Kenzo terkekeh. "Selalu kembali ke 'Tuan Muda' ya? Kamu tau, panggilan itu membuatku terdengar jauh lebih tua dari usiaku.""Tapi memang itu kenyataannya," balas Ziandra cepat."Bagaimana kalau aku menyuruhmu memanggil namaku?" tantang Kenzo.Ziandra mendengus pelan. "Saya tidak akan melakukannya.""Oh?" Kenzo mencondongkan tubuhnya sedikit, wajahnya hanya beberapa inci dari Ziandra. "Kalau aku terus menggodamu, akankah kamu akhirnya menyerah?"Ziandra menahan napas, tapi sebelum dia bisa menjawab, tiba-tiba terdengar suara lonceng kecil dari toko di dekat mereka yang menandakan ada pelanggan masuk.Momen itu buyar, dan Ziandra segera menarik tangannya sebelum Kenzo bisa menggodanya lebih jauh. Dia melangkah mundur dan menatap Kenzo dengan tatapan peringatan."Kalau Anda ingin berjalan-jalan, maka berjalanlah," ucap Ziandra, nadanya lebih tegas dari sebelumnya. "Jangan bermain-main dengan saya."Kenzo mengangkat kedua tangan de
"Hmh!" Ziandra mendenguskan napasnya, cukup jelas. "Anggap ini sebagai sikap baik saya pada putra Bos saya."Ziandra tidak ingin berdebat lebih lama. Jadi, dia hanya berjalan masuk ke hotel dengan Kenzo yang tetap membuntutinya.Mereka menaiki lift bersama dalam keheningan. Kenzo, tentu saja, sesekali mencuri pandang ke arahnya, senyum jahilnya masih bertahan di wajahnya."Kakak Cantik, kamu begitu cantik menawan. Bahkan kurasa kamu lebih cantik ketimbang para model yang kukenal." Kenzo masih sempat melontarkan rayuannya.Ziandra bertahan dalam diam dan tidak ingin menanggapi. Pemuda itu semakin tidak bisa dibungkam jika ditanggapi.Begitu lift sampai di lantai tempat Ziandra menginap, dia segera keluar dengan langkah cepat. Kenzo masih mengikutinya sampai mereka berhenti di depan pintu kamarnya.Ziandra menoleh dan menatap Kenzo dengan ekspresi tegas. "Terima kasih sudah mengantar, Tuan Muda. Sekarang, kembalilah ke kamar Anda."Kenz
“Nhh… Pak….” Ziandra berjuang menahan suaranya.Ziandra menggigit bibirnya, menekan napas yang tersendat di tenggorokannya. Sentuhan Aldric begitu mendominasi, mengunci dirinya dalam pusaran sensasi yang sulit dia lawan. Tubuhnya terperangkap di antara dada pria itu dan dinding dingin yang terasa kontras dengan hangatnya kehadiran Aldric. "Kenapa hanya berbisik?" suara pria itu rendah, hampir seperti geraman samar di telinganya. "Bukankah biasanya kamu selalu punya jawaban untuk mendebatku seperti tadi?" Ziandra berusaha mengatur pikirannya yang berantakan, namun sulit ketika jemari Aldric bergerak seperti angin, menyentuhnya dengan cara yang nyaris membuatnya kehilangan kendali atas diri sendiri. "Pa-Pak Aldric...." suaranya terdengar goyah. Aldric hanya tertawa pelan, suaranya dalam dan bergetar di udara. "Aku menyukaimu seperti ini, Zia. Terdiam, hanya fokus padaku." Panas merambati kulitnya. Ziandra bukan gadis lugu yang tak memahami apa yang sedang terjadi, tetapi dia juga b
"Sejak awal, kamu selalu membangun dinding di sekitarmu," lanjut Aldric, suaranya serak di udara. "Menjaga jarak, seolah-olah kamu takut... takut kalau aku akan menarikmu ke dalam sesuatu yang lebih dalam."Jantung Ziandra berdetak semakin keras.Sesuatu yang lebih dalam.Bukan hanya hubungan transaksional, bukan hanya permainan kekuasaan di balik meja perjanjian. Tetapi sesuatu yang benar-benar bisa mengubah segalanya.Dan itulah yang selama ini dia takuti.Dia bisa mengendalikan segala hal—kehidupannya, pekerjaannya, bahkan hubungannya dengan Aldric. Namun, dia tidak yakin bisa mengendalikan perasaannya sendiri.Tangan bebas Aldric menyentuh dagunya dengan jemari hangat, lalu perlahan memutar wajah Ziandra lebih intens hingga mereka bertemu pandang. Mata abu-abu pria itu begitu pekat, seperti lautan yang bisa menyeret siapa pun ke dalam pusarannya."Jika aku menciummu sekarang," bisik Aldric, "apakah kamu akan menolakku?"Dada Ziandra naik turun. Dia tidak menjawab.Tangan Aldric be
Matahari pagi menyinari kota Mauva dengan kehangatan yang lembut. Dari balkon kamar hotelnya, Ziandra bisa melihat kehidupan kota mulai menggeliat—orang-orang yang berlalu-lalang, suara klakson mobil, dan aroma kopi yang samar-samar tercium dari kedai-kedai di bawah.Namun, tidak ada kehangatan yang menyentuh dirinya pagi ini.Sejak Aldric pergi tadi malam, pikirannya tak henti-henti bergemuruh. Wajahnya masih bisa merasakan sentuhan ringan pria itu di pelipisnya, kata-katanya terus terngiang di benaknya."Karena saat kau akhirnya menyerah... aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja." Ziandra menggeleng pelan, menegakkan bahu, mencoba mengusir bayang-bayang Aldric yang terus menghantuinya.“Aku tidak bisa membiarkan pikiranku dikendalikan lelaki itu. Aku harus tetap fokus pada pekerjaanku, bukan emosiku.”Namun, ketenangan pagi itu tidak bertahan lama.Ketukan di pintu mengusiknya dari lamunannya.Ziandra menoleh dan melangkah ke pintu, membuka sedikit celah untuk melihat siapa
"Kenapa Bu Aurelind menolak lamaran Pak Aldric?" tanya Ziandra dengan hati berdebar-debar.Aurelind tersenyum kecil, tetapi bukan senyum bahagia. "Karena aku tau dia tidak akan pernah bisa setia. Aku tidak mau menghabiskan hidupku dengan lelaki yang terus mencari sesuatu yang lebih... dan lebih lagi."Ziandra mencoba memproses semua yang baru saja dia dengar.Sisi gelap Aldric.Kebiasaannya yang tidak bisa hanya dengan satu wanita.Lamaran yang ditolak Aurelind karena dia tau Aldric tak akan pernah puas.Aurelind melihat perubahan di wajah Ziandra dan tersenyum tipis. "Jadi, jika kamu berpikir bahwa Aldric bisa menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar atasan, aku sarankan kamu berpikir ulang," katanya pelan. "Dia mungkin bisa membuatmu merasa istimewa sekarang, tapi cepat atau lambat, kamu hanya akan menjadi salah satu koleksi lamanya."Ziandra menarik napas dalam, menekan gelombang emosi yang mulai mengoyaknya."Terima kasih atas peringatannya, Bu Aurelind," katanya dengan suara yang
Ziandra menegang di tempatnya, tetapi Kenzo tetap tenang seperti biasa. Bahkan, pemuda itu hanya mengangkat alis dan menyeringai santai."Ah, Papa!" kata Kenzo ringan. "Kebetulan sekali kita bertemu. Kamu mau ikut duduk dan makan siang bersama kami?"Aldric tidak menjawab. Matanya yang tajam langsung mengarah ke Ziandra, seolah menuntut jawaban.Sementara itu, Aurelind melipat tangan di depan dadanya dan menatap tajam ke arah Ziandra. "Aku seharusnya sudah menduga," gumamnya. "Kamu benar-benar cepat bergerak, yah?"Ziandra menelan ludah, mencoba tetap tenang meskipun hatinya berdebar. "Saya hanya makan siang, Bu Aurelind," jawabnya pelan.Namun, Aurelind tertawa kecil—bukan tawa yang ramah, melainkan sinis. "Makan siang, yah? Dengan putranya Aldric?" Dia menatap tajam ke arah Kenzo sebelum kembali ke Ziandra. "Apa kamu sekarang mencoba mendekati keluarganya satu per satu?"Ziandra terkejut. "Apa maksud Anda?"Aurelind melangkah lebih dekat, ekspresinya tajam. "Kamu pikir aku tidak tau
Aurelind mengetuk meja dengan jari-jarinya, menatap putranya dengan ekspresi serius. "Karena dia wanita bersuami."Kenzo tersenyum tipis. "Yang mana suaminya?"Aurelind terdiam sejenak sebelum mendesah. "Dion Pradipta, pria itu masih berstatus sebagai suaminya."Tentu saja demi putranya, Aurelind akan mengerahkan semua sumber dayanya untuk mendapatkan informasi mengenai Ziandra."Tapi itu bukan merupakan sebuah alasan valid untuk melarangku berteman dengannya, Ma." Kenzo menyesap kopinya dengan santai. "Dan aku tidak memilah teman dari status pernikahannya."Aurelind menggeleng, ekspresinya semakin tak senang. "Kenzo, dengarkan aku baik-baik. Aku ibumu, dan aku tahu wanita seperti dia bukan tipe yang baik untukmu. Dia sedang menggoda Aldric, dan kamu tau itu!"Kenzo menatap ibunya dengan mata penuh ketertarikan. "Jadi? Aku justru penasaran siapa yang akan dia pilih pada akhirnya."Aurelind menghela napas, kesal dengan sikap santai putranya. "Dengar, sayang… Aku tidak akan membiarkanmu
“Bu Aurelind masuk rumah sakit!” desah Ziandra ketika mendengar itu dari Aldric.Namun, dia tak bisa banyak bertanya detail mengenai itu karena Aldric sudah lebih dulu menarik tangannya dan pria itu bungkam dengan rahang terkatup rapat saat mengemudikan mobil ke rumah sakit.Rumah Sakit St. Mavena – Kamar VIP‘Aduh… kenapa juga aku ikut?’ batinnya. ‘Tapi aku kan yang diseret ke sini, bukan kemauanku juga.’Ziandra berdiri canggung di sudut ruangan, memperhatikan Aurelind yang terbaring di ranjang dengan wajah pucat. Aldric duduk di sisi ranjang, ekspresinya kaku dan tanpa emosi, sementara Kenzo berdiri tak jauh dari ibunya.Suasana ruangan terasa berat, diisi ketegangan yang hampir tak tertahankan.‘Lebih baik aku jaga jarak aman.’ Ziandra berusaha beringsut menyingkir lebih jauh dari mereka, meski hatinya gelisah melihat bagaimana Aldric bersikap begitu dingin.“Aku baik-baik saja,” suara Aurelind terdengar pelan tapi cukup jelas. Matanya yang sayu menatap Aldric. “Aku cuma kelelahan
Ziandra menelan ludah. “Kenzo hanya anak muda yang… suka bercanda. Aku yakin dia tak benar-benar serius.”“Aku tahu Kenzo, Zia,” Aldric menghela napas, lalu menatapnya lekat-lekat. “Dia mungkin bercanda, tapi dia juga tahu apa yang dia inginkan. Dan aku tidak suka kalau kamu menjadi bagian dari itu.”Ziandra mendadak merasa panas di wajahnya. Aldric menarik tangannya perlahan, mengapit jari-jarinya di dalam genggamannya yang hangat dan kuat.“Aldric…” Suaranya gemetar. Dia mencoba menarik tangannya, tapi Aldric tidak melepaskannya. Sebaliknya, pria itu justru mendekat, membuat jarak di antara mereka semakin menipis.“Kenapa kamu selalu menjauh?” Aldric berbisik pelan, nadanya lembut tapi mengandung ketegasan. “Padahal aku tahu kamu juga merasakannya, Zia. Sama seperti aku.”Hati Ziandra berdentum keras. “Aku… aku tidak tahu maksud Anda…”Aldric tersenyum kecil, seakan menikmati cara Ziandra menjadi gugup. “Lihat? Kamu bahkan mulai memanggilku ‘Anda’ lagi saat kamu canggung.”Ziandra s
Ziandra terbelalak kaget. Ketegangan yang tadi sempat reda mendadak kembali menguat dengan cepat.Aldric dan Kenzo saling berhadapan, dan meskipun ekspresi keduanya tampak tenang, ada ketegangan samar yang terasa begitu kuat di antara mereka."Pa, kenapa sih?" Kenzo menarik tangannya dengan pelan, tapi ekspresi santainya tetap terjaga. "Aku cuma ajak Kakak Cantik beli oleh-oleh. Bukan mau menculiknya, kok."Ziandra merasa panas di wajahnya mendengar sebutan itu. Dia melirik Aldric yang wajahnya langsung mengeras."Dia bukan Kakak Cantikmu," tukas Aldric cepat. Nadanya ketus, hampir seperti geraman yang tertahan.Kenzo mengangkat alis, seakan terhibur melihat reaksi ayahnya. "Lho, kenapa enggak? Dia memang cantik, kan? Dan dia baik. Aku suka sama dia."Ziandra benar-benar ingin menghilang saat ini juga. "Kenzo—""Sudah cukup!" potong Aldric tajam, membuat Kenzo terdiam. "Ziandra bersamaku. Kalau kamu ingin beli oleh-oleh, lakukan sendiri."Kenzo terkekeh pelan, tapi tatapannya tetap pe
Ziandra menegang. Tatapan tajam Aurelind menusuknya seperti belati dingin yang menyerang tanpa peringatan.Mereka berdiri di sudut lounge hotel yang cukup sepi, tempat Aurelind tiba-tiba menghadangnya saat dia baru saja kembali dari berjalan-jalan dengan Aldric. Wajah wanita itu datar, tapi ada ketidaksenangan yang jelas tergambar di sana."Bukankah sudah aku katakan sebelumnya seperti apa Aldric itu?" Aurelind melipat tangan di depan dada. "Tapi kulihat Anda malah semakin lengket dengannya."Ziandra tetap berusaha tenang, meskipun ada rasa tidak nyaman di dalam hatinya. "Saya tidak merasa seperti itu, Anda mungkin salah paham."Aurelind menyeringai kecil, jelas tidak percaya. "Oh, ayolah. Aku melihat bagaimana dia menatapmu, bagaimana kamu membiarkan dia menyentuhmu. Jangan bilang kau benar-benar berpikir dia mencintaimu?"Ziandra menggigit bibirnya. Apakah dia berpikir seperti itu? Dia tidak tahu. Yang jelas, setiap perhatian Aldric semakin membuatnya goyah."Aldric memang selalu se
DEG! DEG! DEG!Detak jantung Ziandra seolah berpacu lebih cepat. Ucapan Aldric menelusup ke relung hatinya yang rapuh.Perhatian pria itu selama ini, sentuhan lembut di saat-saat mereka bersama, dan kini pengakuan jujurnya—semua itu perlahan meruntuhkan benteng pertahanan Ziandra.“Pak Aldric...” Suaranya nyaris bergetar.“Sstt...” Aldric meletakkan jari telunjuk di bibir Ziandra, lalu menggenggam kedua tangan wanita itu. “Kamu boleh marah. Boleh benci aku. Tapi aku tidak bisa abai lagi. Aku ingin kamu merasa aman... di sisiku.”Ziandra menelan ludah. Kata-kata itu menghangatkan hatinya. Setelah sekian lama terjebak dalam pernikahan dingin dengan Dion, dia nyaris lupa bagaimana rasanya diperhatikan dengan tulus.“Aku... Saya takut, Pak,” ucapnya pelan. “Ini… ini salah.”Aldric mendekat, begitu dekat hingga Ziandra bisa merasakan napas hangat pria itu di wajahnya.“Kalau kamu takut, aku akan pegang tanganmu. Kita hadapi bersama,” bisiknya.Ziandra tak mampu berkata-kata. Sorot mata Ald
Ziandra terkejut ketika tangan Aldric menggenggam erat pergelangannya, menariknya menjauh dari Kenzo yang hanya bisa menatap dengan wajah yang susah ditebak.“Pak—” Ziandra mencoba protes, namun Aldric tak menghiraukan.Pria itu berjalan cepat, membawanya ke sebuah sudut di taman hotel yang sepi. Pepohonan rindang dan gemericik air mancur kecil menciptakan suasana tenang, namun jantung Ziandra justru berdegup kencang.“Apa-apaan ini, Pak?” bisik Ziandra, berusaha menahan ketegangan.Aldric berbalik, berdiri di hadapannya. Mata pria itu menyorot tajam.“Kamu benar-benar membuatku kesal hari ini,” kata Aldric sambil memperkecil jarak antara mereka.Mata mereka bertemu dengan intens.Hal itu membuat napas Ziandra memburu, antara takut dilihat orang dan terdominasi oleh sikap Aldric.Ziandra menarik napas dalam. “Maaf, Pak. Saya hanya—”“Kenzo.” Aldric memotong. “Selalu Kenzo. Kamu tahu, aku bukan pria yang suka berbagi.”Ziandra menunduk, merasa terjepit di antara ayah dan anak. “Kami han
Siang itu, Kota Mauva diselimuti angin sejuk yang berembus lembut, mengurangi terik matahari yang bersinar cerah.Ziandra berjalan di samping Kenzo menuju kedai es krim yang dia ceritakan tadi. Mereka menyusuri trotoar yang bersih, dengan deretan bangunan klasik yang menambah nuansa hangat di kota itu.“Kakak suka es krim rasa apa?” Kenzo membuka percakapan dengan nada ringan.Ziandra tersenyum tipis. “Aku suka rasa stroberi.”Kenzo mengangguk-angguk. “Manis dan segar, kayak Kakak.”Ziandra menoleh sambil mengernyit, namun dia tahu ini bagian dari gaya godaan Kenzo yang sudah terbiasa dia dengar. Dia memilih untuk tidak terpancing.Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di sebuah kedai es krim kecil di pojokan taman kota.Bangunannya sederhana, tapi penuh warna, dengan bangku-bangku kayu di terasnya.Aroma wafel segar menyeruak dari dalam, bercampur dengan wangi vanilla yang membuat perut Ziandra langsung terasa lapar.“Selamat datang!” sapa seorang wanita tua pemilik kedai de
“Astaga!” Ziandra sampai tak sadar memekik tertahan ketika dia mendengar suara Kenzo yang seriang matahari.Lekas saja dia mendorong Aldric.“Omak!” Aldric sampai menjerit tertahan.Bruk!Tubuh Aldric meluncur terjengkang ke lantai, sangat tidak elegan.“Kenapa ditendang, Zia?” Aldric mengusap-usap pantatnya sambil bangkit berdiri.Ziandra tak menggubis ucapan Aldric dan memilih untuk lari ke kamar mandi. Terlebih ketika bel pintu kamar suite Aldric terus berbunyi.Klak!“Apa maumu?” tanya Aldric pada putranya setelah pintu dibuka.Sedangkan di depan pintu, Kenzo menampilkan wajah jenaka sambil mengerling nakal ke ayahnya.“Pasti ada Kakak Cantik di dalam, iya kan?” tanya Kenzo.“Apa pedulimu? Sana kembali ke mamamu!” Wajah Aldric cemberut.Ketika dia sudah nyaris mendapatkan limitnya, tiba-tiba saja gangguan datang.Tak peduli hadangan ayahnya, Kenzo tetap merangsek masuk ke dalam kamar dan melongok ke kanan serta ke kiri, seakan mencari sesuatu.“Kakak Cantik? Yuhu, Kakak? Ziandra,
Aldric menghela napas, mencoba menenangkan anaknya. “Kenzo, ini urusan bisnis. Ziandra adalah asisten pribadiku.”Kenzo tidak percaya. “Bisnis? Pa, aku bukan bocah 10 tahun lalu yang mudah kamu perdaya. Aku tahu ada sesuatu yang lebih dari itu.”Aldric menatap Ziandra, matanya penuh arti. “Kenzo, kita akan membicarakan ini nanti. Sekarang, fokuslah pada pekerjaanmu yang aku berikan.”Setelah menutup ponsel, Aldric menatap Ziandra dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kenzo mulai curiga.”Tidak perlu diragukan lagi. Bahkan Aurelind pun sudah sejak awal mencurigai hubungan aneh mereka.Apakah memang terlalu kentara?Ziandra merasa tidak nyaman. “Mungkin kita harus menjaga jarak, Aldric. Saya tidak ingin menjadi masalah antara kalian.”Dia sudah hendak melepaskan diri dari rengkuhan Aldric, tapi pria itu semakin menariknya ke dekapan tanpa dia bisa melawan.Aldric menggeleng. “Tidak, Zia. Tidak akan ada satu pun orang yang bisa mengendalikanku kecuali diriku sendiri. Akan kupastikan Kenzo