Sepanjang malam kami mengobrol cukup lama di balkon dan minum kopi yang tadi sempat dibuatkan chef-nya sebelum meninggalkan apartemen Jendra. Ketika melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku yang menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta Jendra mengantarkanku kembali ke Apartemen.
"Thank's ya Dra, buat makan malamnya." Ucapku tulus begitu kami sampai di lobby apartemenku."You're welcome. Besok lo ada acara ga?""Hmm ga ada kayaknya, kenapa?""Temenin gue ke pasar minggu ya, mau survei pasar minggu yang ada di sini. Buat perbandingan sama di kota kita""Gak janji ya, gue kalau hari minggu susah bangun pagi."Jelas hari minggu adalah hari bermalas-malasan untukku, karena hanya di hari sabtu dan minggu, aku bisa bangun siang. Sedangkan di hari biasa, aku harus bangun pagi-pagi buta untuk menyiapkan sarapan dan bekal makan siang lalu berangkat bekerja."Gampang, ntar gue telepon lo berkali-kali sampai lo bangun.”Aku hanya memutar bola mata, "serah lo deh, gue turun dulu ya. Hati-hati dijalan."Sekali lagi, Jendra mengacak rambutku sebelum aku turun dari mobil. Aku menunggunya sampai mobilnya meninggalkan area apartemenku.***Tring tring tring...Terdengar suara panggilan masuk di ponselku. Aku meraba nakas disamping tempat tidurku untuk mengangkat panggllan telepon."Hallo," sapaku begitu panggilan tersambung. Masih dengan suara serak karena baru bangun tidur."Hallo Del, lo baru bangun?""Hmm" jawabku dengan malas-malasan.Masih setengah sadar, aku mendengar suara kekehan dari seberang sana, "ini udah jam 10 Dela, dan lo baru bangun."Aku mengerjapkan mata, lalu melihat jam di dinding, saat kesadaran mulai menghampiriku. Menjauhkan ponsel dari telingaku, dan memastikan siapa yang meneleponku."Ya ampun Dra, sorry gue baru bangun tidur. Gue lupa pasang alarm tadi malem, lo dimana sekarang?"Panik saat teringat kami ada janji ke pasar minggu, buru-buru aku bangun dari tempat tidur. Hampir saja aku tersandung karpet. Jendra yang mendengar keributan di telepon, kemudian cepat menjelaskan pada Dela."Calm down Del, gue telepon cuman mau ngabarin kalau gak jadi ngajakin ke pasar minggu. Gue semalem dapet telepon dari asisten gue kalau ada agenda mendadak di balai kota."Akupun bernafas lega, dan kembali duduk diatas tempat tidur."Never mind, gue kira lo udah nunggu didepan lobby apartemen gue. By the way sekarang lo dimana?""Subuh tadi gue balik ke kota. Dan sekarang gue udah di balai kota kok, masih nungguin tamunya datang. Ya udah lo balik tidur lagi gih, kan kata lo hari minggu hari bermalas-malasan.""Hmm..gue mau lanjut tidur lagi. Bye Dra!""Bye Dela, see you next week!"Setelah panggilan berakhir, entah kenapa ada sedikit rasa kecewa saat Jendra membatalkan ajakannya. Menggelengkan kepala, aku kembali menjatuhkan diriku ke kasur."Duh bodo amat lah, gue mau lanjut tidur lagi.”Mencoba kembali memejamkan mata, tapi tidak berhasil. Kesal, akupun bangun dan menuju kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci muka, berencana untuk mencari sarapan saja.Keluar kamar mandi, aku mengecek ponselku, siapa tahu Shela sudah kembali ke apartemennya Tapi ternyata Shela masih belum kembali, dia mengabari akan sampai apartemen nanti malam. Mengembuskan nafas berat, aku scroll aplikasi ojek online untuk memesan makananSelesai dengan urusan memesan makanan, iseng aku membuka aplikasi I*******m dan mencari username Jendra. Ada banyak username atas nama Jendra, namun yang asli sudah pasti yang bercentang biru, mengingat dia begitu populer sebagai Walikota termuda.Postingan pada laman instagramnya, kebanyakan tentang pekerjaannya selama menjabat Walikota. Ada juga beberapa foto saat reuni kemarin. Tanpa sengaja aku menekan tombol love, panik aku cepat kembali menekan tombol love lagi. Semoga notifikasi love tadi tidak sampai terlihat oleh Jendra."Duh bodo banget sih ni jempol, bisa-bisanya kepencet love." rutukku samba memukul pelan kepalaku.Tak lama ada notifikasi akun Jendra mengikuti instagramku. "Alamak, ketahuan deh gue stalking dia."Masih belum selesai meratapi kebodohanku, ponselku berdering. Panggilan videocall masuk dari Jendra! Ngapain sih pakai videocall segala, aku kan belum mengarang alasan.Aku berdehem sebentar, menetralkan mimik wajah dan merapikan tampilanku, lalu aku mengangkat panggilan videonya.Begitu video tersambung, nampak wajah Jendra tersenyum jahil."Ngapain sih lo videocall segala?" Sapaku ketus untuk menutupi rasa maluku karena ketahuan stalking akunnya.Jendra malah tertawa terbahak-bahak, membuatku tak tahan untuk memutar bola mata malas, bersiap menerima ejekan dari Jendra."Idih ketahuan stalking akun i*******m gue ya lo, sok-sokan galak.""Gak ya, tadi gue lagi lihat postingan yang ada tag foto temen-temen pas reuni." Jawabku mengelak, disana terlihat wajah Jendra yang menahan tawa. "Ketawa aja lo, gak usah di tahan ntar jadi kentut baru tahu rasa." omelku untuk menghilangkan kepanikan.Puas tertawa, Jendra kembali berkata, "stalking juga gak apa-apa kali Del. Follback tuh akun gue, kehormatan buat lo bisa di follow duluan sama gue.""Terima kasih yang mulia Walikota sudah mau mem-follow akun rakyatmu ini." candaku pada Jendra.Jendra tidak langsung menjawab candaanku, dia malah terus memandangiku yang tentu saja membuatku salah tingkah sendiri."Ehmm," aku berdehem untuk menarik perhatian Jendra agar tidak terus memandangiku, jujur aku ditatap seperti itu membuatku salah tingkah. "Tamu lo belum dateng?kok masih bisa videocall gue?""Belum masih on the way katanya, mungkin 10 menit lagi nyampek. Lo habis mandi ya?"Aku memegang rambut basahku, "Iya gue baru kelar mandi, ini masih nungguin makanan dateng.""Jam segini lo baru makan?" Yg kujawab dengan dengan anggukan kepala."Ini udah jam 11 Del, telat banget sih makan lo?""Ya gak apa-apa sih, kan tadi gue juga baru bangun jam 10, ya hitung-hitung makan pagi sekaligus makan siang gitu" jawabku dengan cengiran. Tiba-tiba bell pintu apartemenku berbunyi, "bentar ya, makanan gue udah dateng." Tanpa menunggu jawabannya, aku berlari mengambil pesanan makananku. Ponsel aku taruh di meja makan, sambil aku membuka pesanan makananku."Halo Del, gue ngapain videocall-an sama plafon apartemen lo sih?" Terdengar suara Jendra dari ponselku.Setelah menaruh makanan di meja makan, aku lupa masih tersambung dengan Jendra, buru-buru aku meletakkan ponsel dengan posisi berdiri bersandar pada toples.Tampak wajah cemberut Jendra disana. "Apaan sih lo, pake cemberut segala?""Beli makan apa Del?" Mengabaikan pertanyaanku, Jendra justru bertanya makanan yang aku pesan."Bubur ayam depan simpang pojokan," jawabku sambil menunjukkan bubur yang sudah ku pindah ke mangkok.Terlihat di layar ponsel, asisten Jendra menghampirinya, dan berbisik di telinganya. Setelah asistennya pergi, Jendra pamit mengakhiri videocall karena tamunya sudah dateng."Gue ketemu tamu dulu ya, orangnya udah dateng di depan. Lo makan yang benar Del, jangan di rapel makannya.""Oke Dra, bye!"“Halo, ya Dra," sapaku saat ada panggilan telepon masuk. "Dela, lo masih di kantor?" "Iya ini gue masih di kantor, kenapa?" "Lo balik jam berapa?gue lagi ada di Milton nih. Ketemuan yuk Del" Mendengar ucapan Jendra, refleks aku menghentikan kegiatanku. "Hah gimana?kok mendadak amat sih." "Gue lupa tadi pagi mau ngabarin lo, ini mumpung ada kerjaan di Milton jadi sekalian pengen ketemu lo." "Tunggu gue pulang 30 menit lagi, masih kelarin laporan kerjaan hari ini." "Oke santai aja, ini gue juga masih meeting kok, kalau udah mau kelar kabari lagi ya, see you." Begitu sambungan telepon berakhir, aku bergegas menyelesaikan pekerjaanku. Shela yang duduk di sebelah, melihat aku yang terburu-buru setelah menerima telepon pun bertanya, "siapa yang telepon Del?kok lo jadi buru-buru gini?" "Si Jendra yang telepon, ngabarin kalau lagi di Milton. Ngajakin gue ketemuan." "Jendra yang Wali kota itu?" Pekik Shela yang sukses mengundang teman-temanku
"Gue mandi duluan ya, udah lengket banget badan gue. Lo yang pesen makan, terserah gue ngikut aja." Kataku sambil menuju kamar mandi. Tak sampai 10 menit, aku susah selesai mandi. Di meja makan sudah tersedia banyak makanan, ada nasi goreng, ayam goreng, sate ayam dan soto daging. Bener-bener ya si Jendra ini, makan cuman berdua aja pesennya banyak banget. Beranjak dari meja makan, aku mencari keberadaan Jendra di ruang tamu, tapi yang kulihat hanya jasnya yang terlipat rapi disofa sedangkan orangnya tidak ada. Aku menuju ke balkon, satu-satunya tempat yang mungkin di datangi Jendra yang ada di apartemen kecilku ini. Dan benar saja dia ada disana, sedang menghadap pemandangan di luar apartemen, sepertinya dia masih saja sibuk dengan ponselnya. Tok tok..aku mengetuk pintu penghubung balkon untuk menarik perhatian Jendra. "Udah selesai mandi?ayo makan, lo pasti udah laper banget kan?" Ajak Jendra dengan berjalan menuju ke meja makan. "Gue gak tau lo maunya mak
Sebelum berjalan menuju pintu belakang, aku sempatkan untuk melirik sekilas keramaian yang ada di depan cafe. Ada banyak orang yang didominasi oleh kaum hawa yang terlihat penasaran mencari keberadaan Jendra. Mereka berdiri di area parkiran, tidak bisa masuk ke dalam karena café masih belum dibuka untuk umum. Padahal kami sekarang sedang di Ibukota Milton bukan di kota Aare tapi antusias fans Jendra tak kalah dari kota asal kami. Aku merasa tanganku ditarik, karena tidak siap, tangan kiriku refleks memegang lengan Jendra untuk mencari keseimbangan. Sadar dengan yang kulakukan, aku cepat-cepat melepas tangan kiriku dari lengannya, Jendra yang menyadarinya bertanya, "Kenapa Del?" "Gak apa-apa tadi gue kaget aja tiba-tiba lo tarik, untung gak jatuh." Kami pun melanjutkan berjalan menuju pintu belakang, di sana sudah ada Aldo yang keluar dari mobil Jendra. "Silahkan Bapak pergi dulu, kami akan mengatasi yang di sini. Nanti kami akan menyusul Bapak." Ucap Aldo sambil
Setelah perdebatan alot tadi, akhirnya aku di sini sendirian. Jendra yang tadinya tetap ngotot ingin agar sopirnya menungguku karena dia merasa bertanggung jawab telah mengajakku kesini jadi dia ingin memastikan aku nantinya pulang dengan selamat. Tentu saja aku tetap menolaknya dengan ancaman aku tidak akan mau bertemu dengannya lagi kalau dia tetap memaksa sopirnya menungguku di sini. "Fine, sopir gue gak akan nunggu lo, tapi lo harus janji kabari gue kalau udah sampai apartemen lo." Yang kujawab dengan anggukan kepala. Setelah itu Jendra akhirnya pulang bersama asistennya. Ibu Wahyu, aku sudah tidak asing lagu dengan namanya. Beliau adalah Walikota 2 periode kota Aare saat aku masih SD hingga lulus SMP, dan juga beliau adalah Ibu kandung dari Jendra. Di usianya yang saat ini, bu Wahyu masih aktif menjabat sebagai anggota Dewan. Jendra sendiri merupakan anak sulung dari 2 bersaudara, setahuku adik perempuannya masih kuliah di luar negeri namanya Dinda. Dari dulu sud
Hari Senin kali ini berbeda dari biasanya, karena aku ditugaskan oleh kantor untuk mengikuti pameran yang menampilkan hasil UMKM atau hasil karya warga Ibukota Milton. Pameran kali ini dilaksanakan di kota Aare, kota asalku. Sudah menjadi agenda rutin kantor mengikuti pameran-pameran yang diadakan baik diluar kota ataupun dalam kota. Tujuan kantor mengikuti pameran untuk mengenalkan produk-produk UMKM Ibukota Milton dan membantu memasarkannya. Sudah sedari hari Sabtu aku pulang ke kota Aare. Tim kali ini yang berangkat ke kota Aare, ada 4 orang yaitu aku, Angga, Martin dan Shela. Pameran ini diadakan oleh pemerintah kota Aare dengan mengundang daerah-daerah lain yang akan dilaksanakan selama 1 minggu kedepan. Sebenarnya dari kantor disediakan akomodasi hotel dan transportasi selama jalannya pameran, berhubung acaranya diadakan dikotaku, aku memilih untuk tinggal dirumahku sendiri dan mencairkan saja uang akomodasiku. Sedangkan 3 temanku yang lain tinggal di hotel yang
Tak begitu lama, Jendra mengakhiri pidatonya sekaligus secara resmi membuka acara pameran. Kami semua yang hadir berdiri dan bertepuk tangan. Dengan resminya pameran dibuka, rangkaian acara pembukaan berakhir. Kami para peserta yang tadi mengikuti acarapun kembali pada stand masing-masing. "Gila gila..Walikota lo cakep banget Dela, gue auto naksir sama dia. Pas dia jalan lewat depan stand, buset wangi banget mana mukanya mulus lagi." Ujar Shela heboh saat aku menghampiri stand. "Tuh kan bener kata gue, emang cakep banget, gue yang cowok aja mengakui kegantengannya." Kembali Angga heboh menanggapi Shela. "Berisik deh kalian berdua. Jangan kecentilan Shel, gue laporin lo sama Andri." Ancamku pada Shela. Diantara mereka, Martin paling pendiam karena dia masih junior kami. "Lo mah, tukang ngadu. Gue cuman ngefans ya." "Udah-udah yok siap-siap bentar lagi pengunjung umum udah mau dibuka." Ajakku pada ketiga rekanku. Kalau tidak segera diakhiri, bisa-bisa lebih pa
"Maaf bu Dela, ditunggu bapak di mobil." Ujarnya dengan menunjuk mobil yang kukenali sebagai mobil pribadi Jendra, iya aku mengenalinya, karena beberapa kali saat Jendra menemuiku, dia menggunakan mobil tersebut.Mematikan sambungan telepon yang tak juga mendapat jawaban dari Stevan, aku segera menghadap pada Aldo."Oh iya mas Aldo, sebentar ya." Membalikan badan pada teman-temanku yang kini menatapku penuh tanya. "Guys gue pamit dulu, bye see you tomorrow."Tanpa menunggu respon dari teman-temanku, aku segera melenggang pergi, menghindar sebelum keluar pertanyaan-pertanyaan dari mereka. Semoga saja besok mereka tidak mencecarku dengan pertanyaan, kalau tidak aku harus segera mengarang cerita.Sambil berjalan aku memejamkan mata sejenak, merutuki diriku sendiri kenapa aku lupa pesan Jendra tadi. Semoga mereka tidak menyadari yang tadi menghampiriku asisten Walikota. Terus berjalan menuju mobil Jendra terparkir dengan Aldo didepanku. Mobilnya sendiri terparkir aga
“Lo kenapa baru makan jam segini Dra?Jam makan lo telat banget.” Tanyaku setelah melihat jm di dinding menunjukkan pukul 20.45. Makan malam yng terlalu larut menurutku.Menyelesaikan kunyahannya Jendra menjawab, “Gue pikir lo belum makan, makanya nungguin lo sekalian.”“Ya kali jam segini gue belum makan, bisa pingsan di pameran gue.”“Emang sempet tadi makan malam?dari laporan orang-orang, pameran hari pertama ramai banget.”“Lebih tepatnya di sempat-sempatin sih, jadi gantian makannya dan gak bisa lama-lama makannya. Yang penting udah isi energy, balik lagi deh ke stand. Gila ya promosinya Dinas Pariwisata sini, sampai bisa ramai gitu yang datang.”“Iyalah, gue selalu tegasin ke Kepala Dinas sama ketua Panitia Pelaksana buat bikin promosi sebaik mungkin agar menarik pengunjung, karena event ini ngundang peserta dari daerah lain, jadi jangan sampai para peserta kecewa. Udah denger kan nanti di hari terakhir bakalan ada konser penutupnya?”“Iya gue tahu
Pagi setelah Dela mengakhiri hubungan kami, aku benar-benar kalut. Aku langsung memerintahkan Aldo untuk kembali ke kota Aare. Dalam pikiranku, satu-satunya cara agar Dela tidak pergi dariku adalah menemui orang tuanya dan langsung melamarnya. Mungkin Dela akan marah, tapi aku tidak peduli. Salahkan dia yang seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku juga bisa seperti itu. Saat aku menyuruh Aldo untuk dia langsung ke rumah Dela, dia menolak ideku. “Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Sangat tidak sopan kalau Bapak ke sana malam-malam.” “Terus kapan, Do? Saya gak mau menunggu lama-lama.” Aldo menghela nafas pelan.,“Besok pagi saja, Pak Jendra. Malam ini Bapak bisa istirahat dulu. Tidak mungkin Bapak menemui orang tua Bu Dela dengan keadaan kacau seperti ini.” Aku berpikir sebentar, apa yang diucapkan Aldo ada benarnya juga. Gak mungkin aku ketemu orang tuanya dengan kondisiku yang kacau begini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dinas.Keesokkan harinya, aku sudah segera
"Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia
Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj
Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos
Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal
Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.
Dua minggu sebelum pernikahan, aku sudah disibukkan dengan fitting beberapa baju yang akan digunakan saat akad hingga resepsi. Kini aku sedang mencoba baju yang akan kugunakan untuk acara akad dibantu oleh Mbak Erna, designer baju yang saat ini aku coba. Ada kebaya berwarna putih dengan detail swasroski di seluruh bagian atasnya, sedangkan bawahnya dipadukan dengan kain bermotif batik parang. Di atas kepalaku terpasang veil sepanjang hampir tiga meter hingga membentuk ekor di belakang tubuhku. Aku memandang diriku di cermin dengan takjub, tidak percaya bahwa kebaya yang kukenakan tampak begitu cantik dan indah. Mbak Erna membuka tirai ruang gantiku setelah memastikan kebaya yang aku kenakan sudah rapi. Keluargaku dan keluarga Jendra menatap takjub padaku, bahkan Dinda berdiri dan menghampiriku, bertepuk tangan heboh sambil menatapku. “Kak Dela cantik banget!” pujinya yang membuatku tersipu malu. “Puji aja terus sampai lupa sama Mas-nya sendiri,” protes Jendra yang tad
“Gimana, Kak, tadi rapatnya?” tanya Mama begitu aku masuk setelah mengantarkan Jendra ke depan.Jadi tadi aku akhirnya mengikuti rapat PKK seperti yang dikatakan Bu Vani-istri Wakil Wali Kota. Rapat berjalan dengan lancar, meskipun awalnya ada beberapa ibu-ibu yang terkejut dengan kehadiran dan bertanya-tanya tentang siapa aku. Dan jangan lupakan kehadiranku yang datang bersama Jendra semakin membuat penasaran. Beruntung Bu Vani berbaik hati mengenalkanku kepada Ibu-ibu yang hadir di sana. Tadi Jendra tidak ikut saat kami rapat, dia hanya mengantarku sampai di ruang rapat, setelah itu dia pergi di area luar resto bersama Pak Wakil Wali kota dan Aldo.Kembali lagi pada pertanyaan Mamaku tadi.Aku duduk di samping Mama, merangkul lengannya dan bersandar di bahu Mama. “Semuanya berjalan lancar, Ma. Banyak ibu-ibu yang usianya lebih tua dari aku, tapi mereka tetap menghormatiku. Aku juga bersyukur Ibu Wakil Wali kota baik banget orangnya, tadi banyak ngajarin aku t
Acara pertemuan di restoran Hotel Emerald kali ini berlangsung dengan hangat dan dihadiri oleh keluarga inti saja karena masih merupakan pertemuan pertama kedua keluarga. Awalnya, aku sempat khawatir Bu Wahyu akan berubah pikiran saat bertemu dengan keluargaku—entah kenapa sejujurnya masih saja ada ketakutan dalam diriku kalau Bu Wahyu belum seratus persen menerimaku. Namun, semua kekhawatiranku hilang saat melihat interaksi Mamaku dengan Bu Wahyu, terlihat mereka bisa mengobrol seperti teman lama. Diam-diam aku tersenyum sendiri, bahagia melihatnya. Aku menolehkan wajahku ke samping saat merasakan jemari tangan Jendra mengusap sudut mataku. Ternyata tanpa sadar aku meneteskan air mata bahagia. “Kenapa nangis?” bisiknya pelan. “Gak apa-apa, aku cuma terharu. Aku bahagia, Dra,” ujarku. Jendra meraih tanganku, mengusapnya perlahan. “Aku lebih bahagia, Dela.” Sore itu kami semua larut dalam bahagia bersama keluarga kami. Banyak yang kami bicarakan mulai dari pe