"Hadeuh," lirihku malas melihat ponselku yang terus saja berbunyi. Ya, meskipun setiap hari selalu begitu karena grup W******p dari anak-anak kantor, kali ini jauh lebih berisik karena grup W******p reuni SMP yang baru aku ikuti. Yang membuatku sebal, sejak tadi mereka masih ribut melakukan pengambilan suara untuk menentukan tanggal pelaksanaannya. Mereka masih menemui jalan buntu karena sebagian besar teman-temanku di perantauan—hanya beberapa yang masih menetap di Kota Aare.Anyway, namaku Adela Putria, biasa dipanggil Dela. Usiaku menginjak 28 tahun ini, bekerja sebagai salah satu pegawai di kantor pemerintahan setingkat kota administratif di Kota Metropolitan Milton—ibu kota . Aku berbeda dengan orang lain yang harus dipaksa untuk menjadi seorang pegawai pemerintahan. Pekerjaanku sekarang adalah salah satu impianku dan orang tuaku. Selain ingin mengikuti jejak ayahku, aku ingin di hari tua nanti mempunyai uang pensiun setiap bulannya. Terjamin, kan?Kembali lagi ke reuni SMP in
Keesokan harinya, pukul tiga sore, Tina menjemputku di rumah. Sudah tidak ada alasan lagi untukku tidak ikut ke reuni. Semua ini demi menemani Tina dan segala nasehat dari Mama tadi pagi setelah aku berkata jujur kalau sebenarnya terpaksa mengikuti reuni ini. Mama bilang hitung-hitung tetap menjaga silahturahmi sama teman biar kalau ada apa-apa banyak yang bantu. Dan sekarang aku sudah berada di dalam mobil Tina menuju venue reuni di Hotel De Emerald. Hotel ini sendiri milik Walikota baru yang merupakan salah satu temanku SMP. "Gimana Del, udah punya pacar?" Dari banyaknya pertanyaan, kenapa si Tina harus banget sih nanyain pertanyaan keramat itu. "Lo kayak gak ada pertanyaan lain aja deh", protesku pada Tina. "Ya elah, lo sih udah 28 tahun masih jomblo aja." "Sorry gue bukan jomblo, tapi gue single. Mentang-mentang lo udah nikah ya langsung nyuruh gue buru-buru nikah aja." Tina hanya menjawab dengan kekehannya. "Lo kenapa sih gak ngajak suami lo aja ikut ke reuni, malah maksa-
Untungnya, ada orang lain yang memanggilnya.Kini aku sedang di toilet untuk buang air kecil dan sedikit memperbaiki make up. Setelahnya, aku pun keluar. Namun, tanpa sengaja aku bertemu lagi dengan Jendra yang juga baru keluar toilet laki-laki!"Sial banget sih, kenapa harus ketemu lagi?" gerutuku pelan. Tanpa bisa menghindar, aku berjalan santai kembali menuju ballroom dan saat melewati Jendra, aku hanya melempar senyum untuk menyapanya karena aku tidak ingin dianggap sok kenal dengan berbasa-basi dengannya. "Habis dari toilet Del?" sapanya. Menghembuskan nafas pelan, aku berbalik badan menghadap Jendra untuk menjawab basa basinya. "Iya Dra, lo,..aduh sorry maksudku kamu udah mau cabut sekarang?" tanyaku saat kulihat asisten dan beberapa pengawalnya terlihat bersiap meninggalkan ballroom hotel. "Udah gue bilang, santai aja. Sesantainya lo aja, ga usah formal-formal sama gue, lo bukan bawahan gue.” Ucapnya dengan santai. “Iya, masih ada kerjaan yang harus gue urus. Gue pamit du
Seminggu sesudah acara reuni, aku sudah kembali menjalani aktivitas sehari-hari di Ibukota Milton sebagai pegawai pemerintahan. Tentu saja, karena kemarin aku tidak mengajukan cuti sama sekali jadi Senin subuh dengan menggunakan kereta pertama aku kembali ke kota perantauan. Selesai dari car free day minggu lalu, Jendra yang dulu meminta nomor ponselku, sampai saat ini tidak ada pesan masuk ataupun telepon darinya. Dan aku juga tidak mengharapkan hal itu, sebenarnya. Aku hanya berfikir mungkin kemarin dia hanya basa basi saja meminta nomor ponselku saat kami bertemu. Ponselku yang berada di atas meja bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Aku melirik sekilas id pemanggilnya, betapa terkejutnya aku saat nama Jendra terpampang di layar ponselku. Baru juga dipikirkan langsung telepon. Tanpa menunggu lama, aku mengangkat teleponnya."Ya halo." "Halo Del, lo di mana?ada di rumah gak?" Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaannya. "Gue lagi ada di Ibukota
Tepat pukul tujuh malam, Jendra sudah berdiri di depan pintu unit apartemenku. Aku sudah siap berangkat, rapi dengan mengenakan midi dress serta flatshoes. Sedangkan Jendra tampil dengan kemeja flanel yang di buka seluruh kancingnya dan memperlihatkan kaos hitam polos di dalamnya serta celana jeans. Tak akan ada yang mengira bahwa Jendra adalah seorang wali kota jika melihat penampilannya saat ini. Kami berjalan beriringan di koridor menuju lift untuk ke lobi apartemen. Di lobi sudah terparkir mobil Camry yang tadi siang digunakannya. Di belakangnya ada satu mobil lagi yang sepertinya berisi asisten dan para pegawalnya. "Itu mobil belakang, mobil pengawal lo?" tanyaku pada Jendra begitu kami meninggalkan pelataran apartemen. "Iya, lo kok tau?" jawabnya sambil melirikku sekilas. "Soalnya dari tadi siang kayaknya ngikutin mobil lo mulu. Ngomong-ngomong kita mau makan di mana?" "Ada, deh, rahasia itu," jawabnya dengan kerlingan jail, yang kubalas deng
Sepanjang malam kami mengobrol cukup lama di balkon dan minum kopi yang tadi sempat dibuatkan chef-nya sebelum meninggalkan apartemen Jendra. Ketika melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku yang menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta Jendra mengantarkanku kembali ke Apartemen."Thank's ya Dra, buat makan malamnya." Ucapku tulus begitu kami sampai di lobby apartemenku."You're welcome. Besok lo ada acara ga?""Hmm ga ada kayaknya, kenapa?""Temenin gue ke pasar minggu ya, mau survei pasar minggu yang ada di sini. Buat perbandingan sama di kota kita""Gak janji ya, gue kalau hari minggu susah bangun pagi."Jelas hari minggu adalah hari bermalas-malasan untukku, karena hanya di hari sabtu dan minggu, aku bisa bangun siang. Sedangkan di hari biasa, aku harus bangun pagi-pagi buta untuk menyiapkan sarapan dan bekal makan siang lalu berangkat bekerja."Gampang, ntar gue telepon lo berkali-kali sampai lo bangun.”
“Halo, ya Dra," sapaku saat ada panggilan telepon masuk. "Dela, lo masih di kantor?" "Iya ini gue masih di kantor, kenapa?" "Lo balik jam berapa?gue lagi ada di Milton nih. Ketemuan yuk Del" Mendengar ucapan Jendra, refleks aku menghentikan kegiatanku. "Hah gimana?kok mendadak amat sih." "Gue lupa tadi pagi mau ngabarin lo, ini mumpung ada kerjaan di Milton jadi sekalian pengen ketemu lo." "Tunggu gue pulang 30 menit lagi, masih kelarin laporan kerjaan hari ini." "Oke santai aja, ini gue juga masih meeting kok, kalau udah mau kelar kabari lagi ya, see you." Begitu sambungan telepon berakhir, aku bergegas menyelesaikan pekerjaanku. Shela yang duduk di sebelah, melihat aku yang terburu-buru setelah menerima telepon pun bertanya, "siapa yang telepon Del?kok lo jadi buru-buru gini?" "Si Jendra yang telepon, ngabarin kalau lagi di Milton. Ngajakin gue ketemuan." "Jendra yang Wali kota itu?" Pekik Shela yang sukses mengundang teman-temanku
"Gue mandi duluan ya, udah lengket banget badan gue. Lo yang pesen makan, terserah gue ngikut aja." Kataku sambil menuju kamar mandi. Tak sampai 10 menit, aku susah selesai mandi. Di meja makan sudah tersedia banyak makanan, ada nasi goreng, ayam goreng, sate ayam dan soto daging. Bener-bener ya si Jendra ini, makan cuman berdua aja pesennya banyak banget. Beranjak dari meja makan, aku mencari keberadaan Jendra di ruang tamu, tapi yang kulihat hanya jasnya yang terlipat rapi disofa sedangkan orangnya tidak ada. Aku menuju ke balkon, satu-satunya tempat yang mungkin di datangi Jendra yang ada di apartemen kecilku ini. Dan benar saja dia ada disana, sedang menghadap pemandangan di luar apartemen, sepertinya dia masih saja sibuk dengan ponselnya. Tok tok..aku mengetuk pintu penghubung balkon untuk menarik perhatian Jendra. "Udah selesai mandi?ayo makan, lo pasti udah laper banget kan?" Ajak Jendra dengan berjalan menuju ke meja makan. "Gue gak tau lo maunya mak
Pagi setelah Dela mengakhiri hubungan kami, aku benar-benar kalut. Aku langsung memerintahkan Aldo untuk kembali ke kota Aare. Dalam pikiranku, satu-satunya cara agar Dela tidak pergi dariku adalah menemui orang tuanya dan langsung melamarnya. Mungkin Dela akan marah, tapi aku tidak peduli. Salahkan dia yang seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku juga bisa seperti itu. Saat aku menyuruh Aldo untuk dia langsung ke rumah Dela, dia menolak ideku. “Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Sangat tidak sopan kalau Bapak ke sana malam-malam.” “Terus kapan, Do? Saya gak mau menunggu lama-lama.” Aldo menghela nafas pelan.,“Besok pagi saja, Pak Jendra. Malam ini Bapak bisa istirahat dulu. Tidak mungkin Bapak menemui orang tua Bu Dela dengan keadaan kacau seperti ini.” Aku berpikir sebentar, apa yang diucapkan Aldo ada benarnya juga. Gak mungkin aku ketemu orang tuanya dengan kondisiku yang kacau begini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dinas.Keesokkan harinya, aku sudah segera
"Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia
Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj
Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos
Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal
Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.
Dua minggu sebelum pernikahan, aku sudah disibukkan dengan fitting beberapa baju yang akan digunakan saat akad hingga resepsi. Kini aku sedang mencoba baju yang akan kugunakan untuk acara akad dibantu oleh Mbak Erna, designer baju yang saat ini aku coba. Ada kebaya berwarna putih dengan detail swasroski di seluruh bagian atasnya, sedangkan bawahnya dipadukan dengan kain bermotif batik parang. Di atas kepalaku terpasang veil sepanjang hampir tiga meter hingga membentuk ekor di belakang tubuhku. Aku memandang diriku di cermin dengan takjub, tidak percaya bahwa kebaya yang kukenakan tampak begitu cantik dan indah. Mbak Erna membuka tirai ruang gantiku setelah memastikan kebaya yang aku kenakan sudah rapi. Keluargaku dan keluarga Jendra menatap takjub padaku, bahkan Dinda berdiri dan menghampiriku, bertepuk tangan heboh sambil menatapku. “Kak Dela cantik banget!” pujinya yang membuatku tersipu malu. “Puji aja terus sampai lupa sama Mas-nya sendiri,” protes Jendra yang tad
“Gimana, Kak, tadi rapatnya?” tanya Mama begitu aku masuk setelah mengantarkan Jendra ke depan.Jadi tadi aku akhirnya mengikuti rapat PKK seperti yang dikatakan Bu Vani-istri Wakil Wali Kota. Rapat berjalan dengan lancar, meskipun awalnya ada beberapa ibu-ibu yang terkejut dengan kehadiran dan bertanya-tanya tentang siapa aku. Dan jangan lupakan kehadiranku yang datang bersama Jendra semakin membuat penasaran. Beruntung Bu Vani berbaik hati mengenalkanku kepada Ibu-ibu yang hadir di sana. Tadi Jendra tidak ikut saat kami rapat, dia hanya mengantarku sampai di ruang rapat, setelah itu dia pergi di area luar resto bersama Pak Wakil Wali kota dan Aldo.Kembali lagi pada pertanyaan Mamaku tadi.Aku duduk di samping Mama, merangkul lengannya dan bersandar di bahu Mama. “Semuanya berjalan lancar, Ma. Banyak ibu-ibu yang usianya lebih tua dari aku, tapi mereka tetap menghormatiku. Aku juga bersyukur Ibu Wakil Wali kota baik banget orangnya, tadi banyak ngajarin aku t
Acara pertemuan di restoran Hotel Emerald kali ini berlangsung dengan hangat dan dihadiri oleh keluarga inti saja karena masih merupakan pertemuan pertama kedua keluarga. Awalnya, aku sempat khawatir Bu Wahyu akan berubah pikiran saat bertemu dengan keluargaku—entah kenapa sejujurnya masih saja ada ketakutan dalam diriku kalau Bu Wahyu belum seratus persen menerimaku. Namun, semua kekhawatiranku hilang saat melihat interaksi Mamaku dengan Bu Wahyu, terlihat mereka bisa mengobrol seperti teman lama. Diam-diam aku tersenyum sendiri, bahagia melihatnya. Aku menolehkan wajahku ke samping saat merasakan jemari tangan Jendra mengusap sudut mataku. Ternyata tanpa sadar aku meneteskan air mata bahagia. “Kenapa nangis?” bisiknya pelan. “Gak apa-apa, aku cuma terharu. Aku bahagia, Dra,” ujarku. Jendra meraih tanganku, mengusapnya perlahan. “Aku lebih bahagia, Dela.” Sore itu kami semua larut dalam bahagia bersama keluarga kami. Banyak yang kami bicarakan mulai dari pe