Malam itu terasa seperti sebuah putaran dunia yang semakin cepat, dan Alena merasa dirinya tidak dapat menghindari arah yang sudah ditentukan. Makan malam bersama Adrian tadi bukan sekadar pertemuan profesional. Meskipun mereka memulai percakapan dengan topik kerjaan, semuanya berubah menjadi lebih pribadi, lebih intens. Kata-kata Adrian yang dipenuhi dengan pujian dan perhatian membuat hatinya berdebar lebih keras dari biasanya. Ketegangan itu begitu jelas, terasa seperti udara yang penuh dengan percikan listrik, siap meledak kapan saja.Setelah makan malam yang menegangkan namun mengesankan itu, Adrian mengajaknya pulang. Mobil yang mereka tumpangi melaju perlahan melewati jalan-jalan yang terang benderang, namun Alena merasa seolah-olah ia sedang berada di dalam kegelapan, tersesat di dalam perasaan yang tidak bisa ia kontrol. Mobil itu terasa seperti penjara kecil, mengurungnya dengan pikiran-pikiran yang semakin berat.Di dalam mobil, suasana canggung menyelimuti mereka. Adrian m
Hubungan antara Alena dan Adrian semakin berkembang, meskipun tidak terlihat di permukaan. Mereka menjaga semuanya dengan sangat hati-hati, berusaha untuk tidak membiarkan siapa pun mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Hanya mereka berdua yang tahu, dan itu sudah cukup—untuk saat ini.Setiap kali mereka bertemu di luar kantor, ada sebuah ketegangan yang samar, tetapi cukup kuat untuk menggambarkan bahwa ada lebih dari sekadar hubungan profesional di antara mereka. Adrian semakin sering mengajak Alena makan siang, bukan karena kebutuhan kerja, tetapi karena alasan yang lebih pribadi. Restoran yang mereka pilih selalu tenang, sepi, dan tidak terlalu ramai. Mereka duduk di sudut yang agak tersembunyi, bersembunyi dari pandangan orang lain. Pembicaraan mereka hampir selalu mengarah pada hal-hal kecil, hal-hal yang mungkin terlihat tidak penting bagi orang lain, tetapi bagi mereka berdua, itu adalah cara untuk lebih mengenal satu sama lain tanpa harus mengungkapkan pera
Suasana di acara perusahaan malam itu tampak penuh kegembiraan. Lampu-lampu terang, percakapan riuh, dan musik lembut mengisi ruang. Namun, bagi Alena dan Adrian, segalanya terasa berbeda. Meskipun mereka berada di tengah keramaian, hati mereka seperti terperangkap dalam dunia mereka sendiri, terpisah dari kebisingan sekitar.Sejak beberapa minggu terakhir, hubungan mereka semakin sulit untuk dijaga tetap profesional. Setiap tatapan, setiap sentuhan kecil, semakin mengaburkan batas yang selama ini mereka coba pertahankan. Malam ini, kesempatan untuk bekerja sama dalam sebuah proyek khusus membuat ketegangan yang sudah lama terpendam semakin jelas. Mereka harus merencanakan presentasi untuk klien penting bersama, dan selama proses itu, mereka tak bisa menghindar dari satu sama lain.Alena mencoba fokus pada pekerjaan. Ia menatap layar laptopnya, berusaha menulis beberapa catatan penting untuk rapat yang akan datang, tetapi pikirannya melayang, selalu kembali pada Adrian. Terkadang, ia
Minggu-minggu setelah malam yang penuh ketegangan itu terasa semakin berat bagi Alena. Setiap langkah yang ia ambil, setiap keputusan yang ia buat, selalu diwarnai oleh perasaan yang semakin sulit ia tanggung. Hubungannya dengan Adrian semakin rumit, dan di sisi lain, ia merasa semakin jauh dari Reno, meskipun pria itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setiap kali ia bersama Reno, ia merasa terjebak dalam kebohongan yang semakin besar. Sementara di sisi lain, Adrian tetap hadir dalam pikirannya—dalam tatapan, dalam kata-kata, dalam setiap momen kebersamaan yang mereka bagikan. Ketika ia menatap Reno, ia tak bisa menghindari perasaan bersalah yang menyelimutinya. Keintiman yang ia bagi dengan Reno, meskipun mereka sudah lama menjalin hubungan, mulai terasa berbeda. Ada sesuatu yang hilang, dan Alena tahu persis apa yang telah mengubah segalanya—perasaan yang tumbuh untuk Adrian.Terkadang, ia berusaha menenangkan dirinya sendiri, meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja
Malam itu terasa berbeda. Hujan turun dengan lebat di luar, menyelimuti kota dalam kesunyian yang sepi, hanya dipecahkan oleh gemuruh petir yang jarang terdengar. Reno duduk di ruang tamu apartemennya, menatap jam di dinding dengan gelisah. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam, dan Alena belum pulang. Sekali lagi, ia menatap layar ponselnya, berharap ada pesan masuk dari Alena, tetapi seperti malam-malam sebelumnya, tak ada satu pun pesan yang muncul.Kepergian Alena yang semakin sering di malam hari dengan alasan pekerjaan membuat Reno merasa semakin tidak nyaman. Awalnya, ia mencoba memahami, memaklumi bahwa pekerjaan Alena semakin menumpuk. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa cemasnya semakin besar. Setiap kali Alena pulang larut malam, ia selalu punya alasan yang sama: “Aku harus menyelesaikan proyek yang penting di kantor.” Namun, kata-kata itu semakin terasa kosong di telinga Reno. Ada sesuatu yang tidak beres.Reno berusaha untuk tidak menunjukkan kecurigaannya, tetapi
Hari-hari semakin terasa panjang bagi Alena. Ia merasa seperti terjebak dalam jaring emosional yang semakin sulit untuk diurai. Setiap kali ia mencoba menghadapinya, setiap kali ia berusaha untuk bersikap biasa, perasaan bersalah itu semakin mencekik, menghalangi semua interaksi dengan Reno. Ia tahu bahwa semakin lama ia mengabaikan perasaannya, semakin sulit untuk kembali ke keadaan semula. Perasaan yang ia pendam untuk Adrian terus membebani hatinya, sementara di sisi lain, ia tidak bisa melepaskan Reno begitu saja.Pagi itu, seperti biasa, Alena datang ke kantor dengan wajah yang tampak lelah. Ia mengucapkan salam singkat pada rekan-rekannya, berusaha menyembunyikan perasaan kacau yang terus bergolak di dalam dirinya. Namun, begitu ia bertemu dengan Reno, perasaan yang sudah lama tertahan itu akhirnya meledak.Reno, yang biasanya selalu perhatian, kali ini tampak lebih ceria. Ia tersenyum saat melihat Alena masuk ke ruangannya. "Selamat pagi, Alena," sapanya dengan lembut. "Apa kab
Hari itu terasa berbeda. Alena bisa merasakan ketegangan yang menebal di udara. Meskipun ia berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada pekerjaannya, hatinya terasa seperti dihantui oleh perasaan yang tak terucapkan. Ia tahu bahwa Reno semakin curiga, semakin merasa ada yang tidak beres, dan akhirnya, hari itu datang juga—saat di mana Reno tidak bisa lagi diam.Pagi itu, Alena datang lebih awal ke kantor, berharap bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan tanpa gangguan. Namun, begitu ia melangkah masuk ke ruangannya, ia langsung merasakan ada yang berbeda. Reno sudah ada di sana, duduk di kursinya, tampak lebih serius daripada biasanya. Biasanya, ia akan menyapa dengan senyuman atau candaan ringan, tetapi kali ini, tidak ada sedikit pun ekspresi ceria di wajahnya.Alena mencoba tersenyum dan duduk di meja kerjanya, berusaha menunjukkan bahwa tidak ada yang berubah. "Pagi, Reno," sapanya dengan nada biasa, meskipun hatinya mulai berdegup kencang.Namun, Reno tidak membalas dengan sapaan ha
Hari-hari setelah percakapan dengan Reno terasa semakin berat bagi Alena. Setiap kali ia berusaha untuk berperilaku normal, perasaan bersalah yang mengganggu hatinya semakin memperburuk keadaan. Reno semakin terlihat curiga, dan ia merasa semakin terjebak dalam labirin emosional yang tak bisa ia kendalikan. Keadaan ini, yang sudah cukup rumit, semakin rumit lagi dengan hadirnya Adrian yang terus mengujinya dengan perhatian dan godaan yang tak kunjung reda.Sementara itu, Reno juga tidak tinggal diam. Ia mulai melacak lebih jauh kehidupan Alena di kantor. Awalnya, ia mencoba bertahan dengan hanya mencurigai sedikit perubahan dalam perilaku Alena, namun seiring berjalannya waktu, kecurigaannya semakin tajam. Ia memperhatikan setiap detail yang dulu mungkin terlewatkan: Alena yang sering pulang larut malam, proyek-proyek yang tampaknya tidak pernah selesai, serta ketidakhadiran Adrian di beberapa kesempatan yang seharusnya mengharuskan kehadirannya. Semua hal ini mulai menyatu dalam piki
Alena mengikuti Adrian dan Reno keluar gedung, menuju restoran yang dimaksud. Sepanjang jalan, pikirannya dipenuhi ribuan pertanyaan. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Adrian membawa Reno? Apa yang ingin mereka bicarakan dengannya?Setibanya di restoran, mereka diarahkan ke ruang privat yang telah dipesan Adrian. Setelah pelayan pergi, keheningan canggung menyelimuti mereka bertiga."Jadi," Alena akhirnya berkata, "apa yang ingin kalian bicarakan denganku?"Adrian dan Reno saling pandang, seolah memberi isyarat siapa yang harus mulai bicara."Alena," Adrian akhirnya angkat bicara. "Aku bertemu Reno semalam karena dia menghubungiku. Dia bilang ada hal penting tentangmu yang perlu kuketahui.""Tentangku?" Alena merasa jantungnya berdebar kencang.Adrian mengangguk. "Tapi apa yang ia katakan padaku sangat mengejutkan. Ini tentang Sophia."Nama itu membuat Alena tersentak. "Sophia? Apa hubungannya dengan Reno?""Aku yang akan me
Adrian menatap pesan itu dengan dahi berkerut. Reno, mantan tunangan Alena, pria yang telah meninggalkan luka di hati wanita yang kini ia cintai, tiba-tiba ingin berbicara dengannya? Tentang apa?Dengan penuh keraguan, Adrian membalas pesan itu."Baiklah. Katakan kapan dan di mana."Malam semakin larut, dan di berbagai sudut kota, tiga hati yang terikat dalam kisah cinta yang rumit ini bergulat dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Alena yang mulai diselimuti keraguan, Adrian yang berusaha tetap tegar menghadapi tekanan keluarga, dan Reno yang entah apa motifnya kembali muncul dalam kehidupan mereka.Dan di suatu tempat di kota yang sama, Sophia tersenyum puas melihat rencana yang ia susun mulai berjalan sesuai keinginannya. Baginya, ini bukan hanya tentang mendapatkan Adrian kembali, tapi juga tentang membuktikan bahwa dalam dunia mereka, status dan kekuasaan adalah segalanya, dan cinta hanyalah sebuah ilusi yang akan hancur di bawah tekanan realita
"Apa yang ibumu katakan?" tanya Alena, takut mendengar jawabannya.Adrian terdiam sejenak, seolah memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Dia... terkejut, tentu saja. Tapi dia ingin bertemu denganmu sebelum membuat penilaian.""Bertemu denganku? Kapan?""Akhir pekan ini. Dia akan datang ke Jakarta khusus untuk ini." Adrian menggenggam tangan Alena. "Tidak apa-apa jika kau belum siap. Aku bisa menjelaskan pada ibu—""Tidak," potong Alena. "Aku akan bertemu dengannya. Aku ingin dia tahu bahwa aku serius denganmu, Adrian."Adrian tersenyum, kelegaan terpancar dari wajahnya. "Terima kasih, Alena. Ini berarti banyak untukku."Alena mengangguk, meski di dalam hatinya, ketakutan mulai merayap. Bertemu dengan ibu Adrian, Nyonya Wijaya yang terkenal karena ketegasannya, bukanlah hal yang mudah. Terlebih dalam situasi seperti ini, di mana banyak yang meragukan keseriusan hubungan mereka."Oh, satu hal lagi," Adrian terlihat ragu sejenak. "Aku mendapat kabar bahwa Reno kembali ke Jakarta."Nama
"Tunggu aku di sana. Lima menit lagi aku sampai," Adrian berkata tegas. "Kita akan hadapi ini bersama, oke?"Alena mengangguk meski tahu Adrian tidak bisa melihatnya. "Oke," jawabnya lirih.Sambungan terputus, dan Alena kembali sendirian dengan pikirannya. Ia menatap foto di layar komputernya—foto dirinya dan Adrian yang diambil secara sembunyi-sembunyi. Mereka memang berusaha merahasiakan hubungan mereka, bukan karena malu, tapi karena ingin menghindari gosip seperti ini. Namun kini, rahasia itu telah terbongkar dengan cara yang paling buruk.Alena memikirkan perjalanan hidupnya sampai ke titik ini. Dua tahun lalu, ia berada di titik terendah hidupnya ketika Reno, pria yang ia cintai dan telah bertunangan dengannya, memutuskan untuk meninggalkannya demi wanita lain yang lebih kaya dan berpengaruh. Saat itu, Alena merasa dunianya hancur. Tapi kemudian ia bangkit, fokus pada karirnya, dan takdir membawanya bekerja di perusahaan Adrian.Pertemuan pertama mereka tidak istimewa. Adrian ad
Adrian menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Pikirannnya berpacu mencari tahu siapa yang tega melakukan hal ini. Ia baru saja akan menghubungi Alena ketika sosok yang tidak asing muncul dari balik pilar marmer besar di lobby."Selamat sore, Adrian sayang. Sudah melihat berita terbaru?" Suara lembut namun menusuk itu terdengar dari belakangnya.Adrian menoleh dan mendapati Sophia berdiri dengan anggun dalam balutan dress merah maroon yang membalut sempurna tubuh moleknya. Rambut hitam panjangnya tersisir rapi, dan bibirnya yang semerah delima tersenyum penuh arti."Sophia," Adrian mendesis, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meski darahnya serasa mendidih. "Apa yang kau lakukan di sini?"Sophia melangkah mendekat, aroma parfum mahalnya tercium kuat. "Hanya ingin melihat bagaimana ekspresimu saat dunia mulai mengetahui rahasia kecilmu," jawabnya santai, seolah mereka sedang membicarakan cuaca.Adrian menatap tajam mata Sophia. Mereka pernah dekat dulu, sangat dekat bahka
Adrian mengangguk perlahan, memutuskan untuk langsung ke pokok permasalahan. "Alena, aku menyadari ada sesuatu yang terjadi di kantor. Tatapan, bisikan, perubahan sikap beberapa karyawan terhadapmu. Aku ingin kau tahu bahwa apa pun itu, kau bisa berbicara denganku."Alena terdiam sejenak, menatap kopinya. Ketika ia mengangkat wajahnya, Adrian melihat campuran kelelahan dan penerimaan di matanya."Aku sudah terbiasa dinilai seperti ini," ujarnya dengan senyum pahit. "Sebagai perempuan dalam industri yang didominasi pria, dengan latar belakang yang tidak se-elite kebanyakan eksekutif, ini bukan pertama kalinya aku menghadapi prasangka dan rumor.""Apa tepatnya yang kau dengar?" tanya Adrian, meskipun ia sudah bisa menebak."Oh, yang biasa," Alena mengangkat bahu, berusaha terlihat tidak terpengaruh meskipun Adrian bisa melihat ketegangan di bahunya. "Bahwa aku mendapatkan proyek ini karena 'kedekatan spesial' denganmu. Bahwa aku hanya memanfaatkan posisimu untuk keuntungan pribadi. Bebe
Adrian Ramadhani mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja kerjanya yang terbuat dari kayu jati. Di hadapannya terbentang kota Jakarta yang berkilauan di bawah cahaya matahari senja, namun pemandangan yang biasanya membuatnya kagum itu kini tak mampu mengalihkan kegelisahannya. Sebagai CEO Adrian Corp, ia terbiasa menghadapi tantangan bisnis dan tekanan pasar. Namun situasi yang berkembang di kantornya belakangan ini terasa... berbeda. Lebih personal. Lebih mengganggu.Selama seminggu terakhir, ia merasakan perubahan atmosfer yang subtil namun nyata di perusahaannya. Pandangan-pandangan aneh. Bisikan-bisikan yang terhenti ketika ia mendekat. Dan yang paling mengganggu, perlakuan yang diterima oleh Alena Wijaya—konsultan berbakat yang dipercayanya untuk memimpin proyek revitalisasi teknologi perusahaan.Adrian pertama kali menyadari ada yang tidak beres saat rapat departemen kemarin. Ketika Alena berbicara, beberapa eksekutif senior yang biasanya antusias dengan idenya kini terlihat ragu
Sophia Santiago memutar-mutar pena mahalnya dengan jari-jari lentik berhiaskan cat kuku merah menyala. Ia duduk di ruang kerjanya yang elegan di lantai 40 gedung Adrian Corp, dengan pemandangan kota metropolitan yang terbentang luas di balik jendela kaca besar. Namun perhatiannya tidak tertuju pada pemandangan megah itu. Mata tajamnya terfokus pada layar komputer yang menampilkan foto Alena Wijaya—wanita yang belakangan ini terlalu sering mendapatkan perhatian Adrian Ramadhani, CEO perusahaan tempat ia bekerja dan pria yang sejak lama diincarnya."Dia tidak lebih dari seorang oportunis," gumam Sophia pada dirinya sendiri, sembari menyesap kopi hitam dari cangkir porselen mahal. "Adrian terlalu baik untuk melihat motif aslinya."Sophia telah bekerja selama tujuh tahun sebagai Direktur Pemasaran di Adrian Corp. Selama itu pula, ia telah dengan sabar membangun citranya sebagai perempuan cerdas, ambisius, dan tentu saja—calon pendamping sempurna bagi Adrian Ramadhani. Namun kedatangan Ale
Dengan cepat, ia mengetik pesan untuk Alena: "Aku dengar kau tidak masuk hari ini. Ada apa? Kau baik-baik saja?"Pesan itu terkirim, tapi tidak ada tanda dibaca. Adrian menghela napas panjang, pikirannya berkecamuk. Ia tahu hubungannya dengan Alena mulai menjadi bahan pembicaraan di kantor. Meski selama ini mereka berusaha profesional dan menjaga jarak selama jam kerja, namun mata tajam Sophia dan beberapa karyawan lain tampaknya mulai menyadari perubahan dalam interaksi mereka.Yang lebih mengkhawatirkan adalah kabar tentang Reno. Adrian tahu Alena masih dalam proses mengakhiri hubungannya dengan pria itu, sesuatu yang tidak mudah setelah bersama selama sembilan tahun. Adrian selalu berusaha mengerti dan memberikan Alena ruang untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, meski kadang ia tidak bisa menahan rasa cemburu membayangkan Alena masih terikat dengan pria lain.Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Adrian. Ia berdeham untuk menjernihkan pikirannya. "Masuk," ucapnya.Pintu terb