"Gue mandi duluan ya, udah lengket banget badan gue. Lo yang pesen makan, terserah gue ngikut aja." Kataku sambil menuju kamar mandi.
Tak sampai 10 menit, aku susah selesai mandi. Di meja makan sudah tersedia banyak makanan, ada nasi goreng, ayam goreng, sate ayam dan soto daging. Bener-bener ya si Jendra ini, makan cuman berdua aja pesennya banyak banget.Beranjak dari meja makan, aku mencari keberadaan Jendra di ruang tamu, tapi yang kulihat hanya jasnya yang terlipat rapi disofa sedangkan orangnya tidak ada.Aku menuju ke balkon, satu-satunya tempat yang mungkin di datangi Jendra yang ada di apartemen kecilku ini. Dan benar saja dia ada disana, sedang menghadap pemandangan di luar apartemen, sepertinya dia masih saja sibuk dengan ponselnya.Tok tok..aku mengetuk pintu penghubung balkon untuk menarik perhatian Jendra."Udah selesai mandi?ayo makan, lo pasti udah laper banget kan?" Ajak Jendra dengan berjalan menuju ke meja makan. "Gue gak tau lo maunya makan apa, jadi ya gue pesen macem-macem masakan."Aku geleng-geleng kepala mendengar penjelasannya, "kita cuman makan berdua loh, gak perlu banyak gini menunya.""Ya kalau nanti gak habis bisa lo panasin buat sarapan besok pagi.""Serah lo aja deh Dra, yang penting gue sekarang mau makan."Aku mengambil nasi goreng dan sate ayam, sedangkan Jendra mengambil soto daging. Sepanjang makan malam tidak ada pembicaraan, kami hanya fokus pada makanan masing-masing.Selesai makan, aku membereskan bekas piring makan kami, sedangkan Jendra merapikan meja makan dan menyimpan sisa makanan ke dalam kulkas.***Selesai mencuci piring, aku menoleh ke arah meja makan, mencari keberadaan Jendra. Tadi dia menungguku mencuci piring di meja makan sambil kami mengobrol. Tiba-tiba sudah tidak ada lagi orangnya.Sama seperti saat aku selesai mandi tadi, dapat dipastikan Jendra berada di balkon. Terlihat dia sedang menerima telepon dari seseorang, menunggunya menyelesaikan telepon, aku beranjak kembali ke dapur, membuat kopi untuk kami berdua. Kopi Cappucino untukku dan Latte untuk Jendra sudah siap aku sajikan. Berjalan kembali ke balkon, ternyata Jendra sudah selesai dengan teleponnya."Nih Latte buat lo, sorry adanya itu aja gue ga nyetok kopi item," kataku sambil menyajikan latte itu di meja."It's okay, thank's ya." Sahutnya"Hmmm...lo sibuk banget keliatannya dari tadi. Kalau lo sibuk balik aja gih.""Nope, cuman ngurusin beberapa kerjaan aja sama ngecek persiapan buat besok ada launching cafe baru gue di daerah pusat. Besok lo sibuk gak Del?""Gak sibuk sih, cuman mau nyuci-nyuci baju aja besok. Kenapa?""Besok ikut gue ke tempat launching yuk" ajaknya."Gak deh makasih, mending gue nyuci aja dari pada ikut lo.""Please ya Dela, lo ikut gue ya. Acaranya sore kok, lo masih bisa nyuci baju paginya.""No no, disana pasti banyak orang dan pasti ada wartawan, gak mau gue."Membayangkan bersama Jendra di tempat keramaian, yang pasti akan membuatnya menjadi pusat perhatian dan datang bersamaku?sudah pasti bakal banyak gosip berkembang."Kenapa emangnya lo gak mau?lo cuman temenin gue aja, gak sampek 1 jam kita bisa cabut.""Gue gak mau ya itu acaranya pasti rame banget, kalau ada yang lihat lo dateng bareng gue, ntar jadi gosip", aku akhirnya mengutarakan alasan keberatanku."Ga bakalan gue jamin deh, ntar habis dari acara kita jalan-jalan." Pinta Jendra dengan muka memelas."Lihat besok deh, gue gak janji ya," putusku kemudian, karena tidak tega melihat wajah memelasnya.***Keesokan harinya, disinilah aku sekarang, di depan kafe Senja - kafe baru Jendra yang akan launching hari ini.Tidak ada pilihan lain lagi untukku selain mengikutinya, karena Jendra tanpa menelepon terlebih dahulu, tiba-tiba sudah datang di apartemenku.Posisi kami saat ini masih berada di dalam mobil, dengan Jendra yang sudah rapi menggunakan celana chinos coklat keabuan, kemeja putih yang dilapisi sweater hitam serta sepatu sneakers.Sedangkan aku memakai atasan blouse hitam dengan celana coklat dan sepatu sneakers tentunya. Kami berdua tampak semi formal, terlihat tidak terlalu formal ataupun terlalu santai.Didepan sana sudah banyak orang yang berdatangan. Melihat banyaknya orang yang datang, aku mengembuskan nafas kasar, sepertinya keputusanku untuk menemani Jendra salah deh.Menyadari aku yang gugup, Jendra memutar tubuhnya menghadapku. "Look at me," ucap Jendra yang langsung aku turuti. "Lo tenang aja, gue udah pastiin nanti gak ada wartawan, soalnya undangan untuk media masih nanti malem. Sore ini cuman peresmian khusus untuk tamu undangan yang isinya rekan kerja kami kok."Aku hanya menganggukan kepalaku, berusaha menekan rasa gugupku. Bukannya apa-apa, tapi ini Wali kota Jendra orang yang sedang naik daun karena menjadi Walikota termuda sekaligus statusnya masih single. Tentu saja dia menjadi pusat perhatian saat terlihat dengan wanita.Melihatku yang menenangkan diri, Jendra mengusap puncak kepalaku. Aku otomatis menatapnya lagi, dia tersenyum menenangkanku. Kembali mengembuskan nafas kasar sekali lagi, dan aku mencoba tersenyum.Tanpa aku sadari, ternyata Jendra sudah keluar dari mobil dan pintu sampingku terbuka. Jendra membukakan pintu dan menengadahkan tangan untuk aku genggam. Sontak aku menepis tangannya, karena tidak ingin menarik perhatian orang lain saat melihat kami bergandengan tangan.Mengabaikan penolakanku, Jendra justru meraih dan mengenggam tanganku untuk mengajak keluar dari mobil. Kami berjalan bergandengan tangan dengan dua pengawal serta Aldo asisten Jendra berada di depan dan dua pengawal lain di belakang. Sekilas badanku yang mungil ini tidak terlihat oleh yang lain karena tertutup oleh badan besar berotot dari para pengawal.Setelah memasuki kafe, suasana didalamnya begitu indah dan instagramable dengan banyaknya dekorasi bergaya anak muda. Sepertinya kafe ini membidik kalangan anak muda dan mahasiswa, karena tempatnya yang nyaman untuk sekedar nongkrong atau mengerjakan tugas bersama teman. Selain itu tempatnya juga strategis berada di dekat area kampus.Jendra mengenalkanku pada partner bisnisnya yang ternyata adalah salah satu chef dan selebgram terkenal, Abimana namanya. Selesai berbasa basi, Jendra mengajak duduk di kursi pojok ruangan yang berbentuk sofa."Gimana menurut lo konsep kafenya?" tanya Jendra tiba-tiba padaku."Hmmm..menarik dan keren kafenya, konsepnya juga cocok banget buat anak muda. Lokasinya strategis sih di pusat Milton deket juga sama kampus-kampus”“Syukurlah kalau lo suka. Cafe ini bisnis pertama gue di bidang F&B, ya gue disini gak banyak terlibat, cuman invest aja yang jalanin ya si Abi tadi, dia salah satu temen kuliah gue waktu di Aussie.""Iya sih, bisnis lo kan kebanyakan di properti kan ya?""Yap, lo bener. By the way mau pesen apa?kita nyicip makanan sama minuman disini dulu ya, habis itu kita cabut."“Kenapa lo buka café di Ibukota?Kenapa gak nyoba buka dulu di Kota Aare?”“hmmm gimana ya jelasinnya, gue kan disini sebagai investor, sedangkan yang menjalankan café ini secara penuh itu Abimana. Jadi kalau buka di Ibukota, Abimana bisa langsung ngawasin karena ya dia tinggalnya disini. Nantinya kalau café ini sukses, rencananya baru mau buka cabang pertama di kota Aare.” Jelasnya panjang lebar."Lo gak nungguin sampai acara launching-nya mulai?""Gak, gue cuman mastiin aja semuanya beres. Kalau nunggu launching mulai, pasti bakalan lebih rame banget. Nanti gue sempetin nyapa dan ketemu beberapa rekan kerja dulu, lo gak apa-apa kan nanti gue tinggal bentar?"“Santai aja, take your time.”Aku mengangguk paham, pasti akan ramai dengan fans-fansnya saat tahu Jendra hadir disini, meskipun yang datang adalah rekan kerja Jendra, tapi tidak menutup kemungkinan ada fans yang nekad datang ke sini.Sambil menunggu makanan kami datang, Jendra sempat pamit untuk menemui rekan kerja dan beberapa temannya yang menjadi tamu undangan, sedangkan aku menunggu di meja dan memainkan ponsel.Akhirnya setelah menunggu, pesanan makanan dan minuman kami datang, Jendra pun kembali menghampiriku. Kami makan dan mengobrol seperti biasa. Selesai makan, Jendra mengajakku untuk pamit pulang kepada rekan-rekannya. Saat berpamitan, Aldo asisten Jendra berkata, "Maaf pak, di depan mulai banyak pengunjung sulit untuk kita keluar. Kemungkinan ada banyak orang yang menyebarkan kalau bapak sudah ada disini."Aku lihat, Jendra masih tenang seperti sudah biasa menghadapi hal ini. Sambil menggapai tanganku untuk digenggamnya, Jendra memberi perintah pada Aldo untuk memindahkan mobil ke pintu belakang dan Jendra langsung ijin kepada Abimana untuk pulang lewat pintu belakang.Sebelum berjalan menuju pintu belakang, aku sempatkan untuk melirik sekilas keramaian yang ada di depan cafe. Ada banyak orang yang didominasi oleh kaum hawa yang terlihat penasaran mencari keberadaan Jendra. Mereka berdiri di area parkiran, tidak bisa masuk ke dalam karena café masih belum dibuka untuk umum. Padahal kami sekarang sedang di Ibukota Milton bukan di kota Aare tapi antusias fans Jendra tak kalah dari kota asal kami. Aku merasa tanganku ditarik, karena tidak siap, tangan kiriku refleks memegang lengan Jendra untuk mencari keseimbangan. Sadar dengan yang kulakukan, aku cepat-cepat melepas tangan kiriku dari lengannya, Jendra yang menyadarinya bertanya, "Kenapa Del?" "Gak apa-apa tadi gue kaget aja tiba-tiba lo tarik, untung gak jatuh." Kami pun melanjutkan berjalan menuju pintu belakang, di sana sudah ada Aldo yang keluar dari mobil Jendra. "Silahkan Bapak pergi dulu, kami akan mengatasi yang di sini. Nanti kami akan menyusul Bapak." Ucap Aldo sambil
Setelah perdebatan alot tadi, akhirnya aku di sini sendirian. Jendra yang tadinya tetap ngotot ingin agar sopirnya menungguku karena dia merasa bertanggung jawab telah mengajakku kesini jadi dia ingin memastikan aku nantinya pulang dengan selamat. Tentu saja aku tetap menolaknya dengan ancaman aku tidak akan mau bertemu dengannya lagi kalau dia tetap memaksa sopirnya menungguku di sini. "Fine, sopir gue gak akan nunggu lo, tapi lo harus janji kabari gue kalau udah sampai apartemen lo." Yang kujawab dengan anggukan kepala. Setelah itu Jendra akhirnya pulang bersama asistennya. Ibu Wahyu, aku sudah tidak asing lagu dengan namanya. Beliau adalah Walikota 2 periode kota Aare saat aku masih SD hingga lulus SMP, dan juga beliau adalah Ibu kandung dari Jendra. Di usianya yang saat ini, bu Wahyu masih aktif menjabat sebagai anggota Dewan. Jendra sendiri merupakan anak sulung dari 2 bersaudara, setahuku adik perempuannya masih kuliah di luar negeri namanya Dinda. Dari dulu sud
Hari Senin kali ini berbeda dari biasanya, karena aku ditugaskan oleh kantor untuk mengikuti pameran yang menampilkan hasil UMKM atau hasil karya warga Ibukota Milton. Pameran kali ini dilaksanakan di kota Aare, kota asalku. Sudah menjadi agenda rutin kantor mengikuti pameran-pameran yang diadakan baik diluar kota ataupun dalam kota. Tujuan kantor mengikuti pameran untuk mengenalkan produk-produk UMKM Ibukota Milton dan membantu memasarkannya. Sudah sedari hari Sabtu aku pulang ke kota Aare. Tim kali ini yang berangkat ke kota Aare, ada 4 orang yaitu aku, Angga, Martin dan Shela. Pameran ini diadakan oleh pemerintah kota Aare dengan mengundang daerah-daerah lain yang akan dilaksanakan selama 1 minggu kedepan. Sebenarnya dari kantor disediakan akomodasi hotel dan transportasi selama jalannya pameran, berhubung acaranya diadakan dikotaku, aku memilih untuk tinggal dirumahku sendiri dan mencairkan saja uang akomodasiku. Sedangkan 3 temanku yang lain tinggal di hotel yang
Tak begitu lama, Jendra mengakhiri pidatonya sekaligus secara resmi membuka acara pameran. Kami semua yang hadir berdiri dan bertepuk tangan. Dengan resminya pameran dibuka, rangkaian acara pembukaan berakhir. Kami para peserta yang tadi mengikuti acarapun kembali pada stand masing-masing. "Gila gila..Walikota lo cakep banget Dela, gue auto naksir sama dia. Pas dia jalan lewat depan stand, buset wangi banget mana mukanya mulus lagi." Ujar Shela heboh saat aku menghampiri stand. "Tuh kan bener kata gue, emang cakep banget, gue yang cowok aja mengakui kegantengannya." Kembali Angga heboh menanggapi Shela. "Berisik deh kalian berdua. Jangan kecentilan Shel, gue laporin lo sama Andri." Ancamku pada Shela. Diantara mereka, Martin paling pendiam karena dia masih junior kami. "Lo mah, tukang ngadu. Gue cuman ngefans ya." "Udah-udah yok siap-siap bentar lagi pengunjung umum udah mau dibuka." Ajakku pada ketiga rekanku. Kalau tidak segera diakhiri, bisa-bisa lebih pa
"Maaf bu Dela, ditunggu bapak di mobil." Ujarnya dengan menunjuk mobil yang kukenali sebagai mobil pribadi Jendra, iya aku mengenalinya, karena beberapa kali saat Jendra menemuiku, dia menggunakan mobil tersebut.Mematikan sambungan telepon yang tak juga mendapat jawaban dari Stevan, aku segera menghadap pada Aldo."Oh iya mas Aldo, sebentar ya." Membalikan badan pada teman-temanku yang kini menatapku penuh tanya. "Guys gue pamit dulu, bye see you tomorrow."Tanpa menunggu respon dari teman-temanku, aku segera melenggang pergi, menghindar sebelum keluar pertanyaan-pertanyaan dari mereka. Semoga saja besok mereka tidak mencecarku dengan pertanyaan, kalau tidak aku harus segera mengarang cerita.Sambil berjalan aku memejamkan mata sejenak, merutuki diriku sendiri kenapa aku lupa pesan Jendra tadi. Semoga mereka tidak menyadari yang tadi menghampiriku asisten Walikota. Terus berjalan menuju mobil Jendra terparkir dengan Aldo didepanku. Mobilnya sendiri terparkir aga
“Lo kenapa baru makan jam segini Dra?Jam makan lo telat banget.” Tanyaku setelah melihat jm di dinding menunjukkan pukul 20.45. Makan malam yng terlalu larut menurutku.Menyelesaikan kunyahannya Jendra menjawab, “Gue pikir lo belum makan, makanya nungguin lo sekalian.”“Ya kali jam segini gue belum makan, bisa pingsan di pameran gue.”“Emang sempet tadi makan malam?dari laporan orang-orang, pameran hari pertama ramai banget.”“Lebih tepatnya di sempat-sempatin sih, jadi gantian makannya dan gak bisa lama-lama makannya. Yang penting udah isi energy, balik lagi deh ke stand. Gila ya promosinya Dinas Pariwisata sini, sampai bisa ramai gitu yang datang.”“Iyalah, gue selalu tegasin ke Kepala Dinas sama ketua Panitia Pelaksana buat bikin promosi sebaik mungkin agar menarik pengunjung, karena event ini ngundang peserta dari daerah lain, jadi jangan sampai para peserta kecewa. Udah denger kan nanti di hari terakhir bakalan ada konser penutupnya?”“Iya gue tahu
Aku mencari keberadaan tasku, saking gugupnya aku sampai lupa meletakkan dinmana tasku. Dan ternyata tasku ada di meja depan, aku berdiri dan mengambil ponsel di dalam tas.Berdeham sesaat untuk meredamkan kegugupan, "ehmm..ya halo Stev?" Aku yang masih berdiri, terkesiap kaget, saat Jendra mencekal lenganku dan menarikku hingga terjerembab duduk dipangkuannya. Jendra memeluk pinggangku sehingga aku tidak bisa beranjak kemana-mana.Berusaha fokus kembali pada panggilan Stevan, "iya habis ini kakak pulang, ini lagi siap-siap.""Kakak perlu aku jemput gak?ini udah malem banget.""Gak usah Stev, kakak pulang sendiri aja. Bye!"Mematikan panggilan telepon Stevan, aku menundukkan kepala menatap kedua tangan Jendra yang melingkari pinggangku. Aku menoleh ke balik pundak dan kurasakan kepala Jendra bersandar di pundakku."Dra gue harus pulang udah jam 11 malem." Aku berusaha melepaskan tangan Jendra, bukannya terlepas, tangannya semakin erat melingk
Hari ke 3 pameran, aku kebagian masuk pagi. Setelah kemarin aku masuk siang dengan Angga, hari ini kami di rolling masuk pagi. Memang kami memakai sistem sehari masuk pagi, sehari masuk siang, toh pamerannya cuman seminggu jadi kami membuat selang seling saja untuk pembagian jam jaganya. Pagi jam 7 aku berangkat ke pameran, kali ini aku menumpang Stevan, mumpung dia ada kelas kuliah pagi."Nanti aku gak bisa jemput kakak pulangnya, aku harus jemput cewekku. Gara-gara kakak bareng, aku gak jadi berangkat dia deh." Stevan menggerutu begitu menurunkanku di lobby pintu masuk pameran."Iya iya, nanti kakak pulang sama kak Tina sekalian mau hangout. Kamu nih ga ikhlas banget sih nebengin kakak, ntar gak kakak tambahin lo ya uang jajannya.""Bisanya ngancem doang, ya udah jangan lupa transferannya, Bye kak" segera Stevan memacu motornya setelah berpamitan denganku.Karena aku berangkat dengan Stevan menggunakan motor, pakaian yang hari ini aku gunakan celana highwaist w
Pagi setelah Dela mengakhiri hubungan kami, aku benar-benar kalut. Aku langsung memerintahkan Aldo untuk kembali ke kota Aare. Dalam pikiranku, satu-satunya cara agar Dela tidak pergi dariku adalah menemui orang tuanya dan langsung melamarnya. Mungkin Dela akan marah, tapi aku tidak peduli. Salahkan dia yang seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku juga bisa seperti itu. Saat aku menyuruh Aldo untuk dia langsung ke rumah Dela, dia menolak ideku. “Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Sangat tidak sopan kalau Bapak ke sana malam-malam.” “Terus kapan, Do? Saya gak mau menunggu lama-lama.” Aldo menghela nafas pelan.,“Besok pagi saja, Pak Jendra. Malam ini Bapak bisa istirahat dulu. Tidak mungkin Bapak menemui orang tua Bu Dela dengan keadaan kacau seperti ini.” Aku berpikir sebentar, apa yang diucapkan Aldo ada benarnya juga. Gak mungkin aku ketemu orang tuanya dengan kondisiku yang kacau begini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dinas.Keesokkan harinya, aku sudah segera
"Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia
Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj
Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos
Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal
Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.
Dua minggu sebelum pernikahan, aku sudah disibukkan dengan fitting beberapa baju yang akan digunakan saat akad hingga resepsi. Kini aku sedang mencoba baju yang akan kugunakan untuk acara akad dibantu oleh Mbak Erna, designer baju yang saat ini aku coba. Ada kebaya berwarna putih dengan detail swasroski di seluruh bagian atasnya, sedangkan bawahnya dipadukan dengan kain bermotif batik parang. Di atas kepalaku terpasang veil sepanjang hampir tiga meter hingga membentuk ekor di belakang tubuhku. Aku memandang diriku di cermin dengan takjub, tidak percaya bahwa kebaya yang kukenakan tampak begitu cantik dan indah. Mbak Erna membuka tirai ruang gantiku setelah memastikan kebaya yang aku kenakan sudah rapi. Keluargaku dan keluarga Jendra menatap takjub padaku, bahkan Dinda berdiri dan menghampiriku, bertepuk tangan heboh sambil menatapku. “Kak Dela cantik banget!” pujinya yang membuatku tersipu malu. “Puji aja terus sampai lupa sama Mas-nya sendiri,” protes Jendra yang tad
“Gimana, Kak, tadi rapatnya?” tanya Mama begitu aku masuk setelah mengantarkan Jendra ke depan.Jadi tadi aku akhirnya mengikuti rapat PKK seperti yang dikatakan Bu Vani-istri Wakil Wali Kota. Rapat berjalan dengan lancar, meskipun awalnya ada beberapa ibu-ibu yang terkejut dengan kehadiran dan bertanya-tanya tentang siapa aku. Dan jangan lupakan kehadiranku yang datang bersama Jendra semakin membuat penasaran. Beruntung Bu Vani berbaik hati mengenalkanku kepada Ibu-ibu yang hadir di sana. Tadi Jendra tidak ikut saat kami rapat, dia hanya mengantarku sampai di ruang rapat, setelah itu dia pergi di area luar resto bersama Pak Wakil Wali kota dan Aldo.Kembali lagi pada pertanyaan Mamaku tadi.Aku duduk di samping Mama, merangkul lengannya dan bersandar di bahu Mama. “Semuanya berjalan lancar, Ma. Banyak ibu-ibu yang usianya lebih tua dari aku, tapi mereka tetap menghormatiku. Aku juga bersyukur Ibu Wakil Wali kota baik banget orangnya, tadi banyak ngajarin aku t
Acara pertemuan di restoran Hotel Emerald kali ini berlangsung dengan hangat dan dihadiri oleh keluarga inti saja karena masih merupakan pertemuan pertama kedua keluarga. Awalnya, aku sempat khawatir Bu Wahyu akan berubah pikiran saat bertemu dengan keluargaku—entah kenapa sejujurnya masih saja ada ketakutan dalam diriku kalau Bu Wahyu belum seratus persen menerimaku. Namun, semua kekhawatiranku hilang saat melihat interaksi Mamaku dengan Bu Wahyu, terlihat mereka bisa mengobrol seperti teman lama. Diam-diam aku tersenyum sendiri, bahagia melihatnya. Aku menolehkan wajahku ke samping saat merasakan jemari tangan Jendra mengusap sudut mataku. Ternyata tanpa sadar aku meneteskan air mata bahagia. “Kenapa nangis?” bisiknya pelan. “Gak apa-apa, aku cuma terharu. Aku bahagia, Dra,” ujarku. Jendra meraih tanganku, mengusapnya perlahan. “Aku lebih bahagia, Dela.” Sore itu kami semua larut dalam bahagia bersama keluarga kami. Banyak yang kami bicarakan mulai dari pe