Hari Senin kali ini berbeda dari biasanya, karena aku ditugaskan oleh kantor untuk mengikuti pameran yang menampilkan hasil UMKM atau hasil karya warga Ibukota Milton. Pameran kali ini dilaksanakan di kota Aare, kota asalku. Sudah menjadi agenda rutin kantor mengikuti pameran-pameran yang diadakan baik diluar kota ataupun dalam kota. Tujuan kantor mengikuti pameran untuk mengenalkan produk-produk UMKM Ibukota Milton dan membantu memasarkannya.
Sudah sedari hari Sabtu aku pulang ke kota Aare. Tim kali ini yang berangkat ke kota Aare, ada 4 orang yaitu aku, Angga, Martin dan Shela. Pameran ini diadakan oleh pemerintah kota Aare dengan mengundang daerah-daerah lain yang akan dilaksanakan selama 1 minggu kedepan.Sebenarnya dari kantor disediakan akomodasi hotel dan transportasi selama jalannya pameran, berhubung acaranya diadakan dikotaku, aku memilih untuk tinggal dirumahku sendiri dan mencairkan saja uang akomodasiku.Sedangkan 3 temanku yang lain tinggal di hotel yang berada tidak jauh dari venue pameran. Shela sudah aku ajak untuk ikut menginap dirumahmu saja, tapi dia menolaknya karena tidak enak dengan keluargaku kalau harus menginap sampai 1 minggu."Halo Angga, lo dimana?gue udah di stand nih, tapi kok kalian ga ada?"Sesuai janji yang kami sepakati di grup, aku sudah sampai di venue pukul 7 pagi. Tapi ketiga partnerku belum ada yang datang."Bentar Del, ini kita baru dapet taxi online-nya. Tunggu 10 menit kami sampai."Setelah menutup telepon Angga, aku menatap sekitar. Tak sengaja aku membaca spanduk yang terpasang di tengah panggung hiburan bertuliskan 'Selamat Datang Walikota Jendra Andriansyah pada Pembukaan Pameran UMKM Nasional'.Sudah lebih dari 3 minggu ini aku dan Jendra tidak bertemu ataupun berkomunikasi, sejak terakhir Jendra meneleponku di malam dia meninggalkanku di restoran. Akupun tidak berusaha menghubunginya, toh hubungan kami tidak sedekat itu untuk intens saling menghubungi satu sama lain. Lagian Jendra pasti sibuk dengan pekerjaannya.Tak ingin terlalu memikirkan Jendra, aku kembali melanjutkan langkahku menuju stand kantor kami yang terletak cukup dekat dengan panggung hiburan.10 menit kemudian, teman-temanku datang. Bergegas kami merapikan stand, kurang dari 1 jam lagi acara pembukaan dimulai. Shela tiba-tiba menghampiriku dan berbisik, "gue denger nanti Pak Walikota dateng ya?lo gak ada kabar-kabaran gitu sama dia kalau lo ada disini?""Gak, gak ada kabar-kabaran lagi gue sama dia. Udah lo bantuin Martin tuh nata flyer biar nanti orang-orang gampang ngambilnya." Aku berusaha mengalihkan pembicaraan, malas untuk membahas Jendra."Iih lo kebiasaan deh, mesti ngalihin pembicaraan," cemberut Shela meninggalkanku menuju ke depan stand untuk menata flyer di meja."Dela, ntar lo sama gue ya yang wakilin waktu acara pembukaan." Ujar Angga tiba-tiba."Lo sama Shela ajalah, gue mau jaga stand aja deh." Tolakku."Duh si Shela ga bakalan betah lama-lama duduk anteng selama acara pembukaan, masak iya gue sendirian disana sih," Angga tetap memaksaku untuk ikut."Emang harus ya ikut duduk disana?""Iyalah, kan pembukaannya belum ada warga umum masuk. Masak pas pembukaan Walikotanya pidato kagak ada orang, makanya masing-masing perwakilan wajib ikutan pas acara pembukaan." Ujar Angga menggebu.Dengan terpaksa, aku mengiyakan. Tidak tega juga kalau Angga kesana sendirian, lagian sementara stand dijaga Martin dan Shela juga tidak masalah. Lanjut aku dan Angga menata display hasil UMKM yang kami bawa dari Ibukota.Tepat pukul 09.00, Angga mengajakku menuju panggung hiburan tempat acara akan dibuka. Aku dan Angga mengambil duduk di deret nomor 3 pojok agar kami nantinya mudah untuk kembali ke stand.***Di deretan kursi depan ditempati oleh para petinggi daerah, kemudian dibelakangnya ditempati oleh peserta pameran dari perwakilan daerah. Aku dan Angga menempati kursi deret ketiga dari depan. Posisi yang strategis tidak terlalu mencolok, berharap Jendra tidak menyadari keberadaanku.Menggelengkan kepala, membuang pikiranku, memangnya aku siapa sampai Jendra akan menyadari keberadaanku. Disampingku, Angga menyenggol lenganku, "kenapa geleng kepala?kepala lo pusing?""Gak apa-apa, lama banget acaranya dimulai.""Sabar tinggal nunggu Walikota datang aja." Tak berapa lama, MC acara mengabarkan acara peresmian akan segera dimulai, meminta seluruh perwakilan daerah yang belum hadir, agar segera menempati duduk di di area panggung. Saat Walikota sudah sampai dan sedang menuju ke panggung."Del Dela, gue denger Walikota sini seumuran lo ya?""Hmm" jawabku tanpa minat."Gila ya umur 28 tahun udah sukses jadi Walikota, gak kayak lo malah jadi kacung pemerintah," ledek Angga.Aku memutar bola mata malas tidak sakit hati sama sekali dengan ucapan Angga, "Sialan lo, bedalah. Dia dari dulu udah punya privilege. Sedangkan gue, bokap juga pegawai pemerintahan pastilah anaknya nurun jadi pegawai pemerintahan.""Ya begitulah orang-orang kayak kita, udah bisa jadi pegawai pemerintahan aja orang tua udah bangga. Tos dulu dong kita sesama anak keturunan pegawai pemerintahan."Saat kami sedang melakukan tos, tanpa sengaja pandanganku bertemu dengan pandangan Jendra. Dia juga sedang menatapku, buru-buru aku menurunkan tanganku yang sedang tos dengan Angga dan segera mengalihkan pandangan. Aku lirik melalui ekor mataku, Jendra sendiri segera menempati tempat duduknya setelah disenggol lengannya pelan oleh Aldo.Setelah sambutan penyelenggara pameran dari Dinas Pariwisata, MC memanggil Walikota untuk memberikan sambutan dan meresmikan pembukaan pameran. Dengan mantap dan percaya diri, Jendra melangkah menuju panggung. Baru kali ini aku melihat langsung Jendra dalam balutan baju dinasnya, terlihat berwibawa dan aura kepemimpinan yang kental. Beberapa kali bertemu dengannya, baru kali ini aku mengakui aura kepemimpinannya.Lagi, aku merasakan Jendra menatapku sebelum memulai pidatonya, aku mengalihkan perhatianku sesaat karena Angga mendekat berbisik di telingaku untuk mengajakku bicara."Gila, cakep banget Wali kota lo. Gue yang cowok aja mengakui dia cakep banget, jadi insecure gue." Angga berbicara bisik-bisik di telingaku."Asal lo tau aja, dia masih jomblo belum married. Lo menang lah dalam urusan jodoh." Balasku yang juga berbisik ditelinganya. Memang benar Angga menang untuk urusan jodoh, karena di usianya 28 tahun dia sudah menikah dan baru saja dikaruniai seorang anak.Sedari tadi aku merasakan pandangan Jendra sesekali tertuju padaku saat menyampaikan pidatonya. Bukannya aku terlalu percaya diri, tapi beberapa kali aku menangkap basah dirinya saat menatapku. Dan kini pandangan matanya berubah tajam saat aku masih saling berbisik dengan Angga. Merasa tak nyaman, aku mengakhiri sesi saling berbisik dengan Angga dan mencoba kembali fokus dengan pidato Jendra.Tak begitu lama, Jendra mengakhiri pidatonya sekaligus secara resmi membuka acara pameran. Kami semua yang hadir berdiri dan bertepuk tangan. Dengan resminya pameran dibuka, rangkaian acara pembukaan berakhir. Kami para peserta yang tadi mengikuti acarapun kembali pada stand masing-masing. "Gila gila..Walikota lo cakep banget Dela, gue auto naksir sama dia. Pas dia jalan lewat depan stand, buset wangi banget mana mukanya mulus lagi." Ujar Shela heboh saat aku menghampiri stand. "Tuh kan bener kata gue, emang cakep banget, gue yang cowok aja mengakui kegantengannya." Kembali Angga heboh menanggapi Shela. "Berisik deh kalian berdua. Jangan kecentilan Shel, gue laporin lo sama Andri." Ancamku pada Shela. Diantara mereka, Martin paling pendiam karena dia masih junior kami. "Lo mah, tukang ngadu. Gue cuman ngefans ya." "Udah-udah yok siap-siap bentar lagi pengunjung umum udah mau dibuka." Ajakku pada ketiga rekanku. Kalau tidak segera diakhiri, bisa-bisa lebih pa
"Maaf bu Dela, ditunggu bapak di mobil." Ujarnya dengan menunjuk mobil yang kukenali sebagai mobil pribadi Jendra, iya aku mengenalinya, karena beberapa kali saat Jendra menemuiku, dia menggunakan mobil tersebut.Mematikan sambungan telepon yang tak juga mendapat jawaban dari Stevan, aku segera menghadap pada Aldo."Oh iya mas Aldo, sebentar ya." Membalikan badan pada teman-temanku yang kini menatapku penuh tanya. "Guys gue pamit dulu, bye see you tomorrow."Tanpa menunggu respon dari teman-temanku, aku segera melenggang pergi, menghindar sebelum keluar pertanyaan-pertanyaan dari mereka. Semoga saja besok mereka tidak mencecarku dengan pertanyaan, kalau tidak aku harus segera mengarang cerita.Sambil berjalan aku memejamkan mata sejenak, merutuki diriku sendiri kenapa aku lupa pesan Jendra tadi. Semoga mereka tidak menyadari yang tadi menghampiriku asisten Walikota. Terus berjalan menuju mobil Jendra terparkir dengan Aldo didepanku. Mobilnya sendiri terparkir aga
“Lo kenapa baru makan jam segini Dra?Jam makan lo telat banget.” Tanyaku setelah melihat jm di dinding menunjukkan pukul 20.45. Makan malam yng terlalu larut menurutku.Menyelesaikan kunyahannya Jendra menjawab, “Gue pikir lo belum makan, makanya nungguin lo sekalian.”“Ya kali jam segini gue belum makan, bisa pingsan di pameran gue.”“Emang sempet tadi makan malam?dari laporan orang-orang, pameran hari pertama ramai banget.”“Lebih tepatnya di sempat-sempatin sih, jadi gantian makannya dan gak bisa lama-lama makannya. Yang penting udah isi energy, balik lagi deh ke stand. Gila ya promosinya Dinas Pariwisata sini, sampai bisa ramai gitu yang datang.”“Iyalah, gue selalu tegasin ke Kepala Dinas sama ketua Panitia Pelaksana buat bikin promosi sebaik mungkin agar menarik pengunjung, karena event ini ngundang peserta dari daerah lain, jadi jangan sampai para peserta kecewa. Udah denger kan nanti di hari terakhir bakalan ada konser penutupnya?”“Iya gue tahu
Aku mencari keberadaan tasku, saking gugupnya aku sampai lupa meletakkan dinmana tasku. Dan ternyata tasku ada di meja depan, aku berdiri dan mengambil ponsel di dalam tas.Berdeham sesaat untuk meredamkan kegugupan, "ehmm..ya halo Stev?" Aku yang masih berdiri, terkesiap kaget, saat Jendra mencekal lenganku dan menarikku hingga terjerembab duduk dipangkuannya. Jendra memeluk pinggangku sehingga aku tidak bisa beranjak kemana-mana.Berusaha fokus kembali pada panggilan Stevan, "iya habis ini kakak pulang, ini lagi siap-siap.""Kakak perlu aku jemput gak?ini udah malem banget.""Gak usah Stev, kakak pulang sendiri aja. Bye!"Mematikan panggilan telepon Stevan, aku menundukkan kepala menatap kedua tangan Jendra yang melingkari pinggangku. Aku menoleh ke balik pundak dan kurasakan kepala Jendra bersandar di pundakku."Dra gue harus pulang udah jam 11 malem." Aku berusaha melepaskan tangan Jendra, bukannya terlepas, tangannya semakin erat melingk
Hari ke 3 pameran, aku kebagian masuk pagi. Setelah kemarin aku masuk siang dengan Angga, hari ini kami di rolling masuk pagi. Memang kami memakai sistem sehari masuk pagi, sehari masuk siang, toh pamerannya cuman seminggu jadi kami membuat selang seling saja untuk pembagian jam jaganya. Pagi jam 7 aku berangkat ke pameran, kali ini aku menumpang Stevan, mumpung dia ada kelas kuliah pagi."Nanti aku gak bisa jemput kakak pulangnya, aku harus jemput cewekku. Gara-gara kakak bareng, aku gak jadi berangkat dia deh." Stevan menggerutu begitu menurunkanku di lobby pintu masuk pameran."Iya iya, nanti kakak pulang sama kak Tina sekalian mau hangout. Kamu nih ga ikhlas banget sih nebengin kakak, ntar gak kakak tambahin lo ya uang jajannya.""Bisanya ngancem doang, ya udah jangan lupa transferannya, Bye kak" segera Stevan memacu motornya setelah berpamitan denganku.Karena aku berangkat dengan Stevan menggunakan motor, pakaian yang hari ini aku gunakan celana highwaist w
“Udah semua Ngga?kalau masih ada, gue bantuin mumpung gue udah selesai bersih-bersihnya." Tanyaku begitu Angga meletakkan kardus besar di area pojok."Udah kok, ini udah kardus terakhir. Gue mau beli kopi ke depan haus banget habis angkut-angkut, lo nitip sekalian ga?""Pastinya lah gue nitip, kebetulan tadi di rumah belum ngopi, nitip dong yang cappucino ice ya.""Pagi-pagi gak baik Dela minum yang dingin-dingin." Tiba-tiba Pak Arya muncul disampingku dan nimbrung obrolanku dengan Angga."Gak apa-apa kali pak, gak setiap hari juga." Jawabku sambil mendorong bahu Angga agar segera pergi sebelum petuah Pak Arya semakin panjang dan membatalkan Angga beli kopi.Setelah Angga pergi, aku mulai menata stok produk di etalase. Sedangkan Pak Arya masih duduk di meja kasir, mungkin kelelahan sehabis angkut barang tadi. Sejak putus kalau harus berduaan dengan Pak Arya rasanya masih canggung. Meskipun setiap report bulanan, staff selalu harus menyerahkan lapo
Aku dan Tina janjian di restoran masakan Korea pukul 15.00, tadinya aku pikir dia akan datang terlambat, karena aku sudah hafal kebiasaan Tina yang tidak bisa ontime. Tapi berhubung hari ini ada Pak Arya, jadi aku datang lebih awal dan membuatku lumayan lama menunggu Tina datang. Sambil menunggu Tina, aku memesan minuman dan kue. "Hei, udah lama datengnya?" Akhirnya Tina datang, untungnya hari ini dia tidak datang terlambat. "Tumben lo gak telat?" "Tadi dari toko, jadi gak telat." Jawabnya sambil nyengir. Tina ini memiliki usaha toko kue yang sebagian besar dia yang membuat sendiri. Dari jaman dulu, Tina memang suka memasak, lebih seringnya masak dessert gitu, makanya dia akhirnya bikin toko kue sendiri. "Gak lagi banyak klien?katanya lo lagi hectic banget makanya baru sekarang bisa ketemu gue." "Udah ga terlalu sih, kue-kue nya udah gue desain tinggal karyawan gue yang eksekusi." Ujarnya. "Ya udah lo pesen gih makanan, gue tadi udah pesenan d
“Dra, mau dimasakin apa?" Tanyaku begitu kami sampai di apartemennya. "Nasi goreng aja, gue lagi pengen nasi goreng." Jawabnya sambil melepas topi dan kacamata yang dia kenakan. "Emang ada ready nasi?" "Ada kok tadi gue udah minta Aldo buat pesen ke orangnya dibikin nasi. Coba cek aja di magic com. Gue tinggal mandi dulu ya, gerah badan gue habis perjalanan jauh." Aku lihat Jendra mulai menaiki tangga menuju ke kamarnya. "Oke, nanti lo selesai mandi, nasgornya siap." Sahutku padanya. Membuka kulkas mencari bahan-bahan untuk membuat nasi goreng. Aku melihat ada sosis dan bakso, yang bisa buat tambahan toping nasi goreng. Saat sedang menyelesaikan memasak nasi goreng, aku mendengar langkah kaki menuruni anak tangga, tanpa menoleh pun aku tahu kalau itu Jendra. Aroma sabun menguar memenuhi area sekitar dapur. "Masih belum selesai?" Tanyanya Aku menoleh sekilas, dan menyesali detik itu juga. Mengumpat lirih karena merasa salah tingkah saat me
Pagi setelah Dela mengakhiri hubungan kami, aku benar-benar kalut. Aku langsung memerintahkan Aldo untuk kembali ke kota Aare. Dalam pikiranku, satu-satunya cara agar Dela tidak pergi dariku adalah menemui orang tuanya dan langsung melamarnya. Mungkin Dela akan marah, tapi aku tidak peduli. Salahkan dia yang seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku juga bisa seperti itu. Saat aku menyuruh Aldo untuk dia langsung ke rumah Dela, dia menolak ideku. “Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Sangat tidak sopan kalau Bapak ke sana malam-malam.” “Terus kapan, Do? Saya gak mau menunggu lama-lama.” Aldo menghela nafas pelan.,“Besok pagi saja, Pak Jendra. Malam ini Bapak bisa istirahat dulu. Tidak mungkin Bapak menemui orang tua Bu Dela dengan keadaan kacau seperti ini.” Aku berpikir sebentar, apa yang diucapkan Aldo ada benarnya juga. Gak mungkin aku ketemu orang tuanya dengan kondisiku yang kacau begini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dinas.Keesokkan harinya, aku sudah segera
"Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia
Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj
Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos
Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal
Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.
Dua minggu sebelum pernikahan, aku sudah disibukkan dengan fitting beberapa baju yang akan digunakan saat akad hingga resepsi. Kini aku sedang mencoba baju yang akan kugunakan untuk acara akad dibantu oleh Mbak Erna, designer baju yang saat ini aku coba. Ada kebaya berwarna putih dengan detail swasroski di seluruh bagian atasnya, sedangkan bawahnya dipadukan dengan kain bermotif batik parang. Di atas kepalaku terpasang veil sepanjang hampir tiga meter hingga membentuk ekor di belakang tubuhku. Aku memandang diriku di cermin dengan takjub, tidak percaya bahwa kebaya yang kukenakan tampak begitu cantik dan indah. Mbak Erna membuka tirai ruang gantiku setelah memastikan kebaya yang aku kenakan sudah rapi. Keluargaku dan keluarga Jendra menatap takjub padaku, bahkan Dinda berdiri dan menghampiriku, bertepuk tangan heboh sambil menatapku. “Kak Dela cantik banget!” pujinya yang membuatku tersipu malu. “Puji aja terus sampai lupa sama Mas-nya sendiri,” protes Jendra yang tad
“Gimana, Kak, tadi rapatnya?” tanya Mama begitu aku masuk setelah mengantarkan Jendra ke depan.Jadi tadi aku akhirnya mengikuti rapat PKK seperti yang dikatakan Bu Vani-istri Wakil Wali Kota. Rapat berjalan dengan lancar, meskipun awalnya ada beberapa ibu-ibu yang terkejut dengan kehadiran dan bertanya-tanya tentang siapa aku. Dan jangan lupakan kehadiranku yang datang bersama Jendra semakin membuat penasaran. Beruntung Bu Vani berbaik hati mengenalkanku kepada Ibu-ibu yang hadir di sana. Tadi Jendra tidak ikut saat kami rapat, dia hanya mengantarku sampai di ruang rapat, setelah itu dia pergi di area luar resto bersama Pak Wakil Wali kota dan Aldo.Kembali lagi pada pertanyaan Mamaku tadi.Aku duduk di samping Mama, merangkul lengannya dan bersandar di bahu Mama. “Semuanya berjalan lancar, Ma. Banyak ibu-ibu yang usianya lebih tua dari aku, tapi mereka tetap menghormatiku. Aku juga bersyukur Ibu Wakil Wali kota baik banget orangnya, tadi banyak ngajarin aku t
Acara pertemuan di restoran Hotel Emerald kali ini berlangsung dengan hangat dan dihadiri oleh keluarga inti saja karena masih merupakan pertemuan pertama kedua keluarga. Awalnya, aku sempat khawatir Bu Wahyu akan berubah pikiran saat bertemu dengan keluargaku—entah kenapa sejujurnya masih saja ada ketakutan dalam diriku kalau Bu Wahyu belum seratus persen menerimaku. Namun, semua kekhawatiranku hilang saat melihat interaksi Mamaku dengan Bu Wahyu, terlihat mereka bisa mengobrol seperti teman lama. Diam-diam aku tersenyum sendiri, bahagia melihatnya. Aku menolehkan wajahku ke samping saat merasakan jemari tangan Jendra mengusap sudut mataku. Ternyata tanpa sadar aku meneteskan air mata bahagia. “Kenapa nangis?” bisiknya pelan. “Gak apa-apa, aku cuma terharu. Aku bahagia, Dra,” ujarku. Jendra meraih tanganku, mengusapnya perlahan. “Aku lebih bahagia, Dela.” Sore itu kami semua larut dalam bahagia bersama keluarga kami. Banyak yang kami bicarakan mulai dari pe