Mas Yoga yang sedang terkekeh karena kami saling bercanda pun kini menyelidik. Matanya memyipit ke arah yang aku tunjuk."Oh iya, itu Mas Sandy. Itu Tante Ros juga. Ngapain mereka di sana ya?"Kami menjeda langkah. Baru saja akan menghampiri mereka, tiba-tiba ada seorang dokter keluar dari ruangan. Itu jelaslah dokter Bella. Seorang dokter yang tadi pastikan kandunganku. Itu artinya, Tante Ros dan Mas Sandy sedang menemui dokter kandungan."Oh, sepertinya mereka sedang konsultasi kandungan. Mbak Silvy pasti di dalam." Tanggapan Mas Yoga."Mau kita samperin, Mas?" ucapku agak ragu."Ya, kita ke sana saja. Aku takut ada sesuatu hal serius. Atau, kalau Mbak Silvy sedang mengandung, itu artinya kita akan jadi orang tua barengan."Karena saran dari Mas Yoga, akhirnya kami memutuskan untuk menunggu mereka di kursi tunggu dekat ruangan, karena mereka sudah masuk ke dalam lagi. Aku juga penasaran dengan apa yang mereka lakukan di ruangan obgyn. Tapi, tentunya itu masalah kandungan. Apakah Mba
Maya***"Jadi gimana, Mas? Risma memang diterima kerja di sini? Dia melamar ke staf atau ke bagian mana?" tanyaku pada suami yang sudah cari tahu lewat bagian HRD."Dia melamar jadi staf. Hanya tidak memenuhi kriteria. Katanya dia tak bisa menjawab pertanyaan saat interview dengan baik. Tapi, dia terus memaksa karena butuh pekerjaan. Maka HRD menimbang dia untuk mengisi kekosongan bagian petugas kebersihan."Aku kaget. "Dan dia mau, Mas?" "Dia sih katanya mau saja, asal dapat kerja. Tapi, pihak HRD juga belum memutuskan dia diterima ataupun tak diterima. Tapi aku sudah pastikan pada HRD, semua karyawan yang melamar kerja memiliki tata krama yang baik. Terutama dalam berbicara."Aku manggut-manggut pelan. "Aneh ya, Mas. Dari sekian banyak perusahaan, kenapa dia melamar kerja di perusahaan ini?" "Aku tak tahu motifnya apa. Hanya, kalau sampai bagian HRD menerimanya di bagian itu, kamu harus hati-hati ya. Dia pasti akan mancing-mancing emosi kamu. Aku rasa tujuannya kemari itu sih. Ta
Maya***[Gak, aku cuma ingin bilang kalau ini nomor baruku saja. Namaku Hans, apa kamu gak inget? Aku teman SMA kamu]Jleb!Terlepas benar atau tidaknya dari kejujuran orang itu aku tak tahu. Tapi, untuk apa Hans menghubungiku saat ini? Lagipula, dulu saja kami tak kenal dekat. Bertukar nomor saja tidak sampai. Aneh.Tapi, biar saja kubalas supaya cepat selesai.[Hans? Oh, iya. Tapi, ada keperluan apa ya?] Balasan kububuhi emoticon tersenyum sembari minta maaf. Takutnya memang benar saja, dia si Hans. Wajahnya masih kuingat dengan jelas. Namun, selama ini belum pernah bertemu lagi.Dia kembali membalas. [Aku ingin kita temenan aja lagi. Kamu simpan nomorku ya?]Ada hal aneh sampai di sini. Untuk apa dia tiba-tiba menghubungiku sedangkan sebelumnya kami tak pernah berjumpa.Tapi, daripada jadi fitnah, aku lebih baik menjelaskan saja. Bagaimana nyamannya hubungan kami.[Oh begitu. Aku minta maaf, karena aku sudah bersuami. Sekadar menyimpan nomor, aku akan simpan. Tapi, semoga kamu bis
Mohon maaf bila bab-bab selanjutnya harus dibuka dengan koin banyak, karena saya menulis dengan isi kata yang banyak juga, ya.***Maya***"Mbak, kalau Mbak jauh-jauh kemari hanya untuk bicara hal konyol seperti ini, lebih baik … Mbak pulang saja."Aku memberanikan diri dengan penuh hormat meminta Mbak Silvi pergi. Biarkan saja kalau dia marah. Aku memang harus jauh-jauh dari orang-orang toxic seperti Mbak Silvi.Aku hendak beranjak karena kesal. Namun lagi-lagi Mbak Silvi malah mencegahku. "Maya tunggu!" Ia meraih tanganku.Aku kesal. Tapi, kekesalan ini berubah kala melihat ekspresi wajahnya yang berubah pula. Aku benar-benar kaget."Mbak?" Aku malah jadi bingung.*"Mbak, kok Mbak matanya mengembun gitu?"Kekesalan yang tadi hampir naik ke ubun-ubun pun kini kembali ke dasar kalbu. Menyelidik ekspresi yang berubah dari kecut menjadi tanda tanya."Maya, aku … a … aku. Mas Sandy diminta menikah lagi oleh Mama."Aku kaget sampai menjeda napas beberapa saat."M–Mas Sandy?"Dia manggut
Maya***[Iya, sama-sama. Oh ya, nomor pria yang kamu ketahui identitasnya itu juga berbeda dengan identitas yang diselidiki oleh detektif. Kamu bisa lihat di email ya. Maaf aku tak bisa bicara, ini sedang ada acara keluarga.]Di sini aku heran. Berbeda?Tapi, daripada banyak tanya lagi, lebih baik aku segera cek saja.Setelah menutup pesan kembali berterima kasih padanya, aku gegas buka laptop untuk melihat kedua nomor tersebut.***Aku cek email. Ada banyak sekali pesan yang masuk perihal pekerjaan dan lainnya. Namun, setelah aku cek kotak masuk dari rekanku yang bernama Mia, di sini aku benar-benar kaget dan tak habis pikir.Setelah aku klik, aku dapat KTP siapa yang menghubungi beberapa hari ini. Aku zoom, dan benar-benar jelas terlihat identitas. Kepalaku sampai geleng-geleng. Sial, dari KTP aku dapat identitas dua orang yang selama ini membuatku emosi.
Tapi, kata kamu nomor Hans menghubungi kamu? Dan nomornya sama?" herannya lagi."Lihat deh, Mas, ini nomornya. Sama 'kan? Belakangnya 190."Mas Yoga menyelidik. Lalu ia juga meraih handphone untuk melihat nomor Hans yang asli."Belakangnya iya sama sih. Tapi, itu nomornya Smartfren. Kalau tak salah, Hans pakai Telkomsel."Aku heran namun lega. "Yang bener, Mas?""Ini, lihat!" Mas Yoga memperlihatkan nomor asli Hans yang identitasnya adalah rekan SMA-ku dulu. Benar ternyata, dua nomor berangka akhir sama namun jelas beda. Sampai sini aku semakin lega. Ini bukan Hans yang ingin mengganggu rumah tanggaku."Sebenarnya aku ingin cerita sejak awal sama kamu, Mas. Tapi, saat aku mau cerita, pasti ada saja halangannya. Kalau kita lagi free ya aku lupa. Maaf ya, Mas. Nah, saat aku dengar kamu telepon seseorang kasih nomor si Hans yang ujungnya 190, itu aku kaget, Mas. Ternyata benar, dia itu Ha
Risma***"Tutututu. Tutututu."Aku sudah riang nyanyi-nyanyi di pagi hari. Berkacak pinggang, lenggak-lenggok dengan tampilan yang menawan. Sungguh mudah sekali ternyata masuk ke perusahaan Yoga. Aku sudah bekerja sekitar satu minggu, sepertinya kalau memojokkan si Maya sama sekali tak ada pengaruhnya. Aku santai-santai saja. Ya, dia sepertinya tak punya kuasa untuk memecatku.Masuk ke perusahaan itu ternyata attitude yang diutamakan. Aku juga cari tahu sebelumnya. Sialnya, ingin melamar di bagian administrasi, malah tak diterima. Aku hanya diberikan posisi office girl yang sebenarnya bukan keinginanku sama sekali. Apa daya, yang penting aku bisa mengiris-ngiris perasaan si Maya. Hingga dia merasa kalau dirinya hanya dijadikan pelarian saja oleh suami yang kaya itu."Tutututu. Tutututu.""Berisik ah! Kok kamu kayak kegirangan gitu! Mentang-mentang udah kerja di tempat bagus," ledek suamiku, Mas Diwan.
Risma***"Sialan, Mas, aku dapat surat peringatan dari kantor! Ini pasti gara-gara si Maya. Dia pasti ngadu ke HRD."Sampai di rumah aku menggerutu pada Mas Diwan. Sebenarnya ingin bicara sejak tadi di motor, tapi berisik sekali. Aku tanya dia saja cuma hahoh-hahoh. Mungkin karena cotton buds di rumah habis. Sudah satu minggu dia tak korek kuping.Aku melempar tas."Kena surat peringatan? Kok bisa? Ah, ini pasti kamu macem-macem sama Maya ya, 'kan?" komentar Mas Diwan dengan kesal."Ya, siapa lagi sih, Mas.""Ya bagus cuma dikasih SP, gak sampai dipecat. Kamu jangan bikin onar dong, Ris. Kamu ini arkh!" resah Mas Diwan menanggapiku."Iya, aku kesel. Tapi kamu tahu nggak, Mas? Ada juga yang bikin aku hepi banget. Kamu lihat isi pesan aku sama si Maya. Nih lihat!"Aku segera memperlihatkan semua pesan antara aku dengan si Maya. Tatapan Mas Diwan menyelidik seperti