"Sial! Harus bagaimana sekarang!" Leo memukuli keningnya, meremas rambutnya sendiri, terjebak antara keinginan melindungi Claire dan keinginan yang semakin kuat terhadapnya.
"Tolong, bertahanlah. Aku akan berusaha membuat kita keluar dari ruangan ini," kata Leo, suaranya serak penuh urgensi. Dia berdiri tegap, matanya memindai setiap sudut ruangan. Sebagai pengawal keluarga kaya raya di Amerika Serikat, Leo terjebak dalam situasi yang paling tidak diharapkannya. "Kurang ajar! Siapa yang berani melakukan ini!" umpatnya keras.
Leo memukuli pintu, hingga melukai kepalan tangannya. Pria bertubuh tinggi itu semakin frustasi, usaha yang sia-sia sejak lima belas menit lalu dia siuman. Tidak ada sahutan, seolah bangunan besar ini tidak dihuni siapa pun.
Jantungnya semakin berdegup kencang, Leo membuang napas kasar memperhatikan Claire tampak berbaring gelisah di atas ranjang, gaunnya tergeletak di lantai dan tubuhnya hanya tertutup selimut tipis. Claire—nona majikannya, setengah sadar, jelas menjadi korban skenario yang dirancang oleh seseorang.
Hal itu sungguh mengganggu pikiran pria lajang seperti Leo. Kemejanya sudah terbuka dan kusut, tubuhnya terasa panas yang tidak biasa. Adrenalinnya meningkat drastis."Leo, kemarilah … bantu aku bangun," Claire memanggil lirih, suaranya memancing hasrat tersembunyi Leo.Beberapa jam lalu, keduanya berada di pesta, ulang tahun perusahaan dari salah seorang kolega bisnis. Namun dengan begitu singkat, kini mereka terjebak dalam kondisi tidak layak dilihat.
Leo sulit berpikir siapa yang merancang semua ini. Ingatannya kembali pada saat di pesta. Hanya segelas wine yang diteguknya, agar tetap siaga. Sedangkan sang nona, Claire, hanya menikmati jus lemon suguhan kakaknya. Tidak ada yang mencurigakan, tapi jelas ada kelengahan. Jebakan ini hampir sempurna. Efek obat perangsang yang mereka rasakan kini membuat Leo semakin frustasi.“Benar-benar sial!” Pria itu memukuli kening lalu meremas rambutnya sendiri, tersiksa dalam hati karena menginginkan gadis itu.Langkahnya ragu dan berusaha mendekat ke arah tempat tidur. Dia hendak meraih selimut tebal berwarna putih di ujung kaki Claire. Meski berusaha membuang pandangan, tetapi suara lirih suara gadis itu membuat gila isi otaknya.
Saat Leo menaikkan selimut itu untuk menutupi tubuh Claire, tangan gadis itu tiba-tiba menangkap dan menahan lengan kekarnya. Sentuhan jari-jari lentik itu merambat ke pundaknya, dia semakin terpancing pikiran kotor.
"Jangan pergi, Leo," ucap Claire lirih, suaranya begitu mengundang. "Tubuhku panas, apa yang terjadi," rintihnya dengan mata terpejam.Leo mengembuskan napas kasar, jantungnya berdetak semakin cepat. Ditatapnya wajah Claire yang semakin dekat, dirasakannya embusan napas halus sang gadis yang semakin tidak teratur.
“Nona Claire, maafkan aku. Aku tidak mampu menahan diri.” Leo menggigit bibirnya sendiri, menggeleng, menatap tidak tega. “Ini jebakan, ini yang mereka inginkan. Akan kuikuti dan akan mempertanggung jawabkan ini, Claire.” Leo membatin.
Segera Leo mengangkat dan memeluk tubuh gadis itu. Rengkuhan sang gadis semakin kuat pada pundaknya. Hingga kini bibir keduanya saling bertautan mesra. Pikiran jernih itu terkalahkan. Tidak menunggu waktu lama. Begitu cepat situasi itu meningkat, hingga Leo dan Claire larut dalam suasana bercinta yang begitu hebat.
Semuanya berlangsung lama tanpa kendali, hingga keduanya lelah dan terlelap tidur, hingga kemudian seseorang mendobrak pintu dan membangunkan keduanya.
“Tuhan! Apa yang sudah kalian lakukan?!” teriak seorang wanita usia kisaran 50 tahunan, dia adalah Nyonya Bernadeth—ibu tiri Claire..
Nyonya Bernadeth dan Vanessa, adik tiri Claire, berhambur masuk ke kamar, menyaksikan kejadian fatal antara Claire dan Leo. Amarah sang ibu meledak disertai tatapan miris pada anak gadis tirinya. Sementara Vanessa tersenyum sinis, matanya mencuri pandang pada tubuh Leo dengan tatapan nakal.“Mama!” Chloe sontak terkejut lalu menoleh pada Leo yang berada di sebelahnya. “Kau?!” Wajah gadis itu merona malu dan bercampur emosi. Ditambah lagi ketika dia mengintip di bawah selimut tebal itu, dirinya tanpa sehelai pakaian.Begitupun Leo yang turut panik. Dia segera bangkit meraih kemejanya yang terjatuh di sisi tempat tidur. “Tunggu dulu, Nyonya Bernadeth, dengarkan aku!” Pria itu beralih pandangan pada Claire. “Claire, aku akan jelaskan, jangan salah mengira!” “Diam, Leo!” Claire membentak dengan suara yang masih parau. Pandangannya bergeser pada dua orang yang berdiri di ujung tempat tidur. “Aku tidak ingat apa pun! Mama, kumohon …. Vanessa, kau harus percaya padaku, ini bukan salahku. Tolong, bantu aku!” Claire mengiba.Baru saja Leo hendak memasukkan lengan pada kemejanya, tiba-tiba dia tersentak, menyadari gelagat licik Vanessa. Langkahnya pun sigap menghampiri dan menepis ponsel di tangan gadis itu.
“Singkirkan itu! Berani sekali kau!” Leo menyadari vanessa yang mengambil kesempatan merekam keadaan Claire yang sangat memalukan.
Ponsel Vanessa terpental jauh ke sudut ruangan, membentur dinding hingga hancur. Leo tidak bisa menahan diri lagi, tatapannya yang tajam seakan ingin membunuh Vanessa, hingga membuat nyali gadis itu pun menciut.“Hey! Ganti ponselku!” Vanessa masih sempat berusaha menyentuh dada pria yang belum sempat menutup kancing kemejanya.
Leo menepis kasar tangan Vanessa. “Singkirkan tanganmu!”“Oh, kau, Pria miskin! Pria setampan dirimu sepertinya ingin cepat kaya. Kau pasti ingin uang kami, bukan?” cibir Vanessa merasa mendapat penolakan.“Tidak sama sekali! Dan jaga bicaramu!”
“Oh, maafkan. Itu sudah terunggah ke media sosial,” ucap Vanessa ringan.Keributan di dalam kamar terdengar hingga ke luar, memancing beberapa pelayan rumah berdiri mengamati situasi. Tiba-tiba, seorang pria paruh baya menerobos masuk, memecah keramaian.Mata Tuan Steve membelalak. Melihat putrinya dalam kondisi tanpa busana di balik selimut tebal, pria itu maju tanpa basa-basi dan melayangkan pukulan pada Leo.
"Brengsek! Kau apakan putriku!!"
Pukulan itu menghantam bawah rahang. Nyaris mengenai wajah pria yang bertubuh lebih tinggi dari Steve itu. Leo pun tidak mengelak apalagi membalas. Meski tengah terjebak, dirinya mengakui telah menyerah karena juga menginginkan sosok Claire. “Pukullah. Ini salahku!” Tubuh Leo kini menjadi tameng agar Claire tidak turut terkena imbas amukan sang papa.“Damian akan menikahi putriku! Dan kau rusak segalanya!” Pukulan dan tendangan menyerang tubuh Leo, tanpa perlawanan darinya. Namun, seakan pria itu tidak terlalu merasakan sakit. Masih berdiri kokoh menghadapi Steve yang menyerangnya membabi buta. Bahkan, tidak luput juga dari lemparan lampu di atas nakas yang hampir mengenai bagian kepala. Suasana memanas, kamar pun kini tampak porak-poranda. Beberapa pelayan hanya berani mengintip dari luar kamar, tidak berani mencegah. Steve melampiaskan emosinya bertubi-tubi pada Leo, yang menodai putri kesayangannya. Tiba-tiba, sebuah teriakan muncul di tengah-tengah kegaduhan. Steve menghentikan
Malam itu. Setelah satu jam perjalanan keluar dari kota besar, taksi berhenti di sebuah tempat pengisian bensin di sudut daerah pedesaan, dengan lahan pertanian membentang luas. Suasana sekitar terasa sunyi dan redup, hanya cahaya bulan yang menerangi hamparan ladang gandum dan pepohonan rindang yang berjarak di sisi jalan. Leo menatap wajah Claire yang masih terlelap, ingin coba membangunkan, tapi tangannya terulur berat untuk menyentuh tubuh gadis itu secara langsung. Dia akhirnya hanya berani mencolek lengan sang gadis dengan ujung ponsel. “Claire, bangunlah. Kita sudah sampai.”Claire makin meringsutkan tubuh, sambil menjawab pelan, “Sebentar lagi … aku masih ingin tidur.”Kesal mendapat jawaban itu, Leo menggertak halus, “Bangun. Atau aku akan menciummu agar kau sulit bernapas.” Pikirannya pada Claire, tapi tatapannya tajam menatap layar ponsel.Sontak saja, Claire membuka mata dan menegakkan posisi duduknya, “Di mana kita? Pengisian bensin? Apa kita akan menginap di motel itu?
Tibalah mereka di ujung sebuah jalan dengan pemandangan rerumputan yang luas dan tidak ada lagi pohon-pohon berjajar di sisi jalan. Kendaraan mereka kini berbelok arah jalan menuju sebuah gerbang tinggi.Flint menghentikan mobil dan membuka kaca jendela. Dia dihampiri salah seorang penjaga yang melihat ke arah sang pengemudi, lalu menyapa dan mengangkat tangannya memberi hormat.“Tuan Flint?” ucap sang penjaga sedikit mengintip ke bagian dalam mobil.“Buka gerbangnya,” titah Flint. Sang penjaga yang sesaat tadi penasaran kini sigap memberi hormat lagi, ketika Leo yang tadinya melihat ke sisi lain kini menoleh memandangnya. “Tuan! Oh, tunggu … tunggu!”Penjaga itu segera memberitahu rekan-rekan penjaga lainnya. Sambil berlari, dia mengibaskan tangan dengan terburu-buru, segera membukakan gerbang agar mobil itu masuk.Flint pun kembali melajukan kendaraannya masuk, melewati sejajaran penjaga yang berdiri di samping gerbang besi tinggi yang kokoh dan berwarna hitam itu. Saat memasuk
Pria misterius itu pun bangkit dari kursi kebesarannya. Dia berjalan mendekat pada kedua pasangan yang datang tiba-tiba dan kini merapatkan punggung di pintu ruang kerjanya.Leo tersenyum bersandar sambil melipat tangan di depan dada, saat Claire menarik-narik lengan kemejanya berusaha mengajak keluar dari ruangan.“Leo, Leo, berbuatlah sesuatu … kumohon …,” bisik Claire dengan suara gemetar. “Sedang apa kalian di sini?” tanya pria itu, lalu menatap wajah Claire penuh curiga. “Dan … dia?” Pria berusia 60an itu kini berdiri di hadapan mereka, dia adalah Robert Goldstein, seorang ketua organisasi intelijen terbesar rahasia bernama GSI (The Golden Shield Intelligence). Robert yang berperawakan tinggi hampir setara dengan Leo, masih terlihat gagah meski seluruh rambutnya sudah tampak sebagian memutih. Paras tampannya yang berdarah Jerman–Amerika, mempertegas karakter wajahnya yang sekilas tampak dingin.Leo menatap Robert penuh arti saat keduanya sempat saling berpapasan mata. Dia pun me
Setelah dua jam akhirnya Leo pun kembali ke kamar. Berjalan masuk dengan menyelipkan tangan di saku celana. Sorot matanya kosong seakan dipenuhi pikiran. Dia lalu menghela napas dan menoleh pada Claire yang menangis terisak dengan menjatuhkan kening di layar ponsel. “Hei, kau kenapa?” Leo berjalan pelan menghampiri.Leo tidak mendapat jawaban apa pun. Disibaknya helai rambut Claire yang menutupi layar ponsel, lalu diraihnya ponsel itu perlahan dari tangan lemah sang gadis.Ibu jari Leo mengusap sisa tetesan air mata yang membasahi layar. Ingin segera mencari tahu penyebab Claire menangis. Matanya kini terfokus pada unggahan video singkat skandal antara dirinya dan gadis itu. Sejak tersebar kemarin pagi, sejumlah komentar negatif menyerang dari ribuan penonton, lebih parahnya unggahan itu turut dibagikan ulang.Rahang Leo mengeras, hatinya diliputi rasa dendam melihat situasi saat ini. Namun, saat dia tengah berusaha menahan diri, tiba-tiba Claire malah menghambur memeluk erat tubuhnya
Leo menghentikan langkah dan menoleh, melihat Claire berjalan pelan sambil berpegangan pada pagar anak tangga.“Maaf, aku lupa,” katanya sambil kembali naik mendekati Claire yang sempat menolak bantuannya. Leo lalu berjongkok di hadapannya. “Naiklah. Ayo, naik ke punggungku.”Claire mengerutkan kening, keheranan. “Apa lagi ini?”“Naiklah. Kita akan berkeliling.”“Tidak, tidak. Meski aku tidak tinggi, tapi aku ini berat, Leo.”Leo tersenyum lembut. “Bagiku kau seperti kapas. Ayo, cepatlah. Atau kupaksa mengangkatmu dari depan hingga kau tidak nyaman?” ancamnya setengah bercanda.“Ba-baiklah …! Jangan mengancam. Dasar kau ini!” Claire tersipu.Leo pun menggendong Claire menuruni tangga. Mereka berjalan melewati beberapa bagian di area taman yang luas itu. Di dekat maze, terdapat kolam renang berukuran besar, lapangan tenis, taman bunga dengan gazebo cantik terbuat dari besi tempa berwarna hitam, dan kolam air mancur dengan patung malaikat wanita berwarna hitam di tengahnya.Lelah mengi
Ruang makan besar itu memancarkan kemewahan dan kekuatan. Kristal-kristal lampu gantung yang memancarkan cahaya lembut menghiasi langit-langit yang tinggi. Meja makan panjang berlapis marmer dengan ukiran rumit tampak megah di tengah ruangan, dikelilingi kursi-kursi berlapis beludru. Lukisan-lukisan klasik menghiasi dinding, menambah nuansa aristokratis yang mencerminkan kekayaan dan kekuasaan keluarga Goldstein.Leo dan Claire sedang bersiap-siap untuk memasuki ruang makan besar tersebut. Claire mengenakan gaun malam hitam yang elegan, sementara Leo dalam setelan jas hitam yang sempurna, tampak berbeda dari penampilannya yang biasa dalam penyamaran sebagai pengawal Claire."Claire, kau siap?" tanya Leo dengan nada tenang dan tegas, memandang ke arah Claire yang sedikit gugup.Claire mengangguk, meskipun terlihat jelas bahwa dia merasa tidak nyaman dengan situasi ini. "Ya, aku siap. Tapi, apakah kita benar-benar harus melakukan ini?"Leo menuntun Claire ke arah pintu ruang makan, tapi
Setelah makan malam yang mewah bersama Trevor McCollin dan putranya, Damian. Suasana di rumah keluarga Goldstein terasa sedikit lebih santai. Trevor dan Robert tengah terlibat dalam pembicaraan privat di ruang kerja. Pembicaraan mereka penuh dengan strategi dan rencana untuk mengatasi masalah pertambangan yang sedang dihadapi Trevor di Afrika. Namun, di ruang utama, fokus utama Leo adalah Damian, yang sengaja akan dipancing segala informasi agar membuka diri tentang kehidupannya. Keduanya duduk di sofa kulit yang nyaman, menikmati segelas wine merah yang disajikan oleh pelayan. Percakapan mereka mengalir dari topik bisnis hingga ke urusan pribadi, menciptakan suasana yang lebih akrab."Jadi, Leo," kata Damian, menyandarkan dirinya dengan santai. "Sangat kebetulan, aku pun ingin menyampaikan kabar ini padamu. Ini waktu yang tepat.”“Oh, sesuatu yang menarik? Katakan.” Leo menyungging senyum sambil menggoyangkan gelas wine-nya pelan. “Aku akan bertunangan dalam waktu dekat. Aku berenc
Ketegangan terus bergulir hari demi hari, Claire tetap merasakan aura yang sama setiap kali berada di tengah-tengah keluarga Goldstein. Dia mulai tidak yakin keberadaan Alexandra akan membawanya pada kedamaian di dalam mansion itu. Entah sampai kapan dirinya bertahan sebagai menantu dan adik ipar yang tidak pernah diharapkan.Alexandra mengantar Claire ke dalam kamar, berusaha menenangkan sang adik ipar yang kembali terlihat ketakutan. Gemetar tubuh gadis itu bisa dirasakan olehnya, saat merangkul dan mengajak kembali ke dalam kamar. Ditambah sikap sinis Robert mengetahui Claire tidak menghabiskan makan malamnya, hal yang melanggar aturan keluarga Goldstein sejak dulu. Kamar Claire tampak nyaman dengan perabotan mewah, tetapi atmosfernya terasa suram, mencerminkan suasana hati penghuninya. Claire masih tampak gelisah, tetapi Alexandra berusaha menenangkan dengan senyuman hangat dan sikap lembut."Claire, maafkan sikap ayah dan adikku. Kami memiliki aturan yang kuat di dalam keluarga
“I-iya. Siapa kau?” ucap Claire sembari meremas dan memeluk selimut tebalnya. Tatapan Alexandra semakin aneh, bingung, kenapa gadis ini melihatnya seperti hantu. Namun, menyadari ini semua hasil tekanan dari Robert dan Ivand, seketika dia pun mengubah ekpresinya. Langsung mengembangkan senyum dan menatap Claire dengan iba. “Perkenalkan. Alexandra, anak tertua Goldstein.” Dengan gaya bicara tegas, tapi ramah. Alexandra mengulurkan jabat tangan. Claire masih mendelik karena tengah waspada, perlahan menurunkan pandangan pada uluran tangan Alexandra. “Se-senang bertemu denganmu.” Telapak tangan Claire terasa dingin, bukan karena udara malam di dalam ruangan. Akan tetapi, sebuah ketakutan mendalam begitu terasa, hingga tubuhnya merespon berlebihan. “Ada apa, Claire? Kenapa kau makan malam di kamarmu. Sebaiknya kau bergabung dengan kami di ruang makan, ayolah,” ajaknya sambil tersenyum ramah. Wanita bertubuh tinggi itu tahu, dia tidak boleh membuat Claire semakin takut.
Ketika Alexandra tiba di mansion, suasana tegang langsung terasa. Mobil mewah yang dikendarainya berhenti tepat di depan pintu utama, menarik perhatian semua orang di sekitar. Pintu mobil terbuka, dan Alexandra keluar dengan anggun, mengenakan pakaian desainer yang menunjukkan kesuksesannya di dunia fashion. Rambut pirangnya tergerai sempurna, dan tatapan matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia bukan lagi gadis yang pernah meninggalkan rumah ini.Saat memasuki ruang utama, Alexandra menurunkan kacamata hitamnya dan melihat suasana mansion yang masih sama seperti dia tinggalkan dulu. “Bau yang masih sama,” ucapnya sambil menghirup dalam-dalam, lalu mengempaskan napas lega. “Kau,” panggil seorang pria paruh baya.Alexa membalikkan tubuhnya dan dilihatnya kini wajah Robert, sang ayah, menatapnya dengan heran. “Ya, aku. Terkejut?”Robert Goldstein, dengan pandangan tajamnya, menyambut kedatangan putrinya yang sudah lama pergi. "Alexandra, apa yang membawamu kembali?" tanyanya dengan su
Di saat yang sama, Claire di mansion keluarga Goldstein merasakan kesepian dan ketidakpastian yang semakin dalam. Meskipun dia tahu apa yang Leo hadapi, dia berharap sang suami akan segera kembali dan membawanya keluar dari mimpi buruk.Claire merasa semakin tertekan. Di samping itu, Ivand terus membuatnya merasa tidak nyaman dengan pandangan sinis dan sikapnya yang misterius. Gadis itu tidak tahu apa-apa tentang dendam keluarga Goldstein, hanya merasakan ketegangan yang menyelimuti rumah besar itu.Sedangkan Robert, kini telah melarang Leo mengakses mansion untuk sementara waktu, hingga membuat Claire merasa semakin terisolasi. Tanpa ada yang bisa diandalkan di mansion dalam waktu dekat. Gadis itu mulai berpikir untuk kabur dan mencari bantuan di luar yaitu Flint.Malam itu, di balkon kamar, Claire memandang ke arah langit dengan perasaan cemas. Dia memikirkan Leo, berharap akan kembali dengan selamat. Sang gadis menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa cemas yang menggerogoti pi
Di sebuah ruang briefing yang tersembunyi, Leo berdiri di depan papan digital yang memproyeksikan peta kawasan konflik. Di sekelilingnya, lima anggota tim utama intelijen terbaiknya duduk dan siap untuk memberikan instruksi pada para agen lapangan."Baiklah, semua," kata Leo, membuka rapat dengan nada tegas. "Kita punya misi kritis di depan kita. Agen kita, John, telah ditawan oleh kelompok pemberontak di sektor ini," ujarnya sambil menunjuk pada titik merah di peta."Informasi terbaru yang kita dapatkan menunjukkan bahwa mereka menggunakannya sebagai alat tawar-menawar," tambah Leo. "Pemimpin pemberontak, dikenal sebagai Kael, meminta tebusan besar. Tapi kita tidak akan menyerah pada tuntutan mereka."Ethan, seorang ahli strategi, mengangkat tangan. "Bagaimana kita memastikan keselamatan John tanpa menuruti tuntutan mereka?""Kita akan menggunakan elemen kejutan dan strategi psikologis. Rencana kita adalah menyerang markas mereka secara diam-diam, menciptakan kekacauan dan ketakutan
Di kawasan konflik yang membahayakan, Leo berusaha tetap fokus. Malam itu pikirannya terasa dipenuhi masalah. Namun, dia tidak bisa membiarkan semua terbengkalai karena masalah pribadi. Para agen mengandalkan strateginya yang cerdas untuk menyelamatkan salah seorang anak buah Leo. Sejumlah uang tebusan telah dia siapkan untuk menebus seorang agen yang tertangkap oleh musuh. Meski pikirannya terpecah, hatinya hancur memikirkan Claire, yang mungkin tidak aman di mansion keluarga mereka. Leo merasa Ivand adalah sosok yang dingin serta ambisius, dan jika didukung oleh Robert, maka semuanya akan lebih rumit. Itu bisa saja mengancam keselamatan Claire.Leo menghela napas panjang, mencari solusi di tengah kebingungannya. Dia tahu hanya ada satu orang yang bisa dia percayai dalam situasi genting ini: Alexandra, sang kakak pertama yang kini memilih tinggal di Paris.Kini Leo dengan berat hati menghubungi Alexandra membawa sebuah harapan besar. Setelah beberapa nada sambung, Alexandra akhirnya
Di suatu tempat yang jauh dari rumahnya, Leo duduk di dalam ruangan kecil yang hanya diterangi oleh lampu redup. Suasana tegang menyelimuti ruangan tersebut, seiring dengan tekanan dari misi berbahaya yang diemban. Meskipun pikirannya terfokus pada tugasnya, Leo tidak bisa mengusir bayang-bayang Claire dari benaknya. Sang istri, yang kini terpisah jauh darinya, menjadi satu-satunya pikiran yang menghiburnya di tengah kegelapan dan ketegangan.Beberapa kali Leo mencoba menghubungi Claire menggunakan nomor yang tidak terlacak, takut mengungkapkan keberadaannya dengan terang-terangan. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengirim pesan agar Claire tahu itu adalah panggilan darinya.Leo : [ Claire. Bagaimana kondisimu? Tolong jawab panggilanku. ]Saat akhirnya ponselnya berbunyi dan nama Claire muncul di layar, Leo merasakan campuran antara lega dan cemas dalam hatinya."Leo …." Suara Claire yang terdengar pelan dan lirih, seakan tersirat penuh rasa rindu."Claire, apa yang terjadi? Apa Ivand
Claire duduk di sebuah Sun Lounger menikmati kesendirian di malam yang sepi. Saat seorang pria bertubuh tegap menghampiri dan membuatnya seketika merasa lebih tenang. Dia mengira pria yang mendekat itu adalah Leo, hanya saja cara berjalan yang kaku dan misterius membuatnya ragu. Semakin dekat, Claire baru menyadari bahwa pria itu adalah Ivand, sang kakak ipar yang selalu terlihat dingin dan penuh teka-teki.Kegugupan menjalar di seluruh tubuhnya, saat Ivand tiba-tiba duduk di kursi sebelahnya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi tatapan Ivand yang dingin membuatnya merasa tidak nyaman. Membuatnya sigap menegakkan duduknya, padahal sedari tadi dia sedikit merebah di atas kursi yang berbentuk panjang itu."Apa yang kau lakukan di sini, Claire?" tanya Ivand dengan suara datar.Claire merasakan tenggorokannya mengering, tetapi dia berusaha menjaga suaranya tetap stabil. "Oh, hanya ingin menikmati malam," jawabnya sambil meremas tepi gaunnya di samping kursi. Jari-jarinya yang gem
Siang itu, Leo menerima panggilan mendadak yang mengharuskannya kembali ke kota untuk rapat penting. Informasi yang disampaikan begitu mendesak sehingga membuat Leo harus meyakinkan Claire bahwa dia tak akan lama pergi. Meski demikian, keraguan menghantuinya. Meninggalkan Claire sendirian di mansion bukanlah keputusan yang mudah. Sebelum keberangkatannya sore itu, Leo memberikan pesan tegas kepada Robert."Claire akan baik-baik saja, Leo. Aku berjanji," kata Robert, meyakinkan anaknya."Pastikan kau menepati janji itu, Ayah," balas Leo. "Aku tidak ingin ada sesuatu yang buruk terjadi padanya."“Perasaanmu membuatku khawatir, Nak. Apa ini artinya kau tidak mempercayai ayahmu sendiri?”“Bukan begitu, Ayah. Tolong pikirkan kembali, aku berharap bisa mengubur masa lalu itu.”Robert tersenyum dingin. “Seandainya kau, putraku, tahu penderitaan di dalam penjara. Kau tidak akan berbicara semudah itu.” Dia membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkan Leo. “Pergilah.”Leo dengan kebimbangan men