Alena baru saja melangkah memasuki apartemen ketika dilihatnya sosok Reno duduk di sofa ruang tamu. Lampu redup menimbulkan bayangan pada wajahnya, memberikan kesan yang lebih dalam pada kegelisahan yang terpancar dari matanya. Tidak seperti biasanya, tidak ada pelukan hangat yang menyambutnya, tidak ada kecupan ringan di pipi, tidak ada pertanyaan tentang bagaimana harinya berlalu. Hanya keheningan yang menggantung berat di udara."Kau sudah pulang," kata Alena, berusaha terdengar seperti biasa sambil melepaskan sepatu dan meletakkan tasnya. "Aku tidak menyangka kau sudah di rumah."Reno tidak langsung menjawab. Tangannya menggenggam sesuatu yang membuat jantung Alena berdegup lebih kencang—ponsel miliknya. Alena ingat bahwa tadi pagi ia meninggalkan ponselnya di meja dapur saat terburu-buru berangkat kerja."Kau lupa mengunci ponselmu," ujar Reno akhirnya, suaranya datar namun mengandung getar yang sulit disembunyikan. "Dan ada notifikasi. Dari Adrian."
"Kau yakin itu hanya satu arah?" tanya Reno, suaranya sedikit melembut. "Kau yakin Adrian tidak... merasakan sesuatu yang lebih?"Pertanyaan itu membuat Alena berhenti sejenak. Ia memang pernah bertanya-tanya tentang perasaan Adrian, tentang tatapan yang terkadang bertahan terlalu lama, tentang sentuhan ringan di bahu yang terasa sedikit berbeda. Tapi ia selalu memilih untuk tidak menganalisisnya terlalu dalam, fokus pada aspek profesional hubungan mereka."Aku tidak bisa berbicara untuk Adrian," jawab Alena jujur. "Tapi apa pun yang mungkin ia rasakan, aku telah menetapkan batasan yang jelas. Dan aku yakin ia menghormati itu."Reno menghela napas panjang, menarik tangannya perlahan. "Kau tahu apa yang membuatku takut, Alena? Bukan fakta bahwa kau bekerja dekat dengan pria lain. Bukan pesan-pesan itu sendiri. Tapi perubahan dalam dirimu.""Perubahan apa?" tanya Alena, mengerutkan kening."Kau berbeda sejak proyek Eastwood dimulai. Kau lebih... hidu
"Kita selalu dan akan selalu seperti itu," tegas Alena, mengecup bibir Reno lembut. "Tidak ada kesuksesan yang akan berarti jika aku tidak bisa membaginya denganmu."Saat mereka bersiap untuk berangkat kerja, ponsel Alena berdering. Nama Adrian muncul di layar, membuat keduanya membeku sesaat. Alena menatap Reno, yang mengangguk pelan, memberikan izin."Halo, Adrian," jawab Alena, berusaha terdengar profesional meskipun jantungnya berdegup kencang. "Ya, aku baru saja akan berangkat... Rapat pagi? Baiklah, aku akan sampai tepat waktu... Tidak, aku akan mengajukan ide itu dalam pertemuan tim terlebih dahulu... Tentu, sampai jumpa di kantor."Setelah menutup telepon, Alena menatap Reno, yang masih memperhatikannya dengan seksama. "Tentang persiapan presentasi," jelasnya.Reno mengangguk, meskipun masih ada sedikit ketegangan di matanya. "Pastikan kau tidak lupa untuk pulang tepat waktu hari ini. Aku sudah membuat reservasi untuk makan malam.""Makan m
Alena memijat pelipisnya yang berdenyut. Di hadapannya, Reno berdiri dengan wajah memerah dan napas memburu. Ruang tamu apartemen mereka yang biasanya terasa nyaman kini dipenuhi ketegangan yang mencekik. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam, dan perdebatan ini sudah berlangsung hampir dua jam tanpa titik temu."Reno, kumohon," Alena berusaha menjaga suaranya agar tetap tenang meski gemetar. "Aku sudah menjelaskan berkali-kali. Adrian adalah rekan kerjaku, kami sedang menangani proyek penting yang membutuhkan koordinasi intensif.""Koordinasi intensif?" Reno mendengus, melipat tangannya di dada. "Apakah 'koordinasi intensif' itu termasuk makan siang berdua di kafe seberang kantor? Atau tertawa-tawa di lobi hingga kamu lupa waktu pulang?"Alena menutup matanya sejenak. Bagaimana menjelaskan situasi yang sebenarnya tanpa memperburuk keadaan? Adrian memang partner kerjanya dalam proyek besar revitalisasi kawasan bisnis yang ditangani firma arsitektur tempat mereka bekerja. Sebagai
"Apa maksudmu?""Kamu mungkin belum menyadarinya, atau mungkin kamu menyangkalnya. Tapi ada sesuatu yang tumbuh antara kamu dan Adrian, Alena. Dan aku bisa melihatnya dengan jelas meski kamu sendiri mungkin belum mengakuinya."Alena hendak membantah, tapi kata-kata tersendat di tenggorokannya. Benarkah ada sesuatu yang luput dari perhatiannya? Ia mengakui bahwa bekerja dengan Adrian terasa menyenangkan. Mereka memiliki visi yang serupa, dan diskusi-diskusi panjang mereka selalu menginspirasi. Tapi bukankah itu wajar dalam hubungan profesional?"Kamu salah, Reno. Aku tahu persis apa yang kurasakan.""Benarkah?" tantang Reno. "Kalau begitu, jawab dengan jujur. Apakah kamu pernah, bahkan sekali saja, membayangkan bagaimana rasanya jika Adrian lebih dari sekadar rekan kerja?"Pertanyaan itu mengejutkan Alena. Ia ingin segera menjawab "tidak", tapi sesuatu menahannya. Bayangan-bayangan kecil berkelebat dalam benaknya: senyum Adrian ketika ide mereka bertemu, sentuhan singkat di bahu saat i
Seminggu telah berlalu sejak malam pertengkaran hebat itu. Tujuh hari yang terasa seperti keabadian bagi Alena. Reno memang kembali ke apartemen mereka untuk mengambil beberapa pakaian dan barang pribadi, namun interaksi mereka kaku dan dingin. Hanya kata-kata seperlunya yang terucap, tanpa sentuhan atau tatapan hangat yang biasa mereka bagi.Hari ini, Reno mengirim pesan singkat: "Aku akan ke apartemen sore ini. Kita perlu bicara." Hanya itu. Tanpa emotikon, tanpa kata sayang yang biasa menghiasi pesan-pesan mereka sebelumnya. Alena merasakan jantungnya berdebar kencang. Pembicaraan serius yang tak terhindarkan akhirnya tiba.Sejak pagi, Alena sulit berkonsentrasi pada pekerjaannya. Bahkan ketika Adrian menunjukkan revisi desain yang telah ia buat semalaman, Alena hanya menanggapi dengan anggukan singkat dan komentar seadanya."Kau baik-baik saja?" tanya Adrian, keningnya berkerut khawatir. "Kau tampak tidak fokus hari ini."Alena memaksakan senyum tipis. "Hanya kurang tidur. Proyek
Pengakuan itu seperti sebilah pisau yang mengiris hati Alena. "Reno...""Tidak, biarkan aku selesai," Reno mengangkat tangannya. "Aku ingin kau tahu bahwa aku benar-benar serius dengan hubungan ini, Alena. Mungkin aku tidak selalu menunjukkannya dengan cara yang kau inginkan, tapi aku telah memberikan seluruh hatiku padamu."Alena terisak pelan. Rasa bersalah yang telah ia rasakan selama berminggu-minggu kini meledak menjadi kesedihan yang dalam. Ia telah menyakiti orang yang paling tulus mencintainya, dan untuk apa? Untuk ketertarikan yang mungkin hanya bersifat sementara?"Tidakkah kau pikir ada sesuatu yang hilang dalam hubungan kita?" tanya Alena setelah berhasil menenangkan diri. "Mungkin... mungkin alasan aku mulai merasakan sesuatu terhadap Adrian adalah karena ada kekosongan dalam hubungan kita yang tidak kita sadari?"Reno menatap Alena dengan tatapan yang sulit ditafsirkan. "Itu adalah alasan klasik yang digunakan orang-orang untuk membenarkan k
Hujan deras masih mengguyur Jakarta di malam yang kelam. Alena menatap keluar jendela apartemennya, merasakan tetesan air yang mengalir di kaca seperti mencerminkan air matanya sendiri. Sudah seminggu berlalu sejak pertemuan terakhir mereka, ketika Reno memutuskan untuk mengambil jarak dan waktu. Namun, hari ini Reno menghubunginya, mengatakan bahwa ia ingin datang untuk mengambil beberapa barangnya yang masih tertinggal.Alena tidak menyangka bahwa "mengambil barang" ternyata menjadi alasan untuk melanjutkan konfrontasi yang belum terselesaikan. Reno tiba dengan wajah lelah namun tatapan yang tajam. Alena bisa melihat bahwa minggu terpisah tidak melunakkan kemarahan dan kekecewaan pria itu—mungkin justru memperparahnya."Kopi?" tawar Alena canggung, mencoba mencairkan suasana."Tidak perlu," Reno menjawab pendek. "Aku hanya akan mengambil barangku dan pergi."Alena mengangguk, mundur untuk memberi ruang bagi Reno yang mulai mengumpulkan buku-bukuny
Dengan cepat, ia mengetik pesan untuk Alena: "Aku dengar kau tidak masuk hari ini. Ada apa? Kau baik-baik saja?"Pesan itu terkirim, tapi tidak ada tanda dibaca. Adrian menghela napas panjang, pikirannya berkecamuk. Ia tahu hubungannya dengan Alena mulai menjadi bahan pembicaraan di kantor. Meski selama ini mereka berusaha profesional dan menjaga jarak selama jam kerja, namun mata tajam Sophia dan beberapa karyawan lain tampaknya mulai menyadari perubahan dalam interaksi mereka.Yang lebih mengkhawatirkan adalah kabar tentang Reno. Adrian tahu Alena masih dalam proses mengakhiri hubungannya dengan pria itu, sesuatu yang tidak mudah setelah bersama selama sembilan tahun. Adrian selalu berusaha mengerti dan memberikan Alena ruang untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, meski kadang ia tidak bisa menahan rasa cemburu membayangkan Alena masih terikat dengan pria lain.Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Adrian. Ia berdeham untuk menjernihkan pikirannya. "Masuk," ucapnya.Pintu terb
"Aku selalu tahu ada yang tidak beres dalam beberapa bulan terakhir," kata Alena. "Tapi aku terlalu takut untuk mengakuinya. Aku berpura-pura semuanya baik-baik saja, berharap apapun yang terjadi hanyalah fase yang akan segera berlalu.""Kau tidak melakukan kesalahan apapun, Kak," Mira mencoba menghibur. "Kadang, seseorang pergi bukan karena kita melakukan kesalahan, tapi karena mereka memutuskan untuk mencari jalan yang berbeda."Alena tersenyum getir. "Sembilan tahun, Mira. Sembilan tahun dan dia bisa dengan mudah mengakhirinya seperti ini.""Aku tahu, Kak. Ini berat, sangat berat. Tapi kau harus percaya bahwa suatu saat nanti, sakit ini akan mereda. Mungkin tidak sekarang, mungkin tidak dalam waktu dekat, tapi suatu saat nanti, kau akan menemukan kekuatan untuk melangkah maju."Alena menatap adiknya, kagum dengan kebijaksanaan yang dimiliki Mira meski usianya masih muda. Ia mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia tak yakin akan pernah bisa sepenuhnya pulih dari luka ini."Ayo pula
Dengan berat hati, Alena melangkah pergi. Air mata mengalir di pipinya, tetapi ia tahu bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah keadaan. Ia telah kehilangan Reno—seseorang yang telah menemaninya begitu lama.Langkahnya terasa berat, seolah seluruh beban dunia menindih bahunya. Jalanan kota di sore itu dipenuhi lalu lalang orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tidak seorang pun menyadari kepedihan yang tengah menghantam hati seorang wanita di antara mereka. Alena berjalan tanpa arah, membiarkan kakinya membawanya entah ke mana. Yang ia tahu, ia harus pergi sejauh mungkin dari tempat yang baru saja menjadi saksi bisu kehancuran hatinya."Sembilan tahun," bisiknya pada diri sendiri. Sembilan tahun bersama Reno, tertawa bersama, menangis bersama, merencanakan masa depan yang kini tak lagi mungkin terwujud. Sembilan tahun kenangan yang kini harus diikhlaskan dalam sekejap mata.Langit mulai menggelap ketika Alena sampai di taman kota. Ia mendudukkan diri di bangku
Alena akhirnya mengumpulkan keberanian untuk menemui Reno di rumahnya. Namun, ketika ia sampai, Reno menolak membukakan pintu. Dari dalam, suaranya terdengar dingin. "Aku tidak butuh penjelasan, Alena. Aku hanya butuh kau untuk pergi."Pagi itu, Alena bangun dengan tekad baru. Sudah seminggu sejak insiden itu terjadi, dan ia tidak bisa lagi menunda-nunda. Ia harus menemui Reno, berbicara dengannya secara langsung, menjelaskan semuanya. Atau setidaknya, mencoba.Adrian, yang masih setia menemaninya selama ini, tampak khawatir ketika Alena memberitahukan rencananya."Kau yakin sudah siap?" tanyanya saat mereka duduk di ruang makan untuk sarapan.Alena mengangguk, menyesap kopi hangatnya. "Aku harus melakukannya, Adrian. Ini sudah terlalu lama.""Baiklah," Adrian menghela napas. "Mau kuantar?""Tidak perlu," tolak Alena lembut. "Ini sesuatu yang harus kuhadapi sendiri."Adrian mengangguk paham. Ia meraih tangan Alena di atas meja, meremasnya lembut sebagai bentuk dukungan. "Apapun yang t
Di sisi lain, Adrian tetap berada di sampingnya. Ia tidak memaksa Alena untuk cepat pulih, tetapi kehadirannya membuat Alena merasa sedikit lebih tenang. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa dirinya masih dipenuhi kebingungan.Sore itu, langit Jakarta tampak kelabu. Hujan rintik-rintik jatuh membasahi jendela kamar Alena yang masih tertutup rapat. Tiga hari telah berlalu sejak kejadian yang mengubah segalanya. Tiga hari yang terasa seperti selamanya.Adrian duduk di kursi samping tempat tidur, sesekali melirik ke arah Alena yang berbaring memandang langit-langit. Tangannya dengan telaten mengupas apel, kebiasaan yang selalu ia lakukan sejak mereka kecil. Alena masih ingat bagaimana Adrian selalu membawa buah untuk dirinya setiap kali ia sakit."Kau harus makan sesuatu," ujar Adrian lembut, menyodorkan sepotong apel. Alena melirik sebentar sebelum menggeleng lemah."Aku tidak lapar."Adrian menghela napas panjang, meletakkan piring berisi potongan apel di meja samping tempat tid
"Aku tahu. Hanya ingin memberitahumu agar kau tidak terkejut jika dia muncul." "Terima kasih, Adrian," ucap Alena tulus. "Untuk segalanya." Setelah menutup telepon, Alena berdiri diam di tengah kesibukan galeri. Pikiran bahwa Reno mungkin akan datang ke pamerannya membawa perasaan campur aduk—harapan, ketakutan, antisipasi, dan kekhawatiran bercampur menjadi satu. Sofia mendekatinya, mengamati ekspresi wajahnya dengan seksama. "Ada kabar?" "Reno mungkin akan datang ke pembukaan pameran," jawab Alena pelan. Sofia mengangguk, senyum kecil terbentuk di bibirnya. "Maka kita harus memastikan ini adalah pameran terbaikmu." Malam pembukaan pameran tiba dengan cepat. Galeri telah disulap menjadi ruang yang elegan namun intim, dengan pencahayaan yang sempurna untuk menyoroti setiap karya seni. Para tamu mulai berdatangan—kolektor, kritikus seni, seniman, dan pecinta seni yang penasaran. Alena berdiri di dekat pintu masuk, mengenakan gaun hitam sederhana namun elegan. Matanya tidak bisa
Reno tidak menjawab telepon atau pesan dari Alena. Ia benar-benar menghilang dari hidupnya, dan itu membuat Alena merasa bersalah sekaligus kosong. Ia mencoba menghibur dirinya dengan berpikir bahwa ini adalah konsekuensi dari pilihannya, tetapi hatinya tetap terasa berat.Sudah seminggu berlalu sejak pertengkaran mereka. Tujuh hari yang terasa seperti tujuh tahun bagi Alena. Setiap dering telepon, setiap notifikasi ponsel, membuat jantungnya berdebar dengan harapan bahwa itu adalah Reno. Namun setiap kali, harapan itu pupus, digantikan oleh rasa hampa yang semakin dalam."Mungkin sudah waktunya berhenti menghubunginya," ucap Sofia sambil menyesap kopinya.Mereka sedang duduk di kafe kecil dekat galeri, menikmati istirahat singkat di tengah persiapan pameran. Alena menatap layar ponselnya yang menampilkan daftar panggilan tak terjawab—semua untuk Reno."Aku hanya ingin kesempatan untuk menjelaskan," Alena menjawab pelan. "Dia berhak tahu seluruh ceritanya."Sofia menghela napas, menya
Alena duduk di apartemennya, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya penuh dengan apa yang terjadi tadi malam. Reno pergi dengan kemarahan yang tak tertahankan, dan ia tahu bahwa perpisahan itu tidak akan mudah. Ia ingin menjelaskan segalanya, tetapi apakah Reno akan mau mendengarnya?Sudah hampir dua jam ia duduk di posisi yang sama, secangkir teh dingin terabaikan di meja kecil di sampingnya. Cahaya fajar perlahan merangkak masuk melalui jendela, menyinari apartemen yang berantakan—bukti nyata dari pertengkaran malam sebelumnya. Sebuah pigura foto tergeletak di lantai dengan kaca retak, dan beberapa buku tersebar tidak beraturan, terlempar dalam luapan emosi yang tak terkendali."Kau menyembunyikan ini dariku selama tiga bulan!" Teriakan Reno masih bergema di telinganya. "Tiga bulan, Alena! Dan aku harus mengetahuinya dari orang lain!"Alena memejamkan mata, berusaha menelan rasa sakit yang menghimpit dadanya. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa keputusannya untuk tidak bercerita
Alena merasa hatinya hancur, tetapi ia tahu bahwa semua ini adalah konsekuensi dari pilihannya. Adrian mendekatinya dan menyentuh bahunya. "Kau baik-baik saja?" Alena menatapnya dengan mata penuh air mata, tetapi ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.Gerimis mulai turun di luar kafe, menciptakan tirai air yang mengaburkan dunia luar. Suasana kafe yang biasanya hangat terasa dingin bagi Alena. Aroma kopi yang mengepul dari cangkir di depannya tak mampu menghibur. Ia menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan Adrian. Tidak, ia tidak baik-baik saja."Aku tidak tahu harus berkata apa," ucap Adrian lembut, menarik kursi di samping Alena. "Tapi kau tidak sendirian dalam hal ini."Alena mengusap air matanya dengan tisu yang sudah kusut di genggamannya. Tubuhnya terasa lelah setelah tiga hari tanpa tidur nyenyak. Keputusan yang ia ambil empat bulan lalu kini menghantam balik dengan kekuatan yang menghancurkan."Seharusnya aku tidak pergi malam itu," bisik Alena, suaranya bergeta