"Tunggu, Tante!" Mas Yoga hentikan langkahnya.
"Apa? Oke, saya minta maaf. Silahkan bawa istrimu pergi, saya tak akan permasalahkan ini lagi." Bu Indi menoleh."Tak semudah itu, Bu Indi, Pak Rudi." Mas Yoga berkata."Lalu, mau apa? Mau bawa menantu saya ke jalur hukum juga?" kata Bu Indi geram."Mah!" Anggi resah."Yoga, maafkan menantu Om. Maafkan juga atas tuduhan kami tadi." Suami Bu Indi kini yang berkata."Yoga, aku minta maaf." Tiba-tiba Anggi malah meringis di depan Mas Yoga. Itu artinya, dia mengaku salah. Tapi, sepertinya mereka kenal dekat sekali. Apa iya?"Aku maafkan. Tapi, dengan kondisi dan sikap kalian seperti ini mungkin kerjasama perusahaan saya dengan perusahaan kalian tak akan dilanjutkan."Jleb!Mendengar keputusan Mas Yoga aku lebih kaget dari sebelumnya. Sepertinya ekspresiku tak sendiri, yang lain juga menanggapi hal yang sama.Maya***Pagi harinya."Happy birthday to you! Happy birthday to you! Happy birthday, happy birthday, happy birthday, Mama …!""Yaey!" Kami bertepuk tangan dengan meriah. "Ya Allah! Kalian?" Mama super kaget saat baru saja turun dari tangga, kami sudah riweuh.Pagi hari tepat pukul enam kami sudah ada di rumah Mama. Sebenarnya satu setengah jam sebelum ini, Mas Yoga masak semua makanan favorit ibunya. Kedatangan kami berusaha tak diketahui Mama, sampai-sampai mobil pun belum masuk gerbang. Karena dari kamar Mama di atas, pasti ketahuan kalau ada mobil putranya."Selamat ulang tahun, Mah!" Papa mertua mengucapkan selamat pada sang istri. Mama masih mengangakan mulutnya karena kaget. "Kalian …." Tatapan Mama merona karena terharu. Ia juga geleng-geleng kepala tak menyangka."Today my birthday?" kata Mama terkejut."Ya.""Selamat ulang t
Maya***"Ya, Mbak Vita?" Aku menyapa balik. Gegas kucuci tangan lalu lap dengan lap bersih."Kalian kasih kado apa ya buat mama? Pasti kado mahal ya?" Ternyata itu yang ditanyakan oleh Mbak Vita."Kado sederhana saja, Mbak. Mungkin bagusan kado dari Mbak." Aku berkata hal yang mungkin saja begitu.Aku dan Mas Yoga membelikan perhiasan juga untuk Mama. Yang paling spesial dan Mama suka sih buket bunganya. Karena bunga kesukaannya yang kami hadiahkan."Masak sih? Kalian itu 'kan banyak sekali uangnya. Perusahaan mertua dijalankan oleh Yoga. Kalau cuma hadiah sederhana, seharusnya kurang menarik."Jleb!Inti dari pembicaraan Mbak Vita belum kutangkap. Sebenarnya, dia ini nyinyir atau bagaimana?Tapi, aku tersenyum saja. Ini bukanlah hal yang buruk. "Mbak, hadiah apapun, orang tua akan senang mendapatkannya. Dengan mengingat mereka saja, mereka akan lebih bahagia."
Maya***"Ada apa sih hah?" Mas Yoga dengan santai hampiri kami. Dia lalu mensejajarkan tubuh dengan kedua cilik.Arya geleng-geleng kepala, pun dengan Bio. Maksud mereka adalah menjawab pertanyaan Mas Yoga.."Yoga, anak tirimu itu sudah buat anak Mbak kesal. Malah hampir sampai nangis!"Drrrrt!Lontaran kata 'anak tiri' membuat hatiku tersayat tajam. Sesesak inikah dada kala seorang menyebut anakku dengan kata yang sedikit nyeleneh kedengarannya. Di sini juga ada ibuku, ia mendekat melihat yang terjadi. Tapi, apa yang bisa dilakukan selain diam. Mbak Vita terlalu sadis kurasa."Vit!" Mama menegur Mbak Vita ditutur dengan kedipan mata.Hatiku benar-benar resah saat ini. Mbak Vita di depan anakku mengucap kalimat yang mungkin saja hati Arya bisa tersayat juga. Saat ini saja, anakku hanya menunduk. Bio melihat Arya dengan rasa iba. Sepertinya Bio tumbuh menjadi anak yang baik jug
Maya***"Yoga!" Ratu menegur Mas Yoga mencengkeramkan taringnya. Saat ini tangan Ratu masih dikepal erat oleh suamiku. Dari ekspresinya, Mas Yoga nampak begitu marah besar."Hh. Jangan berani kurang ajar!"Dihempaskannya tangan Ratu oleh Mas Yoga hingga wanita kurang ajar itu syok. Apa dia berpikir Mas Yoga akan diam saja?"Yoga!" resah Mbak Vita atas sikap Mas Yoga, "jangan kasar dong!" imbuh Mbak Vita."Kamu keterlaluan, Yoga. Kamu jadi kasar begini sejak dekat dengan dia." Ratu merajuk dengan emosinya. Ia juga menunjukku tanpa tenggang rasa. Kenapa dia tak bisa memposisikan diri? Kenapa ajak ribut di momen seperti ini?"Dia siapa? Dia itu istriku. Bukan aku yang keterlaluan, tapi kamu! Apa hakmu berani ingin menampar istriku. Aku suaminya, kewajibanku untuk melindunginya." Suara Mas Yoga yang lantang dan tegas itu membuat aku kaget betul. Sepertinya dia geram sekali. Hingga mengakibatka
Maya***"Sayang, kamu duduk dulu di sana ya? Mama sama ayah mau bicara dulu dengan oma." Aku berpesan pada Arya. Dia manggut-manggut lalu duduk sendiri di kursi yang agak jauh.Ibu malam ini tak ikut. Jadinya aku hanya pergi bersama Arya dan juga suami."Ada apa, Mah?"Mas Yoga bertanya usai kami duduk bertiga. Yang lain ada beberapa namun di jarak kejauhan. Seperti Papa mertua juga rekannya. Kami ambil kursi yang jauh dari tempat orang lain berada. Sebetulnya, ini pilihan Mama.Aku lumayan resah, ada rasa tak enak menyelimuti sejak tadi. Mama pasti ingin bicara soal tadi. Aku menduga, karena tadi Mas Yoga emosinya agak naik.Sebelum bicara, Mama pejamkan matanya sembari mendenguskan napas. Dengan ekspresi wajah Mama mertua seperti itu, keresahanku semakin memuncak."Oke, before, sorry to say." Kata Mama, sebelumnya Mama minta maaf. Dugaanku tak salah, Mama mertua pasti …"Why?" ucap Mas Yoga dengan heran bertanya mengapa kepada sang ibu."Oke, ini udah kali ke dua kalian pancing ker
Maya***Kepalaku pening sekali. Sepertinya tadi sampai tak sadarkan diri. Kukerjap-kerjapkan kelopak mata beberapa kali. Jemari ini tak henti-hentinya memijat pelipisan. Rasanya kulit juga agak gatal, tapi sepertinya ini lebih baik.Bola mata ini mengedarkan pandangan. Yang nampak adalah langit-langit sebuah ruangan. Sepertinya ini bukan kamar pribadiku. "Sayang, Alhamdulilah, kamu udah siuman."Kutoleh orang yang bicara. Ternyata itu adalah suamiku. Kepala ini masih agak sakit. Tenggorokan juga seperti tercekak."Mas?" sapaku lirih dan masih heran. Dia menungguku. Dia melempar senyuman. Aku baru sadar, di pergelangan tangan tertancap jarum infusan. Ada apa denganku?"Sayang, asam lambung kamu naik."Mas Yoga menjelaskan sembari mengelus kepalaku. Asam lambung naik? Ya ampun, memang kemarin siang aku telat makan. Tapi, kenapa imbasnya sekarang?"Ya ampun, maaf ya, Mas. Aku repotin kamu.""No worry, Sayang. Ibu dan Mama juga ada di depan. Arya juga. Mereka khawatir.""Oh ya?" "He'e
Maya***"Ya ampun, saudaraku cantik sekali. Meskipun lagi hamil, tapi dia tetap cantik sekali. Apalagi, dia gadis saat menikah." Mbak Vita nyeletuk kecil di saat acara tujuh bulanan Amel—putri Tante Laura. Entah kenapa, katanya dia tak suka denganku. Tapi, dia duduk malah dekat-dekat denganku sejak tadi. Pastia niatnya untuk nyinyir ini dan itu. Sudah kuduga sejak awal. Dan memang begini jadinya. Biarkan saja, mungkin dia haus bicara.Aku menoleh Mas Yoga di samping. Ia memintaku tak usah ikut menanggapi apa yang Mbak Vita katakan. Nanti juga dia akan kena balasannya."Oh ya, katanya anaknya laki-laki. Aduh, bisa jadi generasi penerus tuh. Apalagi anak kandung dari pasangan berada."Bola mataku memutar mendengar komentar Mbak Vita yang nyinyir. Sepertinya dia menyindirku karena aku punya Arya, anak lelaki yang bukan anak kandung Mas Yoga."Sayang, diam dong! Jangan bicara terus." Mas Rizky
Maya***"Oh ya, Ine, kamu juga pastikan kalau Yoga harus cepat-cepat dapat keturunan. Biar ada generasi penerus. Harusnya sih bisa lahirkan anak pria. Itu lebih bagus."Deg!Pucuk dicinta, godaan pun tiba. Masih basah aku memuji karena Tante Ros tak bicara nyeleneh lagi. Tapi, barusan malah terdengar lagi.Aku harus diam jangan dulu menanggapi, karena Tante Ros bicara pada adiknya, mertuaku."Mbak Ros, yang melahirkan itu bukan kita, yang buat anak juga bukan kita. Biar itu jadi urusan mereka saja. Lagipula, Silvi dulu deh, yang udah lama nikahnya." Mama mertuaku berkata begitu. Jadi bener, Mbak Silvi belum memiliki keturunan?Tante Ros nampak sedikit kesal. "Iya nih, aku juga maunya begitu, tapi Silvi masih KB terus." "Nah, jangan kelamaan di KB," kata Tante Lauren."Ya ampun, Tante, Mah, aku ini baru menikah tiga tahun lho. Aku masih ingin menikmati figurku se