di bibir Inn, membuat Alf kepanasan dengan detak jantung tak beraturan. Padahal sedang berada di luar ruangan dengan angin sepoi-sepoi, tapi Alf mala
Acara pesta berlangsung dengan meriah dan penuh sukacita. Setelah beberapa sambutan, termasuk sambutan dari Ibu Nover, kini tibalah acara ramah-tamah. Semua tamu yang diperkirakan sekitar 500 orang, dipersilahkan menikmati santapan yang telah disediakan di beberapa bagian taman. Makanan Indonesia maupun luar, tersaji di atas beberapa buah meja panjang, yang dijaga oleh para pramusaji. Alf, Karlinda, Jessy dan Boy pun segera melangkahkan kaki menuju meja yang ingin mereka cicipi makanannya. Dan tidak disangka, mereka berpapasan dengan Ellen, Willy, serta Merlin yang datang sendirian. Alf bisa menangkap raut wajah tak percaya dari Willy, saat mendapati wanita pujaannya datang bersama si sekuriti yang baru sebulan bekerja di Lab. Sisilia. Tapi, berbeda dengan Willy, Merlin malah memperlihatkan tatapan 'apa gue bilang!' Tatapan Willy juga serupa tatapan Ellen, saat melihat gandengan Alf adalah temannya, Karlinda. Ellen hanya mengangkat telunjuknya sambil mengarah