Setelah satu jam perjalanan menuju keluar dari kota besar itu. Taksi pun kemudian berhenti di salah satu tempat pengisian bensin di sudut daerah yang mulai jarang penghuni.
Leo menatap wajah Claire yang masih terlelap, ingin rasanya membangunkan tapi tangannya begitu berat untuk menyentuh langsung tubuh gadis itu. Dia pun memilih mencolek lengan Claire dengan sisi ujung ponselnya. “Claire, bangunlah. Kita sudah sampai.”Akan tetapi, Claire hanya bergerak sedikit sambil menjawab pelan, “Sebentar lagi … aku masih ingin tidur.”Kesal dengan jawaban itu, Leo pun lanjut mengancam sang gadis, “Bangun. Atau aku akan menciummu agar kau sulit bernapas.” Dia melirik tajam tanpa mengalihkan wajah dari depan ponsel.Claire pun sontak duduk dengan tegap, membulatkan mata dengan paksa agar terlihat segar. “Di mana kita? Pengisian bensin? Apa kita akan menginap di motel itu?”
Leo terkekeh pelan dan menyunggingkan senyum dengan deretan giginya yang putih. Dia menggeleng pelan saat membuka pintu di sebelahnya. “Ha-ha, kita perlu membeli sesuatu, kau pasti lapar, kan? Ini sudah malam. Ayo, keluarlah.” Dia segera berjalan ke samping mobil dan membukakan pintu untuk Claire.Gadis itu sempat menatap aneh, mungkin berpikir bahwa kini Leo bukanlah pengawalnya lagi, tapi pria itu masih saja melayaninya.
Keduanya pun keluar dari dalam taksi, kemudian masuk ke sebuah mini market yang ada tepat di sudut belakang tempat pengisian bensin.“Kau tunggu di sini. Aku akan mencari sesuatu untuk mengganjal isi perut kita sementara.” Leo mengerlingkan mata sesaat melihat situasi sekitar, meyakinkan diri bahwa Claire tidak akan berani jauh dari pandangannya. Dia lalu berjalan sambil memakai topinya dan sebuah jaket hitam yang melekat di tubuh, membuat tatapan Claire curiga apakah Leo sebenarnya berniat mencuri di mini market.Setelah membeli beberapa roti dan minuman kemasan untuk di perjalanan. Disodorkannya Claire sebungkus roti serta minuman hangat. Leo memperhatikan sang gadis tampak sangat lapar. Hatinya miris melihat istrinya begitu lesu karena lelah dan kelaparan.Tidak berapa lama kemudian, sebuah mobil memasuki area yang sama dan memarkir di depan mini market itu. Lalu, terlihat seseorang keluar dari dalam mobil itu dengan wajah yang sangat familiar.“Flint?” tanya Claire menatap tidak percaya.
“Hai, Nona. Senang bertemu lagi dengan Anda,” sapa Flint—salah satu pengawal dari keluarga Steve tiba-tiba datang dengan pakaian biasa, menyusul Leo dan Claire.“Apa kau membawa kabar dari papaku? Apakah dia memintaku untuk kembali ke rumah?” tanya Claire dengan antusias.Leo melirik ke arah Flint, keduanya pun sekilas bertemu pandang saling memahami suatu isyarat. “Ah, sayangnya … bukan, Nona. Aku hanya akan mengantarkan kalian ke kampung halaman Leo. Karena perjalanan akan cukup memakan waktu beberapa jam.”Tatapan gadis itu seketika meredup, kesedihan muncul di raut wajah cantiknya yang tanpa riasan. “Oh …, begitu,” desah Claire hampa. Leo berusaha menenangkan kembali. Entah apa yang dia bisa lakukan tanpa harus menyentuh gadis itu, tapi hanya melalui kata-katanya sendiri. “Flint yang akan mengantarkan kita. Kuminta dia menyusul ke sini karena … pastinya papamu tidak akan mengizinkan kita menggunakan fasilitas apa pun dari rumahmu, kan? Lihat, Flint membawa mobilnya. Sebaiknya kau nanti kembali beristirahat di perjalanan.” Leo menjelaskan dengan santai sambil memasukkan kedua tangan di dalam saku jaket hitamnya.“Kenapa tidak memakai taksi itu saja?” Claire masih tampak kebingungan.
“Taksi itu … tidak akan bisa menjangkau. Lokasinya sangat jauh, dan tidak sembarangan orang bisa masuk.” Flint bantu menjelaskan.“Maksudmu?”“Sudahlah, jangan pikirkan itu. Habiskan saja rotimu, setelahnya kita akan berangkat menuju rumahku.” Leo menambahkan.“Mulai besok aku akan menghubungi teman-temanku. Aku akan meminta bantuan mereka untuk mencarikanmu pekerjaan. Agar kau tidak perlu bertani di ladang,” ucap Claire dengan pemikirannya, membayangkan lokasi tujuan mereka adalah desa terpencil.Leo pun mengulas senyum memandangi sang istri. “Sayang, aku pasti akan bekerja. Dan kau akan tetap menjadi ratuku.” Kata-kata itu spontan meluncur dari mulutnya.
“Berhenti memanggilku sayang,” sahut Claire datar. “Aku melakukan semua ini karena terpaksa. Ingat Leo, kau sangat tahu aku tidak tertarik denganmu.”
Leo pun menggeser tubuhnya mendekat, berdiri persis di belakang Claire kemudian berbisik, “Tapi kau adalah istriku mulai sekarang. Berhenti membantah, karena aku bisa melakukan apa pun yang aku mau terhadapmu.” Bisikan itu persis di telinga Claire, membuat sekujur tubuh gadis itu merinding total mendengar kata-kata Leo dan embusan napas hangat sang pria di bagian lehernya. “Sepertinya … kita belum berbulan madu, bukan?” Claire sesaat bergidik merinding dengan kata-kata Leo. Dia sekilas merasa terancam, tetapi tanpa disadari ada desiran lain yang muncul dari dalam dirinya. Langkahnya pun dipercepat menuju ke dalam mobil Flint, diikuti oleh Leo dan Flint yang masuk ke dalam kursi depan.“Kenapa jalanan ini sepi sekali, apa benar di sekitar sini ada pemukiman?”
Leo hanya mengangkat wajahnya sedikit kemudian melirik pada Flint. Membiarkan sang teman memberi penjelasan pada Claire, karena kini selama setengah jam perjalanan tiada hentinya gadis itu bertanya-tanya.“Maklum saja, Nona. Ini memang kawasan yang jarang dikunjungi.”“Tapi bagaimana kalian bisa tumbuh di lingkungan seperti ini? Apa kalian tidak kebingungan mencari bank, mini market, sinyal atau—.”“Sebaiknya kau tidur,” sahut Leo memotong perkataan Claire. “Aku dan Flint sengaja tidak bicara karena suara manusia bisa memancing hewan buas di sekitar sini,” lanjutnya.Flint mengulum senyumnya menahan tawa. Lontaran Leo untuk membuat Claire diam sangat berhasil. Kedua pria itu merasa bising dengan segala pertanyaan sang gadis kota.Leo pun kembali melihat ke sisi jendela, pada sebuah jalan yang tampak lengang dan mulus. Namun, di sekitarnya terdapat pepohonan yang menjulang tinggi hingga membuat lahan dan pemandangan di belakangnya tidak kelihatan sama sekali. Bahkan hanya beberapa lampu penerangan yang saling berjarak 100 meter untuk menerangi jalanan tersebut.Setelah sekian lama, dilihatnya kini Claire sudah tertidur dengan pulas meringkuk di kursi belakang mobil klasik berwarna hitam itu. Cuaca dingin yang menusuk kulit pada malam hari itu membuat sang gadis begitu nyenyak memeluk erat jaket milik Leo.
Ditatapnya Claire begitu lembut dan tanpa sadar Leo mengembangkan senyum tipis. Sesungguhnya dia tidak menyangka, sang nona manja yang selalu bergantung pada dirinya, kini telah menjadi istri dalam hitungan jam saja. Pria itu pun kembali menatap jalanan yang tampak kosong dan gelap yang tengah dilewati.“Apa kau membawa barang-barangku di dalam bagasi berikut semua yang kuminta kemarin?” Leo bertanya pelan pada Flint, sambil matanya mengawasi sisi kursi belakang, memastikan Claire benar-benar lelap dan tidak mendengar ucapannya.“Semuanya sudah, Tuan Muda.” Angguk Flint sambil mengemudi.“Kerja bagus. Terima kasih, Flint.”Tibalah mereka di ujung sebuah jalan dengan pemandangan rerumputan yang luas dan tidak ada lagi pohon-pohon berjajar di sisi jalan. Kendaraan mereka kini berbelok arah jalan menuju sebuah gerbang tinggi.Flint menghentikan mobil dan membuka kaca jendela. Dia dihampiri salah seorang penjaga yang melihat ke arah sang pengemudi, lalu menyapa dan mengangkat tangannya memberi hormat.“Tuan Flint?” ucap sang penjaga sedikit mengintip ke bagian dalam mobil.“Buka gerbangnya,” titah Flint. Sang penjaga yang sesaat tadi penasaran kini sigap memberi hormat lagi, ketika Leo yang tadinya melihat ke sisi lain kini menoleh memandangnya. “Tuan! Oh, tunggu … tunggu!”Penjaga itu segera memberitahu rekan-rekan penjaga lainnya. Sambil berlari, dia mengibaskan tangan dengan terburu-buru, segera membukakan gerbang agar mobil itu masuk.Flint pun kembali melajukan kendaraannya masuk, melewati sejajaran penjaga yang berdiri di samping gerbang besi tinggi yang kokoh dan berwarna hitam itu. Saat memasuk
Pria misterius itu pun bangkit dari kursi kebesarannya. Dia berjalan mendekat pada kedua pasangan yang datang tiba-tiba dan kini merapatkan punggung di pintu ruang kerjanya.Leo tersenyum bersandar sambil melipat tangan di depan dada, saat Claire menarik-narik lengan kemejanya berusaha mengajak keluar dari ruangan.“Leo, Leo, berbuatlah sesuatu … kumohon …,” bisik Claire dengan suara gemetar. “Sedang apa kalian di sini?” tanya pria itu, lalu menatap wajah Claire penuh curiga. “Dan … dia?” Pria berusia 60an itu kini berdiri di hadapan mereka, dia adalah Robert Goldstein, seorang ketua organisasi intelijen terbesar rahasia bernama GSI (The Golden Shield Intelligence). Robert yang berperawakan tinggi hampir setara dengan Leo, masih terlihat gagah meski seluruh rambutnya sudah tampak sebagian memutih. Paras tampannya yang berdarah Jerman–Amerika, mempertegas karakter wajahnya yang sekilas tampak dingin.Leo menatap Robert penuh arti saat keduanya sempat saling berpapasan mata. Dia pun me
Setelah dua jam akhirnya Leo pun kembali ke kamar. Berjalan masuk dengan menyelipkan tangan di saku celana. Sorot matanya kosong seakan dipenuhi pikiran. Dia lalu menghela napas dan menoleh pada Claire yang menangis terisak dengan menjatuhkan kening di layar ponsel. “Hei, kau kenapa?” Leo berjalan pelan menghampiri.Leo tidak mendapat jawaban apa pun. Disibaknya helai rambut Claire yang menutupi layar ponsel, lalu diraihnya ponsel itu perlahan dari tangan lemah sang gadis.Ibu jari Leo mengusap sisa tetesan air mata yang membasahi layar. Ingin segera mencari tahu penyebab Claire menangis. Matanya kini terfokus pada unggahan video singkat skandal antara dirinya dan gadis itu. Sejak tersebar kemarin pagi, sejumlah komentar negatif menyerang dari ribuan penonton, lebih parahnya unggahan itu turut dibagikan ulang.Rahang Leo mengeras, hatinya diliputi rasa dendam melihat situasi saat ini. Namun, saat dia tengah berusaha menahan diri, tiba-tiba Claire malah menghambur memeluk erat tubuhnya
Leo menghentikan langkah dan menoleh, melihat Claire berjalan pelan sambil berpegangan pada pagar anak tangga.“Maaf, aku lupa,” katanya sambil kembali naik mendekati Claire yang sempat menolak bantuannya. Leo lalu berjongkok di hadapannya. “Naiklah. Ayo, naik ke punggungku.”Claire mengerutkan kening, keheranan. “Apa lagi ini?”“Naiklah. Kita akan berkeliling.”“Tidak, tidak. Meski aku tidak tinggi, tapi aku ini berat, Leo.”Leo tersenyum lembut. “Bagiku kau seperti kapas. Ayo, cepatlah. Atau kupaksa mengangkatmu dari depan hingga kau tidak nyaman?” ancamnya setengah bercanda.“Ba-baiklah …! Jangan mengancam. Dasar kau ini!” Claire tersipu.Leo pun menggendong Claire menuruni tangga. Mereka berjalan melewati beberapa bagian di area taman yang luas itu. Di dekat maze, terdapat kolam renang berukuran besar, lapangan tenis, taman bunga dengan gazebo cantik terbuat dari besi tempa berwarna hitam, dan kolam air mancur dengan patung malaikat wanita berwarna hitam di tengahnya.Lelah mengi
Ruang makan besar itu memancarkan kemewahan dan kekuatan. Kristal-kristal lampu gantung yang memancarkan cahaya lembut menghiasi langit-langit yang tinggi. Meja makan panjang berlapis marmer dengan ukiran rumit tampak megah di tengah ruangan, dikelilingi kursi-kursi berlapis beludru. Lukisan-lukisan klasik menghiasi dinding, menambah nuansa aristokratis yang mencerminkan kekayaan dan kekuasaan keluarga Goldstein.Leo dan Claire sedang bersiap-siap untuk memasuki ruang makan besar tersebut. Claire mengenakan gaun malam hitam yang elegan, sementara Leo dalam setelan jas hitam yang sempurna, tampak berbeda dari penampilannya yang biasa dalam penyamaran sebagai pengawal Claire."Claire, kau siap?" tanya Leo dengan nada tenang dan tegas, memandang ke arah Claire yang sedikit gugup.Claire mengangguk, meskipun terlihat jelas bahwa dia merasa tidak nyaman dengan situasi ini. "Ya, aku siap. Tapi, apakah kita benar-benar harus melakukan ini?"Leo menuntun Claire ke arah pintu ruang makan, tapi
Setelah makan malam yang mewah bersama Trevor McCollin dan putranya, Damian. Suasana di rumah keluarga Goldstein terasa sedikit lebih santai. Trevor dan Robert tengah terlibat dalam pembicaraan privat di ruang kerja. Pembicaraan mereka penuh dengan strategi dan rencana untuk mengatasi masalah pertambangan yang sedang dihadapi Trevor di Afrika. Namun, di ruang utama, fokus utama Leo adalah Damian, yang sengaja akan dipancing segala informasi agar membuka diri tentang kehidupannya. Keduanya duduk di sofa kulit yang nyaman, menikmati segelas wine merah yang disajikan oleh pelayan. Percakapan mereka mengalir dari topik bisnis hingga ke urusan pribadi, menciptakan suasana yang lebih akrab."Jadi, Leo," kata Damian, menyandarkan dirinya dengan santai. "Sangat kebetulan, aku pun ingin menyampaikan kabar ini padamu. Ini waktu yang tepat.”“Oh, sesuatu yang menarik? Katakan.” Leo menyungging senyum sambil menggoyangkan gelas wine-nya pelan. “Aku akan bertunangan dalam waktu dekat. Aku berenc
"Ya," jawab Leo, menghela napas. "Aku tidak tahu apa rencana mereka, tapi kita harus waspada."Sebelum Claire bisa menanggapi, mereka mendengar suara langkah kaki mendekat. Robert, ayah Leo, memasuki ruangan. Tatapan curiganya jatuh pada Claire yang masih mengenakan gaun indahnya. "Kenapa Claire masih di sini, Leo? Dengan gaun sebagus itu, dia seharusnya di luar menikmati acara."Claire tampak gugup, bingung harus menjawab apa. Leo cepat-cepat menjawab, "Kami hanya ingin berbicara sebentar, Ayah."Robert mengamati Leo dan Claire dengan cermat, mencurigai ada sesuatu yang disembunyikan. "Benarkah? Terlalu banyak kebetulan. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"Leo menunduk, merasa beban berat di pundaknya. Robert sudah mengetahui berita yang tersebar di media sosial tentang skandal Leo dan Claire. Bukan hanya marah karena Leo telah menyamar sebagai pengawal, tetapi juga karena Robert sebenarnya memiliki rencana besar untuk membalas dendam pada keluarga Foster dengan menyingkirkan Clair
Claire tampak malu-malu, perlahan memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam. Wajahnya mendongak, menunggu Leo memberikan ciuman. Leo mendekatkan wajahnya perlahan, menatap gemas gadis di hadapannya. Sesaat sebelum bibir mereka bertemu, Leo berhenti."Selamat malam, Claire," ucap Leo dengan suara serak khas bangun tidur, kemudian mengikatkan kembali tali kimono yang digunakan Claire.Jantung Claire berdegup kencang. Napasnya yang sempat tak beraturan kini dilepaskan dengan kasar. Dia menelan ludah sambil menoleh ke arah Leo yang berjalan tak acuh ke arah kamar mandi. Apa yang dipikirkannya tidak terjadi. Kenapa Leo menjadi begitu dingin? Apakah Leo tidak siap mendekatinya lagi? Dengan langkah tak bersemangat, Claire menjatuhkan dirinya di ranjang besar kamar itu sambil memeluk selimut tebalnya, menunggu Leo yang selesai membersihkan diri. Beberapa lama kemudian, Leo keluar dengan handuk melilit di pinggangnya, menggosok-gosok kepalanya yang basah. Dilihatnya Claire masih belu