Risma
***"Tutututu. Tutututu."Aku sudah riang nyanyi-nyanyi di pagi hari. Berkacak pinggang, lenggak-lenggok dengan tampilan yang menawan. Sungguh mudah sekali ternyata masuk ke perusahaan Yoga. Aku sudah bekerja sekitar satu minggu, sepertinya kalau memojokkan si Maya sama sekali tak ada pengaruhnya. Aku santai-santai saja. Ya, dia sepertinya tak punya kuasa untuk memecatku.Masuk ke perusahaan itu ternyata attitude yang diutamakan. Aku juga cari tahu sebelumnya. Sialnya, ingin melamar di bagian administrasi, malah tak diterima. Aku hanya diberikan posisi office girl yang sebenarnya bukan keinginanku sama sekali. Apa daya, yang penting aku bisa mengiris-ngiris perasaan si Maya. Hingga dia merasa kalau dirinya hanya dijadikan pelarian saja oleh suami yang kaya itu."Tutututu. Tutututu.""Berisik ah! Kok kamu kayak kegirangan gitu! Mentang-mentang udah kerja di tempat bagus," ledek suamiku, Mas Diwan.Risma***"Sialan, Mas, aku dapat surat peringatan dari kantor! Ini pasti gara-gara si Maya. Dia pasti ngadu ke HRD."Sampai di rumah aku menggerutu pada Mas Diwan. Sebenarnya ingin bicara sejak tadi di motor, tapi berisik sekali. Aku tanya dia saja cuma hahoh-hahoh. Mungkin karena cotton buds di rumah habis. Sudah satu minggu dia tak korek kuping.Aku melempar tas."Kena surat peringatan? Kok bisa? Ah, ini pasti kamu macem-macem sama Maya ya, 'kan?" komentar Mas Diwan dengan kesal."Ya, siapa lagi sih, Mas.""Ya bagus cuma dikasih SP, gak sampai dipecat. Kamu jangan bikin onar dong, Ris. Kamu ini arkh!" resah Mas Diwan menanggapiku."Iya, aku kesel. Tapi kamu tahu nggak, Mas? Ada juga yang bikin aku hepi banget. Kamu lihat isi pesan aku sama si Maya. Nih lihat!"Aku segera memperlihatkan semua pesan antara aku dengan si Maya. Tatapan Mas Diwan menyelidik seperti
Yoga***"Oh saya nggak tahu, Pak. Tapi, kalau seliweran dengar, dia itu belum punya istri. Katanya dia masih melajang gitu. Pekerjaannya itu di tambang emas. Katanya sih, dia itu sekarang konglomerat, Pak sekarang." Itu tanggapan Risma mengenai pria yang ia duga dekat dengan istrku lewat pertukaran pesan. Jelas sekali apa yang ia jelaskan tak sesuai dengan Hans yang aku kenal. Sepertinya niat sekali dia menjelekkan Maya. Untung saja ponsel istri kupegang, jadinya bisa memastikan kalau yang mengirim pesan itu benar-benar Risma. Aku sengaja membalas pesan dengan centil lalu datang ke pembangunan rumah mertua. Niat hati adalah melihat pekerjaan dan juga memancing wanita itu keluar. Benar saja, lagaknya bak lonte di pinggir jalan. Bicaranya nyerocos untuk meningkatkan harga jual. Kenapa aku tahu wanita semacam 'lonte', karena ini kota metropolitan. Diam sedikit saja, mereka langsung menghampiri. Harus kuat-kuat iman saja.Mungkin isi pesan yang aku kirim bisa menjadikan pikiran buruk d
"Em, tolong ambilkan secangkir kopi latte lagi. Ingat, yang pas takarannya. Kalau tidak bisa, seduh yang kemasan saja." Aku memintanya supaya pergi sejenak."Kopi lagi, Pak? Memangnya itu …," herannya."Kenapa?" protesku.Dia seketika langsung menunduk. "Oh iya, Pak." Dia pun pergi.Aku saat ini sedang menunggu kedatangan seseorang. Siapa lagi kalau bukan Hans yang asli. Kami ada penandatanganan kontrak kerja sama hari ini. Karena dia juga sudah pindah rumah dan ternyata ke kawasan dekat rumahku, jadi kami mudah bertemu.Tok tok tok!Jeda setelah Risma pergi, pintu diketuk. Yang masuk adalah sekretarisku membawa Hans, rekan kerja yang ditunggu sejak tadi."Selamat siang, Pak Yoga."Aku berdiri lalu kami berjabat tangan. "Oh ya, selamat siang. Silahkan duduk, Pak Hans.""Kalau begitu saya permisi, Pak. Mungkin perlu saya buatkan kopi sekarang, Pak?" tawar sekretaris."Tak perlu, saya sudah suruh OB kok.""Oh baiklah, Pak. Saya permisi." Aku lanjut duduk di sofa dengan Pak Hans yang u
PoV Maya***Aku sudah punya rencana untuk mempertemukan Hans dan juga Risma. Sepertinya itu juga akan diatur oleh Mas Yoga. Wanita itu sepertinya memang harus dibuat kaget atas kelakuannya sendiri. Sepenyelidikan Mas Yoga, sepertinya Risma ngarang-ngarang saja asal jeplak sebut dan nyamar menjadi nama Hans. Dia juga pasti pernah saling kenal dekat, makanya nama Hans yang ada di ingatan Risma."Sayang, ke sini. Ke ruanganku sebentar lagi ya."Begitu kata Mas Yoga satu menit yang lalu. Sepertinya ada rencana yang aku inginkan akan dia jalankan sekarang.Aku pun bereskan pekerjaan sebentar yang tinggal sedikit lagi, lalu selesai. Dan kini menuju ke ruangan suami.Tok tok tok!"Masuk!" sahut dari dalam. Itu adalah suara suamiku. Aku pun masuk saja dan memang di dalam sudah ada orang lain."Sayang, masuklah!" pinta Mas Yoga padaku. Kini aku melenggang masuk ke arah mereka dengan sa
"Sebenarnya ini kenapa?" Hans kebingungan."Maaf atas kekurang nyamanannya, Pak Hans. Saya akan jelaskan dari awal, kenapa juga di momen pertemuan kita ini saya tahan Risma rekan kalian."Mas Yoga sekarang mulai menjelaskan dari awal ada orang yang berpura-pura mengenalkan nama Hans kepadaku sampai sebuah identitas terkantongi. Saat ini Hans masih belum mengerti. Tapi wajah Risma semakin pias seperti tak berdarah. Giliran aku menjelaskan dengan detail kalau Risma sengaja menyamar menjadi Hans untuk menggangu rumah tangga kami. Dia juga membubuhkan foto Hans di foto profil. Yang Hans akui kalau itu adalah foto di media sosialnya lima tahun terakhir. Karena sekarang dia sudah tak terlalu aktif di media sosial berlogo biru itu kecuali aplikasi berlogo kamera berwarna merah jambu.Sebenarnya mungkin bagi Hans ini bukan apa-apa, tapi bagi kami, sikap, sifat dan kelakuan Risma sangatlah buruk sekali.Saa
Risma***"Pak, tolong jangan pecat saya, Pak. Saya mohon!" Aku menangis lagi dengan tersedu-sedu, "Maya, tolong aku, May. Aku butuh pekerjaan ini." Semoga saja aku bisa dipertahankan. Kalau mereka orang baik, pasti tak akan tega melihat wanita menangis."Sejak kapan dia bekerja, Pak Yoga?" Hans bertanya sembari menunjukku. Aku harap dia akan membelaku. Dia temanku, sepertinya tadi marah hanya karena emosi saja."Belum genap dua Minggu. Sepertinya dia juga meneror istri saya sejak masuk ke perusahaan ini. HRD menerimanya. Mungkin dia membuat-buat etika yang baik supaya diterima."Hans geleng-geleng mendengar penjelasan Yoga. Aku tak habis pikir dengan yang Yoga katakan. Memang aku melakukan itu supaya diterima. Tapi kenapa cepat sekali aku berakhir. Belum juga mendapatkan benih-benih berlian, malah dapat kotoran ayam."Ya ampun, kamu benar-benar memalukan, Risma," kata Hans lagi mengge
Sindy (mantan pacar Anang)***Tuk … tuk … tuk …Napasku sepertinya susah berhembus. Sesak sekali saat ini. Ingin menangis tapi kekesalan melanda batin. Rusak sudah masa depanku.Ketuk palu keputusan hakim telah bersorak riang di telinga. Saat ini aku hanya bisa duduk kesal dengan vonis empat tahun penjara. Kenapa bisa selama itu, padahal perbuatan yang aku lakukan ringan. Hukum tidak adil. Sidang selesai dan kami diminta bubar.Hakim ketua sudah beranjak. Pun dengan jajarannya. Aku akan segera dibawa ke lapas. Resmi sekarang menjadi seorang narapidana.Aku dibawa keluar. Yang mendampingi sidang hanya Ibu dan pengacara. Sayang, aku tak dapat keringanan hukuman yang banyak."Ah, Sindy! Kenapa kamu bertindak hal bodoh dan konyol! Jadinya begini 'kan? Kamu ini." Ibu menggerutu kecewa padaku. Dia benar-benar tak menyangka, anaknya yang adem-adem saja malah terjerat hukum. Dan seka
Maya***"Jadi, Sindy itu katanya dikurung 4 tahun penjara ya, Mas?" tanyaku pada Mas Yoga yang memberitahu perihal vonis Sindy. Katanya dia dapat kabar dari pengacara."Iya. Aku dikasih informasi. Tinggal nunggu sidang Anang yang mungkin akan vonis bulan depan. Aku sudah tak sabar lihat dia dijatuhi hukuman.""Iya, Mas. Lama ternyata proses hukum itu ya, Mas? Kupikir akan selesai dalam waktu satu bulan. Hihi. Ternyata enggak semudah itu. Berita di televisi bukan bohong ya, Mas. Apalagi para maling uang negara." Kami saling berkomentar."Iya. Di penjara-penjara juga katanya enak. Ada Tv, AC, lemari es, kasur empuk. Ya, seperti rumah saja. Makanya tak bakalan jera-jera tuh mereka. Rekan papa juga koruptor, di penjara kayanya enak. Hanya, tak bisa ke mall aja. Tapi apa yang ia mau, dikasih lho.""Masak sih, Mas?" "He'em.""Mas Anang gitu enggak ya, Mas? Kalau begitu, percuma di