Maya***[Gak, aku cuma ingin bilang kalau ini nomor baruku saja. Namaku Hans, apa kamu gak inget? Aku teman SMA kamu]Jleb!Terlepas benar atau tidaknya dari kejujuran orang itu aku tak tahu. Tapi, untuk apa Hans menghubungiku saat ini? Lagipula, dulu saja kami tak kenal dekat. Bertukar nomor saja tidak sampai. Aneh.Tapi, biar saja kubalas supaya cepat selesai.[Hans? Oh, iya. Tapi, ada keperluan apa ya?] Balasan kububuhi emoticon tersenyum sembari minta maaf. Takutnya memang benar saja, dia si Hans. Wajahnya masih kuingat dengan jelas. Namun, selama ini belum pernah bertemu lagi.Dia kembali membalas. [Aku ingin kita temenan aja lagi. Kamu simpan nomorku ya?]Ada hal aneh sampai di sini. Untuk apa dia tiba-tiba menghubungiku sedangkan sebelumnya kami tak pernah berjumpa.Tapi, daripada jadi fitnah, aku lebih baik menjelaskan saja. Bagaimana nyamannya hubungan kami.[Oh begitu. Aku minta maaf, karena aku sudah bersuami. Sekadar menyimpan nomor, aku akan simpan. Tapi, semoga kamu bis
Mohon maaf bila bab-bab selanjutnya harus dibuka dengan koin banyak, karena saya menulis dengan isi kata yang banyak juga, ya.***Maya***"Mbak, kalau Mbak jauh-jauh kemari hanya untuk bicara hal konyol seperti ini, lebih baik … Mbak pulang saja."Aku memberanikan diri dengan penuh hormat meminta Mbak Silvi pergi. Biarkan saja kalau dia marah. Aku memang harus jauh-jauh dari orang-orang toxic seperti Mbak Silvi.Aku hendak beranjak karena kesal. Namun lagi-lagi Mbak Silvi malah mencegahku. "Maya tunggu!" Ia meraih tanganku.Aku kesal. Tapi, kekesalan ini berubah kala melihat ekspresi wajahnya yang berubah pula. Aku benar-benar kaget."Mbak?" Aku malah jadi bingung.*"Mbak, kok Mbak matanya mengembun gitu?"Kekesalan yang tadi hampir naik ke ubun-ubun pun kini kembali ke dasar kalbu. Menyelidik ekspresi yang berubah dari kecut menjadi tanda tanya."Maya, aku … a … aku. Mas Sandy diminta menikah lagi oleh Mama."Aku kaget sampai menjeda napas beberapa saat."M–Mas Sandy?"Dia manggut
Maya***[Iya, sama-sama. Oh ya, nomor pria yang kamu ketahui identitasnya itu juga berbeda dengan identitas yang diselidiki oleh detektif. Kamu bisa lihat di email ya. Maaf aku tak bisa bicara, ini sedang ada acara keluarga.]Di sini aku heran. Berbeda?Tapi, daripada banyak tanya lagi, lebih baik aku segera cek saja.Setelah menutup pesan kembali berterima kasih padanya, aku gegas buka laptop untuk melihat kedua nomor tersebut.***Aku cek email. Ada banyak sekali pesan yang masuk perihal pekerjaan dan lainnya. Namun, setelah aku cek kotak masuk dari rekanku yang bernama Mia, di sini aku benar-benar kaget dan tak habis pikir.Setelah aku klik, aku dapat KTP siapa yang menghubungi beberapa hari ini. Aku zoom, dan benar-benar jelas terlihat identitas. Kepalaku sampai geleng-geleng. Sial, dari KTP aku dapat identitas dua orang yang selama ini membuatku emosi.
Tapi, kata kamu nomor Hans menghubungi kamu? Dan nomornya sama?" herannya lagi."Lihat deh, Mas, ini nomornya. Sama 'kan? Belakangnya 190."Mas Yoga menyelidik. Lalu ia juga meraih handphone untuk melihat nomor Hans yang asli."Belakangnya iya sama sih. Tapi, itu nomornya Smartfren. Kalau tak salah, Hans pakai Telkomsel."Aku heran namun lega. "Yang bener, Mas?""Ini, lihat!" Mas Yoga memperlihatkan nomor asli Hans yang identitasnya adalah rekan SMA-ku dulu. Benar ternyata, dua nomor berangka akhir sama namun jelas beda. Sampai sini aku semakin lega. Ini bukan Hans yang ingin mengganggu rumah tanggaku."Sebenarnya aku ingin cerita sejak awal sama kamu, Mas. Tapi, saat aku mau cerita, pasti ada saja halangannya. Kalau kita lagi free ya aku lupa. Maaf ya, Mas. Nah, saat aku dengar kamu telepon seseorang kasih nomor si Hans yang ujungnya 190, itu aku kaget, Mas. Ternyata benar, dia itu Ha
Risma***"Tutututu. Tutututu."Aku sudah riang nyanyi-nyanyi di pagi hari. Berkacak pinggang, lenggak-lenggok dengan tampilan yang menawan. Sungguh mudah sekali ternyata masuk ke perusahaan Yoga. Aku sudah bekerja sekitar satu minggu, sepertinya kalau memojokkan si Maya sama sekali tak ada pengaruhnya. Aku santai-santai saja. Ya, dia sepertinya tak punya kuasa untuk memecatku.Masuk ke perusahaan itu ternyata attitude yang diutamakan. Aku juga cari tahu sebelumnya. Sialnya, ingin melamar di bagian administrasi, malah tak diterima. Aku hanya diberikan posisi office girl yang sebenarnya bukan keinginanku sama sekali. Apa daya, yang penting aku bisa mengiris-ngiris perasaan si Maya. Hingga dia merasa kalau dirinya hanya dijadikan pelarian saja oleh suami yang kaya itu."Tutututu. Tutututu.""Berisik ah! Kok kamu kayak kegirangan gitu! Mentang-mentang udah kerja di tempat bagus," ledek suamiku, Mas Diwan.
Risma***"Sialan, Mas, aku dapat surat peringatan dari kantor! Ini pasti gara-gara si Maya. Dia pasti ngadu ke HRD."Sampai di rumah aku menggerutu pada Mas Diwan. Sebenarnya ingin bicara sejak tadi di motor, tapi berisik sekali. Aku tanya dia saja cuma hahoh-hahoh. Mungkin karena cotton buds di rumah habis. Sudah satu minggu dia tak korek kuping.Aku melempar tas."Kena surat peringatan? Kok bisa? Ah, ini pasti kamu macem-macem sama Maya ya, 'kan?" komentar Mas Diwan dengan kesal."Ya, siapa lagi sih, Mas.""Ya bagus cuma dikasih SP, gak sampai dipecat. Kamu jangan bikin onar dong, Ris. Kamu ini arkh!" resah Mas Diwan menanggapiku."Iya, aku kesel. Tapi kamu tahu nggak, Mas? Ada juga yang bikin aku hepi banget. Kamu lihat isi pesan aku sama si Maya. Nih lihat!"Aku segera memperlihatkan semua pesan antara aku dengan si Maya. Tatapan Mas Diwan menyelidik seperti
Yoga***"Oh saya nggak tahu, Pak. Tapi, kalau seliweran dengar, dia itu belum punya istri. Katanya dia masih melajang gitu. Pekerjaannya itu di tambang emas. Katanya sih, dia itu sekarang konglomerat, Pak sekarang." Itu tanggapan Risma mengenai pria yang ia duga dekat dengan istrku lewat pertukaran pesan. Jelas sekali apa yang ia jelaskan tak sesuai dengan Hans yang aku kenal. Sepertinya niat sekali dia menjelekkan Maya. Untung saja ponsel istri kupegang, jadinya bisa memastikan kalau yang mengirim pesan itu benar-benar Risma. Aku sengaja membalas pesan dengan centil lalu datang ke pembangunan rumah mertua. Niat hati adalah melihat pekerjaan dan juga memancing wanita itu keluar. Benar saja, lagaknya bak lonte di pinggir jalan. Bicaranya nyerocos untuk meningkatkan harga jual. Kenapa aku tahu wanita semacam 'lonte', karena ini kota metropolitan. Diam sedikit saja, mereka langsung menghampiri. Harus kuat-kuat iman saja.Mungkin isi pesan yang aku kirim bisa menjadikan pikiran buruk d
"Em, tolong ambilkan secangkir kopi latte lagi. Ingat, yang pas takarannya. Kalau tidak bisa, seduh yang kemasan saja." Aku memintanya supaya pergi sejenak."Kopi lagi, Pak? Memangnya itu …," herannya."Kenapa?" protesku.Dia seketika langsung menunduk. "Oh iya, Pak." Dia pun pergi.Aku saat ini sedang menunggu kedatangan seseorang. Siapa lagi kalau bukan Hans yang asli. Kami ada penandatanganan kontrak kerja sama hari ini. Karena dia juga sudah pindah rumah dan ternyata ke kawasan dekat rumahku, jadi kami mudah bertemu.Tok tok tok!Jeda setelah Risma pergi, pintu diketuk. Yang masuk adalah sekretarisku membawa Hans, rekan kerja yang ditunggu sejak tadi."Selamat siang, Pak Yoga."Aku berdiri lalu kami berjabat tangan. "Oh ya, selamat siang. Silahkan duduk, Pak Hans.""Kalau begitu saya permisi, Pak. Mungkin perlu saya buatkan kopi sekarang, Pak?" tawar sekretaris."Tak perlu, saya sudah suruh OB kok.""Oh baiklah, Pak. Saya permisi." Aku lanjut duduk di sofa dengan Pak Hans yang u