Maya
***"Jadi, Sindy itu katanya dikurung 4 tahun penjara ya, Mas?" tanyaku pada Mas Yoga yang memberitahu perihal vonis Sindy. Katanya dia dapat kabar dari pengacara."Iya. Aku dikasih informasi. Tinggal nunggu sidang Anang yang mungkin akan vonis bulan depan. Aku sudah tak sabar lihat dia dijatuhi hukuman.""Iya, Mas. Lama ternyata proses hukum itu ya, Mas? Kupikir akan selesai dalam waktu satu bulan. Hihi. Ternyata enggak semudah itu. Berita di televisi bukan bohong ya, Mas. Apalagi para maling uang negara." Kami saling berkomentar."Iya. Di penjara-penjara juga katanya enak. Ada Tv, AC, lemari es, kasur empuk. Ya, seperti rumah saja. Makanya tak bakalan jera-jera tuh mereka. Rekan papa juga koruptor, di penjara kayanya enak. Hanya, tak bisa ke mall aja. Tapi apa yang ia mau, dikasih lho.""Masak sih, Mas?""He'em.""Mas Anang gitu enggak ya, Mas? Kalau begitu, percuma diMaya***"Lho! Ini kok di box makanan ada bangkai kecoaknya?"Aku kaget mendengar teriakan tetangga saat ia membuka isi box makanan yang baru saja dihidangkan."Lah, ini malah yang saya ada cicaknya. Ih!" Degh!Kini para tamu malah membuka box makanan yang kami berikan untuk dibawa pulang. Beberapa dari mereka ada yang langsung membuang kotak makanan itu. Ada juga yang hanya diam menyaksikan seakan ini hanya rekayasa. "Ada apa, Bu?" Ibu bertanya pada mereka."Ini nih, kok di kotak makanan saya ada bangkai kecoak! Ih, gak higienis ini! Ibu sengaja pesan katering murahan biar irit biaya ya!" Jleb!Lontaran salah seorang tetangga yang didukung oleh beberapa tetangga lain pun membuat suasana saat ini menjadi ramai dengan pembicaraan."Bu! Itu makanan produksi saya lho! Ibu menyalahkan saya? Saya baru ada kejadian seperti i
"Oh, jadi Bu Ana sengaja pasti ya? Ingin meracuni kami?" kata tetangga malah jadi kompor. Yang Bu Ana lakukan saat ini hanyalah geleng-geleng kepala. Beliau seakan tak sanggup lagi menjelaskan karena tak ada bukti."Bukan, Bu. Bukan begitu maksud saya. Apa iya, kalau Ibu punya usaha, Ibu akan menjelekkan usaha Ibu. Itu artinya usaha tak akan laku dong, Bu!" kata suamiku kembali."Intinya, kalau tidak ada undur kesengajaan, tidak mungkin ada dua hewan itu di dalam lima box makanan. Saya sudah katakan, susah seksli untuk menangkap hewan lincah tersebut. Satu lagi, cicak akan berlari kalau dia sedang makan didekati makhluk hidup lain. Mungkinkah cicak santai saja dan mau ditutup oleh kardus makanan?" Mertuaku kalau bicara memang dengan logika. Ini aku yakin, pasti ada pemitnahan. Apa Risma? Karena ia ingin mempermalukan keluargaku?"Oke, kita cek CCTV. Mungkin saja seseorang melakukan sebuah hal di rumah ini. Di setiap sudut ada CCTV 'kan, Ga?"
Maya***"Gimana, Mas?" tanyaku pada Mas Yoga perihal rekaman CCTV.Yang lain saat ini terpaksa masih duduk atas permintaan kami."Bentar," kata Mas Yoga. Ia tampak belum menemukan sesuatu hal yang ganjil."Nah, ini, kamu lihat! Ada orang yang jalan santai lalu membuka kotak makanan beberapa yang ada di bagian teratas."Degh!Mas Yoga memperlihatkan sebuah bukti padaku terlebih dahulu. Lalu ibuku dan ibu mertua mendekat sama-sama ingin memastikan."Bagaimana, Nak Maya?" Bu Ustazah menanyakan dengan ramah.Aku geleng-geleng kepala melihatnya. Orang itu benar-benar keterlaluan sekali. Ada dua orang yang kami temui memasukkan sesuatu ke dalam box makanan. Kami memang saat itu tadi sedang fokus ngobrol sebelum acara dimulai.Dua orang ini satu kubu atau bagaimana? Karena mereka bekerja di waktu yang berbeda dan di tempat yang berbeda.Orang yang ada di rekeman kulirik dengan ekor mata. Mereka nampaknya serba salah tak enak diam."Em, maaf, saya ada urusan dulu, ibu-ibu." Seorang wanita ba
"Kalian itu salah paham! Aku buka kotak makanan cuma mau lihat saja makanannya! Kalau ada serangga itu, mana aku tahu!" Risma beralasan, "oh ya, mungkin Mbak Dwi yang lakukan itu. Iya 'kan? Ngaku aja Mbak!" kesal Risma. Dia menuduh."Apa kamu? Kamu menuduh saya? Oh, jadi kamu ya!" Bu Dwi menyerang omongan Risma."Apaan ih!" "Astaghfirullah, saya tidak menyangka, ternyata Mbak Dwi dan Mbak Risma …." Ustazah geleng-geleng kepala."Mama lihat," pinta Mama meminta bukti rekaman.Saat ini Mbak Dwi dan Mbak Risma semakin ketakutan. Jadi benar, mereka biang kerok. Tapi, apa ini akting mereka untuk mengelabui kami? Pasti mereka satu kubu."Sudah,kasus ini akan diproses. Ini akan dibawa ke jalur hukum bila tak ada yang mau jujur!"Kami kaget dengan ucapan Mas Yoga. Ya, benar, lebih baik ini dibawa ke jalur hukum."Ya, betul sekali. Ini semua akan tuntas dalam sekejap. Saya yang ak
Maya ***"Ampun, Mas, Mbak, ampun! Tolong jangan bawa saya. Bawa saja Bu Neni. Saya gak tahu kalau di rumah ini ada CCTV. Bu Neni bilang aman." Mbak Dwi ketakutan, begitupun dengan Risma yang menunggu celah untuk bicara."Jadi Anda melakukan dengan sukarela 'kan?" kata suamiku.Bu Dwi saat ini serba salah. "Maya, Mas Yoga, tolong maafkan aku." Risma merengek menyebut suamiku dengan sebutan 'mas', uwok!"Ibu-ibu, bapak-bapak, kiranya acara syukuran ini sudah selesai. Saya sekeluarga menyampaikan permintaan maaf kami atas kejadian yang kurang mengenakan ini. Saya juga minta maaf, mungkin kami di sini akan menyelesaikan permasalah ini hari ini juga. Dengan begitu, ibu dan bapak yang ingin segera pulang kami persilahkan. Bukan ada maksud mengusir, namun semoga semuanya mengerti."Atas apa yang disampaikan Mas Yoga semuanya pun sepertinya berusaha mengerti. Namun, suamiku belum memperbolehkan Risma dan Mbak Dwi untuk sama pergi
Diwan***"Mas, tolongin aku, Mas, tolong!" Risma diseret terus oleh polisi. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain terus saja memohon pada Yoga dan Maya di depan semuanya."Tolong jangan hukum istriku, May, Pak Yoga. Aku mohon!" Aku terus meminta keringanan untuk selesaikan semua ini secara kekeluargaan. Tapi, apa daya, Risma dengan eratnya dibawa oleh pihak berwajib."Maaf." Hanya itu jawaban Yoga."Mas, ih! Tolongin aku, Mas!!"Risma terus saja memberontak. Aku menyaksikan dia dibawa oleh pihak berwajib. Sebenarnya kasihan sekali dia, tapi ringisanku tadi tak sepenuhnya dari dalam hati. Aku hanya akting saja. Jangan ada citra buruk suami tak menangisi istrinya saat dibawa oleh polisi secara paksa."Silahkan Anda pergi. Atau kalau ingin menyusul istri Anda pun silahkan." Yoga mengusirku dengan halus.Aku berlalu pergi setelah diusir. Sebenarnya
"Ya sudah, yang sabar ya, Mas Diwan. Kalau begitu kami pergi dulu. Maaf lho, tadi kami ngintip pas Mbak Risma dibawa polisi. Kami ikut prihatin." Dasar orang-orang penggosip. Tapi biarlah, kalau kata mereka cerai lebih baik, aku bisa pikirkan hal itu. Nanti, soal harga diriku supaya terus dipandang baik, tinggal diatur.Ibu-ibu rempong itu pun berlalu. Mereka tukang penggosip. Pasti besok buah bibir ini sudah sampai ke RW sebelah. Risma dijelekkan, aku dibaguskan. Itu baik untukku.Sepuluh menit kemudian ponselku berbunyi. Ada nomor tak dikenal masuk. Aku yakin, ini dari pihak kepolisian.Diri yang sedang rebahan pun bangkit sebentar. Baru saja akan mangap, di kejauhan sana si burung perkutut sudah nyerocos. "Mas! Mas kamu di mana? Kok kamu nggak susul aku sih, Mas? Kamu tega ya, Mas? Kamu kok nggak ada itikad baik! Kamu mau istrimu dipenjarakan orang lain ya?" Bola mataku membuat lingkaran. Telinga ini pening m
Diwan Pov***"Gimana kamu semalam, Yang? Tidur nyenyak?" tanyaku pada istri yang sudah menginap satu malam di balik jeruji besi.Wajahnya berubah ketus setelah kutanya. "Mas, bagaimana bisa aku tidur nyenyak? Ngehayal kamu ya? Di dalam sana itu cuma tidur di tikar. Gerah nggak ada kipas angin. Banyak nyamuk juga lagi ah!" kesalnya, "apalagi aku semalam ribut sama penghuni lain, aku dihukum tidur di lantai aja. Sial 'kan, Mas!" imbuhnya lagi dengan geram."Ya sudah, kamu tenang ya, jangan marah-marah." Aku menenangkan."Bukan tenang-tenang, kalau aku kurus kering di sini gimana, Mas? Kamu mau istrimu ini kurus? Dekil, karena nggak perawatan?" cerocosnya. Dasar burung perkutut."Ya mau bagaimana lagi?""Kamu gimana? Udah ke si Maya? Gimana dia jawabnya?" Risma membuatku gugup karena kemarin aku bohong. Mana bisa simpan muka di depan Maya meminta Risma dibebaskan? "Em, a, udah, udah.