Adrian menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Itu absurd."
"Begitulah gosip kantor," Alena tersenyum kecut. "Tidak perlu fakta untuk berkembang."
Adrian terdiam sejenak, memikirkan situasi yang mereka hadapi. Ia merasa bersalah. Sangat bersalah. Selama ini ia hanya fokus pada masalahnya sendiri, tanpa benar-benar mempertimbangkan dampak keterlibatan Alena bagi wanita itu.
"Aku tidak ingin kau terjebak dalam semua ini, Alena," kata Adrian akhirnya, meski ia sendiri menyadari betapa lemahnya kalimat itu terdengar.
Alena menatapnya lama, seolah mencari sesuatu di wajahnya. "Tapi kenyataannya, aku sudah terjebak, bukan?"
"Mungkin sebaiknya kita... mengurangi interaksi kita untuk sementara waktu?" Adrian menyarankan, meskipun ia tidak yakin dengan solusi ini. "Sampai rumor ini mereda."
"Apa itu akan membantu?" tanya Alena. "Atau justru akan semakin menguatkan dugaan orang-orang bahwa memang ada sesuatu yang kita sembunyikan?"
Adrian tidak
Pagi itu, Alena merasakan tatapan yang berbeda saat melangkah memasuki kantor. Bukan tatapan kagum atau sekadar sapaan biasa, melainkan tatapan penuh spekulasi yang membuat tengkuknya meremang. Sudah hampir dua minggu sejak pertemuan terakhirnya dengan Adrian di kafe dekat kantor, dan entah bagaimana, gosip tentang kedekatan mereka telah bermetamorfosa menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap."Pagi, Alena," sapa Nina, rekan satu timnya, dengan nada yang terdengar biasa namun matanya menyiratkan keingintahuan yang tidak biasa. "Presentasimu minggu lalu benar-benar mengesankan. Adrian terlihat sangat puas."Alena tersenyum tipis. "Terima kasih. Tim kita bekerja keras untuk itu.""Ya, tim," balas Nina singkat sambil berlalu, meninggalkan Alena dengan perasaan tidak nyaman.Menghela napas, Alena meletakkan tasnya dan menyalakan komputer. Notifikasi email berdenting, dan sebagian besar adalah ucapan selamat atas proyek besar yang baru saja dimenangkan oleh tim mereka. Seharusnya ini adalah m
Malam itu, di apartemennya yang sunyi, Alena menatap kosong ke langit-langit. Ponselnya berdering menampilkan nama Adrian. Setelah keraguan singkat, ia mengangkatnya."Alena, tentang presentasi besok," suara Adrian terdengar profesional seperti biasa. "Aku ingin kau mengambil alih bagian proyeksi finansial."Alena merasakan jantungnya berdegup kencang. Proyeksi finansial adalah bagian paling krusial dalam presentasi untuk klien potensial terbesar mereka tahun ini. Sebuah kepercayaan besar yang di masa lalu akan ia sambut dengan antusias."Adrian, aku... aku tidak yakin itu ide yang baik."Keheningan singkat. "Mengapa? Kau yang paling memahami angka-angka itu.""Kau tahu mengapa," Alena menarik napas dalam. "Orang-orang... mereka mulai bicara. Tentang kita. Tentang alasan di balik promosiku."Kali ini keheningan lebih panjang. "Dan kau membiarkan gosip itu memengaruhi keputusan profesionalmu?"Pertanyaan itu menghantam Alena dengan keras. Benarkah ia membiarkan dirinya didikte oleh spe
Menghadiri pesta kantor terasa seperti berjalan ke medan perang bagi Alena. Namun dengan dorongan dari Diana, ia memutuskan untuk hadir dengan kepala tegak. Mengenakan gaun hitam sederhana namun elegan, ia melangkah masuk ke ruangan dengan kepercayaan diri yang telah ia perjuangkan kembali.Beberapa mata langsung tertuju padanya, diikuti dengan bisikan-bisikan yang tidak berusaha disembunyikan. Tapi Alena memilih untuk mengabaikannya dan berjalan menuju meja minuman."Alena," suara Claudia terdengar di belakangnya, penuh dengan kegembiaraan palsu. "Aku tidak menyangka kau akan datang malam ini."Alena berbalik, menatap langsung ke mata wanita yang telah menyebarkan racun tentangnya. "Mengapa tidak? Ini adalah pesta untuk tim, dan aku adalah bagian dari tim."Claudia tersenyum tipis. "Tentu saja. Dan Adrian? Apakah dia juga akan datang?"Pertanyaan itu jelas dimaksudkan untuk memancing reaksi, untuk membuat Alena terlihat defensif atau gugup. Namun alih-alih terpancing, Alena memilih u
Alena baru saja melangkah memasuki apartemen ketika dilihatnya sosok Reno duduk di sofa ruang tamu. Lampu redup menimbulkan bayangan pada wajahnya, memberikan kesan yang lebih dalam pada kegelisahan yang terpancar dari matanya. Tidak seperti biasanya, tidak ada pelukan hangat yang menyambutnya, tidak ada kecupan ringan di pipi, tidak ada pertanyaan tentang bagaimana harinya berlalu. Hanya keheningan yang menggantung berat di udara."Kau sudah pulang," kata Alena, berusaha terdengar seperti biasa sambil melepaskan sepatu dan meletakkan tasnya. "Aku tidak menyangka kau sudah di rumah."Reno tidak langsung menjawab. Tangannya menggenggam sesuatu yang membuat jantung Alena berdegup lebih kencang—ponsel miliknya. Alena ingat bahwa tadi pagi ia meninggalkan ponselnya di meja dapur saat terburu-buru berangkat kerja."Kau lupa mengunci ponselmu," ujar Reno akhirnya, suaranya datar namun mengandung getar yang sulit disembunyikan. "Dan ada notifikasi. Dari Adrian."
"Kau yakin itu hanya satu arah?" tanya Reno, suaranya sedikit melembut. "Kau yakin Adrian tidak... merasakan sesuatu yang lebih?"Pertanyaan itu membuat Alena berhenti sejenak. Ia memang pernah bertanya-tanya tentang perasaan Adrian, tentang tatapan yang terkadang bertahan terlalu lama, tentang sentuhan ringan di bahu yang terasa sedikit berbeda. Tapi ia selalu memilih untuk tidak menganalisisnya terlalu dalam, fokus pada aspek profesional hubungan mereka."Aku tidak bisa berbicara untuk Adrian," jawab Alena jujur. "Tapi apa pun yang mungkin ia rasakan, aku telah menetapkan batasan yang jelas. Dan aku yakin ia menghormati itu."Reno menghela napas panjang, menarik tangannya perlahan. "Kau tahu apa yang membuatku takut, Alena? Bukan fakta bahwa kau bekerja dekat dengan pria lain. Bukan pesan-pesan itu sendiri. Tapi perubahan dalam dirimu.""Perubahan apa?" tanya Alena, mengerutkan kening."Kau berbeda sejak proyek Eastwood dimulai. Kau lebih... hidu
"Kita selalu dan akan selalu seperti itu," tegas Alena, mengecup bibir Reno lembut. "Tidak ada kesuksesan yang akan berarti jika aku tidak bisa membaginya denganmu."Saat mereka bersiap untuk berangkat kerja, ponsel Alena berdering. Nama Adrian muncul di layar, membuat keduanya membeku sesaat. Alena menatap Reno, yang mengangguk pelan, memberikan izin."Halo, Adrian," jawab Alena, berusaha terdengar profesional meskipun jantungnya berdegup kencang. "Ya, aku baru saja akan berangkat... Rapat pagi? Baiklah, aku akan sampai tepat waktu... Tidak, aku akan mengajukan ide itu dalam pertemuan tim terlebih dahulu... Tentu, sampai jumpa di kantor."Setelah menutup telepon, Alena menatap Reno, yang masih memperhatikannya dengan seksama. "Tentang persiapan presentasi," jelasnya.Reno mengangguk, meskipun masih ada sedikit ketegangan di matanya. "Pastikan kau tidak lupa untuk pulang tepat waktu hari ini. Aku sudah membuat reservasi untuk makan malam.""Makan m
Alena memijat pelipisnya yang berdenyut. Di hadapannya, Reno berdiri dengan wajah memerah dan napas memburu. Ruang tamu apartemen mereka yang biasanya terasa nyaman kini dipenuhi ketegangan yang mencekik. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam, dan perdebatan ini sudah berlangsung hampir dua jam tanpa titik temu."Reno, kumohon," Alena berusaha menjaga suaranya agar tetap tenang meski gemetar. "Aku sudah menjelaskan berkali-kali. Adrian adalah rekan kerjaku, kami sedang menangani proyek penting yang membutuhkan koordinasi intensif.""Koordinasi intensif?" Reno mendengus, melipat tangannya di dada. "Apakah 'koordinasi intensif' itu termasuk makan siang berdua di kafe seberang kantor? Atau tertawa-tawa di lobi hingga kamu lupa waktu pulang?"Alena menutup matanya sejenak. Bagaimana menjelaskan situasi yang sebenarnya tanpa memperburuk keadaan? Adrian memang partner kerjanya dalam proyek besar revitalisasi kawasan bisnis yang ditangani firma arsitektur tempat mereka bekerja. Sebagai
"Apa maksudmu?""Kamu mungkin belum menyadarinya, atau mungkin kamu menyangkalnya. Tapi ada sesuatu yang tumbuh antara kamu dan Adrian, Alena. Dan aku bisa melihatnya dengan jelas meski kamu sendiri mungkin belum mengakuinya."Alena hendak membantah, tapi kata-kata tersendat di tenggorokannya. Benarkah ada sesuatu yang luput dari perhatiannya? Ia mengakui bahwa bekerja dengan Adrian terasa menyenangkan. Mereka memiliki visi yang serupa, dan diskusi-diskusi panjang mereka selalu menginspirasi. Tapi bukankah itu wajar dalam hubungan profesional?"Kamu salah, Reno. Aku tahu persis apa yang kurasakan.""Benarkah?" tantang Reno. "Kalau begitu, jawab dengan jujur. Apakah kamu pernah, bahkan sekali saja, membayangkan bagaimana rasanya jika Adrian lebih dari sekadar rekan kerja?"Pertanyaan itu mengejutkan Alena. Ia ingin segera menjawab "tidak", tapi sesuatu menahannya. Bayangan-bayangan kecil berkelebat dalam benaknya: senyum Adrian ketika ide mereka bertemu, sentuhan singkat di bahu saat i
Alena merasa hati kecilnya tergerak. Di balik sikap dingin dan penuh kontrol yang selalu ditampilkan Adrian, ia melihat seorang pria yang telah terluka begitu dalam. "Aku tidak pernah tahu bagaimana cara untuk mempercayai orang lain," ujar Adrian dengan suara serak. "Selalu ada ketakutan bahwa mereka akan pergi atau meninggalkan aku. Aku membangun tembok tinggi di sekeliling diriku, dan itulah mengapa aku selalu tampak dingin dan tidak peduli." Alena terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa melihat Adrian dengan penuh perasaan, mencoba merasakan apa yang selama ini disembunyikan.Malam semakin larut di luar jendela kantor. Langit Jakarta yang biasanya penuh polusi cahaya kini tampak lebih jernih setelah hujan—bintang-bintang samar mulai terlihat, sesuatu yang jarang terjadi di kota metropolitan ini. Alena merasakan momen simbolis dalam kesunyian yang menggantung di antara mereka; seolah-olah hujan telah membersihkan tidak hanya langit kota, tetapi juga lapis
"Aku tidak pernah tahu apa arti kasih sayang yang sebenarnya," lanjut Adrian. "Ayahku selalu mendominasi kami dengan kekerasan, dan ibuku hanya pergi tanpa kata-kata. Aku tumbuh dengan perasaan kesepian yang tak bisa aku jelaskan. Itu membuatku merasa harus menjaga jarak dengan orang lain, karena aku tidak ingin terluka lagi." Alena merasakan empati yang mendalam untuk Adrian, dan meskipun ia tahu bahwa cerita ini adalah bagian dari masa lalu yang menyakitkan, ia bisa merasakan betapa besar pengaruhnya terhadap siapa Adrian sekarang.Hujan sudah berhenti sepenuhnya, meninggalkan jejak basah di jendela kantor yang kini memantulkan cahaya lampu kota. Malam semakin larut, namun tidak satu pun dari mereka tampak peduli dengan waktu yang terus berlalu."Bagaimana kau bertahan?" tanya Alena dengan suara lembut, berusaha membayangkan kehidupan seorang anak kecil tanpa perlindungan, tanpa kasih sayang.Adrian menatap tangannya sendiri seolah mencari jawaban di sana. "Ak
Alena duduk di hadapan Adrian, terkejut dengan kedalaman kata-kata Adrian. Ia selalu melihat Adrian sebagai sosok yang kuat, penuh kontrol, namun kali ini ia bisa melihat betapa rapuhnya pria itu. Adrian melanjutkan ceritanya, "Aku tumbuh dalam keluarga yang hancur. Ayahku adalah pria yang kasar, dan ibuku meninggalkanku saat aku masih sangat kecil. Aku tidak tahu bagaimana rasanya memiliki keluarga yang utuh, dan itu mengubah caraku melihat dunia." Suasana di ruangan itu terasa berat, dan Alena bisa merasakan beban yang ditanggung oleh Adrian selama bertahun-tahun.Hujan mulai turun di luar, rintik-rintik air yang membentur kaca jendela kantor menciptakan melodi sendu yang seolah mengiringi pengakuan Adrian. Alena menatap pria di hadapannya dengan pandangan baru—bukan lagi sebagai bos yang ditakuti, tetapi sebagai seseorang yang telah menanggung luka yang terlalu dalam untuk disembuhkan sendirian."Setiap kali ayahku pulang dalam keadaan mabuk," Adrian melanjutk
"Proyek Arcadia," Adrian melanjutkan, "yang kita kerjakan selama ini, sebenarnya adalah visi Elena. Dia bermimpi tentang kompleks perumahan yang ramah lingkungan, terjangkau, namun tetap memiliki sentuhan seni dan kebudayaan. Aku mengambil idenya dan menjadikannya milikku, tanpa pernah mengakui bahwa itu berasal darinya."Adrian berbalik menghadap Alena dengan ekspresi yang belum pernah ia lihat sebelumnya—kombinasi antara kesedihan, penyesalan, dan sesuatu yang terlihat seperti... harapan?"Saat kamu mengajukan konsep ulang minggu lalu, dengan ruang komunitas untuk seni dan musik, aku melihat Elena di hadapanku. Untuk pertama kalinya sejak kematiannya, aku merasa dia masih hidup melalui idenya. Dan itu..." Adrian menarik napas dalam-dalam, "...membuatku takut.""Takut?" Alena bertanya, tidak mengerti."Takut merasakan lagi, Alena. Takut peduli. Takut kehilangan." Adrian kembali ke kursinya. "Itulah sebabnya aku menolak idenya dengan kasar,
Setelah ketegangan yang semakin meningkat di tempat kerja dan kehidupan pribadi Alena yang semakin rumit, Adrian memutuskan untuk membuka diri kepada Alena. Suatu sore, setelah rapat yang melelahkan, Adrian mengundang Alena untuk berbicara di ruang kantornya. Ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Adrian—ia terlihat lebih rapuh dari biasanya. Dengan suara rendah dan hati yang berat, Adrian mulai bercerita. "Aku tahu kamu mulai melihat sisi lain dari diriku, Alena," katanya, menatap jendela seolah mencari jawabannya di luar sana. "Tapi ada hal-hal tentang diriku yang tak pernah aku ungkapkan pada siapapun."Alena duduk dengan hati berdebar. Selama ini, Adrian selalu menjadi sosok yang sulit ditebak—pemimpin yang tegas namun penuh misteri. Pertemuan-pertemuan mereka selalu dipenuhi ketegangan profesional dan sesuatu yang tak terkatakan di antara mereka. Ia memperhatikan bagaimana jari-jari Adrian mengetuk permukaan meja dengan gelisah, sesuatu yang tak pernah ia lihat
"Jaga dirimu," kata Reno lembut, hampir berbisik."Kamu juga," balas Alena, menahan diri untuk tidak memeluk pria yang masih sangat ia cintai itu.Dengan langkah berat, Alena meninggalkan kafe, air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. Sebulan tanpa Reno. Sebulan untuk memutuskan masa depan hubungan mereka. Sebulan yang akan terasa seperti keabadian.Ketika Alena kembali ke kantor, wajahnya masih sembab meski ia telah berusaha menyembunyikannya dengan makeup. Adrian, yang sedang berdiskusi dengan beberapa staf di ruang rapat kecil, langsung menyadari kehadirannya. Mata mereka bertemu sejenak, dan Alena bisa melihat kekhawatiran di mata Adrian.Tak lama kemudian, Adrian menghampiri meja Alena, membawa beberapa dokumen sebagai alasan formal untuk berbicara."Semuanya baik-baik saja?" tanya Adrian pelan, meletakkan dokumen di meja Alena."Ya," Alena berbohong, mengambil dokumen tersebut. "Hanya sedikit... masalah pribadi."Adrian m
Sudah dua minggu berlalu sejak pertemuan terakhir Alena dengan Reno. Dua minggu yang terasa seperti keabadian bagi Alena. Telepon tidak dijawab, pesan singkat hanya dibalas seperlunya, dan janji untuk bicara kembali seperti menguap begitu saja. Alena merasa hidupnya kini terbagi menjadi dua bagian yang menyakitkan—rumah yang sepi tanpa Reno dan kantor yang canggung dengan kehadiran Adrian.Pagi itu, Alena melangkah masuk ke kantor dengan tatapan menerawang. Lingkaran hitam di bawah matanya menjadi bukti malam-malam tanpa tidur yang ia lalui. Beberapa rekan kerja menatapnya dengan tatapan prihatin, tapi tidak ada yang berani bertanya. Gosip tentang "segitiga" antara dirinya, Reno, dan Adrian tampaknya sudah menyebar, berkat Dimas yang tidak bisa menjaga mulutnya."Pagi," suara Adrian menyapa lembut ketika Alena baru saja meletakkan tasnya di meja. "Kau terlihat... lelah."Alena menoleh, berusaha tersenyum meski terasa pahit. "Pagi. Ya, sedikit kurang tidur.
"Kamu bisa mulai dengan berhenti bekerja dengan Adrian," jawab Reno tanpa ragu.Alena menutup matanya sejenak, menahan rasa frustasi yang membuncah. "Kita sudah membahas ini. Aku tidak bisa meninggalkan proyek di tengah jalan. Ini akan merusak kredibilitasku sebagai profesional. Lagipula, proyek ini tinggal tiga bulan lagi selesai.""Tiga bulan," ulang Reno. "Tiga bulan lagi kamu akan menghabiskan waktu yang intensif dengannya, sementara hubungan kita tergantung di udara kosong.""Tidak harus seperti itu," bantah Alena. "Kita bisa bekerja memperbaiki hubungan kita sambil aku menyelesaikan proyek ini. Aku berjanji akan lebih terbuka, lebih komunikatif. Kamu bahkan bisa datang ke kantor kapan saja untuk melihat sendiri bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Reno memandang Alena dengan tatapan tak percaya. "Kamu benar-benar tidak mengerti, ya? Ini bukan hanya tentang apakah kamu sudah berselingkuh secara fisik atau belum. Ini tentang kesetiaanmu, priorit
Hujan deras masih mengguyur Jakarta di malam yang kelam. Alena menatap keluar jendela apartemennya, merasakan tetesan air yang mengalir di kaca seperti mencerminkan air matanya sendiri. Sudah seminggu berlalu sejak pertemuan terakhir mereka, ketika Reno memutuskan untuk mengambil jarak dan waktu. Namun, hari ini Reno menghubunginya, mengatakan bahwa ia ingin datang untuk mengambil beberapa barangnya yang masih tertinggal.Alena tidak menyangka bahwa "mengambil barang" ternyata menjadi alasan untuk melanjutkan konfrontasi yang belum terselesaikan. Reno tiba dengan wajah lelah namun tatapan yang tajam. Alena bisa melihat bahwa minggu terpisah tidak melunakkan kemarahan dan kekecewaan pria itu—mungkin justru memperparahnya."Kopi?" tawar Alena canggung, mencoba mencairkan suasana."Tidak perlu," Reno menjawab pendek. "Aku hanya akan mengambil barangku dan pergi."Alena mengangguk, mundur untuk memberi ruang bagi Reno yang mulai mengumpulkan buku-bukuny