Maya
***"Oh ya, Ine, kamu juga pastikan kalau Yoga harus cepat-cepat dapat keturunan. Biar ada generasi penerus. Harusnya sih bisa lahirkan anak pria. Itu lebih bagus."Deg!Pucuk dicinta, godaan pun tiba. Masih basah aku memuji karena Tante Ros tak bicara nyeleneh lagi. Tapi, barusan malah terdengar lagi.Aku harus diam jangan dulu menanggapi, karena Tante Ros bicara pada adiknya, mertuaku."Mbak Ros, yang melahirkan itu bukan kita, yang buat anak juga bukan kita. Biar itu jadi urusan mereka saja. Lagipula, Silvi dulu deh, yang udah lama nikahnya." Mama mertuaku berkata begitu. Jadi bener, Mbak Silvi belum memiliki keturunan?Tante Ros nampak sedikit kesal. "Iya nih, aku juga maunya begitu, tapi Silvi masih KB terus.""Nah, jangan kelamaan di KB," kata Tante Lauren."Ya ampun, Tante, Mah, aku ini baru menikah tiga tahun lho. Aku masih ingin menikmati figurku sePoV Ros (Tante Ros)***"Nah, Ros, makanya jangan banyak bicara ke orang lain. Tuh anakmu juga belum punya anak, apalagi anak satu-satunya. Bagaimana itu? Seharusnya cepet punya anak. Maya sama Yoga udah punya, sebentar lagi juga mungkin Maya hamil lagi. Nah, mantumu!" komentar Mbak Lauren sedikit puas."Nah, betul sekali, Mbak. Jangan terlalu lama KB, entar kering lho. Mbak 'kan belum pernah melahirkan, takutnya malah jadi susah." Amel pun ikut berkomentar.*Sebenarnya apa yang mereka katakan itu adalah sebuah tanda tanya besar dariku pada Silvi. Dia telah membuatku terus beralasan, kenapa sampai sekarang belum juga bisa mendapatkan cucu dari Silvi dan Sandy.Alasan yang Silvi berikan tetap sama, yaitu ingin fokus kuliah biar anak bangga punya orang tua lulusan S2.Tapi, dibalik itu semua, aku ini iri dengan yang lain. Mereka sudah menimang cucu, Sedang aku belum bisa. Usiaku tak muda
PoV Maya***"Lihat 'kan, sampai saat ini pengadilan belum juga memutuskan. Sepertinya, tawa puas kalian harus dijeda."Mas Anang terkekeh sendiri didampingi dua sipir dan juga ibunya. Ia sedang merasa kegirangan padahal sedang dalam masa tahanan."Apapun yang kamu katakan, setidaknya aku telah bisa menyeret kamu ke dalam jeruji besi. Belum atau sudah divonis, kamu tetap saja tak bisa hidup bebas. Silahkan bersenang-senang dengan penderitaan kamu." Mas Yoga mengomentari kepuasan Mas Anang dengan santai.Saat ini kami sedang berada di pengadilan. Sidang ke dua pidana Mas Anang baru saja berlangsung. Namun, sidang kembali akan dilanjutkan satu bulan mendatang karena ternyata ada saksi-saksi yang belum bisa dihadirkan. Para saksi yang diminta oleh pihak pengadilan belum terpenuhi semuanya. Ada beberapa yang mangkir. Maka dari itu, Mas Anang belum bisa divonis sekarang. Terutama untuk kasus korupsi beberapa tahun yang lalu
Maya***"Awas kalian ya! Kalian akan dapat karma! Saya akan perburuk hidup kalian." Ibu kembali memantapkan ancamannya."Silahkan, Tante. Silahkan Tante lakukan sebisa Tante. Dan kalau Tante mengerti, urusan Tante bukanlah dengan kami lagi, tapi dengan hukum. Silahkan sampaikan keberatan atau segala hal di pengadilan kembali. Bila nasib Tante sedang mujur, mungkin keberuntungan akan Tante dapatkan."Mas Yoga menanggapi ocehan mantan mertuaku. Mimik wajah Ibu yang aku suka kini kembali nampak."Kamu seperti tak butuh saja pada ayahnya Arya, Maya. Kamu selama ini tak tahu terima kasih. Anang kerja banting tulang sampai ambil uang yang bukan haknya itu untuk anak kamu. Bukankah kamu juga menerima uangnya? Anakku selalu transfer uang padamu, bukan?" Deg!Sepertinya mantan mertuaku berpikir anaknya itu ayah yang bertanggung jawab. Percaya diri sekali."Bu, perlu Ibu ingat ya, Bu. Sejak kami bercerai. Sejak kami enggak tinggal lagi bersama, enggak ada uang sepeserpun mengalir padaku apala
Maya***"Dok, bukannya dokter Bella itu …?"Aku heran dengan lagi-lagi ucapan Mas Yoga dengan dokter yang bernama Bella. Ada apa memangnya?Trek!Tiba-tiba, masuklah seorang perempuan cantik memakai jas seorang dokter. Apa dokter Bella ini yang dimaksud?"Permisi!" "Dokter Bella?" Mas Yoga terheran-heran."Ya, beliau dokter Bella," jawab dokter Mytha, "silahkan, Dok," pinta dokter Mytha supaya dokter Bella mendekatiku. Apa akan ada pemeriksaan lagi? Apakah dokter Bella ini senior spesialis?***Saat ini aku masih terbaring di bedrest tempat pemeriksaan. Mas Yoga berdiri di sampingku tak ke mana-mana sejak tadi.Dokter Bella yang dikenali Mas Yoga sudah masuk dan segera memeriksaku. Aku tak tahu dokter Bella spesialis penyakit dalam kah? Bukankah dokter Mytha ini spesialis yang sudah ahli? Apa dia kurang yakin dengan penyakitku?Namun, setelah name tag yang ia kenakan di dekat saku baju kubaca, di belakang namanya ada sebuah gelar SpOG. Mataku menyipit memastikan. Ya, tak salah.Bell
Mas Yoga yang sedang terkekeh karena kami saling bercanda pun kini menyelidik. Matanya memyipit ke arah yang aku tunjuk."Oh iya, itu Mas Sandy. Itu Tante Ros juga. Ngapain mereka di sana ya?"Kami menjeda langkah. Baru saja akan menghampiri mereka, tiba-tiba ada seorang dokter keluar dari ruangan. Itu jelaslah dokter Bella. Seorang dokter yang tadi pastikan kandunganku. Itu artinya, Tante Ros dan Mas Sandy sedang menemui dokter kandungan."Oh, sepertinya mereka sedang konsultasi kandungan. Mbak Silvy pasti di dalam." Tanggapan Mas Yoga."Mau kita samperin, Mas?" ucapku agak ragu."Ya, kita ke sana saja. Aku takut ada sesuatu hal serius. Atau, kalau Mbak Silvy sedang mengandung, itu artinya kita akan jadi orang tua barengan."Karena saran dari Mas Yoga, akhirnya kami memutuskan untuk menunggu mereka di kursi tunggu dekat ruangan, karena mereka sudah masuk ke dalam lagi. Aku juga penasaran dengan apa yang mereka lakukan di ruangan obgyn. Tapi, tentunya itu masalah kandungan. Apakah Mba
Maya***"Jadi gimana, Mas? Risma memang diterima kerja di sini? Dia melamar ke staf atau ke bagian mana?" tanyaku pada suami yang sudah cari tahu lewat bagian HRD."Dia melamar jadi staf. Hanya tidak memenuhi kriteria. Katanya dia tak bisa menjawab pertanyaan saat interview dengan baik. Tapi, dia terus memaksa karena butuh pekerjaan. Maka HRD menimbang dia untuk mengisi kekosongan bagian petugas kebersihan."Aku kaget. "Dan dia mau, Mas?" "Dia sih katanya mau saja, asal dapat kerja. Tapi, pihak HRD juga belum memutuskan dia diterima ataupun tak diterima. Tapi aku sudah pastikan pada HRD, semua karyawan yang melamar kerja memiliki tata krama yang baik. Terutama dalam berbicara."Aku manggut-manggut pelan. "Aneh ya, Mas. Dari sekian banyak perusahaan, kenapa dia melamar kerja di perusahaan ini?" "Aku tak tahu motifnya apa. Hanya, kalau sampai bagian HRD menerimanya di bagian itu, kamu harus hati-hati ya. Dia pasti akan mancing-mancing emosi kamu. Aku rasa tujuannya kemari itu sih. Ta
Maya***[Gak, aku cuma ingin bilang kalau ini nomor baruku saja. Namaku Hans, apa kamu gak inget? Aku teman SMA kamu]Jleb!Terlepas benar atau tidaknya dari kejujuran orang itu aku tak tahu. Tapi, untuk apa Hans menghubungiku saat ini? Lagipula, dulu saja kami tak kenal dekat. Bertukar nomor saja tidak sampai. Aneh.Tapi, biar saja kubalas supaya cepat selesai.[Hans? Oh, iya. Tapi, ada keperluan apa ya?] Balasan kububuhi emoticon tersenyum sembari minta maaf. Takutnya memang benar saja, dia si Hans. Wajahnya masih kuingat dengan jelas. Namun, selama ini belum pernah bertemu lagi.Dia kembali membalas. [Aku ingin kita temenan aja lagi. Kamu simpan nomorku ya?]Ada hal aneh sampai di sini. Untuk apa dia tiba-tiba menghubungiku sedangkan sebelumnya kami tak pernah berjumpa.Tapi, daripada jadi fitnah, aku lebih baik menjelaskan saja. Bagaimana nyamannya hubungan kami.[Oh begitu. Aku minta maaf, karena aku sudah bersuami. Sekadar menyimpan nomor, aku akan simpan. Tapi, semoga kamu bis
Mohon maaf bila bab-bab selanjutnya harus dibuka dengan koin banyak, karena saya menulis dengan isi kata yang banyak juga, ya.***Maya***"Mbak, kalau Mbak jauh-jauh kemari hanya untuk bicara hal konyol seperti ini, lebih baik … Mbak pulang saja."Aku memberanikan diri dengan penuh hormat meminta Mbak Silvi pergi. Biarkan saja kalau dia marah. Aku memang harus jauh-jauh dari orang-orang toxic seperti Mbak Silvi.Aku hendak beranjak karena kesal. Namun lagi-lagi Mbak Silvi malah mencegahku. "Maya tunggu!" Ia meraih tanganku.Aku kesal. Tapi, kekesalan ini berubah kala melihat ekspresi wajahnya yang berubah pula. Aku benar-benar kaget."Mbak?" Aku malah jadi bingung.*"Mbak, kok Mbak matanya mengembun gitu?"Kekesalan yang tadi hampir naik ke ubun-ubun pun kini kembali ke dasar kalbu. Menyelidik ekspresi yang berubah dari kecut menjadi tanda tanya."Maya, aku … a … aku. Mas Sandy diminta menikah lagi oleh Mama."Aku kaget sampai menjeda napas beberapa saat."M–Mas Sandy?"Dia manggut