Suasana di ruangan Ibu Nover begitu mencekam dan kelabu. Tampak Alf dan Willy duduk tegak, berdampingan, dengan tumit belakang saling tolak-menolak. Wajah mereka berdua tegang dihiasi keringat bercucuran tak hentinya. Padahal dalam ruangan ber—AC.
Kengerian ini melebihi kengerian saat mereka masuk ke arena horor di taman bermain, atau nonton film psikopat pembunuh. Seolah aura membunuh di ruangan 3x4 meter ini, juga lebih hebat dari aura si Kunti di bawah pohon beringin samping laboratorium, yang biasa menggoda Willy. Dan kata Alf, itu karena mbak Kunti suka yang gempal-gempal, darahnya lebih banyak. Lah?!Mata mereka berdua sembunyi-sembunyi menatap sosok wanita di hadapan mereka. Tatapan balasan dari wanita berusia 30 tahun itu, bak samurai melesat hingga menembus jantung mereka, yang berdegup tak karuan sedari tadi. Bukan berdegup karena jatuh cinta, melainkan karena merasa sebentar lagi mereka akan mengucapkan salam perpisahan satu sama lain.Ibu Nover, pimpinan Laboratorium Sisilia, bos dari Alf dan Willy, menyandarkan tubuhnya pada kursi putar yang ditutupi sarung kuning motif Winnie The Pooh di bagian sandarannya. Karakter imut kesukaan si bos, tapi perangainya tak seimut Winnie The Pooh. Walah?Wanita itu melipat kedua tangan di depan dadanya."Bisa kalian berdua jelaskan apa yang terjadi di lab? Sampai gagang sapu ini, bisa hancur begini?! Dan setau saya, ini sudah sapu ke sekian yang kalian rusakin!" Ibu Nover menunjuk ke gagang sapu di atas meja kerjanya, yang sudah patah bak hati yang patah karena cinta. Matanya tetap mengarah pada Willy dan Alf bergantian.Alf dan Willy menelan ludah secara kasar."JAWAB!" pekik Ibu Nover sambil meraih gagang sapu yang patah dan menebasnya di atas meja, membuat Alf dan Willy terkejut bukan main.Pandangan Alf dan Willy tertuju ke gagang sapu patah, dan membayangkan jika itu adalah tubuh atau paling tidak kepala mereka!Ibu Nover melotot, mengintimidasi. Tatapannya tak sabar."Jadi, begini, Bu..."Alf dan Willy menjawab serempak dengan kedua tangan gemetaran terangkat sejajar dada, sambil menunduk sedikit. Niatan hati sudah mantap ingin menjelaskan dengan versi mereka, sehingga dibukakan pintu pengampunan.Kedua pria itu saling menatap dengan mulut menganga, karena jawaban yang keluar dari bibir mereka sama. Senada. Seirama.Ibu Nover mengernyit dan memandangi mereka berdua bergantian.Willy mendengus. "Kok, lo ikut-ikutan, sih! Kan gue yang mau jelasin!" sergah Willy sambil menegakkan posisi duduknya dan menebar senyum paksa dengan gigi yang dirapatkan."Lah! Ibu Nover tuh matanya ngelihat ke gue, artinya nanya gue!" Alf membela diri sewot."Tapi, lo gak denger, Ibu Nover nanyanya pake kata KALIAN! K-A-L-I-A-N! Artinya bukan lo aja, tapi gue juga! KITA!" sahut Willy memberi penekanan."Eh, dimana-mana orang liatnya dari tatapan mata! Kan ada lagunya dari mata turun ke hati!" balas Alf sambil melengkingkan nada 8 oktaf falsnya, dengan jari menunjuk ke mata meluncur ke hati alias dadanya.Raut wajah Ibu Nover sudah tak beraturan. Urat kemarahan mulai muncul di sekeliling kening karena ulah kedua manusia di hadapannya."Bisa-bisanya lo aja ngomong begitu! Padahal jelas-jelas Ibu Nover bilangnya KALIAN!" Willy masih kekeuh dengan argumennnya. Ia menggelengkan kepala kasar. Nada mengejek terlantun indah."Ya, udah! Lo salahin aja Ibu Nover karna nanyanya ambigu!" Alf merentangkan tangannya.Willy berbalik cepat dan melotot pada Alf, membuat Alf sadar telah menginjak ranjau bunuh diri. Ia langsung mengatup bibir rapat-rapat.'Dasar, bibir gak tau diri!' umpat Alf dalam hati.Ingin rasanya Alf mengganti bibirnya dengan bibir Andrew Russell Garfield si Spiderman atau Eminem, yang lebih berfaedah. Daripada bibir suka nyerocos tanpa pandang bulu ini.Keduanya menoleh perlahan ke arah wanita di hadapan mereka. Aura panas membara tampak siap meledak dari kepala wanita itu. Tatapannya menunjukkan api kemarahan yang berkobar. Wajah Ibu Nover sudah merah padam. Perlahan-lahan wanita itu beranjak dari kursi, dengan kedua tangan menumpu di meja.Alf dan Willy bersandar rapat pada kursi mereka dan menggenggam erat dudukan kursi. Tubuh mereka gemetaran menangkap sinyal bahaya. Peluh mengucur deras dari kening mereka, meluncur mantap ke dagu mereka. Wajah mereka ketakutan seperti melihat Sadako keluar dari televisi."Ma... Mati... kita..." Suara Willy tercekat di kerongkongan. Ia melirik Alf yang juga balas menatapnya. Tatapan mereka tercetak jelas huruf S.O.S.Bola mata Ibu Nover bak menyemburkan laser, menancap ke tubuh mereka berdua."KALIAN BERDUA!" Petir menyambar-nyambar, gemuruh berdatangan, langit bumi bergejolak. Dalam bayangan Alf dan Willy, seketika Ibu Nover berubah menjadi Medusa, dengan rambut ular meliuk-liuk di kepala."TIDAK ADA LIBUR SELAMA SEBULAN INI! TIDAK ADA CUTI TAHUN INI! GAJI BULAN INI DIPOTONG BUAT BELI SATU LUSIN SAPU IJUK!"Teriakan Ibu Nover menggelegar di penjuru ruangan. Napasnya seolah angin puting beliung yang memporak-porandakan seisi ruangan, termasuk Alf dan Willy. Mereka sampai memegang ujung meja agar tidak ikut terhempas hembusan nafas api Ibu Nover.Oke! Demikianlah yang terjadi dalam imajinasi kedua bocah terlanjur gede, tapi tidak dewasa tersebut.Setelah meluapkan amarah yang berkobar dahsyat, Ibu Nover mengatur napas, merapikan blusnya dan duduk kembali dengan anggun seolah tidak terjadi apa-apa.Alf dan Willy masih menganga, dengan tatapan terkejut, dan tangan menggenggam dudukan kursi."Kembali ke ruangan kalian," ujar Ibu Nover santai, menatap lurus ke depan dengan tangan kanan terangkat, mempersilahkan. Tidak lupa senyum simpul menghiasi bibir tipis berwarna merah maroon itu. Senyum yang hanya sekelebat ditunjukkannya.Alf dan Willy beranjak dari kursi penghakiman meraka. Tubuh mereka lunglai tak bertenaga. Terlebih lagi, kenyataan pedih tak mendapat cuti dan libur selama sebulan, bahkan gaji dipotong demi membeli selusin sapu ijuk.Kedua pria itu menarik napas panjang saat tiba di ruangan laboratorium. Mereka bertatapan."Gara-gara sapu ijuk ...." ujar mereka bersama.🧹🧹🧹Wanita itu melangkah pasti menyusuri lorong kampus Universitas Widya Mandira, salah satu universitas swasta terbaik di kota Kupang. Hentakan lembut tapi berirama yang diciptakan pantofel hitam 5 cm, membuat setiap mata yang sedang sibuk, refleks menatapnya.Rambut cokelat sepunggung—curly—namun teratur bak habis terkena pengeriting rambut, tersibak rapi nan cantik oleh angin. Bahkan angin seolah-olah juga tahu mana rambut yang tepat untuk disibak.Blus sifon berwarna lilac dengan model leher bulat yang diberi aksen renda dan pita, melekat rapi di kulit putih bersihnya. Tidak lupa celana panjang hitam, dengan bagian kaki sedikit melebar, jatuh sempurna di kaki jenjangnya.Wanita itu melangkah penuh percaya diri dengan tas tangan berbahan kulit, kombinasi tenun asli. Ia juga terlihat memeluk sebuah map plastik hijau dengan beberapa kertas folio bergaris terlihat samar-samar di dalamnya.Almond eyes dengan bola mata cokelat gelap itu, menatap lurus ke lorong di hadapan yang seolah membiarkan wanita itu menyusurinya. Sesekali ia berbalik sambil menganggukkan kepala ke arah orang-orang yang menyapa.Senyum dari bibir belah berwarna merah menyala yang menggemaskan, juga berhasil menggoda beberapa pria yang menatap wanita itu. Meskipun ia tak berniat menggoda mereka.Wanita itu memasuki sebuah ruangan yang cukup luas untuk menampung sekitar sepuluh kubikel, yang dibatasi papan putih setinggi dada. Ia menuju ke kubikel ketiga di sebelah kiri dari pintu masuk. Bilik paling belakang, tepat di depan jendela kaca besar yang mengarah ke lapangan basket di luar sana.Ia meletakkan tas tangan dan map plastik dengan rapi di atas meja, kemudian membuka jendela kaca di sisinya.Wanita itu menarik kursi dengan roda di bagian kaki kursi, dan duduk dengan elegan. Jemarinya mengumpulkan rambut, untuk kemudian diikat kuncir kuda, yang semakin menambah nilai pesona wanita itu.Ia membuka notebook berlogo apel tergigit. Tidak lupa juga kertas folio bergaris di dalam map, dikeluarkannya. Matanya bergerak cepat mengikuti tulisan-tulisan yang berjajar rapi, maupun berantakan di atas folio bergaris itu. Sesaat kemudian, jemari lentik itu sudah menari di atas tombol-tombol notebook yang sarungnya berwarna lilac.Raut wajah wanita itu serius. Tatapannya tajam dan teliti, memeriksa tiap angka yang dituliskan di dalam tabel berisi nama-nama.Beberapa saat kemudian, ia mengambil jeda dan beranjak dari kursi, menuju ke ruangan kecil di sudut lain, sambil menggenggam sebuah botol Tupperware lilac. Wanita itu menuangkan air dispenser ke dalam botol minumnya, hingga hampir penuh. Dia lalu bersandar di tembok dan menengadah ke atas, dengan mata terpejam. Tarikan napasnya lembut. Merasa lega, ia meneguk minumannya.Sesaat kemudian, ia kembali dengan langkah pasti, menuju ke kubikel. Senyum dan anggukkan seadanya mengembang pada siapapun yang tertangkap basah menatap wanita itu dengan kikuk.💜💜💜Wah! Wah! Siapa, ya si lilac yang jadi pusat perhatian itu? Penasaran? Pantengin terus cerita ini, ya... Jangan lupa kritik dan saran yang membangun, demi perkembangan tulisanku ke depannya. Terima kasih!
Alf masih berusaha menstarter motor tuanya dengan susah payah. Peluh mulai bercucuran dari keningnya. Kacamatanya juga mulai buram. Dan sudah 10 menit Willy bertopang dagu, menunggu tebengan di motor Alf yang kebetulan satu kosan. Motor itu memang sering macet tanpa aba-aba terlebih dahulu, jangan diragukan lagi. Namanya juga motor tua. Alf dan Willy sudah banyak makan asam garam dengan motor legend ini, baik suka maupun duka. Tapi, tetap saja, karena sukanya dilalui bareng Willy, bukan sama cewek, jadi sebuah duka bagi Alf. Pengalaman paling terukir jelas dalam benak mereka berdua, saat mereka dalam perjalanan ke Laboratorium Sisilia, untuk interview kerja. Bayangkan saja, saat mereka keluar dari gerbang kos, mentari masih bersinar begitu terik sampai tidak terbersit bakal mendung apalagi turun hujan. Tapi, nahasnya, hanya jarak 100 meter dari laboratorium, alam berulah begitu juga s
Alf baru saja selesai mandi, saat handphone androidnya yang terbalut casing Naruto, berdering di atas nakas. Buru-buru ia meraih handphone itu, dan mendapati nama My Mom tertera di layar. Ujung bibir Alf terangkat, membentuk senyuman bahagia. Dengan hati riang gembira macam anak kecil diajak nonton karnaval, Alf langsung menggeser logo telepon berwarna hijau. "My mooommmmmm!" seru Alf sambil menghempaskan tubuh ke atas kasur berseprei mawar merah pemberian emak, yang diwanti-wanti harus digunakan, biar tidak perlu beli baru lagi. Emaknya Alf, yang dipanggil mom sama Alf, memang punya segudang seprei bunga-bungaan di rumah. Baik hasil berburu diskon di mall, ngutang di Mbak pedagang seprei keliling, atau hadiah ulang tahun dari adiknya, Tante Ismi, yang punya online shop jualan seprei. Ampun, dah! Hal ini yang selalu menjadi t
Alf sedang asyik memainkan game ular di handphone sambil rebahan, saat pintu kamar kosnya tiba-tiba diketuk dengan menggebu-gebu oleh seseorang. Dengan malas dan tanpa beranjak semili pun, Alf hanya berdecak kesal. Lebih asyik memainkan game ular gratisannya. "Alf! Kamu di dalem kan!" Teriakan Ibu Budi, karena anaknya bernama Budi, yang juga pemilik kosan sontak membuat Alf melompat dari rebahannya. "Iya, bu! Tunggu bentar, lagi ganti baju!" sahut Alf berbohong demi menyelamatkan diri. "Cepetan bukain pintunya! Ibu ada perlu, nih! Imijetli (maksudnya immediately)!" 'Ck! Gangguin orang lagi rebahan aja, nih! Lagian apes banget gue yang dihantui Ibu kosan, bukan si Willy aja!' Alf merutuki kesialannya dalam hati. Semua penghuni kos, mulai dari manusia sampai makhluk tak kasat mata, sudah tahu perangai Ibu Budi. Kalau ketahuan lagi re
"Belok kiri!" Willy yang sedang duduk di jok belakang, dengan hp berisi pesan suara Ibu Budi yang menempel di telinganya, memberi arahan pada Alf. "Abis ini ke mana!" tanya Alf setengah berteriak, tapi belum mendapat jawaban dari Willy, saking riuhnya jalanan dengan kendaraan meskipun sudah pukul 21.00. Ditambah lagi, Willy sedang konsentrasi penuh menyeleksi suara Ibu Budi dan Pak Budi di tengah suara kendaraan yang lalu lalang di sekitar mereka. Alf melepaskan tangan kirinya dari setang motor dan menepuk-nepuk kaki Willy, membuat Willy tersadar. "Apaan!" Willy memajukan kepalanya ke pundak kiri Alf. "Abis ini ke mana!" teriak Alf sambil menoleh sedikit ke arah Willy. "Katanya lurus aja sampai dapet kompleks perumahan!" jawab Willy yang disambut anggukan Alf. Motor tetap melaju dengan stabil di kecepatan 20 km/jam. Maklumlah, Alf ini sejenis pria langka. Saat sedang
Waktu menunjukkan pukul 07.59 saat Alf dan Willy mengisi absen elektronik mereka. Napas mereka ngos-ngosan, karena takut bakal terlambat. Bisa-bisa pagi mereka dihiasi dampratan dari Ibu Nover. "Briefing-nya belum dimulai kan?" tanya Alf pada Jessy, si resepsionis yang mukanya agak blasteran, sedang sibuk browsing tempat wisata. "Belum," jawab Jessy tanpa mengalihkan pandangan dari layar handphone, "Ibu Nover aja belum dateng, tuh!" Alf dan Willy bertatapan. "Serius?" Willy menimpali. Tangannya menghentak pinggiran meja resepsionis, karena tak percaya. Kali ini Jessy menatap mereka berdua dengan raut wajah mengandung kekesalan. Ia mengembuskan napas kasar. "Kalo gak percaya, langsung aja ke ruangannya buat ngecek!" decak Jessy sambil melotot, dan kembali melakukan aktivitas browsing-nya. Alf dan Willy secepat kilat melangkahkan kaki menuju
"Lo kenapa, sih, Alf?" Willy beringsut ke arah Alf yang sedang sibuk melakukan uji *fitokimia dari salah satu sampel yang masuk ke laboratorium. Alf hanya menjawab dengan dendangan lagu. Lagu yang baru diciptakan beberapa menit yang lalu. Yang Willy tahu, nadanya menggambarkan hati Alf yang sedang berbunga-bunga, bukan kesedihan sehabis keluar dari ruangan Ibu Nover. "Mencurigakan banget," selidik Willy sambil melirik tajam ke arah Alf, "jangan-jangan, gaji kamu dinaikkin? Kamu doang?!" Alf tidak menjawab dan masih sibuk dengan aktivitasnya, membuat Willy yang merasa dikacangin, jadi sensian. "Tega banget, sih, lo! Gak berbagi dengan sahabat sendiri!" Willy mencebik. Alf melirik ke arah Willy yang juga sedang menatapnya dengan tatapan menyimpan banyak tanya. "Jadi, lo gak mau berbagi sama gue? Sahabat senasib seperjuangan lo? Dalam suka maupun duka?" ulang Willy dramatis dengan menepuk pelan dada—bukan dada bidangnya.
Welcome to malam minggu, malam yang panjang. Malam yang bagi segelintir orang dihabiskan dengan bercengkerama ria bersama keluarga. Bagi sebagian workaholic, malam minggu tetap seperti malam biasanya yang penuh dengan pekerjaan. Dan bagi sebagian orang lagi, khususnya anak muda, malam minggu adalah saat yang tepat buat berkunjung ke rumah pujaan hati. Sedangkan bagi para jombloers, jangan ditanya, bisa perang dunia. Tapi, bagi jomblo bernama Alf, malam minggu kali ini berbeda. Tidak lagi dihabiskan dengan maraton film horor bareng Willy, takutnya kalau nonton drama Korea bisa-bisa jadi halu tingkat tinggi. Jadi, kalau bukan dihabiskan dengan film horor, maka malam minggu dilewati dengan menonton pertunjukan tunggal tarian 'ular disengat listrik' si Willy. Alf sudah mengenakan kemeja putih polos yang biasa dia gunakan kalau mau menghadiri kondangan. Kemeja ini dipakai untuk menunjukkan bahwa dirinya masih polos dan suci. L
Alf masih berdiri terpaku sambil membayangkan perubahan drastis Princess dari putri kecil nan imut dan menggemaskan, menjadi ah-sudahlah, kata Willy tidak boleh ada body shaming. Alf beberapa kali menghela napas panjang, membuat Inn mengernyit. "Kenapa, Alf?" tanya Inn sambil mendekatkan wajahnya pada Alf dan menatap lelaki itu dengan saksama, "ada yang sakit?" Alf menelan ludah. Mendapat tatapan penuh kekhawatiran dari Inn, yang tepat menembus netra cokelat kehitamannya, turun ke jantung, membuat Alf mematung. Jantungnya bak genderang bertalu-talu. Inn masih menatap Alf dengan tatapan khawatir diselipi kepolosan, tidak peka terhadap pria di depan yang wajahnya sudah dipenuhi peluh. "Kok keringat kamu jadi banyak gini? Padahal di sini lagi dingin, loh," Inn memundurkan posisi berdirinya. "Kamu sakit, Alf? Ngomong, dong!" lanjut Inn sambil menggoyangkan lengan Alf. "Engg.... gak!" jawab Alf terbata-bata, sambil cengenges
Terima kasih untuk semua yang sudah menyempatkan diri membaca novel ini. Saya tahu, bahwa novel ini masih jauh dari kesempurnaan, entah dalam penulisan maupun alurnya. Karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun, dari para pembaca. Buat semua yang sudah membaca novel ini, baik yang hanya dibaca, yang sampai masukkin ke rak buku, bahkan yang mengeluarkan duitnya buat buka bab berbayar, ataupun pakai koin gratisan... KALIAN LUAR BIASA! I LOVE YOU, ALL! Tanpa dukungan kalian, novel ini tak berarti apa-apa.Akhir kata, tetap semangat membaca! Tetap semangat menulis! Semoga, kita bisa ketemu lagi di cerita-cerita berikutnya! PS : Yang mau kenalan, yuk kunjungi i*******m @kuandwicka. Ada banyak komik strip atau animasi juga. Thank you! ^^
Memang benar bahwa cinta datang tiba-tiba. Memang benar, bahwa cinta terkadang menunjukkan kepada kita, orang yang tidak pernah kita duga. Memang benar, bahwa cinta penuh misteri. Hanya Sang Pemilik cinta sejati, yang paling tahu apa yang terbaik buat makhluk ciptaan-Nya. Saat kita mendambakan seseorang, yang tidak pernah menginginkan kita. Ada satu hati yang berharap kehadirannya diketahui oleh hati kita. Dan, itulah yang terjadi pada seorang pria gempal, sahabat sejatinya Jacob Alfred, Willy. Willy sedang merapikan peralatan gelas, karena hari ini adalah jadwal piketnya. Alf sudah pamit lebih dahulu, karena katanya mau keluar bareng Inn. Akhir-akhir ini, semenjak punya gandengan, Alf memang jarang pulang bareng Willy. Alhasil, Willy diantar oleh Ellen. Sebenarnya, Willy sudah menolak penawaran Ellen, karena Willy ingin menjadi lelaki mandiri, dengan pulang pakai grab. Tapi, entah kenapa, Ellen terus memaksa, seperti hari ini. Ellen terlihat menunggu dengan sabar, di lorong laborat
Alf menemui Karlinda untuk terakhir kalinya, karena wanita itu memberi kabar bahwa dirinya akan dipindahkan ke daerah lain. Alf pun meminta izin pada Inn, agar bisa menemui Shafa, karena tujuan Alf salah satunya ingin bertemu Shafa. "Boleh... Gak usah minta izin ke aku, kali..." ujar Inn. "Yah... Takutnya, gak ngomong trus kamu tahu sendiri, malah mikir yang gak-gak," jawab Alf. "Aku percaya, kok sama kamu... Nunggu dari SMA aja bisa, masa aku harus curiga sama yang beginian," sahut Inn membuat hidung Alf kembang kempis, saking bangganya pada diri sendiri. Karena sudah mendapat kepercayaan dari sang pujaan hati, Alf pun bergegas ke tempat pertemuannya dengan Inn, tempat mereka bertemu pertama kali di luar urusan kantor, KeEfCe. Shafa terlihat sedang bermain di area permainan dengan wajah bahagia, khas anak-anak. Alf segera menuju ke meja Karlinda. Wanita itu tampak sedang memotret wajah bahagia putri tunggalnya. "Sore mbak!" sapa Alf sambil duduk di hadapan Karlinda. "Hai, Alf!"
Reuni sekolah yang diadakan bersama pentas seni, rupanya tak mau dilewatkan oleh Moiz dan Ui yang berada di kota lain. Mereka meminta cuti 'semester' kedua lebih awal dari biasanya. Namun, tidak bagi Yen yang bekerja pada instansi pemerintahan. Dia hanya bisa gigit jari kali ini karena tak ada kunjungan apapun ke kota Kupang. Ui : Sorry, Yen... Kali ini lo jaga kota Atambua aja, ya. Hahahah... Yen : Ish! Kenapa juga diadainnya hari kamis, gak hari sabtu aja, kek! Alf : Kan sekalian HUT sekolah, Neng! Yen : BETE! Pokoknya jangan ngirimin foto di grup ini! Bakal gue bakar grupnya! Inn : Cup cup cup... Sabar, say... Sabtu turun Kupang, ya... Biar kita jelong-jelong bareng lagi... Mumpung dua sejoli ini ada di sini. Moiz : Ehm... Sorry, tapi Sabtu ini gue udah ada janji... Yen : Janji sama siapa? Moiz : Mau tau aja, atau mau tau banget? Ui : Dia mau ketemu GEBETANNYA! Alf, Yen, Inn : WHAT?! WHO?! Ui : Itu mah gue gak tau. Dia gak ngasitau gue! Moiz : Maaf... Moiz telah meningga
Alf dan Inn sedang jalan-jalan di malam minggu-yang akhirnya dihabiskan Alf dengan PACAR. Keduanya tampak bercanda-tawa di alun-alun kota, sambil menatap berbagai aktivitas di tempat itu. Ada band jalanan, tari-tarian dari para pekerja seni, maupun beragam permainan untuk anak-anak. Meskipun hanya menghabiskan malam minggu 'receh', namun kedua sejoli itu tampak bahagia. Hingga dering ponsel Alf tiba-tiba, terasa mengganggu pendengaran Alf. "Ck! Siapa, sih? Gangguin malam minggu gue aja!" Alf berdecak malas sambil merogoh ponsel dalam saku celananya. Mata Alf membelalak sempurna, saat mendapati nama my mom di layar ponselnya. "Aduh! Emak nelpon? Ada apa, ya?" gumam Alf sambil menggeser tombol hijau di layar. Inn hanya menatapnya dalam diam. "Ya, halo mak!" sapa Alf. "ALF! HALO, ALF!" Suara emak terdengar menggelegar bak membelah telinga Alf. "Aduh, mak... Alf bisa budek kalau emak teriak begitu..." ujar Alf. "Ngomong pelan aja napa, sih?" "Halo, Alf?!" Emak masih terus memanggil n
Honda Grand Astrea melaju dengan pasti memasuki kompleks perumahan Dreamland, dan berhenti di depan sebuah rumah berwarna peach. Alf segera turun dari motor, sambil merapikan rambut dan kemejanya. Merasa bahwa penampilannya masih tampan melebihi Cha Eun Woo, Alf segera melangkahkan kakinya memasuki pekarangan rumah wanita yang sudah menjadi kekasihnya sejak dua bulan lalu. Inn. Alf menarik napas panjang, sebelum memberanikan diri mengetuk pintu rumah itu. Namun, belum sempat Alf melancarkan aksinya, sebuah suara dengan nada melengking, mengejutkannya. "Loooohhhh? Kak Alf!" Princess yang semakin montok, karena katanya Nugo suka sama wanita berisi-sudah berdiri di belakang Alf. "Mau ngejemput kak Inn, ya?" Alf hanya membalasnya dengan nyengir kuda. Meskipun hubungannya dan Princess semakin membaik, karena Inn sudah menceritakan pada Princess bahwa Alf adalah teman masa SMA-nya, yang dulu disukai Princess. Di samping itu, Princess yang sedang berbunga-bunga asmara, karena mendapat paca
Inn berdiri menatap Alf yang masih duduk di bangku, dengan wajah memohon. Memohon agar Inn tidak meninggalkannya. Wanita itu pun kembali duduk di samping Alf, sambil melepaskan tangannya dari genggaman Alf. "Jadi?" tanya Inn dengan pandangan lurus ke depan. Tak beralih pada Alf. Tangannya terlipat di atas perut. Alf menyiapkan pita suaranya, biar tidak tiba-tiba rusak. Beberapa kali terdengar dehamannya, membuat Inn mencebik. "Sebelumnya... Aku mau nanya sesuatu ke kamu dulu," ujar Alf. "Apa?" "Waktu itu... Saat kamu lagi makan bareng Nugo dan Princess, aku ngomong sesuatu... Tapi, kamu belum ngasih jawaban ke aku," jawab Alf. Wajahnya mulai terlihat serius. "Oooohhhh, yang waktu itu?" Inn memanjangkan nada suaranya. "Bener banget! Aku juga mau minta penjelasan kamu soal itu!" Kali ini Inn sudah berbalik cepat-menatap tajam Alf, tepat di matanya. Telunjuknya mengarah ke dada pria itu. Matanya perlahan menyipit, membuat Alf malah terheran-heran. "Apa maksud kamu gak suka aku jal
Alf masih berdiri terpaku, begitu juga Inn. Hingga ibu Nover menyadarkan Inn, bahwa mereka harus segera turun dari panggung. Inn dengan kikuknya berjalan menuruni tangga, tapi pandangan Alf terus melekat padanya. Seolah tidak mau melepaskan wanita itu dan menghilang di keramaian. Willy yang masih duduk, menatap Karlinda dengan senyum simpul menghiasi wajah cantiknya. Willy sudah merasakan sakit hati akibat wanita pujaannya bersama lelaki lain. Dia mengerti jika saat ini Karlinda mungkin saja merasakan hal yang sama dengannya. Dia hanya bisa membalas wanita itu dengan senyum penuh makna. Alf masih bergeming, seolah tubuhnya tak ingin duduk. Tak mau melewatkan tatapan Inn yang begitu hangat padanya. Ya, wanita itu sedang melangkahkan kakinya menuju Alf, dengan adegan slow motion dalam pandangan Alf. Senyum terukir di bibir Inn, membuat Alf kepanasan dengan detak jantung tak beraturan. Padahal sedang berada di luar ruangan dengan angin sepoi-sepoi, tapi Alf mala
Acara pesta berlangsung dengan meriah dan penuh sukacita. Setelah beberapa sambutan, termasuk sambutan dari Ibu Nover, kini tibalah acara ramah-tamah. Semua tamu yang diperkirakan sekitar 500 orang, dipersilahkan menikmati santapan yang telah disediakan di beberapa bagian taman. Makanan Indonesia maupun luar, tersaji di atas beberapa buah meja panjang, yang dijaga oleh para pramusaji. Alf, Karlinda, Jessy dan Boy pun segera melangkahkan kaki menuju meja yang ingin mereka cicipi makanannya. Dan tidak disangka, mereka berpapasan dengan Ellen, Willy, serta Merlin yang datang sendirian. Alf bisa menangkap raut wajah tak percaya dari Willy, saat mendapati wanita pujaannya datang bersama si sekuriti yang baru sebulan bekerja di Lab. Sisilia. Tapi, berbeda dengan Willy, Merlin malah memperlihatkan tatapan 'apa gue bilang!' Tatapan Willy juga serupa tatapan Ellen, saat melihat gandengan Alf adalah temannya, Karlinda. Ellen hanya mengangkat telunjuknya sambil mengarah