Keesokan harinya, Alena bangun dengan perasaan yang berat di dadanya. Matahari yang memasuki kamarnya seolah tak mampu mengusir kepenatan dalam dirinya. Ia merapikan tempat tidurnya dengan tangan yang gemetar, mencoba mengalihkan pikirannya dari apa yang terjadi semalam. Ciuman itu, perasaan yang datang bersama ciuman itu—semuanya berputar-putar di kepalanya. Namun, ia tahu satu hal yang pasti: hidupnya tidak bisa berhenti. Pekerjaan, rutinitas, semuanya tetap harus dilanjutkan. Jadi, meskipun hatinya hancur dan pikirannya kacau, Alena berusaha tampil seolah tidak ada yang berubah.Saat ia bersiap-siap untuk berangkat kerja, ia menatap dirinya di cermin. Kesan pertama yang ia dapat adalah ketegangan di wajahnya, sebuah ketegangan yang mencoba ia sembunyikan di balik ekspresi biasa. Rambutnya yang biasanya terawat dengan rapi tampak sedikit kusut, matanya yang biasanya cerah kini tampak sedikit lelah. Namun, ia berusaha keras untuk memperbaiki penampilannya, untuk menampilkan diri seba
Hari-hari setelah kejadian itu berjalan begitu lambat, dan Alena merasa semakin terperangkap dalam labirin perasaannya sendiri. Ciuman yang terjadi malam itu masih membekas di bibirnya, tidak hanya secara fisik, tetapi lebih pada perasaan yang mengganggu setiap kali ia berpikir tentangnya. Meskipun ia berusaha untuk mengabaikannya dan tetap melanjutkan hidup seperti biasa, kenyataan tidak memberi kesempatan untuk melupakan apa yang terjadi. Setiap kali ia bertemu Adrian, tatapan mata mereka berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang bisa terucap. Ketegangan itu semakin membakar, menciptakan jarak yang semakin sulit untuk dihindari.Alena tahu bahwa ia harus menjaga jarak, bahwa semakin dekat dengan Adrian berarti semakin sulit untuk menahan perasaannya yang sudah mulai berkembang. Namun, setiap kali ia berusaha menjauh, Adrian tidak pernah memberi kesempatan. Ia selalu ada di sana, mencari-cari alasan untuk berinteraksi dengannya, memastikan bahwa ia tidak bisa lari begitu saja. B
Alena duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan fokus yang hampir tidak nyata. Hatinya tidak ada di sana, bukan pada laporan atau presentasi yang harus dia buat, tetapi pada pikiran yang terus berputar tentang Adrian. Setelah beberapa minggu mencoba menjaga jarak, mencoba mengabaikan perasaan yang terus tumbuh dalam dirinya, malam itu tiba-tiba terasa berbeda. Adrian menghubunginya lebih awal pada hari itu dengan sebuah permintaan yang tampaknya sederhana—mengundangnya untuk bertemu dan mendiskusikan proyek penting di luar kantor. Pada awalnya, Alena menolaknya dengan alasan kesibukan yang tak terhitung jumlahnya, tetapi akhirnya, ia merasa tidak bisa menahan diri lagi.“Ada beberapa hal yang perlu kita diskusikan, Alena. Ini penting. Aku ingin kamu menjadi bagian dari keputusan besar ini,” kata Adrian dengan nada serius di telepon, suaranya tetap terkontrol namun mengandung ketegangan yang sulit disembunyikan. Alena merasa seperti ada sesuatu yang tidak bisa ia hindari, s
Malam itu terasa seperti sebuah putaran dunia yang semakin cepat, dan Alena merasa dirinya tidak dapat menghindari arah yang sudah ditentukan. Makan malam bersama Adrian tadi bukan sekadar pertemuan profesional. Meskipun mereka memulai percakapan dengan topik kerjaan, semuanya berubah menjadi lebih pribadi, lebih intens. Kata-kata Adrian yang dipenuhi dengan pujian dan perhatian membuat hatinya berdebar lebih keras dari biasanya. Ketegangan itu begitu jelas, terasa seperti udara yang penuh dengan percikan listrik, siap meledak kapan saja.Setelah makan malam yang menegangkan namun mengesankan itu, Adrian mengajaknya pulang. Mobil yang mereka tumpangi melaju perlahan melewati jalan-jalan yang terang benderang, namun Alena merasa seolah-olah ia sedang berada di dalam kegelapan, tersesat di dalam perasaan yang tidak bisa ia kontrol. Mobil itu terasa seperti penjara kecil, mengurungnya dengan pikiran-pikiran yang semakin berat.Di dalam mobil, suasana canggung menyelimuti mereka. Adrian m
Hubungan antara Alena dan Adrian semakin berkembang, meskipun tidak terlihat di permukaan. Mereka menjaga semuanya dengan sangat hati-hati, berusaha untuk tidak membiarkan siapa pun mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Hanya mereka berdua yang tahu, dan itu sudah cukup—untuk saat ini.Setiap kali mereka bertemu di luar kantor, ada sebuah ketegangan yang samar, tetapi cukup kuat untuk menggambarkan bahwa ada lebih dari sekadar hubungan profesional di antara mereka. Adrian semakin sering mengajak Alena makan siang, bukan karena kebutuhan kerja, tetapi karena alasan yang lebih pribadi. Restoran yang mereka pilih selalu tenang, sepi, dan tidak terlalu ramai. Mereka duduk di sudut yang agak tersembunyi, bersembunyi dari pandangan orang lain. Pembicaraan mereka hampir selalu mengarah pada hal-hal kecil, hal-hal yang mungkin terlihat tidak penting bagi orang lain, tetapi bagi mereka berdua, itu adalah cara untuk lebih mengenal satu sama lain tanpa harus mengungkapkan pera
Suasana di acara perusahaan malam itu tampak penuh kegembiraan. Lampu-lampu terang, percakapan riuh, dan musik lembut mengisi ruang. Namun, bagi Alena dan Adrian, segalanya terasa berbeda. Meskipun mereka berada di tengah keramaian, hati mereka seperti terperangkap dalam dunia mereka sendiri, terpisah dari kebisingan sekitar.Sejak beberapa minggu terakhir, hubungan mereka semakin sulit untuk dijaga tetap profesional. Setiap tatapan, setiap sentuhan kecil, semakin mengaburkan batas yang selama ini mereka coba pertahankan. Malam ini, kesempatan untuk bekerja sama dalam sebuah proyek khusus membuat ketegangan yang sudah lama terpendam semakin jelas. Mereka harus merencanakan presentasi untuk klien penting bersama, dan selama proses itu, mereka tak bisa menghindar dari satu sama lain.Alena mencoba fokus pada pekerjaan. Ia menatap layar laptopnya, berusaha menulis beberapa catatan penting untuk rapat yang akan datang, tetapi pikirannya melayang, selalu kembali pada Adrian. Terkadang, ia
Minggu-minggu setelah malam yang penuh ketegangan itu terasa semakin berat bagi Alena. Setiap langkah yang ia ambil, setiap keputusan yang ia buat, selalu diwarnai oleh perasaan yang semakin sulit ia tanggung. Hubungannya dengan Adrian semakin rumit, dan di sisi lain, ia merasa semakin jauh dari Reno, meskipun pria itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setiap kali ia bersama Reno, ia merasa terjebak dalam kebohongan yang semakin besar. Sementara di sisi lain, Adrian tetap hadir dalam pikirannya—dalam tatapan, dalam kata-kata, dalam setiap momen kebersamaan yang mereka bagikan. Ketika ia menatap Reno, ia tak bisa menghindari perasaan bersalah yang menyelimutinya. Keintiman yang ia bagi dengan Reno, meskipun mereka sudah lama menjalin hubungan, mulai terasa berbeda. Ada sesuatu yang hilang, dan Alena tahu persis apa yang telah mengubah segalanya—perasaan yang tumbuh untuk Adrian.Terkadang, ia berusaha menenangkan dirinya sendiri, meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja
Malam itu terasa berbeda. Hujan turun dengan lebat di luar, menyelimuti kota dalam kesunyian yang sepi, hanya dipecahkan oleh gemuruh petir yang jarang terdengar. Reno duduk di ruang tamu apartemennya, menatap jam di dinding dengan gelisah. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam, dan Alena belum pulang. Sekali lagi, ia menatap layar ponselnya, berharap ada pesan masuk dari Alena, tetapi seperti malam-malam sebelumnya, tak ada satu pun pesan yang muncul.Kepergian Alena yang semakin sering di malam hari dengan alasan pekerjaan membuat Reno merasa semakin tidak nyaman. Awalnya, ia mencoba memahami, memaklumi bahwa pekerjaan Alena semakin menumpuk. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa cemasnya semakin besar. Setiap kali Alena pulang larut malam, ia selalu punya alasan yang sama: “Aku harus menyelesaikan proyek yang penting di kantor.” Namun, kata-kata itu semakin terasa kosong di telinga Reno. Ada sesuatu yang tidak beres.Reno berusaha untuk tidak menunjukkan kecurigaannya, tetapi
Cahaya senja menerobos masuk melalui jendela apartemen Reno, menciptakan bayangan panjang yang seolah menegaskan keheningan mencekam antara dua orang yang kini duduk berhadapan. Reno dengan tatapan tajamnya, dan Alena dengan wajah yang diliputi kecemasan."Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Adrian?" tanya Reno akhirnya, nada suaranya tajam memecah keheningan.Alena tersentak, meskipun ia sudah mempersiapkan diri untuk pertanyaan ini. Di sudut hatinya, ia tahu cepat atau lambat Reno akan mengonfrontasinya secara langsung. Namun, kenyataannya tetap terasa berat."Reno, ini bukan seperti yang kamu pikirkan," jawabnya dengan suara bergetar, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang.Reno mendengus, tergelak pahit. "Kamu selalu menghindar, Alena! Selalu ada saja alasan, selalu ada saja penjelasan yang kabur." Ia bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruangan dengan frustrasi yang tak bisa disembunyikan. "Aku mulai merasa bahwa kamu lebih memilih dia daripad
Sophia merapikan blazernya dengan gerakan anggun sembari melirik jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Dari balik jendela kantornya di lantai 35, Jakarta terlihat seperti miniatur kota yang dihiasi lampu-lampu gemerlap. Senyum tipis tersungging di bibirnya ketika ponselnya bergetar—pesan dari Reno yang mengkonfirmasi pertemuan mereka sore ini.Sempurna, pikirnya. Semuanya berjalan sesuai rencana. Masalah antara Reno dan Alena adalah peluang emas yang tak boleh ia sia-siakan.Sophia telah mengincar posisi direktur pemasaran yang kini dipegang Alena selama bertahun-tahun. Persaingan ketat di antara mereka bukanlah rahasia bagi siapapun di kantor. Namun, bagi Sophia, ini lebih dari sekadar ambisi profesional—ini tentang pembuktian diri. Selalu berada di bayang-bayang kesuksesan Alena telah menjadi duri yang menggores hatinya setiap hari."Kau terlalu terobsesi," begitu Adrian pernah memperingatkannya. "Fokus saja pada pekerjaanmu sendiri."Ironisnya, justru Adrian yan
Reno menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Di depan matanya, sebuah email yang tak seharusnya ia baca terpampang jelas—sebuah pertukaran pesan antara Alena dan Adrian. Jemarinya bergetar saat ia mengusap wajahnya yang lelah. Sudah berminggu-minggu ia merasakan ada yang tidak beres, dan kini bukti itu terpampang di hadapannya."Aku rindu padamu. Kapan kita bisa bertemu lagi tanpa harus khawatir?" tulis Adrian dalam email tersebut.Balasan Alena tak kalah menyakitkan: "Aku juga. Ini sulit, tapi aku harus berhati-hati. Reno mulai mencurigai sesuatu."Reno menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tidak karuan. Ia tidak pernah membayangkan akan melakukan hal seperti ini—mengakses email kekasihnya secara diam-diam. Tetapi keputusasaan telah mendorongnya ke titik ini.Hubungan mereka yang dulunya penuh kehangatan kini berubah menjadi lautan ketegangan yang tidak terucapkan. Setiap pesan yang tidak dibalas, setiap panggilan yang tidak dijawab, semuanya ha
Sementara itu, Sophia—wanita ambisius yang bekerja di perusahaan Adrian—mulai melihat adanya celah untuk memanfaatkan situasi. Ia sudah lama merasa bahwa Adrian memiliki perhatian lebih kepada Alena, dan kini ia melihat peluang untuk menyingkirkan Alena dari persaingan. Sophia mulai mendekati Reno, berpura-pura menjadi teman yang peduli dan menawarkan informasi yang bisa memicu keraguan lebih lanjut. Sophia tahu bahwa jika ia bisa memecah hubungan antara Alena dan Adrian, ia bisa mengambil alih posisi Alena di perusahaan dan mendapatkan perhatian Adrian.Sophia Greene mematut dirinya di cermin toilet kantor, memastikan tidak ada sedikit pun lipstik merah marunnya yang luntur. Sempurna, seperti biasa. Ia merapikan blazer hitamnya yang sudah disetrika rapi dan menarik napas dalam-dalam."Hari ini harus berhasil," bisiknya pada bayangan di cermin.Sudah tiga tahun Sophia bekerja di divisi pemasaran perusahaan Adrian. Tiga tahun pula ia berusaha mendapatkan perhatian lebih dari Adrian McK
Reno mulai merasa ada yang tidak beres. Alena, yang dulu sangat terbuka, kini tampak lebih tertutup dan sering kali menghindar darinya. Perubahan sikap ini memunculkan kecurigaan yang semakin besar. Satu malam, Reno memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam, mencari tahu apakah ada yang sedang disembunyikan oleh Alena. Dengan hati-hati, ia mulai mengumpulkan informasi dari rekan-rekan kerja Alena dan juga menyelidiki riwayat pekerjaan Alena di perusahaan Adrian. Meskipun ia belum menemukan bukti yang jelas, perasaan curiganya semakin berkembang.Hujan pertama di bulan Oktober mengguyur Jakarta malam itu. Reno duduk sendirian di balkon apartemennya, menatap lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan. Segelas kopi yang mulai mendingin tergeletak di meja, tepat di samping ponselnya yang berulang kali ia periksa, berharap ada pesan dari Alena.Sudah hampir dua minggu sejak terakhir kali mereka berbicara dengan benar-benar terbuka. Alena selalu memiliki alasan—terlalu sibuk, terlalu lelah,
Suatu malam, ketika Alena sedang bekerja lembur, Adrian datang ke kantornya untuk mengecek beberapa laporan. Tanpa disangka, Adrian duduk di meja Alena dan mulai berbicara dengan cara yang sangat pribadi, jauh dari kesan dingin yang biasanya ia tunjukkan."Kamu tidak harus melakukan semua ini sendiri, Alena," kata Adrian dengan lembut. "Aku tahu, kadang-kadang pekerjaan ini bisa sangat membebani. Tapi kamu tidak sendirian."Kata-kata Adrian membuat Alena merasa begitu dihargai. Namun, dalam hatinya, ia merasa semakin terikat padanya. "Mungkin aku hanya ingin dia merasa diterima," pikir Alena, namun ia tahu bahwa perasaan ini telah melampaui sekadar simpati.Saat Alena melangkah pulang malam itu, perasaan yang ada dalam dirinya semakin sulit dipahami. Ia terjebak antara simpati, rasa ingin melindungi, dan keterikatan yang semakin mendalam. Ia menyadari bahwa semakin banyak waktu yang ia habiskan bersama Adrian, semakin sulit bagi dirinya untuk menjaga jarak. Perasaan itu mulai berkemban
Dalam sebuah pertemuan bisnis, Adrian memberikan perhatian yang lebih pribadi pada Alena. Ia memastikan untuk memberi pengakuan atas kerja kerasnya, dan meskipun tidak mengungkapkan perasaan secara langsung, Alena merasa ada kehangatan dalam sikap Adrian. Ia sering kali merasakan perhatian yang lebih dari sekadar profesionalisme, dan itu membuatnya semakin terikat. "Apakah ini hanya perasaan simpati?" Alena bertanya pada dirinya sendiri. "Atau ada sesuatu yang lebih dalam?" Ia mulai merasa bingung tentang perasaannya yang berkembang lebih jauh dari sekadar rasa kasihan atau simpati.Ruang rapat di lantai 15 gedung Elysium Corp itu dipenuhi dengan eksekutif dari berbagai divisi. Suasana formal terasa kental dengan presentasi dan laporan yang silih berganti dipaparkan. Di tengah atmosfer profesional ini, Alena duduk di samping Adrian, sadar akan kehadirannya yang terasa begitu dekat."Selanjutnya, Ibu Alena akan mempresentasikan laporan keuangan kuartal ini," kata Direktur Utama, member
Alena merasa bahwa simpati yang tumbuh dalam dirinya mulai membuatnya semakin terikat pada Adrian. Setiap kali ia melihatnya, hatinya berdebar. Meskipun ia berusaha keras untuk tetap menjaga batas-batas profesional, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kedekatan mereka semakin kuat. Adrian, meskipun masih menjaga jarak emosionalnya, mulai lebih sering mendekati Alena, baik di kantor maupun dalam pertemuan pribadi. Setiap kali mereka berinteraksi, Alena merasakan semacam koneksi yang lebih dari sekadar hubungan atasan dan bawahan.Minggu-minggu berlalu sejak pembicaraan mereka di taman belakang kantor. Musim semi mulai berganti dengan kehangatan musim panas yang menyenangkan. Dedaunan hijau menaungi jalanan kota, menciptakan bayangan yang menyejukkan di tengah teriknya matahari. Alena mengamati perubahan ini dari balik jendela ruang kerjanya, seraya merenungkan perubahan dalam hidupnya sendiri."Sedang melamun?" Suara Adrian membuyarkan lamunannya.Alena berbalik, mendapati Adrian
Beberapa hari setelah percakapan mereka, Alena merasa gelisah. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak terus memikirkan Adrian. Tentu saja, dia merasa kasihan pada Adrian, tetapi sekarang ada sesuatu yang lebih—sesuatu yang membuatnya merasa ingin melindungi pria itu, meskipun ia tahu bahwa hal itu bisa membawanya ke dalam hubungan yang rumit. Ia bahkan merasa cemas setiap kali Adrian datang untuk bekerja, khawatir akan perasaan yang semakin mendalam ini. "Apa aku bisa terus bekerja dengannya seperti ini?" tanyanya pada dirinya sendiri.Pagi itu, Alena sengaja datang lebih awal ke kantor. Ia berharap bisa menenangkan pikirannya sebelum bertemu Adrian. Kantor yang sunyi memberikannya kesempatan untuk berpikir jernih. Alena duduk di kursinya, menatap tumpukan dokumen yang belum selesai, tapi pikirannya melayang jauh.Sejak Adrian menceritakan tentang masa lalunya, ada sesuatu yang berubah dalam diri Alena. Bukan hanya rasa simpati, tapi juga kekaguman atas ketangguhan pria itu. Adrian te