Hujan yang turun deras itu seakan menjadi saksi bisu dari segala kegelisahan yang kini menguasai Alena. Kakinya terasa seperti terikat ketika ia melangkah cepat menjauh dari mobil Adrian. Bibirnya yang masih terasa hangat dari ciuman yang tak terduga itu, kini mengering, dan hatinya terasa lebih berat daripada sebelumnya. Ketika pintu apartemen tertutup rapat di belakangnya, Alena berdiri sejenak di ruang tamu, menatap dinding yang kosong. Hujan di luar tidak bisa menghapus keruhnya pikirannya. Apa yang baru saja terjadi? Apa yang telah ia lakukan?Perasaan bersalah langsung mengalir dalam dirinya. Ciuman itu bukanlah sekadar sebuah impuls yang hilang begitu saja. Itu adalah sesuatu yang lebih dalam, lebih nyata, dan lebih mempengaruhi dirinya daripada yang ia kira. Sesuatu yang telah lama terpendam, yang kini meledak begitu saja dalam satu momen tak terduga. Alena menutup matanya dan menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tetapi perasaan itu hanya semakin menggelora.Kenapa
Keesokan harinya, Alena bangun dengan perasaan yang berat di dadanya. Matahari yang memasuki kamarnya seolah tak mampu mengusir kepenatan dalam dirinya. Ia merapikan tempat tidurnya dengan tangan yang gemetar, mencoba mengalihkan pikirannya dari apa yang terjadi semalam. Ciuman itu, perasaan yang datang bersama ciuman itu—semuanya berputar-putar di kepalanya. Namun, ia tahu satu hal yang pasti: hidupnya tidak bisa berhenti. Pekerjaan, rutinitas, semuanya tetap harus dilanjutkan. Jadi, meskipun hatinya hancur dan pikirannya kacau, Alena berusaha tampil seolah tidak ada yang berubah.Saat ia bersiap-siap untuk berangkat kerja, ia menatap dirinya di cermin. Kesan pertama yang ia dapat adalah ketegangan di wajahnya, sebuah ketegangan yang mencoba ia sembunyikan di balik ekspresi biasa. Rambutnya yang biasanya terawat dengan rapi tampak sedikit kusut, matanya yang biasanya cerah kini tampak sedikit lelah. Namun, ia berusaha keras untuk memperbaiki penampilannya, untuk menampilkan diri seba
Hari-hari setelah kejadian itu berjalan begitu lambat, dan Alena merasa semakin terperangkap dalam labirin perasaannya sendiri. Ciuman yang terjadi malam itu masih membekas di bibirnya, tidak hanya secara fisik, tetapi lebih pada perasaan yang mengganggu setiap kali ia berpikir tentangnya. Meskipun ia berusaha untuk mengabaikannya dan tetap melanjutkan hidup seperti biasa, kenyataan tidak memberi kesempatan untuk melupakan apa yang terjadi. Setiap kali ia bertemu Adrian, tatapan mata mereka berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang bisa terucap. Ketegangan itu semakin membakar, menciptakan jarak yang semakin sulit untuk dihindari.Alena tahu bahwa ia harus menjaga jarak, bahwa semakin dekat dengan Adrian berarti semakin sulit untuk menahan perasaannya yang sudah mulai berkembang. Namun, setiap kali ia berusaha menjauh, Adrian tidak pernah memberi kesempatan. Ia selalu ada di sana, mencari-cari alasan untuk berinteraksi dengannya, memastikan bahwa ia tidak bisa lari begitu saja. B
Alena duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan fokus yang hampir tidak nyata. Hatinya tidak ada di sana, bukan pada laporan atau presentasi yang harus dia buat, tetapi pada pikiran yang terus berputar tentang Adrian. Setelah beberapa minggu mencoba menjaga jarak, mencoba mengabaikan perasaan yang terus tumbuh dalam dirinya, malam itu tiba-tiba terasa berbeda. Adrian menghubunginya lebih awal pada hari itu dengan sebuah permintaan yang tampaknya sederhana—mengundangnya untuk bertemu dan mendiskusikan proyek penting di luar kantor. Pada awalnya, Alena menolaknya dengan alasan kesibukan yang tak terhitung jumlahnya, tetapi akhirnya, ia merasa tidak bisa menahan diri lagi.“Ada beberapa hal yang perlu kita diskusikan, Alena. Ini penting. Aku ingin kamu menjadi bagian dari keputusan besar ini,” kata Adrian dengan nada serius di telepon, suaranya tetap terkontrol namun mengandung ketegangan yang sulit disembunyikan. Alena merasa seperti ada sesuatu yang tidak bisa ia hindari, s
Malam itu terasa seperti sebuah putaran dunia yang semakin cepat, dan Alena merasa dirinya tidak dapat menghindari arah yang sudah ditentukan. Makan malam bersama Adrian tadi bukan sekadar pertemuan profesional. Meskipun mereka memulai percakapan dengan topik kerjaan, semuanya berubah menjadi lebih pribadi, lebih intens. Kata-kata Adrian yang dipenuhi dengan pujian dan perhatian membuat hatinya berdebar lebih keras dari biasanya. Ketegangan itu begitu jelas, terasa seperti udara yang penuh dengan percikan listrik, siap meledak kapan saja.Setelah makan malam yang menegangkan namun mengesankan itu, Adrian mengajaknya pulang. Mobil yang mereka tumpangi melaju perlahan melewati jalan-jalan yang terang benderang, namun Alena merasa seolah-olah ia sedang berada di dalam kegelapan, tersesat di dalam perasaan yang tidak bisa ia kontrol. Mobil itu terasa seperti penjara kecil, mengurungnya dengan pikiran-pikiran yang semakin berat.Di dalam mobil, suasana canggung menyelimuti mereka. Adrian m
Hubungan antara Alena dan Adrian semakin berkembang, meskipun tidak terlihat di permukaan. Mereka menjaga semuanya dengan sangat hati-hati, berusaha untuk tidak membiarkan siapa pun mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Hanya mereka berdua yang tahu, dan itu sudah cukup—untuk saat ini.Setiap kali mereka bertemu di luar kantor, ada sebuah ketegangan yang samar, tetapi cukup kuat untuk menggambarkan bahwa ada lebih dari sekadar hubungan profesional di antara mereka. Adrian semakin sering mengajak Alena makan siang, bukan karena kebutuhan kerja, tetapi karena alasan yang lebih pribadi. Restoran yang mereka pilih selalu tenang, sepi, dan tidak terlalu ramai. Mereka duduk di sudut yang agak tersembunyi, bersembunyi dari pandangan orang lain. Pembicaraan mereka hampir selalu mengarah pada hal-hal kecil, hal-hal yang mungkin terlihat tidak penting bagi orang lain, tetapi bagi mereka berdua, itu adalah cara untuk lebih mengenal satu sama lain tanpa harus mengungkapkan pera
Suasana di acara perusahaan malam itu tampak penuh kegembiraan. Lampu-lampu terang, percakapan riuh, dan musik lembut mengisi ruang. Namun, bagi Alena dan Adrian, segalanya terasa berbeda. Meskipun mereka berada di tengah keramaian, hati mereka seperti terperangkap dalam dunia mereka sendiri, terpisah dari kebisingan sekitar.Sejak beberapa minggu terakhir, hubungan mereka semakin sulit untuk dijaga tetap profesional. Setiap tatapan, setiap sentuhan kecil, semakin mengaburkan batas yang selama ini mereka coba pertahankan. Malam ini, kesempatan untuk bekerja sama dalam sebuah proyek khusus membuat ketegangan yang sudah lama terpendam semakin jelas. Mereka harus merencanakan presentasi untuk klien penting bersama, dan selama proses itu, mereka tak bisa menghindar dari satu sama lain.Alena mencoba fokus pada pekerjaan. Ia menatap layar laptopnya, berusaha menulis beberapa catatan penting untuk rapat yang akan datang, tetapi pikirannya melayang, selalu kembali pada Adrian. Terkadang, ia
Minggu-minggu setelah malam yang penuh ketegangan itu terasa semakin berat bagi Alena. Setiap langkah yang ia ambil, setiap keputusan yang ia buat, selalu diwarnai oleh perasaan yang semakin sulit ia tanggung. Hubungannya dengan Adrian semakin rumit, dan di sisi lain, ia merasa semakin jauh dari Reno, meskipun pria itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setiap kali ia bersama Reno, ia merasa terjebak dalam kebohongan yang semakin besar. Sementara di sisi lain, Adrian tetap hadir dalam pikirannya—dalam tatapan, dalam kata-kata, dalam setiap momen kebersamaan yang mereka bagikan. Ketika ia menatap Reno, ia tak bisa menghindari perasaan bersalah yang menyelimutinya. Keintiman yang ia bagi dengan Reno, meskipun mereka sudah lama menjalin hubungan, mulai terasa berbeda. Ada sesuatu yang hilang, dan Alena tahu persis apa yang telah mengubah segalanya—perasaan yang tumbuh untuk Adrian.Terkadang, ia berusaha menenangkan dirinya sendiri, meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja
Malam itu, udara di sekitar restoran Italia klasik terasa begitu berat. Alena menggenggam gelas wine-nya, mencoba meredakan getaran halus pada tangannya. Cahaya lilin di meja menyinari wajahnya yang tampak lelah, bayangan keraguan terpantul di antara bayangan api yang bergoyang.Sebenarnya, sudah berpekan-pekan ia hidup dalam ketegangan yang mencekam. Setiap gerak-gerik Reno yang mencoba menyelidiki masa lalunya, setiap pertanyaan Adrian yang menusuk ke dalam lapisan terdalam perasaannya, semua terasa seperti jaring yang perlahan-lahan menciutkan ruang geraknya.Adrian duduk di hadapannya, tampan dengan kemeja abu-abu yang rapi. Tatapannya tajam namun lembut, seolah-olah ia bisa membaca setiap pikiran tersembunyi di balik topeng yang Alena kenakan selama ini."Kamu sudah memesan risotto jamur?" tanya Adrian, memecah keheningan yang mencekam.Alena tersenyum tipis. "Sudah. Kamu tahu aku selalu suka masakan Italia."Mereka berbincang tentang pekerjaan awalnya. Proyek besar yang tengah m
Alena menatap layar laptop dengan pandangan kosong. Presentasi yang seharusnya dia selesaikan sejak dua jam lalu masih terbuka pada slide yang sama. Pikirannya tak bisa fokus; bayang-bayang wajah Reno yang curiga dan tatapan Adrian yang penuh harap silih berganti memenuhi benaknya."Alena?"Suara Mira, rekan kerjanya, menyadarkan Alena dari lamunan."Ya? Maaf, aku sedang—""Melamun," potong Mira sambil tersenyum. "Aku memanggilmu tiga kali."Alena menghela napas, menutup laptopnya. "Hari yang panjang.""Kau oke? Belakangan ini kau sering terlihat... tidak di sini.""Aku baik-baik saja," Alena memaksakan senyum, jawaban otomatis yang belakangan ini terlalu sering dia ucapkan.Mira melirik jam dinding. "Sudah jam enam. Pulang?""Kau duluan saja. Aku masih harus menyelesaikan slide presentasi."Setelah Mira pergi, Alena memeriksa ponselnya. Dua pesa
Reno menatap layar komputernya tanpa benar-benar melihat. Pikirannya melayang jauh, kembali pada percakapan dengan Alena semalam. Bagaimana air mata wanita itu mengalir saat dia mengungkapkan rencananya untuk melamar. Bagaimana Alena tidak mampu menjawab pertanyaan sederhana tentang perasaannya."Reno? Reno!"Suara keras menyadarkannya. Bayu, rekan kerjanya, berdiri di depan mejanya dengan tumpukan dokumen."Maaf, Bay. Ada apa?" Reno mengusap wajahnya, berusaha kembali fokus."Ini laporan untuk meeting besok. Kau oke? Wajahmu seperti orang yang tidak tidur seminggu."Reno tersenyum lemah. "Hampir benar. Ada... masalah pribadi."Bayu menarik kursi, duduk di hadapan Reno. "Alena?"Reno mengangguk pelan. "Bagaimana kau tahu?""Kawan, wajahmu seperti buku terbuka," Bayu tertawa kecil. "Ada apa? Kalian bertengkar?"Reno terdiam sejenak, menimbang apakah sebaiknya dia membicarakan hal ini. Tapi beban di dadanya terasa terlalu
Cahaya temaram restoran menyinari wajah Reno yang terlihat lebih kaku dari biasanya. Suasana restoran Italia yang biasanya menjadi favorit mereka kini terasa mencekam. Alunan musik klasik yang lembut di latar belakang bahkan tidak mampu melunakkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.Alena mengaduk pasta di hadapannya tanpa minat. Sudah hampir lima belas menit mereka duduk dalam diam. Reno sesekali melirik Alena, sementara wanita itu terus menghindari tatapannya."Kamu tidak menyentuh makananmu," ucap Reno akhirnya, memecah keheningan.Alena mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum. "Aku tidak terlalu lapar.""Kamu yang memilih restoran ini." Reno meletakkan garpunya perlahan. "Kamu yang bilang ingin pasta carbonara mereka. Tapi sekarang kamu bahkan tidak menyentuhnya."Alena menghela napas. "Maaf. Hari ini melelahkan.""Sudah berapa lama kita seperti ini, Len?" tanya Reno tiba-tiba. Matanya menatap Alena dalam-dalam. "Berapa lama kit
Reno mengaduk kopinya tanpa semangat. Matanya tak lepas dari pemandangan di sudut kantin kantor. Alena dan Adrian. Mereka duduk berhadapan, terlalu dekat untuk sekadar rekan kerja. Tawa Alena terdengar renyah—tawa yang sudah jarang Reno dengar belakangan ini. "Mereka cuma rekan kerja," gumam Reno pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan pikiran yang mulai liar. Namun, matanya menangkap sesuatu yang berbeda. Cara Alena menatap Adrian, cara jemarinya gugup memainkan sedotan minumannya, cara dia menunduk saat Adrian membisikkan sesuatu. Reno tahu gelagat itu. Lima tahun bersama Alena membuatnya hafal setiap bahasa tubuhnya. Ponsel Reno bergetar. Pesan dari klien yang harus segera ditanggapi. Dengan enggan, dia beranjak dari kantin, melemparkan pandangan terakhir ke arah meja Alena. Tepat saat itu, mata mereka bertemu. Alena tersentak, seolah tertangkap basah. Waj
"Salah paham? Semua orang di kantormu membicarakan hubunganmu dengan Adrian, dan kau bilang aku salah paham?""Mereka hanya iri karena karirku maju dengan cepat!""Karena bosmu memberikan perhatian khusus, tentu saja!" balas Reno sarkastik.Alena menggelengkan kepala, air matanya mulai jatuh. "Aku tidak percaya kau mempertanyakan integritas profesionalku. Kau pikir aku tidur dengan bosku untuk naik jabatan?"Kata-kata itu menggantung di udara, berat dengan implikasi yang tidak pernah Reno ucapkan tapi jelas terpikir olehnya. Ia terdiam, terkejut dengan arah pembicaraan mereka."Lena, aku tidak—""Tidak usah disangkal. Itu yang kau pikirkan, kan?" Alena menyeka air matanya dengan kasar. "Itu sebabnya kau menyelidikiku seperti detektif. Itu sebabnya kau bertanya pada orang-orang di kantorku tentang aku. Kau tidak percaya padaku!""Bagaimana aku bisa percaya jika kau terus menyembunyikan hal-hal dariku?" Reno berusaha mengendalikan
Reno memandangi layar ponselnya, jemarinya mengetuk-ngetuk meja kafe dengan gelisah. Ia telah menunggu selama lima belas menit, dan kesabarannya mulai menipis. Hujan rintik-rintik di luar menambah kegelisahan yang sudah menggerogoti pikirannya selama berminggu-minggu."Maaf, aku terlambat," ucap Bima, teman kuliahnya dulu yang kini bekerja di departemen IT di perusahaan tempat Alena bekerja. Pria berkacamata itu melepas jaket yang basah oleh air hujan dan duduk di hadapan Reno."Tidak masalah," jawab Reno, meski nadanya kontradiktif dengan kata-katanya. "Terima kasih sudah mau bertemu."Bima memesan kopi pada pelayan yang lewat, lalu menatap Reno dengan sorot mata penasaran. "Jadi, ada apa sampai harus bertemu mendadak begini? Tidak biasanya kau menghubungiku."Reno menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian. "Ini tentang Alena.""Pacarmu? Ada apa dengannya?""Kau bekerja di perusahaan yang sama, kan? Aku ingin tanya... apa kau mende
Alena menatap email di layar komputernya dengan jantung berdebar. Pesan singkat dari Adrian, memintanya datang ke ruangan direktur pukul dua siang. Tidak ada penjelasan, tidak ada agenda meeting yang terlampir. Hanya permintaan untuk bertemu empat mata.Sejak insiden Reno datang ke kantor minggu lalu, Alena sengaja mengurangi interaksi dengan Adrian. Pertemuan langsung dibatasi pada rapat tim, diskusi pekerjaan selalu dilakukan dengan kehadiran orang lain. Strategi yang bisa mengurangi gosip, sekaligus menjaga jarak profesional dengan Adrian—setidaknya itu yang ia katakan pada dirinya sendiri.Namun kini, saat jarum jam menunjukkan pukul dua kurang lima menit, Alena tidak bisa mengabaikan kegugupan yang melandanya. Ia merapikan dokumen di mejanya, mengambil notes kecil—setidaknya untuk memberi kesan ini adalah pertemuan formal—lalu berjalan menuju ruangan Adrian di ujung koridor."Masuk," suara Adrian terdenga
Alena merasakan tatapan-tatapan itu bahkan sebelum ia melangkahkan kaki ke ruang pantry. Pembicaraan yang tiba-tiba terhenti ketika ia masuk, lalu dilanjutkan dengan bisikan-bisikan pelan—semua itu menjadi rutinitas barunya selama seminggu terakhir."Pagi," sapanya pada sekelompok kecil staf yang sedang berkumpul di meja. Beberapa hanya tersenyum tipis, sementara yang lain mengangguk singkat. Sari, staf bagian keuangan yang biasanya ramah, kini hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan kopinya.Alena mengambil cangkir dan menyeduh kopi dalam diam. Telinganya menangkap potongan percakapan yang sengaja dipelankan."...kemarin mereka makan malam berdua lagi...""...katanya sampai jam sebelas malam masih di restoran itu...""...jelas dia naik jabatan karena itu..."Tangannya sedikit gemetar saat menuangkan kopi, membuat beberapa tetes tumpah di meja. Ia cepat-cepat membersihkannya dengan tisu."Hai, butuh bantuan?"