Tibalah mereka di ujung sebuah jalan dengan pemandangan rerumputan yang luas dan tidak ada lagi pohon-pohon berjajar di sisi jalan. Kendaraan mereka kini berbelok arah jalan menuju sebuah gerbang tinggi.
Flint menghentikan mobil dan membuka kaca jendela. Dia dihampiri salah seorang penjaga yang melihat ke arah sang pengemudi, lalu menyapa dan mengangkat tangannya memberi hormat.“Tuan Flint?” ucap sang penjaga sedikit mengintip ke bagian dalam mobil.“Buka gerbangnya,” titah Flint.Sang penjaga yang sesaat tadi penasaran kini sigap memberi hormat lagi, ketika Leo yang tadinya melihat ke sisi lain kini menoleh memandangnya.
“Tuan! Oh, tunggu … tunggu!”Penjaga itu segera memberitahu rekan-rekan penjaga lainnya. Sambil berlari, dia mengibaskan tangan dengan terburu-buru, segera membukakan gerbang agar mobil itu masuk.Flint pun kembali melajukan kendaraannya masuk, melewati sejajaran penjaga yang berdiri di samping gerbang besi tinggi yang kokoh dan berwarna hitam itu. Saat memasuki kawasan, lampu di sisi kiri dan kanan otomatis menyala mengikuti pergerakan mobil itu. Jalanan itu tampak lurus hingga bertumpu pada satu titik dan membelah dua arah melingkari sebuah air mancur berukuran besar yang dikelilingi taman. Dua jalan itu bertemu tepat pada satu pelataran luas di hadapan sebuah bangunan besar, yaitu mansion mewah dengan gaya klasik eropa dipadukan minimalis moderen.Mansion berdinding batu hitam itu tampak sekilas seperti kastil bernuansa gotik. Terlihat beberapa ruangan menyala dengan lampu berwarna kuning dan sedikit redup, dari arah luar jendela. Namun, suasana dini hari itu sangat terlihat gelap dengan pencahayaan minim di area halaman.Leo melongok pelan ke sisi belakang mobil, melihat Claire yang mulai bergerak hendak bangun. Dengan segera tangannya menggapai ke belakang, menyentuh dan mengusap pelan lengan Claire agar tidak terganggu dan kembali tidur.
Mobil itu pun menepi pada pelataran rumah yang memiliki sejumlah anak tangga. Kemudian Leo dan Flint pun keluar dari mobil. Leo melangkah membuka pintu belakang lalu membopong tubuh Claire dengan ala bridal, kepala gadis itu sengaja dihadapkan ke bagian dada bidangnya agar nyaman dan tetap tertidur pulas.
Leo menaiki tangga perlahan saat Claire sempat menggeliat pelan. Dia pun menyadarinya dan semakin mengeratkan pelukan agar gadis itu tidak jadi terbangun.
Mereka pun sampai di ujung anak tangga. Flint yang lebih dulu berjalan, beralih pada dinding hitam di sebelah daun pintu.
"Agen GS398, membuka akses," ucap Flint sambil menghadap ke arah alat pengenal suara.
Sebuah layar sentuh dilapisi kaca anti peluru yang bergeser otomatis pada dinding batu berwarna hitam itu saat Flint menyebutkan kode. Sensor wajah pun muncul agar setelahnya sebuah layar sentuh muncul menampilkan kode yang dimiliki masing-masing agen. Flint pun memasukkan sejumlah kode angka. Kemudian muncul sebuah suara dari perangkat itu.
"Akses diterima. Selamat datang agen Flint."
Sangat ekstra untuk sebuah mansion yang menggunakan teknologi. Sedangkan fungsi gagang pada pintu kupu-kupu berukuran besar itu jarang sekali digunakan, yang hanyalah sebagai kamuflase.
Leo dan Flint kemudian masuk ke dalam ruangan dan segera menuju ke arah tangga, lalu berjalan ke lantai atas menuju sebuah kamar.
Dalam hati Leo, sangat untung Claire tidak bangun, karena pasti akan kembali melontar pertanyaan dari bibir mungilnya.Flint membukakan pintu kamar itu, kemudian meninggalkan Leo yang masuk ke dalam dan menaruh Claire di atas tempat tidur berukuran besar itu dengan sangat hati-hati.Leo dengan telaten melepaskan sepatu yang dikenakan Claire, kemudian menarik selimut tebal di ujung kaki untuk menutupi tubuh gadis itu. Karena udara malam itu di semakin terasa dingin. Pria itu kemudian berjalan pelan ke arah jendela kamar sambil membuka jaket dan kaus yang dipakainya dan menuju kamar mandi. Samar-samar dari arah tempat tidur, mata Claire membuka tipis melihat tubuh atletis Leo dari arah belakang, dalam ruangan yang sangat redup pencahayaan itu. Namun, rasa kantuk yang begitu hebat membuatnya kembali lagi terlelap, dia merasa itu hanya bagian dari mimpi. ***Keesokan paginya. Claire kini perlahan menggeliat pelan lalu merentangkan tubuhnya. Tidurnya begitu nyenyak semalaman. Ketika dia menyingkap selimut yang sudah turun di bagian perut, dia perlahan membuka mata. Pandangannya tampak buram hingga semakin jelas memandang ke langit-langit kamar, dia pun sontak membelalakkan mata. Kedua tangannya yang terentang meraba-raba sisi kiri dan kanan, baru menyadari bahwa dia tidur di sebuah kasur yang berukuran besar dan sangat nyaman. Claire pun bangun terduduk, melihat ke sekeliling dengan kebingungan. Dia berteriak sekuat tenaga.“Aa …!!” Claire pun segera menutup mulutnya sendiri, kemudian bergumam panik, “Apakah aku diculik? Leo, di mana dia? … Flint? Apakah mereka kini sudah berada di ruang bawah tanah dan disekap!” Pikiran Claire berlari ke mana-mana, persis mengarah pada adegan film dan novel bergenre thriller yang dia baca.Claire pun menurunkan kakinya dari atas tempat tidur, lalu bangkit dan berjalan mengendap-endap mendekati pintu. Pelan-pelan dia menarik gagang pintu kamar dan berhasil keluar. Langkahnya tidak tentu, pikirannya hanya untuk segera mencari keberadaan Leo. Saat dia berjalan pelan, ada beberapa orang dengan pakaian khas pelayan berjalan ke arahnya, secepatnya Claire bersembunyi di balik sebuah vas bermotif china berukuran sangat besar. Gadis itu kini melihat sebuah tangga, dia perlahan turun merapat ke pagar anak tangga sambil merunduk. Dia memandangi rumah besar itu dengan perasaan cemas, dia terburu-buru berkeliling mencari jalan keluar dari rumah besar itu.Terdengar dari sisi ruangan lain, samar suara beberapa orang sedang bercakap-cakap. Claire pun berjalan kembali melintasi luar ruangan itu, mengendap-endap bertelanjang kaki. Dia lalu berjalan ke bagian belakang bangunan, karena merasa yakin jika tidak aman melalui pintu depan.
Saat Claire mendekat pada bagian yang tampak seperti dapur, terdengar langkah sepatu berjalan cepat ke arahnya. Akan tetapi, gadis itu pun kembali merunduk bersembunyi saat orang bersepatu tadi melewatinya, dan menghentikan langkah saat seorang pelayan menghampiri.
“Maaf, Tuan Muda. Nona itu tidak ditemukan di kamarnya!” ucap pelan si pelayan wanita. Pria itu mendesah kesal, kemudian menekan tombol pada ponsel layar datarnya. Hingga panggilan pun tersambung, dia menemukan sumber bunyi sebuah dering ponsel dari balik tembok. Perlahan-lahan dia menghampiri arah suara itu.“Claire? Apa yang kau lakukan?”“Kau siapa, ka-kau …?” tanya Claire yang panik karena ketahuan. Leo menghela napas lega, “Ini aku, Leo.” Dia pun menoleh sekilas ke arah pelayan wanita tadi sambil mengibaskan tangannya.“Leo. Rambutmu cokelat. Mana kumis tipismu?” Mata Claire masih memindai seluruh wajah Leo yang sedikit berbeda dari sebelumnya.“Ini aku! Ayo, percayalah.”“A-apa mereka melepaskanmu? Apa kau baik-baik saja? Ayo kita pergi dari sini, nanti mereka bisa menemukan kita!” ucap Claire dengan sedikit berbisik.“Wah, sepertinya kita harus kabur. Ayo, kita jalan lewat sini!” Leo menyentak kepalanya dan meraih lengan Claire untuk menuntunnya. Dia mulai mengerti yang dipikirkan Claire saat ini dan coba mengikuti cara berpikir gadis itu.Mereka berdua pun berjalan perlahan-lahan merapat pada setiap objek dalam ruangan itu agar tidak ketahuan penjaga yang berada di ruang depan.
“Kenapa pelayan tadi membiarkanmu?” Claire masih berjalan mengendap-endap.“Dia berbaik hati ingin membebaskan kita!” balas Leo dengan berbisik.“Bagaimana dengan Flint? Apa dia sudah mati?!” ucap Claire dengan nada takut.Leo memutar bola matanya, lalu tersenyum kecil. Dia tetap mengikuti dengan berjalan mengendap-endap. Hingga dia pun berjalan menuju ruangan khusus dengan pintu yang terbuka, kemudian masuk diikuti oleh Claire. Saat Leo menutup pintu, tiba-tiba suara seorang pria dari dalam ruangan itu mengejutkan keduanya. Claire dan Leo pun memutar tubuh melihat ke arah suara.“Apa yang sedang kalian lakukan?!” ucap seorang pria dengan nada tegas.Claire pun membelalak ngeri dengan sosok yang dilihatnya. “Leo, kita tertangkap!” pekiknya.Pria misterius itu pun bangkit dari kursi kebesarannya. Dia berjalan mendekat pada kedua pasangan yang datang tiba-tiba dan kini merapatkan punggung di pintu ruang kerjanya.Leo tersenyum bersandar sambil melipat tangan di depan dada, saat Claire menarik-narik lengan kemejanya berusaha mengajak keluar dari ruangan.“Leo, Leo, berbuatlah sesuatu … kumohon …,” bisik Claire dengan suara gemetar. “Sedang apa kalian di sini?” tanya pria itu, lalu menatap wajah Claire penuh curiga. “Dan … dia?” Pria berusia 60an itu kini berdiri di hadapan mereka, dia adalah Robert Goldstein, seorang ketua organisasi intelijen terbesar rahasia bernama GSI (The Golden Shield Intelligence). Robert yang berperawakan tinggi hampir setara dengan Leo, masih terlihat gagah meski seluruh rambutnya sudah tampak sebagian memutih. Paras tampannya yang berdarah Jerman–Amerika, mempertegas karakter wajahnya yang sekilas tampak dingin.Leo menatap Robert penuh arti saat keduanya sempat saling berpapasan mata. Dia pun me
Setelah dua jam akhirnya Leo pun kembali ke kamar. Berjalan masuk dengan menyelipkan tangan di saku celana. Sorot matanya kosong seakan dipenuhi pikiran. Dia lalu menghela napas dan menoleh pada Claire yang menangis terisak dengan menjatuhkan kening di layar ponsel. “Hei, kau kenapa?” Leo berjalan pelan menghampiri.Leo tidak mendapat jawaban apa pun. Disibaknya helai rambut Claire yang menutupi layar ponsel, lalu diraihnya ponsel itu perlahan dari tangan lemah sang gadis.Ibu jari Leo mengusap sisa tetesan air mata yang membasahi layar. Ingin segera mencari tahu penyebab Claire menangis. Matanya kini terfokus pada unggahan video singkat skandal antara dirinya dan gadis itu. Sejak tersebar kemarin pagi, sejumlah komentar negatif menyerang dari ribuan penonton, lebih parahnya unggahan itu turut dibagikan ulang.Rahang Leo mengeras, hatinya diliputi rasa dendam melihat situasi saat ini. Namun, saat dia tengah berusaha menahan diri, tiba-tiba Claire malah menghambur memeluk erat tubuhnya
Leo menghentikan langkah dan menoleh, melihat Claire berjalan pelan sambil berpegangan pada pagar anak tangga.“Maaf, aku lupa,” katanya sambil kembali naik mendekati Claire yang sempat menolak bantuannya. Leo lalu berjongkok di hadapannya. “Naiklah. Ayo, naik ke punggungku.”Claire mengerutkan kening, keheranan. “Apa lagi ini?”“Naiklah. Kita akan berkeliling.”“Tidak, tidak. Meski aku tidak tinggi, tapi aku ini berat, Leo.”Leo tersenyum lembut. “Bagiku kau seperti kapas. Ayo, cepatlah. Atau kupaksa mengangkatmu dari depan hingga kau tidak nyaman?” ancamnya setengah bercanda.“Ba-baiklah …! Jangan mengancam. Dasar kau ini!” Claire tersipu.Leo pun menggendong Claire menuruni tangga. Mereka berjalan melewati beberapa bagian di area taman yang luas itu. Di dekat maze, terdapat kolam renang berukuran besar, lapangan tenis, taman bunga dengan gazebo cantik terbuat dari besi tempa berwarna hitam, dan kolam air mancur dengan patung malaikat wanita berwarna hitam di tengahnya.Lelah mengi
Ruang makan besar itu memancarkan kemewahan dan kekuatan. Kristal-kristal lampu gantung yang memancarkan cahaya lembut menghiasi langit-langit yang tinggi. Meja makan panjang berlapis marmer dengan ukiran rumit tampak megah di tengah ruangan, dikelilingi kursi-kursi berlapis beludru. Lukisan-lukisan klasik menghiasi dinding, menambah nuansa aristokratis yang mencerminkan kekayaan dan kekuasaan keluarga Goldstein.Leo dan Claire sedang bersiap-siap untuk memasuki ruang makan besar tersebut. Claire mengenakan gaun malam hitam yang elegan, sementara Leo dalam setelan jas hitam yang sempurna, tampak berbeda dari penampilannya yang biasa dalam penyamaran sebagai pengawal Claire."Claire, kau siap?" tanya Leo dengan nada tenang dan tegas, memandang ke arah Claire yang sedikit gugup.Claire mengangguk, meskipun terlihat jelas bahwa dia merasa tidak nyaman dengan situasi ini. "Ya, aku siap. Tapi, apakah kita benar-benar harus melakukan ini?"Leo menuntun Claire ke arah pintu ruang makan, tapi
Setelah makan malam yang mewah bersama Trevor McCollin dan putranya, Damian. Suasana di rumah keluarga Goldstein terasa sedikit lebih santai. Trevor dan Robert tengah terlibat dalam pembicaraan privat di ruang kerja. Pembicaraan mereka penuh dengan strategi dan rencana untuk mengatasi masalah pertambangan yang sedang dihadapi Trevor di Afrika. Namun, di ruang utama, fokus utama Leo adalah Damian, yang sengaja akan dipancing segala informasi agar membuka diri tentang kehidupannya. Keduanya duduk di sofa kulit yang nyaman, menikmati segelas wine merah yang disajikan oleh pelayan. Percakapan mereka mengalir dari topik bisnis hingga ke urusan pribadi, menciptakan suasana yang lebih akrab."Jadi, Leo," kata Damian, menyandarkan dirinya dengan santai. "Sangat kebetulan, aku pun ingin menyampaikan kabar ini padamu. Ini waktu yang tepat.”“Oh, sesuatu yang menarik? Katakan.” Leo menyungging senyum sambil menggoyangkan gelas wine-nya pelan. “Aku akan bertunangan dalam waktu dekat. Aku berenc
"Ya," jawab Leo, menghela napas. "Aku tidak tahu apa rencana mereka, tapi kita harus waspada."Sebelum Claire bisa menanggapi, mereka mendengar suara langkah kaki mendekat. Robert, ayah Leo, memasuki ruangan. Tatapan curiganya jatuh pada Claire yang masih mengenakan gaun indahnya. "Kenapa Claire masih di sini, Leo? Dengan gaun sebagus itu, dia seharusnya di luar menikmati acara."Claire tampak gugup, bingung harus menjawab apa. Leo cepat-cepat menjawab, "Kami hanya ingin berbicara sebentar, Ayah."Robert mengamati Leo dan Claire dengan cermat, mencurigai ada sesuatu yang disembunyikan. "Benarkah? Terlalu banyak kebetulan. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"Leo menunduk, merasa beban berat di pundaknya. Robert sudah mengetahui berita yang tersebar di media sosial tentang skandal Leo dan Claire. Bukan hanya marah karena Leo telah menyamar sebagai pengawal, tetapi juga karena Robert sebenarnya memiliki rencana besar untuk membalas dendam pada keluarga Foster dengan menyingkirkan Clair
Claire tampak malu-malu, perlahan memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam. Wajahnya mendongak, menunggu Leo memberikan ciuman. Leo mendekatkan wajahnya perlahan, menatap gemas gadis di hadapannya. Sesaat sebelum bibir mereka bertemu, Leo berhenti."Selamat malam, Claire," ucap Leo dengan suara serak khas bangun tidur, kemudian mengikatkan kembali tali kimono yang digunakan Claire.Jantung Claire berdegup kencang. Napasnya yang sempat tak beraturan kini dilepaskan dengan kasar. Dia menelan ludah sambil menoleh ke arah Leo yang berjalan tak acuh ke arah kamar mandi. Apa yang dipikirkannya tidak terjadi. Kenapa Leo menjadi begitu dingin? Apakah Leo tidak siap mendekatinya lagi? Dengan langkah tak bersemangat, Claire menjatuhkan dirinya di ranjang besar kamar itu sambil memeluk selimut tebalnya, menunggu Leo yang selesai membersihkan diri. Beberapa lama kemudian, Leo keluar dengan handuk melilit di pinggangnya, menggosok-gosok kepalanya yang basah. Dilihatnya Claire masih belu
Siang itu, Leo menerima panggilan mendadak yang mengharuskannya kembali ke kota untuk rapat penting. Informasi yang disampaikan begitu mendesak sehingga membuat Leo harus meyakinkan Claire bahwa dia tak akan lama pergi. Meski demikian, keraguan menghantuinya. Meninggalkan Claire sendirian di mansion bukanlah keputusan yang mudah. Sebelum keberangkatannya sore itu, Leo memberikan pesan tegas kepada Robert."Claire akan baik-baik saja, Leo. Aku berjanji," kata Robert, meyakinkan anaknya."Pastikan kau menepati janji itu, Ayah," balas Leo. "Aku tidak ingin ada sesuatu yang buruk terjadi padanya."“Perasaanmu membuatku khawatir, Nak. Apa ini artinya kau tidak mempercayai ayahmu sendiri?”“Bukan begitu, Ayah. Tolong pikirkan kembali, aku berharap bisa mengubur masa lalu itu.”Robert tersenyum dingin. “Seandainya kau, putraku, tahu penderitaan di dalam penjara. Kau tidak akan berbicara semudah itu.” Dia membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkan Leo. “Pergilah.”Leo dengan kebimbangan men
Ketegangan terus bergulir hari demi hari, Claire tetap merasakan aura yang sama setiap kali berada di tengah-tengah keluarga Goldstein. Dia mulai tidak yakin keberadaan Alexandra akan membawanya pada kedamaian di dalam mansion itu. Entah sampai kapan dirinya bertahan sebagai menantu dan adik ipar yang tidak pernah diharapkan.Alexandra mengantar Claire ke dalam kamar, berusaha menenangkan sang adik ipar yang kembali terlihat ketakutan. Gemetar tubuh gadis itu bisa dirasakan olehnya, saat merangkul dan mengajak kembali ke dalam kamar. Ditambah sikap sinis Robert mengetahui Claire tidak menghabiskan makan malamnya, hal yang melanggar aturan keluarga Goldstein sejak dulu. Kamar Claire tampak nyaman dengan perabotan mewah, tetapi atmosfernya terasa suram, mencerminkan suasana hati penghuninya. Claire masih tampak gelisah, tetapi Alexandra berusaha menenangkan dengan senyuman hangat dan sikap lembut."Claire, maafkan sikap ayah dan adikku. Kami memiliki aturan yang kuat di dalam keluarga
“I-iya. Siapa kau?” ucap Claire sembari meremas dan memeluk selimut tebalnya. Tatapan Alexandra semakin aneh, bingung, kenapa gadis ini melihatnya seperti hantu. Namun, menyadari ini semua hasil tekanan dari Robert dan Ivand, seketika dia pun mengubah ekpresinya. Langsung mengembangkan senyum dan menatap Claire dengan iba. “Perkenalkan. Alexandra, anak tertua Goldstein.” Dengan gaya bicara tegas, tapi ramah. Alexandra mengulurkan jabat tangan. Claire masih mendelik karena tengah waspada, perlahan menurunkan pandangan pada uluran tangan Alexandra. “Se-senang bertemu denganmu.” Telapak tangan Claire terasa dingin, bukan karena udara malam di dalam ruangan. Akan tetapi, sebuah ketakutan mendalam begitu terasa, hingga tubuhnya merespon berlebihan. “Ada apa, Claire? Kenapa kau makan malam di kamarmu. Sebaiknya kau bergabung dengan kami di ruang makan, ayolah,” ajaknya sambil tersenyum ramah. Wanita bertubuh tinggi itu tahu, dia tidak boleh membuat Claire semakin takut.
Ketika Alexandra tiba di mansion, suasana tegang langsung terasa. Mobil mewah yang dikendarainya berhenti tepat di depan pintu utama, menarik perhatian semua orang di sekitar. Pintu mobil terbuka, dan Alexandra keluar dengan anggun, mengenakan pakaian desainer yang menunjukkan kesuksesannya di dunia fashion. Rambut pirangnya tergerai sempurna, dan tatapan matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia bukan lagi gadis yang pernah meninggalkan rumah ini.Saat memasuki ruang utama, Alexandra menurunkan kacamata hitamnya dan melihat suasana mansion yang masih sama seperti dia tinggalkan dulu. “Bau yang masih sama,” ucapnya sambil menghirup dalam-dalam, lalu mengempaskan napas lega. “Kau,” panggil seorang pria paruh baya.Alexa membalikkan tubuhnya dan dilihatnya kini wajah Robert, sang ayah, menatapnya dengan heran. “Ya, aku. Terkejut?”Robert Goldstein, dengan pandangan tajamnya, menyambut kedatangan putrinya yang sudah lama pergi. "Alexandra, apa yang membawamu kembali?" tanyanya dengan su
Di saat yang sama, Claire di mansion keluarga Goldstein merasakan kesepian dan ketidakpastian yang semakin dalam. Meskipun dia tahu apa yang Leo hadapi, dia berharap sang suami akan segera kembali dan membawanya keluar dari mimpi buruk.Claire merasa semakin tertekan. Di samping itu, Ivand terus membuatnya merasa tidak nyaman dengan pandangan sinis dan sikapnya yang misterius. Gadis itu tidak tahu apa-apa tentang dendam keluarga Goldstein, hanya merasakan ketegangan yang menyelimuti rumah besar itu.Sedangkan Robert, kini telah melarang Leo mengakses mansion untuk sementara waktu, hingga membuat Claire merasa semakin terisolasi. Tanpa ada yang bisa diandalkan di mansion dalam waktu dekat. Gadis itu mulai berpikir untuk kabur dan mencari bantuan di luar yaitu Flint.Malam itu, di balkon kamar, Claire memandang ke arah langit dengan perasaan cemas. Dia memikirkan Leo, berharap akan kembali dengan selamat. Sang gadis menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa cemas yang menggerogoti pi
Di sebuah ruang briefing yang tersembunyi, Leo berdiri di depan papan digital yang memproyeksikan peta kawasan konflik. Di sekelilingnya, lima anggota tim utama intelijen terbaiknya duduk dan siap untuk memberikan instruksi pada para agen lapangan."Baiklah, semua," kata Leo, membuka rapat dengan nada tegas. "Kita punya misi kritis di depan kita. Agen kita, John, telah ditawan oleh kelompok pemberontak di sektor ini," ujarnya sambil menunjuk pada titik merah di peta."Informasi terbaru yang kita dapatkan menunjukkan bahwa mereka menggunakannya sebagai alat tawar-menawar," tambah Leo. "Pemimpin pemberontak, dikenal sebagai Kael, meminta tebusan besar. Tapi kita tidak akan menyerah pada tuntutan mereka."Ethan, seorang ahli strategi, mengangkat tangan. "Bagaimana kita memastikan keselamatan John tanpa menuruti tuntutan mereka?""Kita akan menggunakan elemen kejutan dan strategi psikologis. Rencana kita adalah menyerang markas mereka secara diam-diam, menciptakan kekacauan dan ketakutan
Di kawasan konflik yang membahayakan, Leo berusaha tetap fokus. Malam itu pikirannya terasa dipenuhi masalah. Namun, dia tidak bisa membiarkan semua terbengkalai karena masalah pribadi. Para agen mengandalkan strateginya yang cerdas untuk menyelamatkan salah seorang anak buah Leo. Sejumlah uang tebusan telah dia siapkan untuk menebus seorang agen yang tertangkap oleh musuh. Meski pikirannya terpecah, hatinya hancur memikirkan Claire, yang mungkin tidak aman di mansion keluarga mereka. Leo merasa Ivand adalah sosok yang dingin serta ambisius, dan jika didukung oleh Robert, maka semuanya akan lebih rumit. Itu bisa saja mengancam keselamatan Claire.Leo menghela napas panjang, mencari solusi di tengah kebingungannya. Dia tahu hanya ada satu orang yang bisa dia percayai dalam situasi genting ini: Alexandra, sang kakak pertama yang kini memilih tinggal di Paris.Kini Leo dengan berat hati menghubungi Alexandra membawa sebuah harapan besar. Setelah beberapa nada sambung, Alexandra akhirnya
Di suatu tempat yang jauh dari rumahnya, Leo duduk di dalam ruangan kecil yang hanya diterangi oleh lampu redup. Suasana tegang menyelimuti ruangan tersebut, seiring dengan tekanan dari misi berbahaya yang diemban. Meskipun pikirannya terfokus pada tugasnya, Leo tidak bisa mengusir bayang-bayang Claire dari benaknya. Sang istri, yang kini terpisah jauh darinya, menjadi satu-satunya pikiran yang menghiburnya di tengah kegelapan dan ketegangan.Beberapa kali Leo mencoba menghubungi Claire menggunakan nomor yang tidak terlacak, takut mengungkapkan keberadaannya dengan terang-terangan. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengirim pesan agar Claire tahu itu adalah panggilan darinya.Leo : [ Claire. Bagaimana kondisimu? Tolong jawab panggilanku. ]Saat akhirnya ponselnya berbunyi dan nama Claire muncul di layar, Leo merasakan campuran antara lega dan cemas dalam hatinya."Leo …." Suara Claire yang terdengar pelan dan lirih, seakan tersirat penuh rasa rindu."Claire, apa yang terjadi? Apa Ivand
Claire duduk di sebuah Sun Lounger menikmati kesendirian di malam yang sepi. Saat seorang pria bertubuh tegap menghampiri dan membuatnya seketika merasa lebih tenang. Dia mengira pria yang mendekat itu adalah Leo, hanya saja cara berjalan yang kaku dan misterius membuatnya ragu. Semakin dekat, Claire baru menyadari bahwa pria itu adalah Ivand, sang kakak ipar yang selalu terlihat dingin dan penuh teka-teki.Kegugupan menjalar di seluruh tubuhnya, saat Ivand tiba-tiba duduk di kursi sebelahnya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi tatapan Ivand yang dingin membuatnya merasa tidak nyaman. Membuatnya sigap menegakkan duduknya, padahal sedari tadi dia sedikit merebah di atas kursi yang berbentuk panjang itu."Apa yang kau lakukan di sini, Claire?" tanya Ivand dengan suara datar.Claire merasakan tenggorokannya mengering, tetapi dia berusaha menjaga suaranya tetap stabil. "Oh, hanya ingin menikmati malam," jawabnya sambil meremas tepi gaunnya di samping kursi. Jari-jarinya yang gem
Siang itu, Leo menerima panggilan mendadak yang mengharuskannya kembali ke kota untuk rapat penting. Informasi yang disampaikan begitu mendesak sehingga membuat Leo harus meyakinkan Claire bahwa dia tak akan lama pergi. Meski demikian, keraguan menghantuinya. Meninggalkan Claire sendirian di mansion bukanlah keputusan yang mudah. Sebelum keberangkatannya sore itu, Leo memberikan pesan tegas kepada Robert."Claire akan baik-baik saja, Leo. Aku berjanji," kata Robert, meyakinkan anaknya."Pastikan kau menepati janji itu, Ayah," balas Leo. "Aku tidak ingin ada sesuatu yang buruk terjadi padanya."“Perasaanmu membuatku khawatir, Nak. Apa ini artinya kau tidak mempercayai ayahmu sendiri?”“Bukan begitu, Ayah. Tolong pikirkan kembali, aku berharap bisa mengubur masa lalu itu.”Robert tersenyum dingin. “Seandainya kau, putraku, tahu penderitaan di dalam penjara. Kau tidak akan berbicara semudah itu.” Dia membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkan Leo. “Pergilah.”Leo dengan kebimbangan men