Diwan
***"Mas, tolongin aku, Mas, tolong!"Risma diseret terus oleh polisi. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain terus saja memohon pada Yoga dan Maya di depan semuanya."Tolong jangan hukum istriku, May, Pak Yoga. Aku mohon!"Aku terus meminta keringanan untuk selesaikan semua ini secara kekeluargaan. Tapi, apa daya, Risma dengan eratnya dibawa oleh pihak berwajib."Maaf." Hanya itu jawaban Yoga."Mas, ih! Tolongin aku, Mas!!"Risma terus saja memberontak. Aku menyaksikan dia dibawa oleh pihak berwajib. Sebenarnya kasihan sekali dia, tapi ringisanku tadi tak sepenuhnya dari dalam hati. Aku hanya akting saja. Jangan ada citra buruk suami tak menangisi istrinya saat dibawa oleh polisi secara paksa."Silahkan Anda pergi. Atau kalau ingin menyusul istri Anda pun silahkan." Yoga mengusirku dengan halus.Aku berlalu pergi setelah diusir. Sebenarnya"Ya sudah, yang sabar ya, Mas Diwan. Kalau begitu kami pergi dulu. Maaf lho, tadi kami ngintip pas Mbak Risma dibawa polisi. Kami ikut prihatin." Dasar orang-orang penggosip. Tapi biarlah, kalau kata mereka cerai lebih baik, aku bisa pikirkan hal itu. Nanti, soal harga diriku supaya terus dipandang baik, tinggal diatur.Ibu-ibu rempong itu pun berlalu. Mereka tukang penggosip. Pasti besok buah bibir ini sudah sampai ke RW sebelah. Risma dijelekkan, aku dibaguskan. Itu baik untukku.Sepuluh menit kemudian ponselku berbunyi. Ada nomor tak dikenal masuk. Aku yakin, ini dari pihak kepolisian.Diri yang sedang rebahan pun bangkit sebentar. Baru saja akan mangap, di kejauhan sana si burung perkutut sudah nyerocos. "Mas! Mas kamu di mana? Kok kamu nggak susul aku sih, Mas? Kamu tega ya, Mas? Kamu kok nggak ada itikad baik! Kamu mau istrimu dipenjarakan orang lain ya?" Bola mataku membuat lingkaran. Telinga ini pening m
Diwan Pov***"Gimana kamu semalam, Yang? Tidur nyenyak?" tanyaku pada istri yang sudah menginap satu malam di balik jeruji besi.Wajahnya berubah ketus setelah kutanya. "Mas, bagaimana bisa aku tidur nyenyak? Ngehayal kamu ya? Di dalam sana itu cuma tidur di tikar. Gerah nggak ada kipas angin. Banyak nyamuk juga lagi ah!" kesalnya, "apalagi aku semalam ribut sama penghuni lain, aku dihukum tidur di lantai aja. Sial 'kan, Mas!" imbuhnya lagi dengan geram."Ya sudah, kamu tenang ya, jangan marah-marah." Aku menenangkan."Bukan tenang-tenang, kalau aku kurus kering di sini gimana, Mas? Kamu mau istrimu ini kurus? Dekil, karena nggak perawatan?" cerocosnya. Dasar burung perkutut."Ya mau bagaimana lagi?""Kamu gimana? Udah ke si Maya? Gimana dia jawabnya?" Risma membuatku gugup karena kemarin aku bohong. Mana bisa simpan muka di depan Maya meminta Risma dibebaskan? "Em, a, udah, udah.
"Permisi, dompet Anda barusan terjatuh di sana. Ini, saya kembalikan. Coba cek dulu dalamnya, takut ada yang hilang."Seorang pria yang kujadikan incaran telah ada di depan mata. Dia dengan senang meraih dompet lalu cek isinya."Oh, terima kasih ya, Mas. Isinya masih lengkap kok. Semuanya ada. Terima kasih banyak, Mas." Dia dengan ramah berterima kasih. Dia sekarang hanya seorang diri sedang menelepon di parkiran mall. Sepertinya sedang menjemput istri."Sama-sama, Mas.""Oh iya, ini untuk Mas. Bukan maksud saya merendahkan, tapi ini sebagai rasa terima kasih saya." Dia merasa tak enak hati."Oh gak usah, Mas, gak usah. Saya ikhlas kok. Saya ikhlas." Aku menempelkan kedua telapak tangan dengan rendah diri."Tapi, Mas saya berterima kasih sekali lho. Saya nggak sadar dompet saya jatuh. Kok bisa ya?" herannya sembari berpikir."Tadi dompet Anda jatuh kok. Sepertinya menyimpan kurang
Maya***Aku lega karena Risma benar-benar sudah dipidanakan. Macam-macam denganku, ya begitu. Padahal, aku ini selalu memberi siapa pun kesempatan untuk berubah. Tidak Mas Anang, tidak Sindy, sekarang Risma. Mereka berurusan denganku lalu berakhir di penjara. Apalagi Sindy sudah kena vonis. Tinggal menunggu vonis Mas Anang dan kasusu Risma.Menurutku hidup sekarang ini penuh dengan tantangan dan rintangan. Mantan, pacar mantan, dan keluarga toxic membuat hidupku lebih berwarna. Tak monoton hanya bicara dengan orang baik-baik saja. Namanya juga hidup, pasti ada pahit-manis-asemnya."Lagi ngapain, Sayang?"Mas Yoga memeluk tubuhku dari belakang. Saat ini hidung sedang menghirup udara sejuk di balkon menatap ke arah kota yang nampak asri meskipun bukan perkampungan. "Lagi cuci mata aja, Mas. Lama di depan layar menyala terus membuat mataku lelah. Hari ini hari Sabtu, aku putuskan untuk tak lihat layar data
Maya***Arya tiba-tiba menghampiri. Dia membawa dus yang tadi ia bawa, yang kami sangka paket oleh-oleh dari temannya. "Apa isinya, Sayang?" Aku benar-benar meneguk liur takut sesuatu hal buruk yang terkirim kemari. Tapi tidak mungkin, kalau benda bahaya pasti akan tertahan oleh security dengan alat canggihnya."Ini, Mah. Ini ada bunga."Semakin kaget saja. Ternyata isi di dalam dus yang tadi kuanggap ringan itu benar-benar ringan. Isinya sebuah buket bunga tulip. Bunga kesukaanku. Bahkan itu bunga favoritku."Mah, kenapa?" Arya bertanya karena melihatku diam tertegun.Segera aku tak ingin membuatnya khawatir. "Sayang, ini untuk kamu dari Aldi."Dia terperanjat. "Wah, tuh 'kan, Mah, bukan ini? Arya kaget kenapa Aldi kirim bunga? Katanya Aldi mainan sama makanan." Anakku berkomentar."Iya, kamu ambil ini ya. Bawa ke kamar kamu dulu."Arya manggut la
"Oma?"Aku dan Mas Yoga sungguh begitu heran. Jauh-jauh Oma di Minang, tapi dia sudah ada di sini saja.Bibi juga langsung disuruh bawa koper di bagasi mobil. Aku pun mendekat ke arah mereka dengan sumringah."Maya, Yoga?" Mama melirik kami bergantian. Mas Yoga ada di belakangku karena dia terakhir sampai.Mama yang menyapa, Oma belum."Assalamualaikum, Ma, Oma."Aku mengecup punggung tangan mereka bergantian."Oma kapan datang? Kok tak bilang-bilang? Aku bisa jemput lho!" Mas Yoga kegirangan. Tapi bukan jingkrak-jingkrak seperti anak TK.Ibu dari ayah mertuaku masih segar meskipun usianya sudah kepala delapan. Kulit yang sudah mengeriput namun pancaran auranya masih terlihat. Dia masih berdiri tegak tanpa bantuan tongkat. Hanya saja, netranya sudah dibantu kacamata minus untuk melihat."Cucu Oma, Yoga." Ia langsung memeluk Mas Yoga. Mereka berdua saling pelu
Maya***"Anakmu mana?" Oma bertanya saat kami berjalan. Ia jalan di depan, dan aku di belakang."Oh iya, Arya ada di kamar, Oma. Sebentar Maya panggilkan." Aku hendak gegas."Oh tidak pelru, nanti saja kita ketemu saat makan malam. Dia hanya diam di kamar saja ya? Tidak pernah keluar rumah?" komentar Oma."Seminggu empat kali Arya les, Oma. Waktu senggang ia gunakan untuk main dengan kawan-kawannya." Aku menjelaskan."Kukira anakmu pasif. Diam saja di rumah tidak mau keluar.""Arya aktif seperti anak lain kok, Oma. Dia belajar dan bermain. Dia juga punya batas waktu untuk memainkan gadget." Kembali aku mengutarakan lagi.Oma balik badan. "Anak-anak sudah dikasih gadget?" Kepalanya geleng-geleng, "itu tidak baik, tidak boleh!" Larangnya."Enggak, Oma, enggak dikasih, tapi kadang dia pinjam tablet milikku untuk bermain. Itu pun waktunya kubatasi.""Tablet? Itu sama saja. Urus anak itu yang bener. Itu mainkan benda begitu tidak baik," tegas Oma."Ya maaf, Oma."Aku telah sampai menganta
"Heh, jangan bilang begitu. Sejak dulu, figur istri itu ya di rumah. Masak, nyuci, setrika, bisa ini dan bisa itu. Laki-laki itu hanya kerja cari nafkah. Jadi, istri juga harus bisa menej rumah." Oma menanggapi dengan sengit."Sekarang sudah ada pembantu, Oma." Mas Yoga menjawab lagi."Iya tapi kalau bisa dikerjakan sendiri, itu lebih baik," ucap Oma."Ya jadi untuk apa ada asisten rumah tangga kalau semuanya masih dikerjakan oleh pemilik rumah?" seru Mas Yoga lagi."Ya seharunya tidak perlu ada asisten rumah tangga untuk anak-anak semuda kalian. Kerjakan sendiri itu lebih baik dan lebih mulia," komentar Oma lagi membuatku mengulek semakin cepat. Sepertinya sudah halus, namun terus kuulek."Ya kalau sudah ada, itu jadi pekerjaan mereka. Untuk apa punya pembantu kalau tuan rumah masih capek kerja." Mas Yoga menanggapi neneknya dengan debat santai. "Alesan aja. Jaman semakin canggih. Sekarang wanita malah ikut-ikutan kerja seperti ibumu. Seharusnya wanita itu diam di rumah saja.""Lah,