Maya
***"Ada apa sih hah?" Mas Yoga dengan santai hampiri kami. Dia lalu mensejajarkan tubuh dengan kedua cilik.Arya geleng-geleng kepala, pun dengan Bio. Maksud mereka adalah menjawab pertanyaan Mas Yoga.."Yoga, anak tirimu itu sudah buat anak Mbak kesal. Malah hampir sampai nangis!"Drrrrt!Lontaran kata 'anak tiri' membuat hatiku tersayat tajam. Sesesak inikah dada kala seorang menyebut anakku dengan kata yang sedikit nyeleneh kedengarannya. Di sini juga ada ibuku, ia mendekat melihat yang terjadi. Tapi, apa yang bisa dilakukan selain diam. Mbak Vita terlalu sadis kurasa."Vit!" Mama menegur Mbak Vita ditutur dengan kedipan mata.Hatiku benar-benar resah saat ini. Mbak Vita di depan anakku mengucap kalimat yang mungkin saja hati Arya bisa tersayat juga. Saat ini saja, anakku hanya menunduk. Bio melihat Arya dengan rasa iba. Sepertinya Bio tumbuh menjadi anak yang baik jugMaya***"Yoga!" Ratu menegur Mas Yoga mencengkeramkan taringnya. Saat ini tangan Ratu masih dikepal erat oleh suamiku. Dari ekspresinya, Mas Yoga nampak begitu marah besar."Hh. Jangan berani kurang ajar!"Dihempaskannya tangan Ratu oleh Mas Yoga hingga wanita kurang ajar itu syok. Apa dia berpikir Mas Yoga akan diam saja?"Yoga!" resah Mbak Vita atas sikap Mas Yoga, "jangan kasar dong!" imbuh Mbak Vita."Kamu keterlaluan, Yoga. Kamu jadi kasar begini sejak dekat dengan dia." Ratu merajuk dengan emosinya. Ia juga menunjukku tanpa tenggang rasa. Kenapa dia tak bisa memposisikan diri? Kenapa ajak ribut di momen seperti ini?"Dia siapa? Dia itu istriku. Bukan aku yang keterlaluan, tapi kamu! Apa hakmu berani ingin menampar istriku. Aku suaminya, kewajibanku untuk melindunginya." Suara Mas Yoga yang lantang dan tegas itu membuat aku kaget betul. Sepertinya dia geram sekali. Hingga mengakibatka
Maya***"Sayang, kamu duduk dulu di sana ya? Mama sama ayah mau bicara dulu dengan oma." Aku berpesan pada Arya. Dia manggut-manggut lalu duduk sendiri di kursi yang agak jauh.Ibu malam ini tak ikut. Jadinya aku hanya pergi bersama Arya dan juga suami."Ada apa, Mah?"Mas Yoga bertanya usai kami duduk bertiga. Yang lain ada beberapa namun di jarak kejauhan. Seperti Papa mertua juga rekannya. Kami ambil kursi yang jauh dari tempat orang lain berada. Sebetulnya, ini pilihan Mama.Aku lumayan resah, ada rasa tak enak menyelimuti sejak tadi. Mama pasti ingin bicara soal tadi. Aku menduga, karena tadi Mas Yoga emosinya agak naik.Sebelum bicara, Mama pejamkan matanya sembari mendenguskan napas. Dengan ekspresi wajah Mama mertua seperti itu, keresahanku semakin memuncak."Oke, before, sorry to say." Kata Mama, sebelumnya Mama minta maaf. Dugaanku tak salah, Mama mertua pasti …"Why?" ucap Mas Yoga dengan heran bertanya mengapa kepada sang ibu."Oke, ini udah kali ke dua kalian pancing ker
Maya***Kepalaku pening sekali. Sepertinya tadi sampai tak sadarkan diri. Kukerjap-kerjapkan kelopak mata beberapa kali. Jemari ini tak henti-hentinya memijat pelipisan. Rasanya kulit juga agak gatal, tapi sepertinya ini lebih baik.Bola mata ini mengedarkan pandangan. Yang nampak adalah langit-langit sebuah ruangan. Sepertinya ini bukan kamar pribadiku. "Sayang, Alhamdulilah, kamu udah siuman."Kutoleh orang yang bicara. Ternyata itu adalah suamiku. Kepala ini masih agak sakit. Tenggorokan juga seperti tercekak."Mas?" sapaku lirih dan masih heran. Dia menungguku. Dia melempar senyuman. Aku baru sadar, di pergelangan tangan tertancap jarum infusan. Ada apa denganku?"Sayang, asam lambung kamu naik."Mas Yoga menjelaskan sembari mengelus kepalaku. Asam lambung naik? Ya ampun, memang kemarin siang aku telat makan. Tapi, kenapa imbasnya sekarang?"Ya ampun, maaf ya, Mas. Aku repotin kamu.""No worry, Sayang. Ibu dan Mama juga ada di depan. Arya juga. Mereka khawatir.""Oh ya?" "He'e
Maya***"Ya ampun, saudaraku cantik sekali. Meskipun lagi hamil, tapi dia tetap cantik sekali. Apalagi, dia gadis saat menikah." Mbak Vita nyeletuk kecil di saat acara tujuh bulanan Amel—putri Tante Laura. Entah kenapa, katanya dia tak suka denganku. Tapi, dia duduk malah dekat-dekat denganku sejak tadi. Pastia niatnya untuk nyinyir ini dan itu. Sudah kuduga sejak awal. Dan memang begini jadinya. Biarkan saja, mungkin dia haus bicara.Aku menoleh Mas Yoga di samping. Ia memintaku tak usah ikut menanggapi apa yang Mbak Vita katakan. Nanti juga dia akan kena balasannya."Oh ya, katanya anaknya laki-laki. Aduh, bisa jadi generasi penerus tuh. Apalagi anak kandung dari pasangan berada."Bola mataku memutar mendengar komentar Mbak Vita yang nyinyir. Sepertinya dia menyindirku karena aku punya Arya, anak lelaki yang bukan anak kandung Mas Yoga."Sayang, diam dong! Jangan bicara terus." Mas Rizky
Maya***"Oh ya, Ine, kamu juga pastikan kalau Yoga harus cepat-cepat dapat keturunan. Biar ada generasi penerus. Harusnya sih bisa lahirkan anak pria. Itu lebih bagus."Deg!Pucuk dicinta, godaan pun tiba. Masih basah aku memuji karena Tante Ros tak bicara nyeleneh lagi. Tapi, barusan malah terdengar lagi.Aku harus diam jangan dulu menanggapi, karena Tante Ros bicara pada adiknya, mertuaku."Mbak Ros, yang melahirkan itu bukan kita, yang buat anak juga bukan kita. Biar itu jadi urusan mereka saja. Lagipula, Silvi dulu deh, yang udah lama nikahnya." Mama mertuaku berkata begitu. Jadi bener, Mbak Silvi belum memiliki keturunan?Tante Ros nampak sedikit kesal. "Iya nih, aku juga maunya begitu, tapi Silvi masih KB terus." "Nah, jangan kelamaan di KB," kata Tante Lauren."Ya ampun, Tante, Mah, aku ini baru menikah tiga tahun lho. Aku masih ingin menikmati figurku se
PoV Ros (Tante Ros)***"Nah, Ros, makanya jangan banyak bicara ke orang lain. Tuh anakmu juga belum punya anak, apalagi anak satu-satunya. Bagaimana itu? Seharusnya cepet punya anak. Maya sama Yoga udah punya, sebentar lagi juga mungkin Maya hamil lagi. Nah, mantumu!" komentar Mbak Lauren sedikit puas."Nah, betul sekali, Mbak. Jangan terlalu lama KB, entar kering lho. Mbak 'kan belum pernah melahirkan, takutnya malah jadi susah." Amel pun ikut berkomentar.*Sebenarnya apa yang mereka katakan itu adalah sebuah tanda tanya besar dariku pada Silvi. Dia telah membuatku terus beralasan, kenapa sampai sekarang belum juga bisa mendapatkan cucu dari Silvi dan Sandy.Alasan yang Silvi berikan tetap sama, yaitu ingin fokus kuliah biar anak bangga punya orang tua lulusan S2.Tapi, dibalik itu semua, aku ini iri dengan yang lain. Mereka sudah menimang cucu, Sedang aku belum bisa. Usiaku tak muda
PoV Maya***"Lihat 'kan, sampai saat ini pengadilan belum juga memutuskan. Sepertinya, tawa puas kalian harus dijeda."Mas Anang terkekeh sendiri didampingi dua sipir dan juga ibunya. Ia sedang merasa kegirangan padahal sedang dalam masa tahanan."Apapun yang kamu katakan, setidaknya aku telah bisa menyeret kamu ke dalam jeruji besi. Belum atau sudah divonis, kamu tetap saja tak bisa hidup bebas. Silahkan bersenang-senang dengan penderitaan kamu." Mas Yoga mengomentari kepuasan Mas Anang dengan santai.Saat ini kami sedang berada di pengadilan. Sidang ke dua pidana Mas Anang baru saja berlangsung. Namun, sidang kembali akan dilanjutkan satu bulan mendatang karena ternyata ada saksi-saksi yang belum bisa dihadirkan. Para saksi yang diminta oleh pihak pengadilan belum terpenuhi semuanya. Ada beberapa yang mangkir. Maka dari itu, Mas Anang belum bisa divonis sekarang. Terutama untuk kasus korupsi beberapa tahun yang lalu
Maya***"Awas kalian ya! Kalian akan dapat karma! Saya akan perburuk hidup kalian." Ibu kembali memantapkan ancamannya."Silahkan, Tante. Silahkan Tante lakukan sebisa Tante. Dan kalau Tante mengerti, urusan Tante bukanlah dengan kami lagi, tapi dengan hukum. Silahkan sampaikan keberatan atau segala hal di pengadilan kembali. Bila nasib Tante sedang mujur, mungkin keberuntungan akan Tante dapatkan."Mas Yoga menanggapi ocehan mantan mertuaku. Mimik wajah Ibu yang aku suka kini kembali nampak."Kamu seperti tak butuh saja pada ayahnya Arya, Maya. Kamu selama ini tak tahu terima kasih. Anang kerja banting tulang sampai ambil uang yang bukan haknya itu untuk anak kamu. Bukankah kamu juga menerima uangnya? Anakku selalu transfer uang padamu, bukan?" Deg!Sepertinya mantan mertuaku berpikir anaknya itu ayah yang bertanggung jawab. Percaya diri sekali."Bu, perlu Ibu ingat ya, Bu. Sejak kami bercerai. Sejak kami enggak tinggal lagi bersama, enggak ada uang sepeserpun mengalir padaku apala
PoV Maya***"Oh, jadi kamu Mas biang kerok semua ini? Aku gak nyangka kamu begini ya Mas!" Aku begitu marah. Wajahnya memerah nanar menatap pria itu."Arkh, apaan kalian, dasar tukang tuduh!" Dia itu berdecak. Dia berdalih dan tidak mengakui hal yang sebenarnya terjadi.Kami sekarang sedang berada di sebuah tempat. Dimana sekarang di sini kami sudah berhadapan dengan Mas Diwan yang ternyata memang biang kerok dari semuanya.Di sini juga tidak hanya ada aku dan suami juga anak buahku. Tapi di sini juga ada Hans yang baru saja datang. Aku sengaja ingin memperlihatkan kepadanya kalau anak buahnya selama ini telah melakukan hal yang buruk.Mas Diwan mencuri identitas dirinya untuk menerorku. Dan seakan-akan Hans lah yang ingin menggencarkan rumah tanggaku bersama Mas Yoga. Pijit sekali kelakuannya.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi nya Mas Diwan oleh telapak tanganku. Mas Yog
Dada omah mundur ke belakang. Bibirnya tertarik ke atas seperti tak mengindahkan apa yang aku duga. "Ya ampun, Yoga. Kamu menduga istrimu itu hanya jadi korban orang lain? Takut itu kah kamu istri kamu pergi? Pasti benar, dia itu sudah selingkuh. Kamu ini kok kaya melindungi banget istri kamu?" Dugaanku benar, Oma menyalahkan istriku."Bukan begitu, Oma. Tapi aku sama Mas Yoga juga sedang menyelidiki siapa orang yang selalu meneror aku dengan barang-barang seperti ini. Aku benar-benar enggak tahu, Oma, aku yakin ini ada unsur disengaja." Istriku mendekat membela dirinya.Aku coba meredam kemarahan Oma. "Oke, Oma tenang dulu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Yoga sama Maya mau ke kamar dulu. Ada hal yang ingin kita bicarakan.""Nah, itu bagus!" Oma setuju, "pasti kamu ingin memarahi dia kan? Bagus itu, ayok sana. Jangan pernah mau kalah sama istrimu. Nanti dia bakal kebiasaan," tandas Oma.Istriku masih terus rerpojok
PoV Yoga***"Semua informasinya sudah aku kirim lewat email."Pesan masuk setelah aku keluar dari ruang meeting. Temanku yang detektif ini menjanjikan waktu sebentar, tapi karena katanya dia ada meeting penting sehingga pekerjaannya dia tunda dulu. Dan baru sekarang dia mengirimkan semuanya. Katanya sudah lewat email.Aku Pun bergegas menuju ruang bekerja. Membuka laptop dan segera mencari tahu informasi terbaru yang masuk lewat email yang yang aku pakai untuk mendapatkan informasi darinya.Tanpa basa-basi aku pun segera membaca dan melihat bukti lokasi yang telah temanku itu selidiki.Degh!Aku kaget ketika dua nomor yang berbeda itu ternyata berada di lokasi yang sama. Bahkan bukan berdekatan, tapi memang di titik yang sama.Satu Nomor dengan identitas bernama Diwan. Dan satu lagi nomor atas nama Hans. Aku malah semakin bingung, jangan-jangan dugaan istriku benar, kalau Diwan lah yang memanfaatkan situasi ini untuk meneror istriku. Tapi apa maksud dan tujuannya?Ku tanya lagi kepad
PoV Yoga***[Maaf, kita belum bisa bertemu. Aku hanya bisa mengagumimu tanpa bisa melihatmu. Kita ini berada di posisi yang masih salah. Aku punya istri dan kamu pun punya. Aku hanya berharap suatu saat kita bersatu]Wajah istriku saat ini benar-benar murung dan ketakutan. Dia pasti berpikir kalau aku akan marah. "Mas, sumpah aku nggak tahu lho Mas salah orang ini," resahnya.Aku berusaha percaya. "Oke, sudah jelas kalau orang itu benar-benar menginginkan kamu. Tapi identitasnya terus saja dia sembunyikan.""Mas, aku yakin, ini adalah kerjaan seseorang untuk menghancurkan rumah tangga kita saja. Sumpah, aku gak tahu soal ini." Kekeh istriku seperti meresahkan pikiranku saat ini.Kami berdua diam. Namun, tiba-tiba istriku mengatakan kalau dia memiliki sebuah ide. "Mas!" Dia membuyarkan lamunanku. "Ada apa?" tanyaku.Dia malah mondar-mandir. "Gini nih, Mas, aku kok jadi suuzon kalau
PoV Yoga***"Selidikku siapa Diwan yang dimaksud oleh Hans. Saya mau kabar sebelum 24 jam!" titahku pada orang suruhan.Mereka langsung sigap mengiyakan.Aku ingin tahu nama Diwan yang disebut Hans. Mungkin saja dia adalah Diwan yang sama dengan suaminya Risma.Dari kantor dia resign katanya ingin buka usaha, tapi setelah aku telusuri ternyata Diwan tidak buka usaha di rumah. Kata ibunya istriku Diwan itu seperti masih kerja kantoran.Aku ingin segera clear kan masalah ini. Keresahan hati mengenai Hans yang ingin merebut istriku ini harus segera aku pecahkan saat ini juga. Jangan sampai ada kesalahpahaman diantara kita yang terlalu jauh.Di menit kemudian tiba-tiba ponselku berdenting. Setelah melihat nama yang tertera di nomor panggilan yang masuk, ternyata dia adalah istriku.Segera aku menjawabnya. "Ya, Sayang?" sapaku lebih dulu."Mas, aku ada kabar dari sese
Ternyata Hans sedang ada masalah keluarga. Mungkinkah dia bermasalah dengan istrinya sehingga ingin mendapatkan istriku? Benar saja dia barusan menyanjung istriku tanpa ada rasa resah."Semoga rumah tangga kalian kembali membaik ya," ujarku mengharapakan."Ya, semoga. Terima kasih."Lumayan lama berbincang-bincang ke sana-kemari. Bahkan kami juga membahas bisnis yang sedang berjalan. Namun, karena sudah pukul sebelas, aku pun gegas kembali ke kantor. Cukup untuk hari ini menjadi detektif secara langsung tanpa Hans sadari. Karena aku yakin, dia tak akan sadar kalau kecurigaan hati ini jatuh padanya. Entah kalau dia sudah tahu semuanya, sehingga dia seakan-akan memperlihatkan tak sedang terjadi sesuatu di depanku.***Saat makan siang aku ijin pada istri untuk bertemu dengan dua rekan. Yang satunya baru tiba dari luar negeri setelah pergi selama empat bulan lamanya. Dia melanjutkan studi di sana."Halo, Will, apa kabar?" Aku m
PoV Yoga***Dia seperti gelisah setelah berkali-kali melirikku. "Oh, ya, it's oke. Em, diantar siapa kemari? Em, ya, duduk, duduk!" Ia nampak salah tingkah lagi. Hal yang membuat hatiku jadi tidak nyaman bila dia begini. "Resepsionis yang mengantarkan." Aku menjawab sembari duduk di sofa."Oh iya." Ia manggut dengan bola mata tak henti bergerak.Aku semakin curiga dengan ekspresinya. "Sepertinya Pak Hans sedang gelisah sekali? Ada hal buruk 'kah?" Bola matanya tak menatapku fokus. Semuanya membuatku semakin penasaran. Kenapa aku menduga dialah yang akan merusak rumah tanggaku. Untuk apa juga dia pindah rumah ke tempat yang dekat dengan rumahku? Tapi aku tak bisa suudzon begini. Harus benar-benar dicari bukti terlebih dahulu."Em, ada hal yang teramat pentingkah hingga langkah Pak Yoga sampai kemari?" tanyanya begitu resah. Tapi ada sandiwara persembunyian di baliknya."Oh tak ada apa-apa. Kebetulan saya hari
Betapa kagetnya aku, ada KTP rekan bisnisku di layar. Dengan jelas kutatap foto dan juga nama lengkap. Benar sekali, tak ada yang salah."Hans Putra Baskhara," batinku kaget.Aku zoom kembali lebih detail. Aku juga melihat lagi file lain, siapa tahu salah buka, ternyata tidak. Benar-benar identitas Hans kudapat.Ada sosial media juga yang terpaut dengan nomor asing itu. Semua wajah rekan bisnisku. Ini benar-benar membuatku bertanya-tanya. Bukankah kemarin Risma memalsukan atas nama Hans? Lalu istriku menyelidiki hingga identitas Risma dan suaminya itu terbukti? Sekarang?Apa mungkin ini bukti palsu? Gegas kuhubungi kembali si orang suruhan. Dia yakin 100%, data yang ia dapat dari nomor tersebut itu benar. Tidak ada yang keliru. Aku jadi geleng-geleng kepala. Setelah dipikir-pikir, hari ini lebih baik aku datang pada Hans. Perusahaan cabangnya yang baru berdiri itu akan kuhampiri. Mungkin dia bisa memberikan penjelasan atas semu
PoV Yoga***Sekarang di rumah ada Oma. Ia katanya ingin tinggal di sini sampai istriku melahirkan nanti. Biasalah, orang tua selalu banyak sekali aturan dan juga soal pantrangan. Kupikir dulu dia juga melakukan hal yang sama pada anak dan cucunya, dan sekarang istriku. Oma akan berada di sini untuk menjaga istri dan jabang bayiku. Mungkin lebih ke ingin menemani.Itu kata Oma, yang aku pikir di sini Oma lebih ke menginginkan peraturan baru. Dia sepertinya ingin mencaritahu bagaimana istriku kesehariannya lebih detail. Kutahu, Oma selalu menginginkan semua hal itu sempurna.Di sisi lain datangnya Oma membuatku gembira. Jadinya, aku juga bisa melihat dan menjaga dia lebih dekat lagi. Bukan hanya bertemu setahun sekali atau dua kali saja.Usianya sudah sepuh sekali. Kalau tak salah, sudah lebih dari 78 tahunan. Begitu katanya. Dengan usia demikian, dia masih mampu berjalan tegap walaupun tak secepat sewaktu masih muda. Kadang aku berpikir,