Untungnya, ada orang lain yang memanggilnya.
Kini aku sedang di toilet untuk buang air kecil dan sedikit memperbaiki make up.
Setelahnya, aku pun keluar. Namun, tanpa sengaja aku bertemu lagi dengan Jendra yang juga baru keluar toilet laki-laki!
"Sial banget sih, kenapa harus ketemu lagi?" gerutuku pelan.
Tanpa bisa menghindar, aku berjalan santai kembali menuju ballroom dan saat melewati Jendra, aku hanya melempar senyum untuk menyapanya karena aku tidak ingin dianggap sok kenal dengan berbasa-basi dengannya.
"Habis dari toilet Del?" sapanya.
Menghembuskan nafas pelan, aku berbalik badan menghadap Jendra untuk menjawab basa basinya. "Iya Dra, lo,..aduh sorry maksudku kamu udah mau cabut sekarang?" tanyaku saat kulihat asisten dan beberapa pengawalnya terlihat bersiap meninggalkan ballroom hotel.
"Udah gue bilang, santai aja. Sesantainya lo aja, ga usah formal-formal sama gue, lo bukan bawahan gue.” Ucapnya dengan santai. “Iya, masih ada kerjaan yang harus gue urus. Gue pamit dulu ya, nice to meet you again, Dela."
"Ah iya, nice to meet you too," balasku pada Jendra.
Begitu Jendra berjalan keluar ballroom dan masuk ke dalam mobilnya yang sudah standby didepan, aku melanjutkan langkah kembali ke mejaku. Disana Tina sudah menungguku.
"Lama banget sih di toilet, lo boker ya?" Sembur Tina saat aku duduk kembali ke kursiku.
"Antri tadi toiletnya, makanya lama." Dustaku pada Tina.
"Masih lama acaranya?gue boring pengen cepet pulang deh."
"Bentar lagi selesai kayaknya, sabar bentar lah. Jarang-jarang kita kumpul kayak gini"
Dengan penuh kesabaran, aku menunggu acara selesai. Sejujurnya aku kurang nyaman berada disini, karena banyak yang aku tidak kenal, ya bisa di bilang aku lupa dengan beberapa teman-temanku. Dan aku sedikit tidak enak dengan mereka, saat mereka mengingatku, sedangkan aku lupa pada nama mereka. Aku memang mempunyai kekurangan dalam mengingat nama orang, terkadang aku mengingat wajahnya, tapi lupa dengan namanya.
***Tepat pukul tujuh malam, reuni selesai juga. Aku dan Tina saat ini sedang dalam perjalanan pulang."Lo tahu gak, Del, waktu lo ke toilet, temen-temen pada penasaran soal lo yang disapa duluan sama Jendra."
"Terserah Jendra-lah mau nyapa siapa, itu hak dia. Mungkin karena gue baru kali ini ikut reuni lagi, makanya dia nyapa gue. Yang lainnya, kan, udah sering ikut reuni," sahutku malas-malasan dengan kepala yang kusandarkan pada sandaran kursi mobil.
"Hm ... bisa jadi, sih, 14 tahun setelah lulus baru kali ini lo mau ikutan reuni."
Tina masih melanjutkan obrolan, "Terus, ya, lagian lo juga dulu selalu sekelas sama dia selama tiga tahun. Pantes aja, sih, dia ngenalin lo banget."
Bener juga. Aku terdiam, tidak membantah Tina lagi meski merasa aku dan Jendra sebenarnya tidak sedekat itu. Hanya teman sekelas, tidak ada yang spesial dan tidak pernah berpacaran juga.
Sudahlah. Memang paling benar aku tidak membalas apa-apa lagi. Lihat, Tina diam sekarang. Selama sisa perjalanan, kami tidak membahas Jendra lagi.
"Besok jangan lupa car free day sama gue, Del."
"Iya, gue gak lupa, udah pasang alarm. Lo yang jangan ngaret, gue males kalau udah siang, pasti panas sama rame." Yah, karena terkadang Tina sendiri yang susah bangun pagi.
***"Halo, Dela, gue udah di depan rumah lo. Buruan turun sebelum tambah panas.""Iya, iya, ini lagi pake sepatu." Setelah menjawab telepon Tina, aku lanjut memakai sepatuku.
"Mau ke mana, Kak? Tumben liburan jam segini udah bangun," tanya Stevan yang heran melihatku pagi-pagi sudah rapi.
"Mau Car free day-an sama Tina. Dah, ya, gue berangkat dulu. Bye!" pamitku, yang dijawab lambaian tangan oleh Stevan.
Selama perjalanan, kami hanya mengobrol ringan. Kali ini untungnya Tina tidak membahas lagi acara reuni semalam.
Sesampainya di lokasi car free day, Tina memarkirkan mobilnya di pelataran parkir yang disediakan di sepanjang sisi jalan. Dari dalam mobil, memperhatikan sekitar yang tampak ramai hari ini.
"Eh, kok rame, ya, Na? Emang tiap minggu rame begini?"
"Ga tau, tumben banget rame. Biasanya ga seramai ini, sih. Mungkin ada komunitas yang lagi pentas, makanya rame."
"Ya udah, yuk turun, Na. Keburu siang, takut tambah panas."
Kami pun akhirnya turun dari mobil dan mulai berjalan ke area stand makanan-makanan. Tujuan kami CFD-an memang untuk kulineran. Tidak seperti yang lain, berkedok olahraga yang ujung-ujungnya tetap kulineran. Sepanjang jalan banyak makanan dan minuman tradisional yang kini jarang ditemui setiap hari.
Aku dan Tina kalap mencoba jajanan tradisional karena belum sarapan dari rumah—memang sengaja, agar bisa puas kulineran di sini. Setelah kenyang, kami duduk di parkiran stadion yang ada dekat area CFD. Masih dengan telur gulung dan jus yang kami beli tadi sebagai makanan penutup.
Terdengar suara panggilan dari ponsel Tina.
"Halo, iya, ini aku masih di CFD", jawab Tina pada si penelepon. Tiba-tiba ekspresinya berubah gusar. "Hah, kok dadak banget, sih, Sayang? Ya udah, aku pulang sekarang." Buru-buru Tina berdiri ketika telepon diakhiri.
"Kenapa, Na?" tanyaku khawatir karena wajah Tina yang tampak panik.
"Gue harus pulang sekarang, Dela. Mertua gue mendadak datang. Ayo, gue anter pulang, Del."
Oh, dikira apa.
Aku sontak menggeleng, menolak. "Gak apa-apa, lo pulang aja duluan. Nanti gue bisa minta jemput Stevan atau naik ojek online.” Tidak tega aku jika Tina harus mengantarku pulang terlebih dahulu.
"Yakin lo? Gue gak apa-apa, kok, kalau nganterin lo dulu."
"Iya, gue yakin. Buruan lo pulang aja, gue gampanglah. Salam, ya, buat mertua lo."
"Iya udah. Sorry, ya, gue gak bisa anterin lo. Kapan-kapan kalau lo pulang lagi, kabarin gue, ya. Awas aja lo diem-diem."
Tina masih sempat-sempatnya mengomel, yang aku jawab 'iya' saja biar dia cepat pulang. Kasihan kalau sampai mertuanya terlalu lama menunggu Tina.
Setelah Tina pergi, aku lanjut menghabiskan telur gulung sambil mencoba menghubungi Stevan untuk menjemputku.
Saat aku sibuk menghubungi Stevan, tiba-tiba ada lelaki misterius yang menghampiriku.
Lelaki itu duduk di sampingku. Aku masih mengamatinya. Wajahnya seperti tidak asing. Tapi, aku pernah melihat dia di mana, ya?
Dia menggunakan jersei, celana pendek, dan sepatu sneakers. Jangan lupakan topi dan masker di wajahnya, sehingga aku semakin sulit mengenalinya.
"Hai, di sini sendirian aja?" sapanya.
Aku belum menjawab, masih mengamatinya. Aku yang tak kunjung menjawab—dan mungkin dia juga menyadari aku yang menatapnya bingung—membuatnya terkekeh. Saat dia membuka sedikit maskernya, aku hanya bisa membelalakan mata melihatnya.
"Jendra!" Aku hanya bisa memekik tertahan saat menyadari lelaki yang ada di hadapanku. Aku menoleh kanan-kiri, memastikan tidak ada yang mendengar suaraku tadi.
"Halo? Halo, Kak? Lo ngomong apa sih?" Terdengar suara adikku di sambungan telepon.
Aku baru sadar tadi sedang menghubungi Stevan, saking terkejutnya didekati lelaki asing yang ternyata adalah Jendra.
Mengabaikan Jendra sesaat, aku melanjutkan panggilan dengan Stevan.
"Halo, Stev? Eh, iya, sorry. Jemput gue di CFD, ya.”
"Males banget, sih, Kak. Tadi berangkat sama Kak Tina, ya minta anterin pulang sekalianlah."
"Ah, elah. Tina udah pulang duluan. Cepetan mandi, gue tunggu di deket stadion. Oke, bye!"
Aku langsung menutup teleponnya dan kembali menatap Jendra yang masih duduk di sampingku. Aku otomatis menoleh sekitar, mencari keberadaan pengawal atau asistennya. Bagaimana seorang wali kota bisa jalan-jalan sendiri seperti—
"Lo nyariin siapa, Del?"
"Gak nyari siapa-siapa. Ngomong-ngomong, lo sendirian aja?" tanyaku akhirnya karena penasaran.
"Gak mungkin gue sendirianlah. Ada asisten sama pengawal juga. Lo cuma gak bisa ngenalin mereka."
"Terus lo ngapain di sini?" tanyaku padanya yang langsung kusesali detik itu juga. Pertanyaan bodoh. Ini, kan, tempat umum.
Suara tawa kecil meluncur dari bibirnya. "Kenapa, gak boleh?""Ya ... gak apa-apa, sih," jawabku sambil mengalihkan pandangan ke tempat lain karena menyadari Jendra yang terus menatapku.
"Dela, boleh gue minta nomor ponsel lo? Terakhir kita ketemu, gue lupa mau minta nomor lo." Jendra tiba-tiba meminta dengan menyodorkan ponselnya padaku.
Mau tak mau aku memberikan nomorku padanya. Toh, tidak ada alasan untukku buat menolaknya. Kukembalikan ponselnya begitu aku selesai mengetikkan nomorku. Tak lama ponselku berbunyi.
"Simpan, ya, itu nomor pribadi gue," ucapnya yang kujawab dengan anggukan kepala. "Lo mau pulang sekarang?”
"Iya, tapi masih nunggu jemputan."
“Oke, gue temenin di sini sampai jemputan lo datang.”
Untungnya tak lama ponselku berbunyi lagi, ternyata Stevan yang menelepon dan mengatakan dia sudah di parkiran dekat stadion. Aku pun berpamitan pada Jendra.
"Gue duluan, ya, Dra. Jemputan gue udah dateng." Aku pun berdiri dan berpamitan dengan Jendra. Aku menatap sekitar, orang benar-benar tidak ada yang menyadari keberadaan wali kota mereka di sini. Penyamaran Jendra benar-benar berhasil.
"Oke, hati-hati di jalan, ya. See you next time."
Aku tidak membalas. Hanya mengangguk dan melambaikan tangan sebelum menjauh menuju Stevan.
'Justru, aku harap tidak bertemu lagi dengannya.'
Seminggu sesudah acara reuni, aku sudah kembali menjalani aktivitas sehari-hari di Ibukota Milton sebagai pegawai pemerintahan. Tentu saja, karena kemarin aku tidak mengajukan cuti sama sekali jadi Senin subuh dengan menggunakan kereta pertama aku kembali ke kota perantauan. Selesai dari car free day minggu lalu, Jendra yang dulu meminta nomor ponselku, sampai saat ini tidak ada pesan masuk ataupun telepon darinya. Dan aku juga tidak mengharapkan hal itu, sebenarnya. Aku hanya berfikir mungkin kemarin dia hanya basa basi saja meminta nomor ponselku saat kami bertemu. Ponselku yang berada di atas meja bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Aku melirik sekilas id pemanggilnya, betapa terkejutnya aku saat nama Jendra terpampang di layar ponselku. Baru juga dipikirkan langsung telepon. Tanpa menunggu lama, aku mengangkat teleponnya."Ya halo." "Halo Del, lo di mana?ada di rumah gak?" Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaannya. "Gue lagi ada di Ibukota
Tepat pukul tujuh malam, Jendra sudah berdiri di depan pintu unit apartemenku. Aku sudah siap berangkat, rapi dengan mengenakan midi dress serta flatshoes. Sedangkan Jendra tampil dengan kemeja flanel yang di buka seluruh kancingnya dan memperlihatkan kaos hitam polos di dalamnya serta celana jeans. Tak akan ada yang mengira bahwa Jendra adalah seorang wali kota jika melihat penampilannya saat ini. Kami berjalan beriringan di koridor menuju lift untuk ke lobi apartemen. Di lobi sudah terparkir mobil Camry yang tadi siang digunakannya. Di belakangnya ada satu mobil lagi yang sepertinya berisi asisten dan para pegawalnya. "Itu mobil belakang, mobil pengawal lo?" tanyaku pada Jendra begitu kami meninggalkan pelataran apartemen. "Iya, lo kok tau?" jawabnya sambil melirikku sekilas. "Soalnya dari tadi siang kayaknya ngikutin mobil lo mulu. Ngomong-ngomong kita mau makan di mana?" "Ada, deh, rahasia itu," jawabnya dengan kerlingan jail, yang kubalas deng
Sepanjang malam kami mengobrol cukup lama di balkon dan minum kopi yang tadi sempat dibuatkan chef-nya sebelum meninggalkan apartemen Jendra. Ketika melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku yang menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta Jendra mengantarkanku kembali ke Apartemen."Thank's ya Dra, buat makan malamnya." Ucapku tulus begitu kami sampai di lobby apartemenku."You're welcome. Besok lo ada acara ga?""Hmm ga ada kayaknya, kenapa?""Temenin gue ke pasar minggu ya, mau survei pasar minggu yang ada di sini. Buat perbandingan sama di kota kita""Gak janji ya, gue kalau hari minggu susah bangun pagi."Jelas hari minggu adalah hari bermalas-malasan untukku, karena hanya di hari sabtu dan minggu, aku bisa bangun siang. Sedangkan di hari biasa, aku harus bangun pagi-pagi buta untuk menyiapkan sarapan dan bekal makan siang lalu berangkat bekerja."Gampang, ntar gue telepon lo berkali-kali sampai lo bangun.”
“Halo, ya Dra," sapaku saat ada panggilan telepon masuk. "Dela, lo masih di kantor?" "Iya ini gue masih di kantor, kenapa?" "Lo balik jam berapa?gue lagi ada di Milton nih. Ketemuan yuk Del" Mendengar ucapan Jendra, refleks aku menghentikan kegiatanku. "Hah gimana?kok mendadak amat sih." "Gue lupa tadi pagi mau ngabarin lo, ini mumpung ada kerjaan di Milton jadi sekalian pengen ketemu lo." "Tunggu gue pulang 30 menit lagi, masih kelarin laporan kerjaan hari ini." "Oke santai aja, ini gue juga masih meeting kok, kalau udah mau kelar kabari lagi ya, see you." Begitu sambungan telepon berakhir, aku bergegas menyelesaikan pekerjaanku. Shela yang duduk di sebelah, melihat aku yang terburu-buru setelah menerima telepon pun bertanya, "siapa yang telepon Del?kok lo jadi buru-buru gini?" "Si Jendra yang telepon, ngabarin kalau lagi di Milton. Ngajakin gue ketemuan." "Jendra yang Wali kota itu?" Pekik Shela yang sukses mengundang teman-temanku
"Gue mandi duluan ya, udah lengket banget badan gue. Lo yang pesen makan, terserah gue ngikut aja." Kataku sambil menuju kamar mandi. Tak sampai 10 menit, aku susah selesai mandi. Di meja makan sudah tersedia banyak makanan, ada nasi goreng, ayam goreng, sate ayam dan soto daging. Bener-bener ya si Jendra ini, makan cuman berdua aja pesennya banyak banget. Beranjak dari meja makan, aku mencari keberadaan Jendra di ruang tamu, tapi yang kulihat hanya jasnya yang terlipat rapi disofa sedangkan orangnya tidak ada. Aku menuju ke balkon, satu-satunya tempat yang mungkin di datangi Jendra yang ada di apartemen kecilku ini. Dan benar saja dia ada disana, sedang menghadap pemandangan di luar apartemen, sepertinya dia masih saja sibuk dengan ponselnya. Tok tok..aku mengetuk pintu penghubung balkon untuk menarik perhatian Jendra. "Udah selesai mandi?ayo makan, lo pasti udah laper banget kan?" Ajak Jendra dengan berjalan menuju ke meja makan. "Gue gak tau lo maunya mak
Sebelum berjalan menuju pintu belakang, aku sempatkan untuk melirik sekilas keramaian yang ada di depan cafe. Ada banyak orang yang didominasi oleh kaum hawa yang terlihat penasaran mencari keberadaan Jendra. Mereka berdiri di area parkiran, tidak bisa masuk ke dalam karena café masih belum dibuka untuk umum. Padahal kami sekarang sedang di Ibukota Milton bukan di kota Aare tapi antusias fans Jendra tak kalah dari kota asal kami. Aku merasa tanganku ditarik, karena tidak siap, tangan kiriku refleks memegang lengan Jendra untuk mencari keseimbangan. Sadar dengan yang kulakukan, aku cepat-cepat melepas tangan kiriku dari lengannya, Jendra yang menyadarinya bertanya, "Kenapa Del?" "Gak apa-apa tadi gue kaget aja tiba-tiba lo tarik, untung gak jatuh." Kami pun melanjutkan berjalan menuju pintu belakang, di sana sudah ada Aldo yang keluar dari mobil Jendra. "Silahkan Bapak pergi dulu, kami akan mengatasi yang di sini. Nanti kami akan menyusul Bapak." Ucap Aldo sambil
Setelah perdebatan alot tadi, akhirnya aku di sini sendirian. Jendra yang tadinya tetap ngotot ingin agar sopirnya menungguku karena dia merasa bertanggung jawab telah mengajakku kesini jadi dia ingin memastikan aku nantinya pulang dengan selamat. Tentu saja aku tetap menolaknya dengan ancaman aku tidak akan mau bertemu dengannya lagi kalau dia tetap memaksa sopirnya menungguku di sini. "Fine, sopir gue gak akan nunggu lo, tapi lo harus janji kabari gue kalau udah sampai apartemen lo." Yang kujawab dengan anggukan kepala. Setelah itu Jendra akhirnya pulang bersama asistennya. Ibu Wahyu, aku sudah tidak asing lagu dengan namanya. Beliau adalah Walikota 2 periode kota Aare saat aku masih SD hingga lulus SMP, dan juga beliau adalah Ibu kandung dari Jendra. Di usianya yang saat ini, bu Wahyu masih aktif menjabat sebagai anggota Dewan. Jendra sendiri merupakan anak sulung dari 2 bersaudara, setahuku adik perempuannya masih kuliah di luar negeri namanya Dinda. Dari dulu sud
Hari Senin kali ini berbeda dari biasanya, karena aku ditugaskan oleh kantor untuk mengikuti pameran yang menampilkan hasil UMKM atau hasil karya warga Ibukota Milton. Pameran kali ini dilaksanakan di kota Aare, kota asalku. Sudah menjadi agenda rutin kantor mengikuti pameran-pameran yang diadakan baik diluar kota ataupun dalam kota. Tujuan kantor mengikuti pameran untuk mengenalkan produk-produk UMKM Ibukota Milton dan membantu memasarkannya. Sudah sedari hari Sabtu aku pulang ke kota Aare. Tim kali ini yang berangkat ke kota Aare, ada 4 orang yaitu aku, Angga, Martin dan Shela. Pameran ini diadakan oleh pemerintah kota Aare dengan mengundang daerah-daerah lain yang akan dilaksanakan selama 1 minggu kedepan. Sebenarnya dari kantor disediakan akomodasi hotel dan transportasi selama jalannya pameran, berhubung acaranya diadakan dikotaku, aku memilih untuk tinggal dirumahku sendiri dan mencairkan saja uang akomodasiku. Sedangkan 3 temanku yang lain tinggal di hotel yang
Pagi setelah Dela mengakhiri hubungan kami, aku benar-benar kalut. Aku langsung memerintahkan Aldo untuk kembali ke kota Aare. Dalam pikiranku, satu-satunya cara agar Dela tidak pergi dariku adalah menemui orang tuanya dan langsung melamarnya. Mungkin Dela akan marah, tapi aku tidak peduli. Salahkan dia yang seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku juga bisa seperti itu. Saat aku menyuruh Aldo untuk dia langsung ke rumah Dela, dia menolak ideku. “Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Sangat tidak sopan kalau Bapak ke sana malam-malam.” “Terus kapan, Do? Saya gak mau menunggu lama-lama.” Aldo menghela nafas pelan.,“Besok pagi saja, Pak Jendra. Malam ini Bapak bisa istirahat dulu. Tidak mungkin Bapak menemui orang tua Bu Dela dengan keadaan kacau seperti ini.” Aku berpikir sebentar, apa yang diucapkan Aldo ada benarnya juga. Gak mungkin aku ketemu orang tuanya dengan kondisiku yang kacau begini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dinas.Keesokkan harinya, aku sudah segera
"Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia
Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj
Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos
Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal
Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.
Dua minggu sebelum pernikahan, aku sudah disibukkan dengan fitting beberapa baju yang akan digunakan saat akad hingga resepsi. Kini aku sedang mencoba baju yang akan kugunakan untuk acara akad dibantu oleh Mbak Erna, designer baju yang saat ini aku coba. Ada kebaya berwarna putih dengan detail swasroski di seluruh bagian atasnya, sedangkan bawahnya dipadukan dengan kain bermotif batik parang. Di atas kepalaku terpasang veil sepanjang hampir tiga meter hingga membentuk ekor di belakang tubuhku. Aku memandang diriku di cermin dengan takjub, tidak percaya bahwa kebaya yang kukenakan tampak begitu cantik dan indah. Mbak Erna membuka tirai ruang gantiku setelah memastikan kebaya yang aku kenakan sudah rapi. Keluargaku dan keluarga Jendra menatap takjub padaku, bahkan Dinda berdiri dan menghampiriku, bertepuk tangan heboh sambil menatapku. “Kak Dela cantik banget!” pujinya yang membuatku tersipu malu. “Puji aja terus sampai lupa sama Mas-nya sendiri,” protes Jendra yang tad
“Gimana, Kak, tadi rapatnya?” tanya Mama begitu aku masuk setelah mengantarkan Jendra ke depan.Jadi tadi aku akhirnya mengikuti rapat PKK seperti yang dikatakan Bu Vani-istri Wakil Wali Kota. Rapat berjalan dengan lancar, meskipun awalnya ada beberapa ibu-ibu yang terkejut dengan kehadiran dan bertanya-tanya tentang siapa aku. Dan jangan lupakan kehadiranku yang datang bersama Jendra semakin membuat penasaran. Beruntung Bu Vani berbaik hati mengenalkanku kepada Ibu-ibu yang hadir di sana. Tadi Jendra tidak ikut saat kami rapat, dia hanya mengantarku sampai di ruang rapat, setelah itu dia pergi di area luar resto bersama Pak Wakil Wali kota dan Aldo.Kembali lagi pada pertanyaan Mamaku tadi.Aku duduk di samping Mama, merangkul lengannya dan bersandar di bahu Mama. “Semuanya berjalan lancar, Ma. Banyak ibu-ibu yang usianya lebih tua dari aku, tapi mereka tetap menghormatiku. Aku juga bersyukur Ibu Wakil Wali kota baik banget orangnya, tadi banyak ngajarin aku t
Acara pertemuan di restoran Hotel Emerald kali ini berlangsung dengan hangat dan dihadiri oleh keluarga inti saja karena masih merupakan pertemuan pertama kedua keluarga. Awalnya, aku sempat khawatir Bu Wahyu akan berubah pikiran saat bertemu dengan keluargaku—entah kenapa sejujurnya masih saja ada ketakutan dalam diriku kalau Bu Wahyu belum seratus persen menerimaku. Namun, semua kekhawatiranku hilang saat melihat interaksi Mamaku dengan Bu Wahyu, terlihat mereka bisa mengobrol seperti teman lama. Diam-diam aku tersenyum sendiri, bahagia melihatnya. Aku menolehkan wajahku ke samping saat merasakan jemari tangan Jendra mengusap sudut mataku. Ternyata tanpa sadar aku meneteskan air mata bahagia. “Kenapa nangis?” bisiknya pelan. “Gak apa-apa, aku cuma terharu. Aku bahagia, Dra,” ujarku. Jendra meraih tanganku, mengusapnya perlahan. “Aku lebih bahagia, Dela.” Sore itu kami semua larut dalam bahagia bersama keluarga kami. Banyak yang kami bicarakan mulai dari pe