Waktu menunjukkan pukul 07.59 saat Alf dan Willy mengisi absen elektronik mereka. Napas mereka ngos-ngosan, karena takut bakal terlambat. Bisa-bisa pagi mereka dihiasi dampratan dari Ibu Nover.
"Briefing-nya belum dimulai kan?" tanya Alf pada Jessy, si resepsionis yang mukanya agak blasteran, sedang sibuk browsing tempat wisata.
"Belum," jawab Jessy tanpa mengalihkan pandangan dari layar handphone, "Ibu Nover aja belum dateng, tuh!"
Alf dan Willy bertatapan. "Serius?" Willy menimpali. Tangannya menghentak pinggiran meja resepsionis, karena tak percaya.
Kali ini Jessy menatap mereka berdua dengan raut wajah mengandung kekesalan. Ia mengembuskan napas kasar.
"Kalo gak percaya, langsung aja ke ruangannya buat ngecek!" decak Jessy sambil melotot, dan kembali melakukan aktivitas browsing-nya.
Alf dan Willy secepat kilat melangkahkan kaki menuju ruang karyawan. Ini bakal jadi gosip terhits di laboratorium. Mereka bergegas mengambil segala macam perlengkapan nge-lab. Sesaat kemudian, keduanya sudah tiba di ruangan, bergabung bersama rekan kerja yang lain.
Pagi itu, suasana laboratorium tidak seperti biasa. Bukannya sibuk memeriksa sampel yang masuk, para karyawan malah sibuk ghibah. Ghibahin Ibu Nover yang selama mereka bekerja di Lab. Sisilia, tidak pernah sedetikpun terlambat. Ibu Nover selalu menjadi penghuni pertama laboratorium, bahkan saat sekuriti lagi asyik bermimpi di pos sekuriti.
"Wah! Kenapa, ya, Ibu Nover belum dateng juga?" Merlin, yang biasa dipanggil emak, karena satu-satunya yang sudah berkeluarga dan punya anak, mulai membuka gosip.
"Lagi keramas, mungkin?!" Ellen yang bergaya tomboi, menimpali dengan asalnya.
"Putus cinta, mungkin? Jadi lagi nangis bombay makanya telat masuk?" Willy menambahkan, mulai su'udzhon seperti biasa.
"Eh, lo kan temenan sama Ibu Nover di wa, coba liatin statusnya! Kali aja ada status galau, atau apa gitu!" Diego melirik Alf.
"Ogah!" Alf menepis usulan itu dengan tegas. "Gue gak biasa ngelihat status orang!"
"Ah! Sok kerad, lo!" Ellen membalas sambil melempar remahan keripik ke Alf.
"Lo, aja, Wil! Lo kan udah sembunyiin notif wa lo! Jadi kalo kepo juga gak bakal ketahuan!" Merlin menimpali sambil menebalkan lipstiknya, yang enggak bakal kelihatan kalau pakai masker.
Willy hanya mengunyah keripik kentang yang dibawa oleh Ellen, si tomboi yang dijuluki "Bibi Pemilik Kios" karena selalu rajin membawa camilan.
"Oh, iya! Willy kan gak nampilin notifnya! Kenapa, tuh!" Ellen menyomot satu keripik dan mengunyahnya kasar, menimbulkan bunyi kriuk. Topik Ibu Nover tergantikan dengan topik Willy dan notif wasap.
"Paling kepoin mantan!" Diego yang sedang nonton iklan-biar-dapat-duit, menjawab.
"Mantan dari Hongkong? Gue tuh masih suci dari lahir!" Willy menyahut sewot sambil meneguk susu kaleng cap naga, yang juga selalu dibawa Ellen, buat dibagi-bagikan ke para fakir ini.
"Kalo bukan buat kepoin mantan, trus buat apaan lo matiin notif gitu?" Alf ikut penasaran bercampur curiga. Meskipun sudah 2 tahun hidup bersahabat dengan Willy, Alf belum pernah menanyakan perihal notif wa ini.
"Suka-suka gue lah! Kenapa, sih, kalian pada kepoooooo banget!" Willy melakukan penekanan dalam nada bicaranya. Mimik mukanya juga ikut-ikutan mendukung kalimatnya.
Merlin hanya mencebik pada Ellen dan Alf. Sedangkan Diego, masih sibuk menonton iklan penghasil duit, dengan mengandalkan wifi kantor.
Kelima karyawan yang sedang bergosip ria itu kaget berjamaah, saat Jessy menelepon ke hp-nya Diego, dan mengabarkan bahwa Ibu Nover baru saja tiba bersama seorang wanita cantik. Mereka langsung berhamburan, mengambil posisi masing-masing dan sibuk mengerjakan apa saja, yang bisa dikerjakan. Semua bungkusan camilan dan susu cap naga langsung disingkirkan ke dalam tong sampah besar di sudut lab.
"Masker gue, woi!" sahut Alf pada Willy yang saking buru-buru, ikut menarik maskernya.
"Log book mana!" pekik Merlin sambil menyusuri meja kerja.
"Aduh! Lipstik siapa nih, woi! Gak sengaja gue injak!" teriak Diego sambil membuang lipstik yang sudah patah itu ke tong sampah.
"Sialan lo! Itu lipstik mahal gue!" umpat Merlin berlari cepat ke tong sampah dan memungut kembali lipstiknya yang sudah almarhum, di dalam tong sampah.
Diego terkekeh di balik masker, meskipun tatapan Merlin menusuk tepat di matanya.
"Makanya, jangan buang sembarangan!" ujar Diego santai, membuat Merlin semakin panas.
"Ganti lo! Gue gak mau tau!" Merlin mengacungkan telunjuknya pada Diego.
"Ogah! Bukan salah gue! Sebagai yang empunya lipstik, harusnya elo bisa jagain lipstik lo bae-bae!"
"Lo tuh yang kalo jalan pake mata!"
"Dimana-mana, kalo jalan ya pake kaki, bukan mata!"
"Gue gak mau tau! Lo harus...!"
Derap langkah sepatu pantofel 5 cm, terdengar menapaki lantai keramik menuju ke ruangan Ibu Nover, menghentikan amarah Merlin. Semua penghuni laboratorium berusaha menajamkan indera pendengaran mereka. Siapa tau Ibu Nover bakal singgah ke laboratorium dulu. Tapi, mereka terkejut dalam hati, saat menangkap gelak tawa dari dua wanita, yang disinyalir Ibu Nover dan wanita cantik-kata Jessy.
Kelima penghuni laboratorium itu berpandangan, bergantian. Selama mereka bekerja di sini, selain ini kali pertama Ibu Nover terlambat, baru kali ini pula Ibu Nover tertawa terbahak-bahak seperti yang mereka dengar. Padahal, lawakan garing Alf dan Willy pun tidak bisa membuat Ibu Nover tertawa. Lah, namanya juga garing?
🧹🧹🧹🧹🧹🧹🧹🧹
Sudah sepuluh menit berlalu, dan samar-samar masih terdengar percakapan Ibu Nover dengan seseorang di ruangan sebelah laboratorium, dan tiba-tiba suara Jessy ikut terdengar.
Alf sedang sibuk melihat daftar sampel yang akan dikerjakan hari itu, saat Jessy masuk dan memanggilnya. Semua mata yang ada dalam ruangan menatap Alf dalam diam. Pandangan mereka penuh tanya.
Alf berbalik menatap Willy, dan Willy membalasnya dengan anggukan serta tatapan sedih. Adegan mereka berdua terlihat seperti Alf yang hendak mengorbankan dirinya dalam perang, dan disetujui oleh Willy, karena Willy-nya ikhlas, asal bukan dia yang mati.
Alf melangkah pelan, namun terhenti di depan pintu membuat Jessy menatapnya dengan bingung.
"Ya, elah! Drama banget!" Jessy memutar bola matanya malas, melihat tingkah Alf.
"Kira-kira, kenapa gue dipanggil? Lo tau gak?" bisik Alf pada Jessy. Wajahnya gelisah kayak orang di ambang kematian. Santai, Alf!
"Tanya aja ke Ibu Nover!" Jessy menyahut dengan ketus.
Alf menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, dan melepaskannya pelan. Ia berbalik menatap teman-temannya, yang sontak memberi semangat dengan kepalan tangan dan anggukan kepala.
"Kali aja gaji lo mau dinaikkin," Jessy terkikik, karena bagaimanapun juga hal itu belum pernah terjadi dalam kamus Ibu Nover. "Sans, Alf!" Jessy menepuk pundak Alf sambil mengedipkan sebelah matanya. Ia beranjak meninggalkan Alf yang sudah siap lahir batin menuju ke ruangan Ibu Nover.
"Gue gak ngebuat salah apapun, jadi santai aja. Ngapain gue resah dan gelisah pada semut merah?" gumam Alf mulai kacau.
Pintu kayu jati menyambutnya. Alf berhenti sejenak dan kemudian mengetuk pintu ruangan.
"Permisi, Bu," sapa Alf dari luar ruangan.
"Masuk," balas Ibu Nover dengan nada datar seperti biasa.
Alf membuka pintu dan melangkahkan kakinya dengan perlahan. Matanya berusaha menyapu seluruh ruangan dan mendapati sosok seorang wanita yang sedang duduk di sofa, membaca koran. Wajahnya belum terlihat jelas.
"Mungkin cewek ini yang dibilang cantik sama si Jessy, ya? Kan gak mungkin juga yang dimaksud Ibu Nover," tanya Alf pada dirinya sendiri.
Alf berdiri di hadapan meja Ibu Nover, dengan tatapan penuh tanya.
Ibu Nover tersenyum manis sepersekian detik, membuat Alf mengerjapkan matanya tak percaya. Bahan gosip baru, nih!
"Saya manggil kamu ke sini, karena ada yang mau ketemu sama kamu," ujar Ibu Nover sambil menangkupkan kedua tangannya di wajahnya.
Matanya menunjuk ke wanita yang sedang membaca koran, membuat Alf ikut mengarahkan pandangannya ke obyek yang dimaksud.
"Wi," panggil Ibu Nover lembut.
Alf mengernyit. 'Wi? Siapa? Winda? Wiwid? Wika? Widuri? Wiki?' terkanya dalam hati, mengira sembarang nama yang bahkan bukan milik kenalan atau keluarganya. Ya, ampun, Alf!
Wanita yang merasa namanya disebut itu, melipat koran yang dibacanya, membuat Alf semakin mengernyit. Bak adegan slow, wanita itu berdiri dengan anggun, dan menatap Alf yang masih terpaku dalam bingung.
Wanita itu berjalan menuju ke hadapan Alf, yang sudah mulai menyadari sesuatu. Tatapan yang penuh tanda tanya, berganti membelalak tak percaya. Mulutnya seketika menganga, namun wanita itu justru tersenyum, seolah tahu bahwa Alf sudah menyadari siapa dirinya.
Alf bergeming bagai patung. Terperanjat sekaligus terpesona. Matanya mengerjap sesaat. Telunjuknya terangkat, hendak mengatakan sesuatu.
"Hai, Alf! Sudah lama, ya," sapa wanita yang dipanggil Wi oleh Nover itu.
"Wi? De...wi maksudnya?" tanya Alf ragu.
Wanita itu tertawa kecil. "Lucu banget, sih kalau kamu yang manggil. Udah, manggil kayak biasa aja," ujar Dewi santai, tidak sesantai tatapan Alf yang penuh kekaguman pada dirinya.
Ibu Nover mengerutkan keningnya mendengar pernyataan si Dewi.
"Manggil kayak biasa?" tanya Ibu Nover.
"Iya. Waktu SMA, aku biasa dipanggil Inn. Pas kuliah aja aku ganti jadi Dewi," jawab wanita itu sambil tersenyum menatap Ibu Nover dan Alf bergantian.
Alf yang berdiri di hadapan Dewi atau kita sebut saja Inn, hanya meringis.
"Kamu... Apa kabar?" tanya Alf bukan basa-basi, karena setelah tamat SMA, dia tidak pernah bertemu atau kontak dengan Inn.
Inn yang cerdas dan jadi kebanggaan sekolah, mendapat beasiswa dari salah satu Universitas ternama di Indonesia. Dan setelah selesai dengan S1, Inn langsung mengambil S2.
"Aku baik, dong! Makanya sekarang aku ada di depan kamu," jawab Inn sambil memamerkan senyuman bak dewi yang membuat hati Alf berbunga-bunga merah muda dan berkilau, seperti saat SMA. Ah, bahkan sekarang rasanya Inn lebih mempesona.
"Oh, iya! Minta nomor hp kamu, dong!" lanjut Inn sambil merogoh handphone apel tergigit keluaran terbarunya, di tas cantik berwarna lilac. Oke! Jadi, dia si wanita lilac!
Sesaat Alf tahu bahwa levelnya berbeda dengan Inn, gadis manis yang pernah digombalinya waktu masih berseragam abu-abu. Wajah Alf muram sesaat, disadari oleh Inn.
"Alf?" Inn menegurnya lembut, membuat Alf tersadar seolah angin surga berhembus di pendengarnya. Alf tersenyum kembali.
"Sori... Ini nomor hp aku," ujar Alf sopan, sambil menyebutkan nomor handphone-nya, nomor hasil diskon kartu perdana.
"Makasih. Nanti aku hubungi, ya," sahut Inn sambil mengibas pelan hpnya.
'Dia mau hubungi gue yang nista ini? Emak... Mungkinkah ini jodoh anakmu?' batin Alf halu bin ngarep.
"Ya, udah, Alf. Kamu kembali kerja, sana," Ibu Nover menimpali.
Alf berbalik dengan hati berkecamuk, masih belum rela meninggalkan sosok Inn yang berdiri manis di hadapannya tadi. Tapi, tatapan mematikan Ibu Nover lebih menusuk sendi-sendinya, membuatnya harus kembali ke laboratorium.
Alf memasuki laboratorium dengan wajah cerah ceria seperti habis dikabari gajinya naik 2 kali lipat. Para kaum ghibah yang sudah menunggunya daritadi demi mendapatkan bahan ghibahan baru, berpandangan melihat Alf yang tak berhenti tersenyum, memamerkan gingsulnya.
"Alf, lo diapain sama Ibu Nover?" Willy menggoyangkan lengan Alf, saat Alf sudah berdiri di sampingnya, namun Alf tetap diam.
"Wah! Parah, nih kayaknya!" Ellen meletakkan telapak tangannya ke kening Alf yang sedikit hangat. Tapi, hangatnya bukan karena demam, melainkan karena malu-malu kucing a.k.a terpesona pada Inn.
"Mungkin gak gajian bulan ini?" Merlin menambahkan dengan wajah terkejut yang dramatis, mirip emoji chatting yang keningnya warna biru.
Willy menarik napas kasar. "Sabar Alf. Semua hanya ujian!" ujar Willy sambil menepuk pundak sahabatnya, dan menggelengkan kepala pelan, seolah tak tahan dengan penderitaan sahabatnya. What?!
Mereka sibuk menerka-nerka dan bertanya, namun Alf hanya diam. Sepertinya, rasa bahagia Alf saat ini belum mau dibagikan dengan siapapun termasuk Willy. Cukup untuk dirinya sendiri.
Oke, Alf! Bhaiq! Sakarepmu ajalah!
💜💜💜💜💜
Oke! Gaess, untuk episode ini gimana? Untuk episode ini kayaknya gak terlalu ada komedinya. Aku lagi mengalami writer block, tapi aku berusaha untuk menulis. Maafkeun jika kurang maksimal hasilnya. Jangan lupa, untuk selalu komen ya. Biar aku tau kurang lebihnya. Terima kasih.
"Lo kenapa, sih, Alf?" Willy beringsut ke arah Alf yang sedang sibuk melakukan uji *fitokimia dari salah satu sampel yang masuk ke laboratorium. Alf hanya menjawab dengan dendangan lagu. Lagu yang baru diciptakan beberapa menit yang lalu. Yang Willy tahu, nadanya menggambarkan hati Alf yang sedang berbunga-bunga, bukan kesedihan sehabis keluar dari ruangan Ibu Nover. "Mencurigakan banget," selidik Willy sambil melirik tajam ke arah Alf, "jangan-jangan, gaji kamu dinaikkin? Kamu doang?!" Alf tidak menjawab dan masih sibuk dengan aktivitasnya, membuat Willy yang merasa dikacangin, jadi sensian. "Tega banget, sih, lo! Gak berbagi dengan sahabat sendiri!" Willy mencebik. Alf melirik ke arah Willy yang juga sedang menatapnya dengan tatapan menyimpan banyak tanya. "Jadi, lo gak mau berbagi sama gue? Sahabat senasib seperjuangan lo? Dalam suka maupun duka?" ulang Willy dramatis dengan menepuk pelan dada—bukan dada bidangnya.
Welcome to malam minggu, malam yang panjang. Malam yang bagi segelintir orang dihabiskan dengan bercengkerama ria bersama keluarga. Bagi sebagian workaholic, malam minggu tetap seperti malam biasanya yang penuh dengan pekerjaan. Dan bagi sebagian orang lagi, khususnya anak muda, malam minggu adalah saat yang tepat buat berkunjung ke rumah pujaan hati. Sedangkan bagi para jombloers, jangan ditanya, bisa perang dunia. Tapi, bagi jomblo bernama Alf, malam minggu kali ini berbeda. Tidak lagi dihabiskan dengan maraton film horor bareng Willy, takutnya kalau nonton drama Korea bisa-bisa jadi halu tingkat tinggi. Jadi, kalau bukan dihabiskan dengan film horor, maka malam minggu dilewati dengan menonton pertunjukan tunggal tarian 'ular disengat listrik' si Willy. Alf sudah mengenakan kemeja putih polos yang biasa dia gunakan kalau mau menghadiri kondangan. Kemeja ini dipakai untuk menunjukkan bahwa dirinya masih polos dan suci. L
Alf masih berdiri terpaku sambil membayangkan perubahan drastis Princess dari putri kecil nan imut dan menggemaskan, menjadi ah-sudahlah, kata Willy tidak boleh ada body shaming. Alf beberapa kali menghela napas panjang, membuat Inn mengernyit. "Kenapa, Alf?" tanya Inn sambil mendekatkan wajahnya pada Alf dan menatap lelaki itu dengan saksama, "ada yang sakit?" Alf menelan ludah. Mendapat tatapan penuh kekhawatiran dari Inn, yang tepat menembus netra cokelat kehitamannya, turun ke jantung, membuat Alf mematung. Jantungnya bak genderang bertalu-talu. Inn masih menatap Alf dengan tatapan khawatir diselipi kepolosan, tidak peka terhadap pria di depan yang wajahnya sudah dipenuhi peluh. "Kok keringat kamu jadi banyak gini? Padahal di sini lagi dingin, loh," Inn memundurkan posisi berdirinya. "Kamu sakit, Alf? Ngomong, dong!" lanjut Inn sambil menggoyangkan lengan Alf. "Engg.... gak!" jawab Alf terbata-bata, sambil cengenges
Alf memarkirkan motor di parkiran cafe yang sudah berjajar banyak motor dengan keanekaragaman model dan warna. Setelah mengaitkan helm milik sendiri dan punya Inn, Alf kembali merapikan kemeja putihnya. Wajahnya sudah tidak ada sisa-sisa keceriaan lagi. Sudah kepalang bahagia ingin malam mingguan sama Inn, ternyata mereka malah reunian bareng sohib SMA mereka. "Siapa aja, sih yang ada di dalam?" Alf bertanya pada Inn, sambil merapikan sisi rambut dan kacamatanya. Inn sibuk mengetikkan sesuatu, tidak menjawab pertanyaan Alf, membuat Alf mengerucutkan bibir. Alf mendesah. "Sia-sia aja," gumam Alf pelan. "Sia-sia kenapa, Alf?" Inn bertanya tiba-tiba sambil menatap wajah Alf yang masih cemberut. "Eh, gak, kok!" sahut Alf. "Yuk, ke dalem! Yang lain udah pada nunggu," ajak Inn sambil mendahului Alf masuk ke cafe. Alf kembali mendesah, "Ternyata bener kata Willy... Gak mungkin, gue malam mingguan bareng c
"Haduhhh, makanya lo sih, kelayapan kagak ngajak-ngajak gue! Begini kan jadinya!" Willy terlihat sedang meremas handuk kecil hasil rendaman air, yang kemudian diletakkan di kening Alf. "Gue udah feeling kalo bakal jadi gini, nih akhirnya! Kualat kan lo sekarang!" omel Willy sambil mengecek kondisi Alf. "Untung lo punya sohib yang kayak gue! Selalu ada di saat jatuh bangunnya lo! Tapi, masih aja lo ke kondangan sendirian!" lanjut Willy sambil menatap Alf yang mulai bersin-bersin. Willy mengibaskan tangannya, "Pulang-pulang bawa penyakit sama virus! Bukan bawa makanan, kek!" Alf berusaha menutup mata, agar bisa terlelap dan lepas dari omelan khas emak-emak si Willy. Dia berharap obat yang diminum bisa segera membuatnya mengantuk. Alf sudah cukup lelah malam ini. Selain lelah hati, karena si gebetan malah meninggalkannya sendiri-yah dengan persetujuan si Alf juga, sih! Tapi, lelah karena kesialan bertubi-tubi
Willy uring-uringan di atas kasur Alf, seperti anak kecil yang minta dibelikan permen, tapi tak dikabulkan. Ia menatap tajam pria berkacamata yang sedang merapikan kaos berlogo buaya berwarna hitamnya. Tangan Willy terlipat di depan dada. Bibirnya mulai monyong. Matanya menyisir Alf dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan mirip ibu-ibu komplek lagi gosip terus yang digosipin muncul. Pria yang ditatapnya tetap santai meski merasa punggungnya merinding karena tatapan Willy. Alf sudah tampak rapi dan bersih, walaupun sesekali Alf terlihat bersin-bersin, membuat Willy tak sabar untuk selalu berdeham keras. "Masih penyakitan tapi nekat jalan juga lo!" Willy membuka suara dengan nada gusar. "Santai, coy! Cuma bersin doang!" jawab Alf cuek sembari merapikan rambutnya. Willy bangkit dari duduk dan melesat mendekati Alf. Dipeganginya kening Alf. Matanya menyipit, menatap tajam Alf. "Ya elah! Lo tuh masih demam, Alf! Bu
Hai, semuanya! Corn Leaf di sini! Cuma mau kasitau, jangan lupa review setelah baca, ya. Biar aku makin semangat nulisnya! Lope! Lope! 🧹🧹🧹🧹🧹🧹🧹 Senin pagi yang indah. Tapi entah mengapa banyak sekali orang-orang yang membenci hari senin. Selalu saja ada yang mengeluh tentang hari senin. Serasa begitu banyak pekerjaan menanti di hari senin. Padahal, harusnya manusia lebih bersyukur, masih bisa menatap hari senin. Tsah! "Masih enam hari lagi..." gumam Willy dengan wajah terkantuk-kantuk. Lelaki gempal itu menyeret langkahnya dengan malas, menapaki anak tangga menuju ke ruang laboratorium. Waktu masih menunjukkan pukul setengah delapan pagi, tapi Willy dan Alf sudah berada di kantor. Tidak seperti biasanya, dimana mereka tiba 10 menit sebelum pukul delapan. "Hari baru tuh harusnya semangat! Pagi-pagi udah loyo! Padahal kemarin sok cera
Yuhuu!!! Kembali lagi bareng Corn Leaf di sini! Yuk, marilah kemari, baca cerita ini, dan jangan lupa review ya gaess... Reviewnya yang membangun, ya... Biar aku makin semangat nulisnya. UwU. 🧹🧹🧹🧹🧹🧹🧹🧹 Alf dan Willy kembali ke ruangan laboratorium dengan wajah muram, membuat si emak-pimpinan kaum tukang ghibah Lab. Sisilia, Merlin, tak sabar untuk bertanya. Merlin beringsut ke meja Alf, saat pria itu sudah mulai menyiapkan bahan untuk menguji sebuah sampel. Sedangkan Willy, sibuk mengecek laporan hasil uji fitokimia yang dilakukan Alf beberapa waktu lalu, dan laporan lainnya agar bisa dikirimkan hasil uji itu ke pengirim. "Gimana?" tanya Merlin setengah berbisik, saat sudah bersisian dengan Alf. Matanya menatap Alf dengan tatapan penuh harap. Mengharapkan jawab pastinya. "Apanya?" Alf balik bertanya. Merlin mendesah, "Kenapa kalian sampe dipanggi
Terima kasih untuk semua yang sudah menyempatkan diri membaca novel ini. Saya tahu, bahwa novel ini masih jauh dari kesempurnaan, entah dalam penulisan maupun alurnya. Karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun, dari para pembaca. Buat semua yang sudah membaca novel ini, baik yang hanya dibaca, yang sampai masukkin ke rak buku, bahkan yang mengeluarkan duitnya buat buka bab berbayar, ataupun pakai koin gratisan... KALIAN LUAR BIASA! I LOVE YOU, ALL! Tanpa dukungan kalian, novel ini tak berarti apa-apa.Akhir kata, tetap semangat membaca! Tetap semangat menulis! Semoga, kita bisa ketemu lagi di cerita-cerita berikutnya! PS : Yang mau kenalan, yuk kunjungi i*******m @kuandwicka. Ada banyak komik strip atau animasi juga. Thank you! ^^
Memang benar bahwa cinta datang tiba-tiba. Memang benar, bahwa cinta terkadang menunjukkan kepada kita, orang yang tidak pernah kita duga. Memang benar, bahwa cinta penuh misteri. Hanya Sang Pemilik cinta sejati, yang paling tahu apa yang terbaik buat makhluk ciptaan-Nya. Saat kita mendambakan seseorang, yang tidak pernah menginginkan kita. Ada satu hati yang berharap kehadirannya diketahui oleh hati kita. Dan, itulah yang terjadi pada seorang pria gempal, sahabat sejatinya Jacob Alfred, Willy. Willy sedang merapikan peralatan gelas, karena hari ini adalah jadwal piketnya. Alf sudah pamit lebih dahulu, karena katanya mau keluar bareng Inn. Akhir-akhir ini, semenjak punya gandengan, Alf memang jarang pulang bareng Willy. Alhasil, Willy diantar oleh Ellen. Sebenarnya, Willy sudah menolak penawaran Ellen, karena Willy ingin menjadi lelaki mandiri, dengan pulang pakai grab. Tapi, entah kenapa, Ellen terus memaksa, seperti hari ini. Ellen terlihat menunggu dengan sabar, di lorong laborat
Alf menemui Karlinda untuk terakhir kalinya, karena wanita itu memberi kabar bahwa dirinya akan dipindahkan ke daerah lain. Alf pun meminta izin pada Inn, agar bisa menemui Shafa, karena tujuan Alf salah satunya ingin bertemu Shafa. "Boleh... Gak usah minta izin ke aku, kali..." ujar Inn. "Yah... Takutnya, gak ngomong trus kamu tahu sendiri, malah mikir yang gak-gak," jawab Alf. "Aku percaya, kok sama kamu... Nunggu dari SMA aja bisa, masa aku harus curiga sama yang beginian," sahut Inn membuat hidung Alf kembang kempis, saking bangganya pada diri sendiri. Karena sudah mendapat kepercayaan dari sang pujaan hati, Alf pun bergegas ke tempat pertemuannya dengan Inn, tempat mereka bertemu pertama kali di luar urusan kantor, KeEfCe. Shafa terlihat sedang bermain di area permainan dengan wajah bahagia, khas anak-anak. Alf segera menuju ke meja Karlinda. Wanita itu tampak sedang memotret wajah bahagia putri tunggalnya. "Sore mbak!" sapa Alf sambil duduk di hadapan Karlinda. "Hai, Alf!"
Reuni sekolah yang diadakan bersama pentas seni, rupanya tak mau dilewatkan oleh Moiz dan Ui yang berada di kota lain. Mereka meminta cuti 'semester' kedua lebih awal dari biasanya. Namun, tidak bagi Yen yang bekerja pada instansi pemerintahan. Dia hanya bisa gigit jari kali ini karena tak ada kunjungan apapun ke kota Kupang. Ui : Sorry, Yen... Kali ini lo jaga kota Atambua aja, ya. Hahahah... Yen : Ish! Kenapa juga diadainnya hari kamis, gak hari sabtu aja, kek! Alf : Kan sekalian HUT sekolah, Neng! Yen : BETE! Pokoknya jangan ngirimin foto di grup ini! Bakal gue bakar grupnya! Inn : Cup cup cup... Sabar, say... Sabtu turun Kupang, ya... Biar kita jelong-jelong bareng lagi... Mumpung dua sejoli ini ada di sini. Moiz : Ehm... Sorry, tapi Sabtu ini gue udah ada janji... Yen : Janji sama siapa? Moiz : Mau tau aja, atau mau tau banget? Ui : Dia mau ketemu GEBETANNYA! Alf, Yen, Inn : WHAT?! WHO?! Ui : Itu mah gue gak tau. Dia gak ngasitau gue! Moiz : Maaf... Moiz telah meningga
Alf dan Inn sedang jalan-jalan di malam minggu-yang akhirnya dihabiskan Alf dengan PACAR. Keduanya tampak bercanda-tawa di alun-alun kota, sambil menatap berbagai aktivitas di tempat itu. Ada band jalanan, tari-tarian dari para pekerja seni, maupun beragam permainan untuk anak-anak. Meskipun hanya menghabiskan malam minggu 'receh', namun kedua sejoli itu tampak bahagia. Hingga dering ponsel Alf tiba-tiba, terasa mengganggu pendengaran Alf. "Ck! Siapa, sih? Gangguin malam minggu gue aja!" Alf berdecak malas sambil merogoh ponsel dalam saku celananya. Mata Alf membelalak sempurna, saat mendapati nama my mom di layar ponselnya. "Aduh! Emak nelpon? Ada apa, ya?" gumam Alf sambil menggeser tombol hijau di layar. Inn hanya menatapnya dalam diam. "Ya, halo mak!" sapa Alf. "ALF! HALO, ALF!" Suara emak terdengar menggelegar bak membelah telinga Alf. "Aduh, mak... Alf bisa budek kalau emak teriak begitu..." ujar Alf. "Ngomong pelan aja napa, sih?" "Halo, Alf?!" Emak masih terus memanggil n
Honda Grand Astrea melaju dengan pasti memasuki kompleks perumahan Dreamland, dan berhenti di depan sebuah rumah berwarna peach. Alf segera turun dari motor, sambil merapikan rambut dan kemejanya. Merasa bahwa penampilannya masih tampan melebihi Cha Eun Woo, Alf segera melangkahkan kakinya memasuki pekarangan rumah wanita yang sudah menjadi kekasihnya sejak dua bulan lalu. Inn. Alf menarik napas panjang, sebelum memberanikan diri mengetuk pintu rumah itu. Namun, belum sempat Alf melancarkan aksinya, sebuah suara dengan nada melengking, mengejutkannya. "Loooohhhh? Kak Alf!" Princess yang semakin montok, karena katanya Nugo suka sama wanita berisi-sudah berdiri di belakang Alf. "Mau ngejemput kak Inn, ya?" Alf hanya membalasnya dengan nyengir kuda. Meskipun hubungannya dan Princess semakin membaik, karena Inn sudah menceritakan pada Princess bahwa Alf adalah teman masa SMA-nya, yang dulu disukai Princess. Di samping itu, Princess yang sedang berbunga-bunga asmara, karena mendapat paca
Inn berdiri menatap Alf yang masih duduk di bangku, dengan wajah memohon. Memohon agar Inn tidak meninggalkannya. Wanita itu pun kembali duduk di samping Alf, sambil melepaskan tangannya dari genggaman Alf. "Jadi?" tanya Inn dengan pandangan lurus ke depan. Tak beralih pada Alf. Tangannya terlipat di atas perut. Alf menyiapkan pita suaranya, biar tidak tiba-tiba rusak. Beberapa kali terdengar dehamannya, membuat Inn mencebik. "Sebelumnya... Aku mau nanya sesuatu ke kamu dulu," ujar Alf. "Apa?" "Waktu itu... Saat kamu lagi makan bareng Nugo dan Princess, aku ngomong sesuatu... Tapi, kamu belum ngasih jawaban ke aku," jawab Alf. Wajahnya mulai terlihat serius. "Oooohhhh, yang waktu itu?" Inn memanjangkan nada suaranya. "Bener banget! Aku juga mau minta penjelasan kamu soal itu!" Kali ini Inn sudah berbalik cepat-menatap tajam Alf, tepat di matanya. Telunjuknya mengarah ke dada pria itu. Matanya perlahan menyipit, membuat Alf malah terheran-heran. "Apa maksud kamu gak suka aku jal
Alf masih berdiri terpaku, begitu juga Inn. Hingga ibu Nover menyadarkan Inn, bahwa mereka harus segera turun dari panggung. Inn dengan kikuknya berjalan menuruni tangga, tapi pandangan Alf terus melekat padanya. Seolah tidak mau melepaskan wanita itu dan menghilang di keramaian. Willy yang masih duduk, menatap Karlinda dengan senyum simpul menghiasi wajah cantiknya. Willy sudah merasakan sakit hati akibat wanita pujaannya bersama lelaki lain. Dia mengerti jika saat ini Karlinda mungkin saja merasakan hal yang sama dengannya. Dia hanya bisa membalas wanita itu dengan senyum penuh makna. Alf masih bergeming, seolah tubuhnya tak ingin duduk. Tak mau melewatkan tatapan Inn yang begitu hangat padanya. Ya, wanita itu sedang melangkahkan kakinya menuju Alf, dengan adegan slow motion dalam pandangan Alf. Senyum terukir di bibir Inn, membuat Alf kepanasan dengan detak jantung tak beraturan. Padahal sedang berada di luar ruangan dengan angin sepoi-sepoi, tapi Alf mala
Acara pesta berlangsung dengan meriah dan penuh sukacita. Setelah beberapa sambutan, termasuk sambutan dari Ibu Nover, kini tibalah acara ramah-tamah. Semua tamu yang diperkirakan sekitar 500 orang, dipersilahkan menikmati santapan yang telah disediakan di beberapa bagian taman. Makanan Indonesia maupun luar, tersaji di atas beberapa buah meja panjang, yang dijaga oleh para pramusaji. Alf, Karlinda, Jessy dan Boy pun segera melangkahkan kaki menuju meja yang ingin mereka cicipi makanannya. Dan tidak disangka, mereka berpapasan dengan Ellen, Willy, serta Merlin yang datang sendirian. Alf bisa menangkap raut wajah tak percaya dari Willy, saat mendapati wanita pujaannya datang bersama si sekuriti yang baru sebulan bekerja di Lab. Sisilia. Tapi, berbeda dengan Willy, Merlin malah memperlihatkan tatapan 'apa gue bilang!' Tatapan Willy juga serupa tatapan Ellen, saat melihat gandengan Alf adalah temannya, Karlinda. Ellen hanya mengangkat telunjuknya sambil mengarah