Pukulan itu menghantam bawah rahang. Nyaris mengenai wajah pria yang bertubuh lebih tinggi dari Steve itu. Leo pun tidak mengelak apalagi membalas. Meski tengah terjebak, dirinya mengakui telah menyerah karena juga menginginkan sosok Claire.
“Pukullah. Ini salahku!” Tubuh Leo kini menjadi tameng agar Claire tidak turut terkena imbas amukan sang papa.
“Damian akan menikahi putriku! Dan kau rusak segalanya!”Pukulan dan tendangan menyerang tubuh Leo, tanpa perlawanan darinya. Namun, seakan pria itu tidak terlalu merasakan sakit. Masih berdiri kokoh menghadapi Steve yang menyerangnya membabi buta. Bahkan, tidak luput juga dari lemparan lampu di atas nakas yang hampir mengenai bagian kepala.
Suasana memanas, kamar pun kini tampak porak-poranda. Beberapa pelayan hanya berani mengintip dari luar kamar, tidak berani mencegah. Steve melampiaskan emosinya bertubi-tubi pada Leo, yang menodai putri kesayangannya. Tiba-tiba, sebuah teriakan muncul di tengah-tengah kegaduhan. Steve menghentikan serangannya. “Hentikan! Steve. Kau mempermalukan diri!” pekik Bernadeth, menjuruskan telunjuknya pada wajah Leo dan Claire bergantian. “Dan kalian! Bereskan kekacauan ini. Sangat menjijikan!” Wanita itu menarik lengan suaminya untuk segera beranjak dari ruangan itu. “Ayo, Steve, tunggu mereka jelaskan ini semua,” bujuknya.Keduanya kini sudah kembali berpakaian. Leo perlahan menghampiri hendak memeluk Claire. Pria bermata abu-abu itu cepat melingkarkan satu lengannya kuat di pinggang Claire yang semakin memberontak. Dia menatap paksa pada mata biru sang gadis yang masih tergenang air mata, berusaha menenangkan.
“Claire, dengarkan, ada yang senga—”“Berhenti memintaku! Ini semua salahmu, kau pengkhianat!” Claire terus memukul-mukul dada pria yang semakin merapatkan tubuhnya. “Berani sekali kau, Leo! Kau sahabatku!” Claire lantas menyambar kata-kata Leo,
Leo akhirnya bungkam untuk coba menjelaskan kronologi, dari separuh kesadarannya semalam. Ini bukan saat yang tepat di tengah emosi Claire. Dia memahami kejadian ini memang tidak bisa dimaafkan dengan alasan apa pun. Mulai lelah dan tidak mampu bicara, pekik Claire perlahan melemah, parau, kerongkongannya terasa kering akibat tangis yang tanpa henti. Lututnya kini lemas dah dia pun luruh dalam pelukan Leo.“Aku hanya mengikuti permainan. Tapi percayalah, aku akan bertanggung jawab dan akan membalaskan dendam ini.” Leo membatin.****“Apa yang kau tunggu, Steve? Usirlah mereka!” titah Bernadeth.Steve cepat membalikkan tubuh ke arah istrinya. “Tapi dia putriku, juga putrimu!” Bernadeth tampak bergeming. Masih angkuh melipat tangan di dada saat Steve membantah permintaannya yang terburu-buru. “Ya, si pembangkang yang mengotori rumah ini, dan nama baikmu. Pertimbangkan itu, Steve!” lanjutnya.Kejadian itu masih menggegerkan suasana pagi di mansion Tuan Steve. Bahkan para pelayan hanya berani mencuri dengar dari balik pintu ruang keluarga. Steve memanggil salah satu penjaga keamanan untuk meminta hasil CCTV semalam di luar kamar Leo. “Maaf, Tuan. Rekaman CCTV sudah terhapus, ka-kami tidak tahu, siapa yang melakukan ini.” Kedua penjaga itu saling melirik seakan menyembunyikan sesuatu.“Bodoh! Aku ingin memastikan, apa ini kesalahan putriku atau ini pelecehan!”“Tapi, Ayah. Aku lihat mereka! Mereka mabuk dan masuk ke kamar Leo. Aku melihatnya sendiri!” sambar Vanessa. Kedua tangan Steve terkepal kuat. Entah, ucapan Vanessa dan Bernadeth mungkin saja benar, tapi amarahnya seketika meledak saat sang istri memerintahkan untuk mengusir putri kandung dari mendiang istri pertamanya, yang sangat telak dan tanpa basa-basi. Karena Bernadeth hanyalah ibu sambung, yang tidak memiliki rasa sayang tulus seperti Steve menyayangi Claire.“Aku sangat kecewa padamu, Claire. Kami semua menyaksikan. Media pun pasti cepat mencium kabar skandal ini.” Steve mengusap wajah dengan kasar, kemudian menoleh pada Leo. “Kau, Pengawal! Kemasi barang-barangmu dan bawa Claire bersamamu! Sampah!”Leo langsung menjatuhkan pandangannya ke bawah, sebenarnya tidak tega pada Steve, dia enggan menjelaskan apa pun lagi. Akan tetapi, rahangnya masih mengeras setelah disudutkan dan dicerca oleh Bernadeth dan Vanessa, yang memberi kesaksian atas skandal itu. Sejak keluar dari kamar, dirinya dan Claire tidak henti diberondong hinaan dalam interogasi sepihak. Penjelasan Leo terus disangkal dan dianggap tidak masuk akal, hanya seperti kotoran di telinga mereka. “Aku akan mempertanggung jawabkan ini, Tuan Steve. Tapi beri kami kesempatan. Jika ingin membuat jera, hukum saja aku, Tuan!” Leo dengan tegas menjawab Steve.“Papa! Jangan, Pa. Kau satu-satunya yang kumiliki!” ucap Claire yang kini menghambur dan berlutut di hadapan Steve, meronta memeluk kaki sang ayah dengan tangisan lirih. Leo masih berdiri di tempatnya, dia sempat menggerakkan kakinya hendak menghampiri. Ingin sekali dirinya mengangkat tubuh gadis itu agar tidak perlu memohon seperti itu.“Wah, apa ini? Jadi mama bukan ibumu? Sudahlah, kau kini punya pengawal yang sudah tidur denganmu itu, kan?” sambar Vanessa.Sorot mata Leo langsung tertuju ke arah Vanessa, menatap penuh kebencian. Tangan kekarnya mengepal kuat ingin sekali membungkam mulut gadis itu.“Diam, Vanessa!” bentak Steve.“Sayang, Vanessa hanya menjelaskan. Tentu Claire tidak perlu bergantung padamu. Dia memilih pengawalnya, bahkan tidak segan-segan mencemarkan nama baikmu, bukan? Sadarlah, dia tidak peduli denganmu.” Bernadeth membujuk halus suaminya dengan tujuan menjatuhkan Claire.
Steve terdiam, menatap Claire yang bersimpuh di hadapannya. Pria tua yang masih tampak gagah itu mengerutkan dahi, menahan kesedihan terdalam untuk mengucapkan hal yang menyakitkan pada Claire nanti. Akan tetapi baginya, sengaja ataupun tidak, ini kecerobohan yang tidak pantas dimaafkan.Steve menoleh, mengarahkan pandangannya pada Leo. “Kau!” Tunjuk Steve. “Nikahi putriku. Dan jauhkan dia dariku!”
“Ap-apa? Ti-tidak, Papa, aku tidak mau!” teriak Claire histeris, menggeleng frustasi dan menangis sejadi-jadinya.
Tidak mengindahkan perkataan Claire. Steve justru melanjutkan ucapannya, “Siang ini. Segera kau urus segalanya di catatan sipil. Lalu pergi dari sini!” tegas Steve dengan suara bergetar, lalu bangkit hendak meninggalkan ruangan.Hati Steve seakan bergemuruh hebat. Di satu sisi, ucapan Bernadeth yang memanasi pikirannya sedari awal, sudah pasti akan membuat Claire jera. Sedangkan di sisi lain, dia seperti ingin melihat pertanggungjawaban Leo sebagai pelaku.
“Tuan Steve!” Leo maju mendekat.Langkah Steve berhenti, kemudian menoleh pada Leo saat melewatinya. “Beraninya kau menyebut namaku, Leo!” Tangannya mendorong sebelah bahu Leo dengan kesal. “Pegang ucapanmu untuk menjaga putriku!” Dia lantas mencengkeram kerah kemeja Leo dengan tangan bergetar. Steve sudah dibutakan oleh emosi. Ruangan megah itu seketika hening sesaat Steve meninggalkan mereka. Kini hanya menggema suara tangisan lirih Claire yang terdengar miris. Leo pun segera menghampiri untuk menguatkan, meraih kedua lengan gadis itu. Namun, Claire memberontak kasar melepaskan tangan Leo. “Lepaskan!” Dia berlari menuju kamar diiringi isak tangis. Leo pun berjalan ke luar ruangan. Dia melewati, melirik tajam pada Bernadeth dan Vanessa yang mengembangkan senyum licik.****
Sambil melangkah keluar dari gerbang tinggi mansion, matanya tidak beralih pada wajah Claire yang tampak pucat dan basah dengan air mata, gadis itu masih memandangi bangunan besar itu dengan raut kesedihan. Leo berjalan dari belakang, sambil membawakan beberapa koper milik Claire. Padahal dirinya hanya membawa pakaian yang kini melekat di tubuhTidak berapa lama kemudian, Leo menghentikan sebuah taksi. Dia menuntun Claire yang sempat tidak ingin beranjak dari depan pagar. Tangisan gadis itu semakin membuatnya miris. Karena hanya dalam hitungan jam, segalanya telah terenggut drastis akibat jebakan orang yang ingin menyingkirkannya.
Dalam perjalanan malam itu, masih di pertengahan kepadatan kota. Nampaknya tangisan Claire mulai mereda, karena kelelahan. Sesekali Leo mengawasi gerak-gerik gadis itu sambil memegang ponselnya, mengabari seseorang. Ingin rasanya memeluk, tapi dia belum siap akan sebuah penolakan lagi.
“Ke mana kita akan pergi? Kita akan menetap di mana, Leo. Cepat katakan!” tuntut Claire dengan suara parau.
“Perjalanan ini sedikit memakan waktu. Jangan pikirkan apa pun, istirahatlah.” Tangan Leo terangkat hendak menyentuh rambut pirang keemasan gadis itu, tapi sekali lagi tangannya pun ditepis.“Ugh! Berhenti menyentuhku. Itu saja kemampuanmu, huh?” Claire memicingkan mata dengan geram. “Kau bisa apa, Leo, hum? Lihat semua ini akibat kebodohanmu!” Sang pengemudi taksi sempat tersentak dan melirik dari kaca spion, kemudian sedikit membesarkan volume radio, tidak peduli dan tidak ingin terganggu.Leo menyugar rambut hitamnya dan menghela napas, menahan diri dari kemarahan Claire. Dia mengubah posisi duduk menghadap Claire, melempar tatapan dingin.“Tenanglah. Kecuali, jika kau masih ingin tahu perlakuanku yang lebih dari semalam,“ ucapnya sambil merendahkan suara. “Bagaimana …, Istriku?” “Penculik …!” teriak Claire.Malam itu. Setelah satu jam perjalanan keluar dari kota besar, taksi berhenti di sebuah tempat pengisian bensin di sudut daerah pedesaan, dengan lahan pertanian membentang luas. Suasana sekitar terasa sunyi dan redup, hanya cahaya bulan yang menerangi hamparan ladang gandum dan pepohonan rindang yang berjarak di sisi jalan. Leo menatap wajah Claire yang masih terlelap, ingin coba membangunkan, tapi tangannya terulur berat untuk menyentuh tubuh gadis itu secara langsung. Dia akhirnya hanya berani mencolek lengan sang gadis dengan ujung ponsel. “Claire, bangunlah. Kita sudah sampai.”Claire makin meringsutkan tubuh, sambil menjawab pelan, “Sebentar lagi … aku masih ingin tidur.”Kesal mendapat jawaban itu, Leo menggertak halus, “Bangun. Atau aku akan menciummu agar kau sulit bernapas.” Pikirannya pada Claire, tapi tatapannya tajam menatap layar ponsel.Sontak saja, Claire membuka mata dan menegakkan posisi duduknya, “Di mana kita? Pengisian bensin? Apa kita akan menginap di motel itu?
Tibalah mereka di ujung sebuah jalan dengan pemandangan rerumputan yang luas dan tidak ada lagi pohon-pohon berjajar di sisi jalan. Kendaraan mereka kini berbelok arah jalan menuju sebuah gerbang tinggi.Flint menghentikan mobil dan membuka kaca jendela. Dia dihampiri salah seorang penjaga yang melihat ke arah sang pengemudi, lalu menyapa dan mengangkat tangannya memberi hormat.“Tuan Flint?” ucap sang penjaga sedikit mengintip ke bagian dalam mobil.“Buka gerbangnya,” titah Flint. Sang penjaga yang sesaat tadi penasaran kini sigap memberi hormat lagi, ketika Leo yang tadinya melihat ke sisi lain kini menoleh memandangnya. “Tuan! Oh, tunggu … tunggu!”Penjaga itu segera memberitahu rekan-rekan penjaga lainnya. Sambil berlari, dia mengibaskan tangan dengan terburu-buru, segera membukakan gerbang agar mobil itu masuk.Flint pun kembali melajukan kendaraannya masuk, melewati sejajaran penjaga yang berdiri di samping gerbang besi tinggi yang kokoh dan berwarna hitam itu. Saat memasuk
Pria misterius itu pun bangkit dari kursi kebesarannya. Dia berjalan mendekat pada kedua pasangan yang datang tiba-tiba dan kini merapatkan punggung di pintu ruang kerjanya.Leo tersenyum bersandar sambil melipat tangan di depan dada, saat Claire menarik-narik lengan kemejanya berusaha mengajak keluar dari ruangan.“Leo, Leo, berbuatlah sesuatu … kumohon …,” bisik Claire dengan suara gemetar. “Sedang apa kalian di sini?” tanya pria itu, lalu menatap wajah Claire penuh curiga. “Dan … dia?” Pria berusia 60an itu kini berdiri di hadapan mereka, dia adalah Robert Goldstein, seorang ketua organisasi intelijen terbesar rahasia bernama GSI (The Golden Shield Intelligence). Robert yang berperawakan tinggi hampir setara dengan Leo, masih terlihat gagah meski seluruh rambutnya sudah tampak sebagian memutih. Paras tampannya yang berdarah Jerman–Amerika, mempertegas karakter wajahnya yang sekilas tampak dingin.Leo menatap Robert penuh arti saat keduanya sempat saling berpapasan mata. Dia pun me
Setelah dua jam akhirnya Leo pun kembali ke kamar. Berjalan masuk dengan menyelipkan tangan di saku celana. Sorot matanya kosong seakan dipenuhi pikiran. Dia lalu menghela napas dan menoleh pada Claire yang menangis terisak dengan menjatuhkan kening di layar ponsel. “Hei, kau kenapa?” Leo berjalan pelan menghampiri.Leo tidak mendapat jawaban apa pun. Disibaknya helai rambut Claire yang menutupi layar ponsel, lalu diraihnya ponsel itu perlahan dari tangan lemah sang gadis.Ibu jari Leo mengusap sisa tetesan air mata yang membasahi layar. Ingin segera mencari tahu penyebab Claire menangis. Matanya kini terfokus pada unggahan video singkat skandal antara dirinya dan gadis itu. Sejak tersebar kemarin pagi, sejumlah komentar negatif menyerang dari ribuan penonton, lebih parahnya unggahan itu turut dibagikan ulang.Rahang Leo mengeras, hatinya diliputi rasa dendam melihat situasi saat ini. Namun, saat dia tengah berusaha menahan diri, tiba-tiba Claire malah menghambur memeluk erat tubuhnya
Leo menghentikan langkah dan menoleh, melihat Claire berjalan pelan sambil berpegangan pada pagar anak tangga.“Maaf, aku lupa,” katanya sambil kembali naik mendekati Claire yang sempat menolak bantuannya. Leo lalu berjongkok di hadapannya. “Naiklah. Ayo, naik ke punggungku.”Claire mengerutkan kening, keheranan. “Apa lagi ini?”“Naiklah. Kita akan berkeliling.”“Tidak, tidak. Meski aku tidak tinggi, tapi aku ini berat, Leo.”Leo tersenyum lembut. “Bagiku kau seperti kapas. Ayo, cepatlah. Atau kupaksa mengangkatmu dari depan hingga kau tidak nyaman?” ancamnya setengah bercanda.“Ba-baiklah …! Jangan mengancam. Dasar kau ini!” Claire tersipu.Leo pun menggendong Claire menuruni tangga. Mereka berjalan melewati beberapa bagian di area taman yang luas itu. Di dekat maze, terdapat kolam renang berukuran besar, lapangan tenis, taman bunga dengan gazebo cantik terbuat dari besi tempa berwarna hitam, dan kolam air mancur dengan patung malaikat wanita berwarna hitam di tengahnya.Lelah mengi
Ruang makan besar itu memancarkan kemewahan dan kekuatan. Kristal-kristal lampu gantung yang memancarkan cahaya lembut menghiasi langit-langit yang tinggi. Meja makan panjang berlapis marmer dengan ukiran rumit tampak megah di tengah ruangan, dikelilingi kursi-kursi berlapis beludru. Lukisan-lukisan klasik menghiasi dinding, menambah nuansa aristokratis yang mencerminkan kekayaan dan kekuasaan keluarga Goldstein.Leo dan Claire sedang bersiap-siap untuk memasuki ruang makan besar tersebut. Claire mengenakan gaun malam hitam yang elegan, sementara Leo dalam setelan jas hitam yang sempurna, tampak berbeda dari penampilannya yang biasa dalam penyamaran sebagai pengawal Claire."Claire, kau siap?" tanya Leo dengan nada tenang dan tegas, memandang ke arah Claire yang sedikit gugup.Claire mengangguk, meskipun terlihat jelas bahwa dia merasa tidak nyaman dengan situasi ini. "Ya, aku siap. Tapi, apakah kita benar-benar harus melakukan ini?"Leo menuntun Claire ke arah pintu ruang makan, tapi
Setelah makan malam yang mewah bersama Trevor McCollin dan putranya, Damian. Suasana di rumah keluarga Goldstein terasa sedikit lebih santai. Trevor dan Robert tengah terlibat dalam pembicaraan privat di ruang kerja. Pembicaraan mereka penuh dengan strategi dan rencana untuk mengatasi masalah pertambangan yang sedang dihadapi Trevor di Afrika. Namun, di ruang utama, fokus utama Leo adalah Damian, yang sengaja akan dipancing segala informasi agar membuka diri tentang kehidupannya. Keduanya duduk di sofa kulit yang nyaman, menikmati segelas wine merah yang disajikan oleh pelayan. Percakapan mereka mengalir dari topik bisnis hingga ke urusan pribadi, menciptakan suasana yang lebih akrab."Jadi, Leo," kata Damian, menyandarkan dirinya dengan santai. "Sangat kebetulan, aku pun ingin menyampaikan kabar ini padamu. Ini waktu yang tepat.”“Oh, sesuatu yang menarik? Katakan.” Leo menyungging senyum sambil menggoyangkan gelas wine-nya pelan. “Aku akan bertunangan dalam waktu dekat. Aku berenc
"Ya," jawab Leo, menghela napas. "Aku tidak tahu apa rencana mereka, tapi kita harus waspada."Sebelum Claire bisa menanggapi, mereka mendengar suara langkah kaki mendekat. Robert, ayah Leo, memasuki ruangan. Tatapan curiganya jatuh pada Claire yang masih mengenakan gaun indahnya. "Kenapa Claire masih di sini, Leo? Dengan gaun sebagus itu, dia seharusnya di luar menikmati acara."Claire tampak gugup, bingung harus menjawab apa. Leo cepat-cepat menjawab, "Kami hanya ingin berbicara sebentar, Ayah."Robert mengamati Leo dan Claire dengan cermat, mencurigai ada sesuatu yang disembunyikan. "Benarkah? Terlalu banyak kebetulan. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"Leo menunduk, merasa beban berat di pundaknya. Robert sudah mengetahui berita yang tersebar di media sosial tentang skandal Leo dan Claire. Bukan hanya marah karena Leo telah menyamar sebagai pengawal, tetapi juga karena Robert sebenarnya memiliki rencana besar untuk membalas dendam pada keluarga Foster dengan menyingkirkan Clair
Ketegangan terus bergulir hari demi hari, Claire tetap merasakan aura yang sama setiap kali berada di tengah-tengah keluarga Goldstein. Dia mulai tidak yakin keberadaan Alexandra akan membawanya pada kedamaian di dalam mansion itu. Entah sampai kapan dirinya bertahan sebagai menantu dan adik ipar yang tidak pernah diharapkan.Alexandra mengantar Claire ke dalam kamar, berusaha menenangkan sang adik ipar yang kembali terlihat ketakutan. Gemetar tubuh gadis itu bisa dirasakan olehnya, saat merangkul dan mengajak kembali ke dalam kamar. Ditambah sikap sinis Robert mengetahui Claire tidak menghabiskan makan malamnya, hal yang melanggar aturan keluarga Goldstein sejak dulu. Kamar Claire tampak nyaman dengan perabotan mewah, tetapi atmosfernya terasa suram, mencerminkan suasana hati penghuninya. Claire masih tampak gelisah, tetapi Alexandra berusaha menenangkan dengan senyuman hangat dan sikap lembut."Claire, maafkan sikap ayah dan adikku. Kami memiliki aturan yang kuat di dalam keluarga
“I-iya. Siapa kau?” ucap Claire sembari meremas dan memeluk selimut tebalnya. Tatapan Alexandra semakin aneh, bingung, kenapa gadis ini melihatnya seperti hantu. Namun, menyadari ini semua hasil tekanan dari Robert dan Ivand, seketika dia pun mengubah ekpresinya. Langsung mengembangkan senyum dan menatap Claire dengan iba. “Perkenalkan. Alexandra, anak tertua Goldstein.” Dengan gaya bicara tegas, tapi ramah. Alexandra mengulurkan jabat tangan. Claire masih mendelik karena tengah waspada, perlahan menurunkan pandangan pada uluran tangan Alexandra. “Se-senang bertemu denganmu.” Telapak tangan Claire terasa dingin, bukan karena udara malam di dalam ruangan. Akan tetapi, sebuah ketakutan mendalam begitu terasa, hingga tubuhnya merespon berlebihan. “Ada apa, Claire? Kenapa kau makan malam di kamarmu. Sebaiknya kau bergabung dengan kami di ruang makan, ayolah,” ajaknya sambil tersenyum ramah. Wanita bertubuh tinggi itu tahu, dia tidak boleh membuat Claire semakin takut.
Ketika Alexandra tiba di mansion, suasana tegang langsung terasa. Mobil mewah yang dikendarainya berhenti tepat di depan pintu utama, menarik perhatian semua orang di sekitar. Pintu mobil terbuka, dan Alexandra keluar dengan anggun, mengenakan pakaian desainer yang menunjukkan kesuksesannya di dunia fashion. Rambut pirangnya tergerai sempurna, dan tatapan matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia bukan lagi gadis yang pernah meninggalkan rumah ini.Saat memasuki ruang utama, Alexandra menurunkan kacamata hitamnya dan melihat suasana mansion yang masih sama seperti dia tinggalkan dulu. “Bau yang masih sama,” ucapnya sambil menghirup dalam-dalam, lalu mengempaskan napas lega. “Kau,” panggil seorang pria paruh baya.Alexa membalikkan tubuhnya dan dilihatnya kini wajah Robert, sang ayah, menatapnya dengan heran. “Ya, aku. Terkejut?”Robert Goldstein, dengan pandangan tajamnya, menyambut kedatangan putrinya yang sudah lama pergi. "Alexandra, apa yang membawamu kembali?" tanyanya dengan su
Di saat yang sama, Claire di mansion keluarga Goldstein merasakan kesepian dan ketidakpastian yang semakin dalam. Meskipun dia tahu apa yang Leo hadapi, dia berharap sang suami akan segera kembali dan membawanya keluar dari mimpi buruk.Claire merasa semakin tertekan. Di samping itu, Ivand terus membuatnya merasa tidak nyaman dengan pandangan sinis dan sikapnya yang misterius. Gadis itu tidak tahu apa-apa tentang dendam keluarga Goldstein, hanya merasakan ketegangan yang menyelimuti rumah besar itu.Sedangkan Robert, kini telah melarang Leo mengakses mansion untuk sementara waktu, hingga membuat Claire merasa semakin terisolasi. Tanpa ada yang bisa diandalkan di mansion dalam waktu dekat. Gadis itu mulai berpikir untuk kabur dan mencari bantuan di luar yaitu Flint.Malam itu, di balkon kamar, Claire memandang ke arah langit dengan perasaan cemas. Dia memikirkan Leo, berharap akan kembali dengan selamat. Sang gadis menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa cemas yang menggerogoti pi
Di sebuah ruang briefing yang tersembunyi, Leo berdiri di depan papan digital yang memproyeksikan peta kawasan konflik. Di sekelilingnya, lima anggota tim utama intelijen terbaiknya duduk dan siap untuk memberikan instruksi pada para agen lapangan."Baiklah, semua," kata Leo, membuka rapat dengan nada tegas. "Kita punya misi kritis di depan kita. Agen kita, John, telah ditawan oleh kelompok pemberontak di sektor ini," ujarnya sambil menunjuk pada titik merah di peta."Informasi terbaru yang kita dapatkan menunjukkan bahwa mereka menggunakannya sebagai alat tawar-menawar," tambah Leo. "Pemimpin pemberontak, dikenal sebagai Kael, meminta tebusan besar. Tapi kita tidak akan menyerah pada tuntutan mereka."Ethan, seorang ahli strategi, mengangkat tangan. "Bagaimana kita memastikan keselamatan John tanpa menuruti tuntutan mereka?""Kita akan menggunakan elemen kejutan dan strategi psikologis. Rencana kita adalah menyerang markas mereka secara diam-diam, menciptakan kekacauan dan ketakutan
Di kawasan konflik yang membahayakan, Leo berusaha tetap fokus. Malam itu pikirannya terasa dipenuhi masalah. Namun, dia tidak bisa membiarkan semua terbengkalai karena masalah pribadi. Para agen mengandalkan strateginya yang cerdas untuk menyelamatkan salah seorang anak buah Leo. Sejumlah uang tebusan telah dia siapkan untuk menebus seorang agen yang tertangkap oleh musuh. Meski pikirannya terpecah, hatinya hancur memikirkan Claire, yang mungkin tidak aman di mansion keluarga mereka. Leo merasa Ivand adalah sosok yang dingin serta ambisius, dan jika didukung oleh Robert, maka semuanya akan lebih rumit. Itu bisa saja mengancam keselamatan Claire.Leo menghela napas panjang, mencari solusi di tengah kebingungannya. Dia tahu hanya ada satu orang yang bisa dia percayai dalam situasi genting ini: Alexandra, sang kakak pertama yang kini memilih tinggal di Paris.Kini Leo dengan berat hati menghubungi Alexandra membawa sebuah harapan besar. Setelah beberapa nada sambung, Alexandra akhirnya
Di suatu tempat yang jauh dari rumahnya, Leo duduk di dalam ruangan kecil yang hanya diterangi oleh lampu redup. Suasana tegang menyelimuti ruangan tersebut, seiring dengan tekanan dari misi berbahaya yang diemban. Meskipun pikirannya terfokus pada tugasnya, Leo tidak bisa mengusir bayang-bayang Claire dari benaknya. Sang istri, yang kini terpisah jauh darinya, menjadi satu-satunya pikiran yang menghiburnya di tengah kegelapan dan ketegangan.Beberapa kali Leo mencoba menghubungi Claire menggunakan nomor yang tidak terlacak, takut mengungkapkan keberadaannya dengan terang-terangan. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengirim pesan agar Claire tahu itu adalah panggilan darinya.Leo : [ Claire. Bagaimana kondisimu? Tolong jawab panggilanku. ]Saat akhirnya ponselnya berbunyi dan nama Claire muncul di layar, Leo merasakan campuran antara lega dan cemas dalam hatinya."Leo …." Suara Claire yang terdengar pelan dan lirih, seakan tersirat penuh rasa rindu."Claire, apa yang terjadi? Apa Ivand
Claire duduk di sebuah Sun Lounger menikmati kesendirian di malam yang sepi. Saat seorang pria bertubuh tegap menghampiri dan membuatnya seketika merasa lebih tenang. Dia mengira pria yang mendekat itu adalah Leo, hanya saja cara berjalan yang kaku dan misterius membuatnya ragu. Semakin dekat, Claire baru menyadari bahwa pria itu adalah Ivand, sang kakak ipar yang selalu terlihat dingin dan penuh teka-teki.Kegugupan menjalar di seluruh tubuhnya, saat Ivand tiba-tiba duduk di kursi sebelahnya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi tatapan Ivand yang dingin membuatnya merasa tidak nyaman. Membuatnya sigap menegakkan duduknya, padahal sedari tadi dia sedikit merebah di atas kursi yang berbentuk panjang itu."Apa yang kau lakukan di sini, Claire?" tanya Ivand dengan suara datar.Claire merasakan tenggorokannya mengering, tetapi dia berusaha menjaga suaranya tetap stabil. "Oh, hanya ingin menikmati malam," jawabnya sambil meremas tepi gaunnya di samping kursi. Jari-jarinya yang gem
Siang itu, Leo menerima panggilan mendadak yang mengharuskannya kembali ke kota untuk rapat penting. Informasi yang disampaikan begitu mendesak sehingga membuat Leo harus meyakinkan Claire bahwa dia tak akan lama pergi. Meski demikian, keraguan menghantuinya. Meninggalkan Claire sendirian di mansion bukanlah keputusan yang mudah. Sebelum keberangkatannya sore itu, Leo memberikan pesan tegas kepada Robert."Claire akan baik-baik saja, Leo. Aku berjanji," kata Robert, meyakinkan anaknya."Pastikan kau menepati janji itu, Ayah," balas Leo. "Aku tidak ingin ada sesuatu yang buruk terjadi padanya."“Perasaanmu membuatku khawatir, Nak. Apa ini artinya kau tidak mempercayai ayahmu sendiri?”“Bukan begitu, Ayah. Tolong pikirkan kembali, aku berharap bisa mengubur masa lalu itu.”Robert tersenyum dingin. “Seandainya kau, putraku, tahu penderitaan di dalam penjara. Kau tidak akan berbicara semudah itu.” Dia membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkan Leo. “Pergilah.”Leo dengan kebimbangan men