"Belok kiri!" Willy yang sedang duduk di jok belakang, dengan hp berisi pesan suara Ibu Budi yang menempel di telinganya, memberi arahan pada Alf.
"Abis ini ke mana!" tanya Alf setengah berteriak, tapi belum mendapat jawaban dari Willy, saking riuhnya jalanan dengan kendaraan meskipun sudah pukul 21.00. Ditambah lagi, Willy sedang konsentrasi penuh menyeleksi suara Ibu Budi dan Pak Budi di tengah suara kendaraan yang lalu lalang di sekitar mereka.
Alf melepaskan tangan kirinya dari setang motor dan menepuk-nepuk kaki Willy, membuat Willy tersadar.
"Apaan!" Willy memajukan kepalanya ke pundak kiri Alf.
"Abis ini ke mana!" teriak Alf sambil menoleh sedikit ke arah Willy.
"Katanya lurus aja sampai dapet kompleks perumahan!" jawab Willy yang disambut anggukan Alf.
Motor tetap melaju dengan stabil di kecepatan 20 km/jam. Maklumlah, Alf ini sejenis pria langka. Saat sedang membonceng seseorang di jok belakang, entah itu Willy atau Ibu Budi-meskipun mustahil Ibu Budi mau naik motornya, Alf akan mengendarai motor dengan kecepatan stabil di 20 km/jam. Karena bagi Alf, nyawa seseorang di belakangnya sangatlah penting, bukan hanya nyawanya saja. Hal itu sudah terpatri dalam benak Alf.
Setelah beberapa menit atau mungkin setengah jam perjalanan, mereka mulai melihat area kompleks perumahan elit yang dimaksud. Area yang kata Alf, 'surga' dimana orang-orang yang tinggal di area itu terlindung dari kejamnya dunia luar.
Area yang air dan listrik tidak pernah putus atau padam. Area yang punya keamanan sendiri, taman sendiri, minimarket sendiri, bahkan kolam renang sendiri. Dan Alf berharap suatu saat bisa menetap di area itu. Hingga Willy menyadarkannya dengan gaji UMP mereka, serta cicilan rumah di area 'surganya Alf' yang bisa bikin sesak napas bagi kaum missqueen seperti mereka, dan bakal ke surga benaran. Kejamnya realita!
Alf memarkir motor di pembatas jalan, di depan gerbang perumahan dengan plang 'SELAMAT DATANG DI PERUMAHAN DREAMLAND'. Alf melongo dari balik gerbang, tampak jalanan kompleks yang terang benderang dengan cahaya lampu jalan. Bukan seperti jalan raya yang mereka lewati, kadang ada lampu jalan yang tidak menyala dan tetap dibiarkan. Alf dan Willy berdecak kagum.
"Kayak dunia lain dalam arti positif," gumam Alf mengagumi.
Penampakan dekorasi di kompleks perumahan itu seperti rumah milik Kevin dalam film Home Alone, yang setia menghampiri layar kaca di bulan Desember. Penuh hiasan lampu kelap-kelip di tiap halaman rumah. Entah di pepohonan, atau teras rumah.
"Waowww... " Willy kehabisan kata-kata, apalagi Alf. Mereka hanya melongo dengan tangan menggenggam jeruji gerbang yang sedang tertutup. Mirip napi yang lagi ngarep pengen dibebaskan.
Sekuriti kompleks yang melihat gelagat aneh kedua lelaki itu dari kamera pengawas di dalam pos, segera menghampiri mereka sambil membawa pentungan. Tidak lupa ia mengajak temannya yang sedang nongkrong sambil merokok di sisi lain pos sekuriti. Biar kalau ada perkelahian, tinggal jadikan temannya tumbal.
"Selamat malam!" sapa pak sekuriti tidak ramah, membuat Alf dan Willy yang sedang halu punya rumah di kompleks itu, sadar dari kehaluannya.
"Ma... Malam, pak," jawab Alf sambil meringis.
"Ada apa, ya, Anda berdua berdiri di depan gerbang dengan tatapan seperti mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin tercapai?!" lanjut si sekuriti kayak lagi baca puisi.
Alf dan Willy berpandangan sesaat.
"Ehm, gini, Pak... Kami mau nyari rumahnya... Ibu Princess," jawab Alf dengan lembut dan sopan, sambil memamerkan gigi bergingsulnya, yang menurut Alf mirip Chelsea Olivia versi lelaki. Tapi, menurut Willy, itu hanya gigi yang diasingkan oleh saudara-saudara sepergigiannya.
Oke, fine! Tinggalkan mereka dengan kehaluannya tentang gingsul.
Kedua sekuriti itu mengernyit beberapa detik, menyebabkan Alf dan Willy ikutan mengernyit. Tiba-tiba, sekuriti yang memegang pentungan, yang usianya diperkirakan sekitar 35 tahunan, menampilkan senyum oh-aku-tau!
Alf dan Willy ikut tersenyum oh-syukurlah! Tapi, senyuman mereka hilang saat si sekuriti menatap mereka dengan penuh kecurigaan, lagi.
"Ada keperluan apa kalian ketemu si Princess!" selidik si sekuriti yang merokok.
Alf dan Willy berpandangan lagi, dengan raut sedikit panik.
"Muka kalian mencurigakan! Kenapa panik!" Sekuriti yang memegang pentungan menepuk-nepuk pentungan ke telapak tangannya.
"Ehm, anu, Pak... Kita mau anterin setoran arisan, Pak," jawab Alf sambil meringis.
Kedua sekuriti itu bertatapan dan mengedarkan pandangan mereka pada Alf serta Willy, dari atas ke bawah, dan balik lagi.
"Kalian ikutan arisan si Princess?" tanya si sekuriti yang merokok, dengan name tag Bryan di sebelah kiri seragamnya.
Alf segera mengibaskan kedua tangannya.
"Bukan, Pak! Ibu kos saya yang ikutan arisan itu! Saya cuma dimintai tolong buat nyerahin setorannya," jawab Alf sambil memperbaiki letak kacamatanya.
"Oh, gitu! Bilang, dong daritadi!" sergah sekuriti yang pegang pentungan-tanpa ada nametag.
Alf dan Willy mencebik.
"Kalian lurus aja dari sini. Abis belok kiri di gang kedua, karena emang cuma ada belokan ke kiri! Nah, rumahnya nomor dua dari belokan! Jadi, dua-dua! Inget! Biar gak salah masuk rumah!" ujar si Bryan.
"Oh, baik, Pak! Terima kasih!" seru Alf ceria kayak anak kecil dikasi duit 500 perak buat beli permen pendekar biru.
"Rumahnya, yang kiri apa kanan, Pak?" Willy menimpali. Alf mengernyit lagi, agak merasa aneh dengan pertanyaan Willy yang padahal masuk akal.
"Wah! Kamu orangnya dekil, ya! Saya suka kamu!" sahut Bryan sambil senyum-senyum.
Willy ikut tersenyum, kecut. "Detail, Pak... Bukan dekil! Btw, Pak, saya masih suka perempuan," jawab Willy kalem bin polos-polos dungu.
Wajah Bryan berubah sangar lagi. Ia melotot pada Willy. Padahal maksudnya suka yang laen. GR banget kamu, Wil!
"Rumahnya sebelah kiri!" ucap si Bryan, yang punya nama bule, tapi tampangnya pak lek. Kagak nyambung, tong!
Setelah memberitahukan arah tujuan kedua lelaki itu, Bryan dan si sekuriti tanpa nametag, segera membalikkan badan, berencana kembali ke pos mereka. Namun, panggilan Alf menghentikan niat mereka.
"Kenapa lagi, sih! Udah dikasi tau juga!" tanya Bryan sambil menaruh kedua tangan di dalam saku celana, meniru gaya Genji KW. Rokoknya kebetulan sudah habis.
Alf cengengesan. "Ini, Pak. Gerbangnya belum dibuka," ujar Alf sambil menunjuk ke gembok gerbang yang besarnya macam buah pepaya. Heh?!
Si Bryan ikutan cengengesan, masih dengan gaya Genji KW. "Sori. Khilaf!"
Alf dan Willy kembali berpandangan sambil sikut-sikutan, dan sesekali kembali tersenyum menatap kedua sekuriti yang sudah membuka gerbang ke 'surga' untuk mereka. Siapa tau bakal ketemu bidadari.
"Terima kasih, Pak!" ujar Alf dan Willy, saat gerbang sudah dibuka. Dan Alf kembali mengendarai motornya, bersama Willy yang sudah duduk manis, tapi gak ada manis-manisnya, di jok belakang.
"Wuihhhh, gila! Keren banget!" Willy mengagumi setiap dekorasi yang terpampang nyata pada masing-masing rumah.
"Kapan gue bisa punya rumah di sini, ya... Biar bisa ajak emak bapak ke sini," Alf menimpali.
"Gak usah halu, bro! Ingat, gaji kita UMP! Bayar kosan aja kadang ngutang! Kadang aja cuma makan obat maag!" Lagi-lagi Willy menampar Alf dengan realita karyawan bergaji UMP. Ditambah utang dan obat maag. Makin pening. Alf hanya menghela napas panjang.
"Kali aja, di antara rumah-rumah ini, ada yang punya anak gadis masih jomblo, gitu." Kehaluan Alf membuat Willy menepuk helmnya. Berharap sahabatnya bisa segera bangun dari mimpinya itu.
"Kalau ada juga, dia gak bakalan ngelirik kita berdua, bro! Kita hanya remahan peyek!" ledek Willy untuk Alf dan dirinya sendiri, karena ada kata 'KITA'. Ingat, bab sebelum-sebelumnya tentang KITA kan?
Tidak sampai 15 menit, keduanya telah tiba di tempat tujuan. Rumah si admin arisan sosialita yang katanya bernama Princess.
Yang menjadi tanda tanya Willy dan Alf, si admin tinggalnya di perumahan elit, tapi kenapa setoran arisan sosialita itu cuma seratus ribu? Dan lagi, kenapa terselip Ibu Budi di dalam arisan sosialita ini?
Alf dan Willy memasuki pekarangan rumah bergarasi di sisi kanan rumah, dengan taman mini-bukan Indonesia Indah, di sebelah kiri depan rumah. Lampu kelap-kelip bagai bintang di langit, menghiasi pohon-pohon kerdil di pekarangan.
Padahal belum tahun baru, tapi dekorasinya sudah heboh, membangunkan jiwa narsis Alf dan Willy yang ingin ber-wefie atau ber-selfie ria di taman orang. Tapi, mengurungkan niat mereka saat mendapati kamera CCTV bertengger rapi di beberapa sudut rumah.
Setibanya di depan pintu yang bahkan terlihat elegan khas pintu rumah holang kaya, Alf dan Willy tertegun. Rasanya, tangan missqueen mereka enggan mengetuk atau sekedar memencet bel rumah yang berkilau.
Akhirnya, setelah dirundingkan bersama, mereka mengambil keputusan jika Willy yang akan meneriakkan nama si pemilik rumah aka Princess ini.
"PERMISI! BU PRINCESS! HALO!" teriak Willy penuh totalitas.
Belum ada jawaban atau tanda-tanda kehidupan dari dalam rumah.
"Ulang lagi, bro. Lebih bernada," ujar Alf yang diiyakan oleh Willy.
"SPADAA! MADAM PRINCESS! ENIBADI HUMZ! HELLOWW!" teriak Willy yang malah terdengar seperti banci Thailand.
Dan, berhasil!
Sebuah suara sahutan dari dalam rumah terdengar nyaring, senyaring abang-abang yang selalu meneriakkan 'Sayur! Sayur! Sayur 3 ikat 5000!'
Alf dan Willy dibuat penasaran dengan tampang si Princess ini. Dari suaranya, cempreng dan nyaring, gimana perawakannya? Apakah bakalan seperti Rina Nose? Karena sulit membayangkan perawakan Angelina Jolie dengan suara cempreng.
Pintu dibuka perlahan. Alf dan Willy terperangah. Berusaha menahan bibir mereka agar tidak salah berucap. Bisa-bisa habis dibantai.
Seorang wanita tinggi hampir kira-kira 165 cm, dengan tubuh satu kg di bawah Willy-yang beratnya 90 kg, menyambut mereka dengan senyuman genit.
"Halllyuuu...! Abang-abang inih siapah, yah?" tanyanya manja sambil mengedipkan sebelah mata pada Alf. Entah mengapa suaranya yang tadi terdengar cempreng, tiba-tiba berubah manja bin serak-serak becek.
Alf membuang lirikan tolong-atasi-ini pada Willy, yang disambut kikikan pelan dari Willy, dan tatapan atasi-sendiri-aja-bro!
'Alf, to the point aja lalu pulang!' perintah hati kecil Alf.
"Ja..." Alf belum sempat melanjutkan kata-katanya, saat Princess kembali nyerocos.
"Abang yang dari aplikasi cari jodoh itu, yahh? Yang namanya Bang Pepet Terus Sampai Dapet?" Matanya manja membulat penuh harap, wajahnya semringah. Pertanyaan Princess membuat Alf mengerjapkan mata berulang kali.
'Itu nama apa slogan, sih!' jerit hati kecil Alf.
Princess tampak senyum malu-malu tapi genit, sambil memainkan ujung rambutnya. Pandangannya hanya tertuju pada Alf, sedangkan Willy-makhluk tak kasat mata.
"Eh, bukan! Maaf! Salah orang!" Alf menjawab dengan tegas, biar masalah clear, dan bisa pulang buat main game ular lagi.
Wajah Princess berubah drastis dari malu-malu genit, jadi marah-marah galak. "Mau ngapain kalian ke sini! Gak pernah ada cowok ke sini!" ujar Princess ngegas yang kedengaran seperti curhatan, dengan mata melotot sangar, bergantian pada Alf dan Willy.
"Maaf, mbak... Kita cuma mau anterin duit setorannya Ibu Budi," jawab Alf sambil menyodorkan amplop putih yang di belakangnya ternyata sudah tertulis 'IBU BUDI-SETORAN ARISAN SOSIALITA PRINCESS'.
Princess meraih amplop itu dengan kasar.
"Makasih, mb..."
BRAK!
Pintu tertutup di depan mata Alf dan Willy, membuat Alf tidak melanjutkan kata-katanya.
"...mbeekkkk," Willy meneruskan dengan wajah kesal.
Keduanya segera bergegas meninggalkan pelataran rumah holang kaya itu, dengan Willy yang bersungut-sungut tiada henti.
"Besok-besok, jangan mau anterin duit arisan lagi ke sini! Gue gak sudi diperlakukan begitu sama tuh upik abu!" protes Willy terdengar seperti omelan emak-emak lagi marahin anaknya yang ketahuan main lumpur.
Alf hanya terdiam dan menstater motornya. Yang penting tugasnya sudah selesai.
"Shombong amat jadi orang! Padahal Pak Amat aja gak shombong!" lanjut Willy sambil duduk di jok belakang, saat motor sudah menyala.
"Mentang-mentang bisa tinggal di kompleks ginian aja! Udah mandang rendah orang lain!" Willy menumpahkan segala kekesalannya, yang mulai terdengar mengganggu di telinga Alf.
Alf tetap terdiam, dan motor mulai berjalan pelan meninggalkan rumah ala Kevin Home Alone itu.
"Kalau gue ketemu tuh orang di luar gerbang, bakal gue..."
"Ssttt! Diam, dah! Gue gak bisa konsen bawa motor dengerin celotehan lo mulu daritadi!" desis Alf membuat Willy mengunci bibirnya rapat-rapat.
Alf menggelengkan kepala dan kembali berkonsentrasi mengendarai si Astrea, hingga ia tidak menyadari saat mereka keluar gerbang, sebuah BMW lilac yang pernah berpapasan dengan mereka di Lab. Sisilia, sedang meluncur masuk ke dalam gerbang Perumahan Dreamland. Dan menuju entah ke rumah yang mana.
💜💜💜💜💜
Halo! Gimana sampai bab ini? Udah dapet feel komedi putarnya? Eh, gak deng! Komedi, maksud ai!! Jangan lupa komen, ya! Mau garing atau gak, plis komenlah biar aku tau kurang lebihku dalam menulis novel genre sedemikian rupa. Terima kasih !
Waktu menunjukkan pukul 07.59 saat Alf dan Willy mengisi absen elektronik mereka. Napas mereka ngos-ngosan, karena takut bakal terlambat. Bisa-bisa pagi mereka dihiasi dampratan dari Ibu Nover. "Briefing-nya belum dimulai kan?" tanya Alf pada Jessy, si resepsionis yang mukanya agak blasteran, sedang sibuk browsing tempat wisata. "Belum," jawab Jessy tanpa mengalihkan pandangan dari layar handphone, "Ibu Nover aja belum dateng, tuh!" Alf dan Willy bertatapan. "Serius?" Willy menimpali. Tangannya menghentak pinggiran meja resepsionis, karena tak percaya. Kali ini Jessy menatap mereka berdua dengan raut wajah mengandung kekesalan. Ia mengembuskan napas kasar. "Kalo gak percaya, langsung aja ke ruangannya buat ngecek!" decak Jessy sambil melotot, dan kembali melakukan aktivitas browsing-nya. Alf dan Willy secepat kilat melangkahkan kaki menuju
"Lo kenapa, sih, Alf?" Willy beringsut ke arah Alf yang sedang sibuk melakukan uji *fitokimia dari salah satu sampel yang masuk ke laboratorium. Alf hanya menjawab dengan dendangan lagu. Lagu yang baru diciptakan beberapa menit yang lalu. Yang Willy tahu, nadanya menggambarkan hati Alf yang sedang berbunga-bunga, bukan kesedihan sehabis keluar dari ruangan Ibu Nover. "Mencurigakan banget," selidik Willy sambil melirik tajam ke arah Alf, "jangan-jangan, gaji kamu dinaikkin? Kamu doang?!" Alf tidak menjawab dan masih sibuk dengan aktivitasnya, membuat Willy yang merasa dikacangin, jadi sensian. "Tega banget, sih, lo! Gak berbagi dengan sahabat sendiri!" Willy mencebik. Alf melirik ke arah Willy yang juga sedang menatapnya dengan tatapan menyimpan banyak tanya. "Jadi, lo gak mau berbagi sama gue? Sahabat senasib seperjuangan lo? Dalam suka maupun duka?" ulang Willy dramatis dengan menepuk pelan dada—bukan dada bidangnya.
Welcome to malam minggu, malam yang panjang. Malam yang bagi segelintir orang dihabiskan dengan bercengkerama ria bersama keluarga. Bagi sebagian workaholic, malam minggu tetap seperti malam biasanya yang penuh dengan pekerjaan. Dan bagi sebagian orang lagi, khususnya anak muda, malam minggu adalah saat yang tepat buat berkunjung ke rumah pujaan hati. Sedangkan bagi para jombloers, jangan ditanya, bisa perang dunia. Tapi, bagi jomblo bernama Alf, malam minggu kali ini berbeda. Tidak lagi dihabiskan dengan maraton film horor bareng Willy, takutnya kalau nonton drama Korea bisa-bisa jadi halu tingkat tinggi. Jadi, kalau bukan dihabiskan dengan film horor, maka malam minggu dilewati dengan menonton pertunjukan tunggal tarian 'ular disengat listrik' si Willy. Alf sudah mengenakan kemeja putih polos yang biasa dia gunakan kalau mau menghadiri kondangan. Kemeja ini dipakai untuk menunjukkan bahwa dirinya masih polos dan suci. L
Alf masih berdiri terpaku sambil membayangkan perubahan drastis Princess dari putri kecil nan imut dan menggemaskan, menjadi ah-sudahlah, kata Willy tidak boleh ada body shaming. Alf beberapa kali menghela napas panjang, membuat Inn mengernyit. "Kenapa, Alf?" tanya Inn sambil mendekatkan wajahnya pada Alf dan menatap lelaki itu dengan saksama, "ada yang sakit?" Alf menelan ludah. Mendapat tatapan penuh kekhawatiran dari Inn, yang tepat menembus netra cokelat kehitamannya, turun ke jantung, membuat Alf mematung. Jantungnya bak genderang bertalu-talu. Inn masih menatap Alf dengan tatapan khawatir diselipi kepolosan, tidak peka terhadap pria di depan yang wajahnya sudah dipenuhi peluh. "Kok keringat kamu jadi banyak gini? Padahal di sini lagi dingin, loh," Inn memundurkan posisi berdirinya. "Kamu sakit, Alf? Ngomong, dong!" lanjut Inn sambil menggoyangkan lengan Alf. "Engg.... gak!" jawab Alf terbata-bata, sambil cengenges
Alf memarkirkan motor di parkiran cafe yang sudah berjajar banyak motor dengan keanekaragaman model dan warna. Setelah mengaitkan helm milik sendiri dan punya Inn, Alf kembali merapikan kemeja putihnya. Wajahnya sudah tidak ada sisa-sisa keceriaan lagi. Sudah kepalang bahagia ingin malam mingguan sama Inn, ternyata mereka malah reunian bareng sohib SMA mereka. "Siapa aja, sih yang ada di dalam?" Alf bertanya pada Inn, sambil merapikan sisi rambut dan kacamatanya. Inn sibuk mengetikkan sesuatu, tidak menjawab pertanyaan Alf, membuat Alf mengerucutkan bibir. Alf mendesah. "Sia-sia aja," gumam Alf pelan. "Sia-sia kenapa, Alf?" Inn bertanya tiba-tiba sambil menatap wajah Alf yang masih cemberut. "Eh, gak, kok!" sahut Alf. "Yuk, ke dalem! Yang lain udah pada nunggu," ajak Inn sambil mendahului Alf masuk ke cafe. Alf kembali mendesah, "Ternyata bener kata Willy... Gak mungkin, gue malam mingguan bareng c
"Haduhhh, makanya lo sih, kelayapan kagak ngajak-ngajak gue! Begini kan jadinya!" Willy terlihat sedang meremas handuk kecil hasil rendaman air, yang kemudian diletakkan di kening Alf. "Gue udah feeling kalo bakal jadi gini, nih akhirnya! Kualat kan lo sekarang!" omel Willy sambil mengecek kondisi Alf. "Untung lo punya sohib yang kayak gue! Selalu ada di saat jatuh bangunnya lo! Tapi, masih aja lo ke kondangan sendirian!" lanjut Willy sambil menatap Alf yang mulai bersin-bersin. Willy mengibaskan tangannya, "Pulang-pulang bawa penyakit sama virus! Bukan bawa makanan, kek!" Alf berusaha menutup mata, agar bisa terlelap dan lepas dari omelan khas emak-emak si Willy. Dia berharap obat yang diminum bisa segera membuatnya mengantuk. Alf sudah cukup lelah malam ini. Selain lelah hati, karena si gebetan malah meninggalkannya sendiri-yah dengan persetujuan si Alf juga, sih! Tapi, lelah karena kesialan bertubi-tubi
Willy uring-uringan di atas kasur Alf, seperti anak kecil yang minta dibelikan permen, tapi tak dikabulkan. Ia menatap tajam pria berkacamata yang sedang merapikan kaos berlogo buaya berwarna hitamnya. Tangan Willy terlipat di depan dada. Bibirnya mulai monyong. Matanya menyisir Alf dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan mirip ibu-ibu komplek lagi gosip terus yang digosipin muncul. Pria yang ditatapnya tetap santai meski merasa punggungnya merinding karena tatapan Willy. Alf sudah tampak rapi dan bersih, walaupun sesekali Alf terlihat bersin-bersin, membuat Willy tak sabar untuk selalu berdeham keras. "Masih penyakitan tapi nekat jalan juga lo!" Willy membuka suara dengan nada gusar. "Santai, coy! Cuma bersin doang!" jawab Alf cuek sembari merapikan rambutnya. Willy bangkit dari duduk dan melesat mendekati Alf. Dipeganginya kening Alf. Matanya menyipit, menatap tajam Alf. "Ya elah! Lo tuh masih demam, Alf! Bu
Hai, semuanya! Corn Leaf di sini! Cuma mau kasitau, jangan lupa review setelah baca, ya. Biar aku makin semangat nulisnya! Lope! Lope! 🧹🧹🧹🧹🧹🧹🧹 Senin pagi yang indah. Tapi entah mengapa banyak sekali orang-orang yang membenci hari senin. Selalu saja ada yang mengeluh tentang hari senin. Serasa begitu banyak pekerjaan menanti di hari senin. Padahal, harusnya manusia lebih bersyukur, masih bisa menatap hari senin. Tsah! "Masih enam hari lagi..." gumam Willy dengan wajah terkantuk-kantuk. Lelaki gempal itu menyeret langkahnya dengan malas, menapaki anak tangga menuju ke ruang laboratorium. Waktu masih menunjukkan pukul setengah delapan pagi, tapi Willy dan Alf sudah berada di kantor. Tidak seperti biasanya, dimana mereka tiba 10 menit sebelum pukul delapan. "Hari baru tuh harusnya semangat! Pagi-pagi udah loyo! Padahal kemarin sok cera
Terima kasih untuk semua yang sudah menyempatkan diri membaca novel ini. Saya tahu, bahwa novel ini masih jauh dari kesempurnaan, entah dalam penulisan maupun alurnya. Karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun, dari para pembaca. Buat semua yang sudah membaca novel ini, baik yang hanya dibaca, yang sampai masukkin ke rak buku, bahkan yang mengeluarkan duitnya buat buka bab berbayar, ataupun pakai koin gratisan... KALIAN LUAR BIASA! I LOVE YOU, ALL! Tanpa dukungan kalian, novel ini tak berarti apa-apa.Akhir kata, tetap semangat membaca! Tetap semangat menulis! Semoga, kita bisa ketemu lagi di cerita-cerita berikutnya! PS : Yang mau kenalan, yuk kunjungi i*******m @kuandwicka. Ada banyak komik strip atau animasi juga. Thank you! ^^
Memang benar bahwa cinta datang tiba-tiba. Memang benar, bahwa cinta terkadang menunjukkan kepada kita, orang yang tidak pernah kita duga. Memang benar, bahwa cinta penuh misteri. Hanya Sang Pemilik cinta sejati, yang paling tahu apa yang terbaik buat makhluk ciptaan-Nya. Saat kita mendambakan seseorang, yang tidak pernah menginginkan kita. Ada satu hati yang berharap kehadirannya diketahui oleh hati kita. Dan, itulah yang terjadi pada seorang pria gempal, sahabat sejatinya Jacob Alfred, Willy. Willy sedang merapikan peralatan gelas, karena hari ini adalah jadwal piketnya. Alf sudah pamit lebih dahulu, karena katanya mau keluar bareng Inn. Akhir-akhir ini, semenjak punya gandengan, Alf memang jarang pulang bareng Willy. Alhasil, Willy diantar oleh Ellen. Sebenarnya, Willy sudah menolak penawaran Ellen, karena Willy ingin menjadi lelaki mandiri, dengan pulang pakai grab. Tapi, entah kenapa, Ellen terus memaksa, seperti hari ini. Ellen terlihat menunggu dengan sabar, di lorong laborat
Alf menemui Karlinda untuk terakhir kalinya, karena wanita itu memberi kabar bahwa dirinya akan dipindahkan ke daerah lain. Alf pun meminta izin pada Inn, agar bisa menemui Shafa, karena tujuan Alf salah satunya ingin bertemu Shafa. "Boleh... Gak usah minta izin ke aku, kali..." ujar Inn. "Yah... Takutnya, gak ngomong trus kamu tahu sendiri, malah mikir yang gak-gak," jawab Alf. "Aku percaya, kok sama kamu... Nunggu dari SMA aja bisa, masa aku harus curiga sama yang beginian," sahut Inn membuat hidung Alf kembang kempis, saking bangganya pada diri sendiri. Karena sudah mendapat kepercayaan dari sang pujaan hati, Alf pun bergegas ke tempat pertemuannya dengan Inn, tempat mereka bertemu pertama kali di luar urusan kantor, KeEfCe. Shafa terlihat sedang bermain di area permainan dengan wajah bahagia, khas anak-anak. Alf segera menuju ke meja Karlinda. Wanita itu tampak sedang memotret wajah bahagia putri tunggalnya. "Sore mbak!" sapa Alf sambil duduk di hadapan Karlinda. "Hai, Alf!"
Reuni sekolah yang diadakan bersama pentas seni, rupanya tak mau dilewatkan oleh Moiz dan Ui yang berada di kota lain. Mereka meminta cuti 'semester' kedua lebih awal dari biasanya. Namun, tidak bagi Yen yang bekerja pada instansi pemerintahan. Dia hanya bisa gigit jari kali ini karena tak ada kunjungan apapun ke kota Kupang. Ui : Sorry, Yen... Kali ini lo jaga kota Atambua aja, ya. Hahahah... Yen : Ish! Kenapa juga diadainnya hari kamis, gak hari sabtu aja, kek! Alf : Kan sekalian HUT sekolah, Neng! Yen : BETE! Pokoknya jangan ngirimin foto di grup ini! Bakal gue bakar grupnya! Inn : Cup cup cup... Sabar, say... Sabtu turun Kupang, ya... Biar kita jelong-jelong bareng lagi... Mumpung dua sejoli ini ada di sini. Moiz : Ehm... Sorry, tapi Sabtu ini gue udah ada janji... Yen : Janji sama siapa? Moiz : Mau tau aja, atau mau tau banget? Ui : Dia mau ketemu GEBETANNYA! Alf, Yen, Inn : WHAT?! WHO?! Ui : Itu mah gue gak tau. Dia gak ngasitau gue! Moiz : Maaf... Moiz telah meningga
Alf dan Inn sedang jalan-jalan di malam minggu-yang akhirnya dihabiskan Alf dengan PACAR. Keduanya tampak bercanda-tawa di alun-alun kota, sambil menatap berbagai aktivitas di tempat itu. Ada band jalanan, tari-tarian dari para pekerja seni, maupun beragam permainan untuk anak-anak. Meskipun hanya menghabiskan malam minggu 'receh', namun kedua sejoli itu tampak bahagia. Hingga dering ponsel Alf tiba-tiba, terasa mengganggu pendengaran Alf. "Ck! Siapa, sih? Gangguin malam minggu gue aja!" Alf berdecak malas sambil merogoh ponsel dalam saku celananya. Mata Alf membelalak sempurna, saat mendapati nama my mom di layar ponselnya. "Aduh! Emak nelpon? Ada apa, ya?" gumam Alf sambil menggeser tombol hijau di layar. Inn hanya menatapnya dalam diam. "Ya, halo mak!" sapa Alf. "ALF! HALO, ALF!" Suara emak terdengar menggelegar bak membelah telinga Alf. "Aduh, mak... Alf bisa budek kalau emak teriak begitu..." ujar Alf. "Ngomong pelan aja napa, sih?" "Halo, Alf?!" Emak masih terus memanggil n
Honda Grand Astrea melaju dengan pasti memasuki kompleks perumahan Dreamland, dan berhenti di depan sebuah rumah berwarna peach. Alf segera turun dari motor, sambil merapikan rambut dan kemejanya. Merasa bahwa penampilannya masih tampan melebihi Cha Eun Woo, Alf segera melangkahkan kakinya memasuki pekarangan rumah wanita yang sudah menjadi kekasihnya sejak dua bulan lalu. Inn. Alf menarik napas panjang, sebelum memberanikan diri mengetuk pintu rumah itu. Namun, belum sempat Alf melancarkan aksinya, sebuah suara dengan nada melengking, mengejutkannya. "Loooohhhh? Kak Alf!" Princess yang semakin montok, karena katanya Nugo suka sama wanita berisi-sudah berdiri di belakang Alf. "Mau ngejemput kak Inn, ya?" Alf hanya membalasnya dengan nyengir kuda. Meskipun hubungannya dan Princess semakin membaik, karena Inn sudah menceritakan pada Princess bahwa Alf adalah teman masa SMA-nya, yang dulu disukai Princess. Di samping itu, Princess yang sedang berbunga-bunga asmara, karena mendapat paca
Inn berdiri menatap Alf yang masih duduk di bangku, dengan wajah memohon. Memohon agar Inn tidak meninggalkannya. Wanita itu pun kembali duduk di samping Alf, sambil melepaskan tangannya dari genggaman Alf. "Jadi?" tanya Inn dengan pandangan lurus ke depan. Tak beralih pada Alf. Tangannya terlipat di atas perut. Alf menyiapkan pita suaranya, biar tidak tiba-tiba rusak. Beberapa kali terdengar dehamannya, membuat Inn mencebik. "Sebelumnya... Aku mau nanya sesuatu ke kamu dulu," ujar Alf. "Apa?" "Waktu itu... Saat kamu lagi makan bareng Nugo dan Princess, aku ngomong sesuatu... Tapi, kamu belum ngasih jawaban ke aku," jawab Alf. Wajahnya mulai terlihat serius. "Oooohhhh, yang waktu itu?" Inn memanjangkan nada suaranya. "Bener banget! Aku juga mau minta penjelasan kamu soal itu!" Kali ini Inn sudah berbalik cepat-menatap tajam Alf, tepat di matanya. Telunjuknya mengarah ke dada pria itu. Matanya perlahan menyipit, membuat Alf malah terheran-heran. "Apa maksud kamu gak suka aku jal
Alf masih berdiri terpaku, begitu juga Inn. Hingga ibu Nover menyadarkan Inn, bahwa mereka harus segera turun dari panggung. Inn dengan kikuknya berjalan menuruni tangga, tapi pandangan Alf terus melekat padanya. Seolah tidak mau melepaskan wanita itu dan menghilang di keramaian. Willy yang masih duduk, menatap Karlinda dengan senyum simpul menghiasi wajah cantiknya. Willy sudah merasakan sakit hati akibat wanita pujaannya bersama lelaki lain. Dia mengerti jika saat ini Karlinda mungkin saja merasakan hal yang sama dengannya. Dia hanya bisa membalas wanita itu dengan senyum penuh makna. Alf masih bergeming, seolah tubuhnya tak ingin duduk. Tak mau melewatkan tatapan Inn yang begitu hangat padanya. Ya, wanita itu sedang melangkahkan kakinya menuju Alf, dengan adegan slow motion dalam pandangan Alf. Senyum terukir di bibir Inn, membuat Alf kepanasan dengan detak jantung tak beraturan. Padahal sedang berada di luar ruangan dengan angin sepoi-sepoi, tapi Alf mala
Acara pesta berlangsung dengan meriah dan penuh sukacita. Setelah beberapa sambutan, termasuk sambutan dari Ibu Nover, kini tibalah acara ramah-tamah. Semua tamu yang diperkirakan sekitar 500 orang, dipersilahkan menikmati santapan yang telah disediakan di beberapa bagian taman. Makanan Indonesia maupun luar, tersaji di atas beberapa buah meja panjang, yang dijaga oleh para pramusaji. Alf, Karlinda, Jessy dan Boy pun segera melangkahkan kaki menuju meja yang ingin mereka cicipi makanannya. Dan tidak disangka, mereka berpapasan dengan Ellen, Willy, serta Merlin yang datang sendirian. Alf bisa menangkap raut wajah tak percaya dari Willy, saat mendapati wanita pujaannya datang bersama si sekuriti yang baru sebulan bekerja di Lab. Sisilia. Tapi, berbeda dengan Willy, Merlin malah memperlihatkan tatapan 'apa gue bilang!' Tatapan Willy juga serupa tatapan Ellen, saat melihat gandengan Alf adalah temannya, Karlinda. Ellen hanya mengangkat telunjuknya sambil mengarah