Di kamar yang sunyi dan remang, kehangatan malam terasa menekan, membungkus mereka dalam suasana yang berat dan penuh ketegangan. Aroma parfum lembut bercampur dengan keringat, menciptakan hawa yang hampir menyesakkan. Tirai setengah terbuka membiarkan sinar bulan samar menerobos masuk, menyoroti seprai yang kusut di atas tempat tidur, yang kini menjadi saksi pergulatan fisik dan emosional di antara mereka.
Tubuh Anya bergetar halus di bawah Valdi, mengikuti irama yang telah berlangsung terlalu lama. Matanya terpejam rapat, dan air mata mulai menggenang di sudut matanya, meskipun bibirnya terkatup rapat. Setiap gerakan Valdi terasa seperti beban yang semakin berat, mendorongnya ke titik di mana ia tak sanggup lagi bertahan. Anya mulai menggelengkan kepalanya perlahan, seolah menolak kenyataan yang tak bisa ia hindari.
"Cukup, Valdi... cukup..." bisiknya, suaranya terdengar serak dan penuh dengan keputusasaan.
Valdi yang berada di ambang puncak kenikmatan, hampir tidak mendengar bisikan Anya di tengah-tengah derasnya sensasi yang meluap dalam dirinya. Namun, gerakan kepala Anya yang menggeleng perlahan menarik perhatiannya. Dia melihat Anya dengan pipi yang sudah basah oleh air mata, kepalanya masih bergerak, seolah memohon agar semuanya berhenti.
Anya menggigit bibirnya untuk menahan isakan yang tak bisa lagi dia bendung. Kedua tangannya mengangkat sedikit, seolah ingin mendorong Valdi menjauh, namun kekuatan itu dengan cepat memudar dalam kelelahan yang mendalam.
"Tolong... cukup," suaranya kini lebih jelas, namun masih diwarnai isak yang tertahan.
Namun, Valdi terlalu tenggelam dalam hasratnya untuk sepenuhnya menyadari kehancuran yang dia sebabkan. Detik-detik terakhir itu terasa seperti keabadian bagi Anya, yang hanya bisa menunggu, dengan perasaan pasrah, sampai semua ini berakhir.
Setelah dua jam bercinta, Valdi mencapai puncaknya dengan erangan yang menggema di seluruh ruangan. Tubuhnya menggigil dalam kenikmatan yang meluap, sementara di bawahnya, Anya terbaring dengan tubuh yang lelah, bergerak tanpa semangat mengikuti irama yang telah terlalu lama menuntutnya. Air mata jatuh perlahan dari sudut matanya, membasahi pipinya yang dingin.
Setiap sentuhan Valdi terasa seperti beban yang tak tertanggungkan, dan setiap desahan adalah pengingat akan jarak yang semakin lebar di antara mereka. Anya berusaha memenuhi kewajibannya sebagai istri, namun hatinya menjerit dalam diam, terperangkap dalam lingkaran yang tak kunjung usai. Tangisnya tak bersuara, hanya air mata yang membasahi bantal, menciptakan pola keputusasaan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang merasa terjebak.
Setelahnya, Valdi merebahkan diri di samping Anya, menghela napas panjang saat tubuhnya mulai rileks di atas kasur. Tapi Anya, dengan hati yang berat, segera berguling menjauh, memunggungi Valdi, membiarkan air matanya jatuh tanpa henti.
"Aku nggak bisa lagi, Valdi," suaranya pecah dalam keheningan, menyuarakan beban yang lebih berat daripada sekadar kata-kata.
Valdi menoleh, meski dalam hatinya dia sudah tahu.
"Maksudmu...?" tanyanya dengan suara yang lebih lelah daripada bingung.
Anya menghela napas panjang, suaranya terdengar getir dan penuh kelelahan.
"Ini bukan pertama kalinya kita bicara soal ini. Aku sudah coba, Valdi. Aku benar-benar sudah berusaha. Tapi aku nggak bisa lagi. Setiap malam rasanya seperti siksaan, bukan cinta."
Dia menoleh, menatap Valdi dengan mata yang sembap dan penuh luka.
"Aku udah capek. Bukan cuma tubuhku yang nggak sanggup lagi, tapi juga hatiku. Aku mau cerai."
Valdi terdiam, kata-kata Anya menembus sisa-sisa pertahanannya yang sudah lemah. Dia tahu keinginannya yang tinggi sering kali tak bisa dikendalikan, dan Anya selalu mengeluh tak mampu mengimbanginya. Tapi dia tak pernah membayangkan bahwa itu akan menghancurkan pernikahan mereka.
"Maaf, Anya. Aku tahu ini berat... Aku tahu aku minta terlalu banyak..."
Anya menutup matanya, menahan lebih banyak air mata yang ingin tumpah.
"Aku butuh keluar dari ini, Valdi. Aku nggak bisa terus merasa seperti ini, terjebak dalam sesuatu yang nggak lagi membuatku bahagia. Ini harus berakhir."
Valdi terdiam, rasa sakit mengiris hatinya saat menyadari bahwa ia mungkin akan kehilangan wanita yang pernah menjadi cinta sejatinya. Di tengah keheningan yang mencekam, Valdi menyadari bahwa apa pun yang terjadi selanjutnya, hidup mereka tidak akan pernah sama lagi.
****
Valdi duduk di kursi tunggu rumah sakit, tangannya memijit pelipis yang berdenyut. Pikiran dan perasaannya masih berkecamuk, dibayangi proses perceraian yang baru saja berakhir. Valdi tidak menyangka di usianya yang baru menginjak 32 tahun dirinya sudah menjadi seorang duda.
Sejak Anya meninggalkannya, rumah terasa kosong, dan kenangan yang pernah manis kini menjadi pahit. Namun, hari ini, pikirannya harus terfokus pada Ibu Retno—pembantu yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama lebih dari dua puluh tahun.
Ibu Retno, yang selalu setia melayani keluarga Valdi, kini terbaring di rumah sakit, kondisinya semakin memburuk akibat COVID-19. Valdi merasa ada beban tambahan di hatinya, seolah-olah kehilangan orang yang setia mendampinginya hampir sepanjang hidup. Pikirannya masih terpecah antara rasa bersalah dan kesepian yang menggerogoti sejak perceraian, ketika sosok yang tak terduga menarik perhatiannya.
Langkah-langkah ringan mendekat, dan Valdi menoleh, melihat seorang wanita paruh baya yang tampaknya kerabat Ibu Retno, diikuti oleh seorang gadis muda. Saat pandangannya bertemu dengan gadis itu, jantung Valdi seolah berhenti sejenak. Gadis itu adalah Mayang, anak Ibu Retno, yang sekarang sudah berusia 18 tahun.
Valdi teringat saat pertama kali bertemu Mayang, seorang gadis kecil berusia 12 tahun yang pemalu dan pendiam. Tapi kini, di depannya berdiri seorang wanita muda yang telah tumbuh menjadi sangat menawan. Wajah Mayang cantik, dengan mata besar yang berkilauan, dan tubuhnya telah berkembang menjadi bentuk yang menggoda. Namun, yang paling mencolok adalah kesan lugunya yang luar biasa. Meski penampilannya telah matang, kepolosan itu masih terpancar jelas dari cara dia menunduk malu-malu dan senyum tipis yang muncul di bibirnya.
"Selamat sore, Om Valdi," sapanya dengan suara lembut, nyaris berbisik. Senyum yang dulu terkesan kekanak-kanakan kini lebih halus, namun tetap menyimpan kehangatan dan kepolosan yang sama.
Valdi menatap Mayang, senyum manis dan polosnya seolah-olah tak menyadari badai yang sedang berkecamuk dalam diri Valdi. Dalam pikirannya, Valdi merasakan pergulatan yang semakin intens—dorongan liar yang tak bisa dia redam, hasrat yang semakin sulit untuk dikendalikan.
Dia begitu dekat... begitu polos... pikir Valdi, merasakan adrenalin memacu lebih cepat dalam nadinya. Aku tahu ini salah, tapi kenapa aku tidak bisa berhenti membayangkannya?
Valdi menelan ludah, matanya tak bisa lepas dari sosok Mayang. Setiap gerakan gadis itu, setiap senyum kecil yang dia berikan, seolah-olah menarik Valdi lebih dalam ke dalam jurang keinginan yang tidak seharusnya.
Dia adalah milikku, dia harus menjadi milikku... pikirnya, hampir tak percaya dengan dorongan yang kini mendominasi pikirannya.
Bagaimana caranya? benaknya terus berputar, mencari cara,
Bagaimana aku bisa mendapatkan dia tanpa dia menyadari niatku?
Suasana di rumah sakit terasa suram, dengan keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh langkah-langkah kaki perawat. Valdi duduk di kursi ruang tunggu, menatap kosong ke depan, sementara di sebelahnya Mayang menangis tersedu-sedu, tubuhnya bergetar dalam kesedihan yang mendalam."Ibu... kenapa harus sekarang?" suara Mayang pecah, nyaris tak terdengar di antara isak tangisnya.Valdi menatapnya dengan penuh simpati, hatinya terasa berat."Mayang... om turut berduka," katanya lembut, mencoba menghibur gadis yang kini menjadi yatim piatu."Kenapa harus seperti ini, Om Valdi?" Mayang meratap, wajahnya basah oleh air mata."Kenapa Ibu harus pergi? Aku... aku sekarang sendirian..." Tangisnya semakin keras, dan Valdi merasakan dorongan kuat untuk menenangkannya."Om tahu ini berat, Mayang. Ini nggak adil, tapi kamu nggak sendirian. Ibumu... dia sudah berjuang sekuat tenaga," ujar Valdi sambil menghela napas panjang.Mayang menggeleng pelan, air mata terus mengalir di pipinya."Kenapa haru
“Apa yang aku pikirkan sih?” bisiknya pada dirinya sendiri, merasa malu dengan dorongan tersebut. Namun, rasa penasaran dan keingintahuan mulai menguasainya, membuat dia berjalan perlahan mendekati pintu kamar Mayang.Mayang, yang masih duduk di tempat tidur, mendengar langkah kaki mendekat ke kamarnya. Jantungnya berdegup kencang, menyadari bahwa Valdi mungkin akan mengetuk pintu. Di kepalanya, berbagai pikiran bercampur aduk—rasa tidak enak hati, kecanggungan, dan entah kenapa, ada juga sedikit rasa penasaran yang muncul.Valdi berdiri di depan pintu kamar Mayang, tangannya terangkat, siap untuk mengetuk. Namun, dia ragu-ragu, menahan diri. Suasana hening semakin mencekam. Pintu kamar itu menjadi penghalang tipis antara mereka, namun juga penghalang antara dorongan hati Valdi dan kesadarannya akan apa yang benar dan salah.Ketika akhirnya Valdi menurunkan tangannya, dia merasa kekuatan itu hampir menariknya kembali. Napasnya terasa berat, dan dia tahu, jika dia tidak berhati-hati, d
Valdi menahan napas sejenak, merasakan dorongan tak terduga itu. Dia melanjutkan, berusaha tetap tenang sambil memperlihatkan beberapa pakaian tidur yang juga tampak agak minim. “Ini bagus buat tidur, adem dan ringan,” ujarnya, menampilkan gambar kostum maid yang sangat ketat.Mayang menatap gambar itu sejenak, merasa agak canggung dengan pilihan pakaian yang terbuka seperti itu. “Ini... nggak kebuka terlalu banyak, Om?” tanya Mayang dengan polos, sambil mendekatkan wajahnya lagi ke layar. Saat itu, dadanya menekan lebih kuat ke tubuh Valdi, membuat napas pria itu tertahan sejenak.“Ah, nggak, Mayang. Ini hanya terlihat aja begitu di foto. Nyatanya, ini baju tidur yang nyaman kok, dan bisa kamu pakai kalau kamu mau,” Valdi berusaha terdengar meyakinkan, meski di dalam dirinya, gairah yang terpendam mulai menggeliat. Ekspresi polos Mayang, yang begitu dekat dengan tubuhnya, membuatnya semakin tergoda untuk terus mendorong gadis itu memilih pakaian-pakaian yang lebih berani.Mayang, ta
Setelah api menyala, Valdi menarik tangannya perlahan, namun posisi mereka masih sangat dekat.“Nah, begitu caranya. Mudah kan?” tanya Valdi, suaranya terdengar lebih pelan dan dalam.“Iya, Om. Ternyata gampang,” jawab Mayang, suaranya terdengar sedikit goyah karena posisi intim mereka. Dia bisa merasakan napas Valdi di lehernya, membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.Valdi merasa bahwa situasi ini semakin intens. Napasnya berat, dan dia harus menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang lebih. Namun, perasaan yang muncul dari sentuhan tadi masih terus menghantui, membuat pikirannya dipenuhi oleh bayangan-bayangan yang tidak seharusnya ada.“Baguslah kalau kamu sudah paham,” kata Valdi akhirnya, berusaha mengakhiri momen itu sebelum situasi menjadi lebih canggung. Dia melangkah mundur, memberikan ruang bagi Mayang untuk bergerak lebih bebas.Setelah situasi di dapur yang baru saja terjadi, Valdi merasa perlu melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikirannya dari ketega
Mayang terkejut sebentar tapi kemudian mengangguk, merasa sulit untuk menolak permintaan Valdi.“Boleh, Om,” jawabnya.Mereka duduk di ruang keluarga yang bersebelahan dengan kamar mereka. Valdi menyalakan TV, memilih sebuah film yang sedang tayang. Mayang duduk di lantai, agak jauh dari sofa tempat Valdi duduk, merasa agak canggung untuk duduk di dekatnya.Namun, Valdi segera menarik pergelangan tangan Mayang dengan lembut, membuatnya terkejut.“Duduk di sini, Mayang. jangan di lantai,” katanya sambil menepuk sofa di sampingnya.Mayang ragu sejenak, tapi kemudian mengikuti arahannya dan duduk di sebelah Valdi. Dia mencuri-curi pandang ke arah Valdi, menyadari bahwa pria itu memang gagah dan tampan. Wajahnya tegas, rahangnya kuat, dengan sorot mata yang tajam namun lembut.Om Valdi seganteng ini kenapa diceraikan istrinya ya? pikir Mayang, sedikit penasaran. Aroma pheromone yang samar tapi kuat mulai tercium olehnya, membuat perasaannya sedikit bergetar. Ada sesuatu dalam aroma itu ya
Pada suatu pagi, Mayang terbangun lebih awal dari biasanya. Saat dia menuruni tangga, dia melihat Valdi sudah sibuk menyiapkan sesuatu di ruang tamu. Sebuah kotak besar diletakkan di pojok ruangan, dan Valdi tampak memasang label di atasnya."Pagi, Mayang," sapa Valdi dengan senyum hangat. "Hari ini mungkin ada beberapa paket yang datang. Om sudah siapkan kotak ini untuk tempat penyimpanan sementara."Mayang mengangguk sambil tersenyum."Baik, Om," jawabnya lembut. Dia lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan dan secangkir kopi untuk Valdi.Setelah sarapan, Mayang membawa secangkir kopi panas ke ruang kerja Valdi. Ketika dia membuka pintu, dia tertegun. Ruangan itu jauh lebih mengesankan dari yang ia bayangkan.Ruang kerja Valdi tidak terlalu luas, tapi memiliki desain interior yang futuristik. Dindingnya berwarna abu-abu metalik, dengan lampu-lampu LED yang menyoroti sudut-sudut tertentu. Di satu sisi, ada sebuah balkon kecil yang terbuka, memungkinkan udara segar masuk. Namun, y
Mayang mendekat sambil tersenyum polos, memegang baju yang baru saja diterimanya. "Om, ini kayaknya kekecilan, ya?" tanyanya, matanya menatap Valdi dengan rasa ingin tahu yang jujur.Valdi tersenyum tipis, mencoba mengendalikan dirinya meski matanya tak bisa lepas dari sosok Mayang. "Nggak kok, memang modelnya begitu. Kamu malah jadi kelihatan makin cantik," jawabnya dengan suara yang sedikit serak, merasa ada getaran yang tak biasa dalam dadanya.Mayang tertawa kecil, masih dengan senyum di wajahnya. "Om beneran ini bagus dipakai sama aku?" tanyanya lagi, lalu duduk di sebelah Valdi, membuat napasnya tertahan sejenak. Dada Mayang yang masih muda dan montok nyaris menyentuh tubuhnya, dan Valdi merasa detak jantungnya semakin cepat. Valdi mengangguk, berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang meskipun hatinya berdebar."Bagus banget, Mayang, bagus," ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar, berusaha menahan diri agar tidak menunjukkan betapa terpesonanya dia. Ia tidak bisa menahan dir
Sambil tersenyum, Mayang akhirnya berhasil membuka bungkus paket tersebut. Namun, senyum di wajahnya perlahan memudar dan berubah menjadi ekspresi bingung ketika dia melihat isinya. Dia mengangkat sepasang celana dalam dengan bentuk yang aneh dan sebuah perangkat kecil yang menyertainya.“Ini... apa, Om?” tanyanya dengan suara pelan, matanya beralih dari barang tersebut ke wajah Valdi, yang sekarang tampak lebih tegang.Valdi merasa seluruh tubuhnya membeku sejenak. Pandangannya bertemu dengan mata Mayang yang penuh rasa ingin tahu, dan dia harus berpikir cepat untuk mencari alasan yang masuk akal.“Oh, itu...” Valdi berusaha menenangkan dirinya, tetapi kata-kata terasa seperti tersangkut di tenggorokannya. Dia tidak menyangka situasinya akan menjadi seperti ini, dan kini dia haru
Tanpa suara, Valdi mendekat, melangkah ke dalam pancuran dengan hati-hati. Tangan dan tubuhnya terasa hangat saat ia perlahan-lahan melingkarkan lengannya di sekitar pinggang Mayang, memeluknya erat dari belakang."Mas Valdiii!!!" pekik Mayang terkejut, tubuhnya menegang seketika saat merasakan pelukan yang tiba-tiba itu. Suara serak Valdi di telinganya, dan pelukan yang erat di tubuhnya, membuat Mayang hampir menangis karena kaget.Valdi segera membalikkan tubuh Mayang agar menghadapnya, tangan besarnya memeluk gadis itu erat-erat, mencoba menenangkan dari keterkejutan. Senyum lembut terlukis di wajahnya saat ia menatap mata Mayang yang basah oleh air, wajahnya terlihat cemas."Kenapa, Sayang?" tanya Valdi dengan nada lembut, sambil mengusap-usap punggung Mayang dengan perlahan.
Pagi itu, Valdi merasakan sesuatu yang aneh dalam tidurnya. Di tengah mimpinya, ia mulai merasakan sensasi hangat dan basah yang membangkitkan hasratnya. Tubuhnya perlahan-lahan merespons, dan kenikmatan yang merambat di sekujur tubuhnya membuatnya sadar bahwa ini bukan sekadar mimpi. Dengan mata yang masih setengah tertutup, Valdi mulai terbangun, menikmati sensasi yang semakin kuat pada batangnya.Saat matanya terbuka sepenuhnya, Valdi mendapati pemandangan yang membuatnya tersenyum lebar. Di antara seprai yang berantakan, Mayang terlihat begitu asik bermain dengan batangnya, bibirnya yang lembut menyentuh dan menjelajahi dengan penuh keingintahuan. Mulutnya bergerak dengan ritme yang pelan namun penuh gairah, seolah menikmati setiap detik yang ia lalui."Ahh... Mayang... kamu ngapain?" tanya Valdi dengan suara serak yang masih dipenuhi kantuk, tangannya refl
Valdi menatap Mayang dengan tatapan intens, lalu mulai menjilati bagian dalam pahanya dengan lembut, menciptakan jejak basah yang membuat gadis itu menggeliat dan tertawa kecil karena kegelian. Setiap jilatan yang diberikan Valdi semakin mendalam, menuju ke arah yang lebih sensitif, membuat napas Mayang terputus-putus."Om... geli, tapi enak, Om," desah Mayang, tangannya secara refleks menggenggam bantal sofa di sampingnya, tubuhnya bergoyang mengikuti ritme sentuhan Valdi.Valdi semakin mempercepat tempo, lidahnya bergerak dengan lihai, menciptakan sensasi yang tak pernah dirasakan Mayang sebelumnya."Jangan lawan, Mayang... nikmatin aja..." bisik Valdi, suaranya terdengar menggoda di antara erangan halus Mayang.Tangan Valdi dengan lembut menahan pangkal paha May
"Oke, Om... Mayang coba," ujarnya akhirnya, sambil membawa bra tersebut ke kamar untuk menggantinya.Beberapa menit kemudian, Mayang keluar dari kamar dengan langkah pelan, wajahnya masih merah padam. Bra yang baru saja dipakainya tampak pas dengan tubuhnya, memperlihatkan lekukannya dengan sempurna, namun tetap menyisakan bagian atas payudaranya yang terlihat jelas di balik daster tipis itu. Dia merasa canggung, namun juga ada perasaan aneh yang membuatnya sedikit percaya diri.Valdi menatap Mayang dengan tatapan yang dalam dan penuh kekaguman."Lihat, Om bilang juga apa. Kamu kelihatan cantik banget, Mayang," ujarnya dengan suara serak, matanya tak bisa lepas dari tubuh Mayang yang kini semakin menggoda.Mayang tersenyum malu, namun ada rasa senang yang tak bisa
Mayang tersenyum malu sambil menundukkan kepalanya, wajahnya masih memerah."Iya, Om... rasanya aneh, tapi enak," ujarnya sambil menggigit bibir bawahnya. Dia terlihat seperti seorang gadis yang baru saja menemukan sesuatu yang baru dan menarik dalam dirinya.Valdi menatapnya dengan lembut, tangannya perlahan menyentuh pipi Mayang dengan penuh kasih sayang."Memangnya Mayang belum pernah ngerasain sebelumnya?" tanyanya, suaranya lembut, hampir berbisik.Mayang menggeleng perlahan, matanya tetap menunduk."Belum, Om. Nyium cowok juga baru tadi sama Om," jawabnya dengan jujur, meski ada sedikit rasa malu yang terpancar dari wajahnya."Itu namanya orgasme, Mayang. S
Sambil tersenyum, Mayang akhirnya berhasil membuka bungkus paket tersebut. Namun, senyum di wajahnya perlahan memudar dan berubah menjadi ekspresi bingung ketika dia melihat isinya. Dia mengangkat sepasang celana dalam dengan bentuk yang aneh dan sebuah perangkat kecil yang menyertainya.“Ini... apa, Om?” tanyanya dengan suara pelan, matanya beralih dari barang tersebut ke wajah Valdi, yang sekarang tampak lebih tegang.Valdi merasa seluruh tubuhnya membeku sejenak. Pandangannya bertemu dengan mata Mayang yang penuh rasa ingin tahu, dan dia harus berpikir cepat untuk mencari alasan yang masuk akal.“Oh, itu...” Valdi berusaha menenangkan dirinya, tetapi kata-kata terasa seperti tersangkut di tenggorokannya. Dia tidak menyangka situasinya akan menjadi seperti ini, dan kini dia haru
Mayang mendekat sambil tersenyum polos, memegang baju yang baru saja diterimanya. "Om, ini kayaknya kekecilan, ya?" tanyanya, matanya menatap Valdi dengan rasa ingin tahu yang jujur.Valdi tersenyum tipis, mencoba mengendalikan dirinya meski matanya tak bisa lepas dari sosok Mayang. "Nggak kok, memang modelnya begitu. Kamu malah jadi kelihatan makin cantik," jawabnya dengan suara yang sedikit serak, merasa ada getaran yang tak biasa dalam dadanya.Mayang tertawa kecil, masih dengan senyum di wajahnya. "Om beneran ini bagus dipakai sama aku?" tanyanya lagi, lalu duduk di sebelah Valdi, membuat napasnya tertahan sejenak. Dada Mayang yang masih muda dan montok nyaris menyentuh tubuhnya, dan Valdi merasa detak jantungnya semakin cepat. Valdi mengangguk, berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang meskipun hatinya berdebar."Bagus banget, Mayang, bagus," ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar, berusaha menahan diri agar tidak menunjukkan betapa terpesonanya dia. Ia tidak bisa menahan dir
Pada suatu pagi, Mayang terbangun lebih awal dari biasanya. Saat dia menuruni tangga, dia melihat Valdi sudah sibuk menyiapkan sesuatu di ruang tamu. Sebuah kotak besar diletakkan di pojok ruangan, dan Valdi tampak memasang label di atasnya."Pagi, Mayang," sapa Valdi dengan senyum hangat. "Hari ini mungkin ada beberapa paket yang datang. Om sudah siapkan kotak ini untuk tempat penyimpanan sementara."Mayang mengangguk sambil tersenyum."Baik, Om," jawabnya lembut. Dia lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan dan secangkir kopi untuk Valdi.Setelah sarapan, Mayang membawa secangkir kopi panas ke ruang kerja Valdi. Ketika dia membuka pintu, dia tertegun. Ruangan itu jauh lebih mengesankan dari yang ia bayangkan.Ruang kerja Valdi tidak terlalu luas, tapi memiliki desain interior yang futuristik. Dindingnya berwarna abu-abu metalik, dengan lampu-lampu LED yang menyoroti sudut-sudut tertentu. Di satu sisi, ada sebuah balkon kecil yang terbuka, memungkinkan udara segar masuk. Namun, y
Mayang terkejut sebentar tapi kemudian mengangguk, merasa sulit untuk menolak permintaan Valdi.“Boleh, Om,” jawabnya.Mereka duduk di ruang keluarga yang bersebelahan dengan kamar mereka. Valdi menyalakan TV, memilih sebuah film yang sedang tayang. Mayang duduk di lantai, agak jauh dari sofa tempat Valdi duduk, merasa agak canggung untuk duduk di dekatnya.Namun, Valdi segera menarik pergelangan tangan Mayang dengan lembut, membuatnya terkejut.“Duduk di sini, Mayang. jangan di lantai,” katanya sambil menepuk sofa di sampingnya.Mayang ragu sejenak, tapi kemudian mengikuti arahannya dan duduk di sebelah Valdi. Dia mencuri-curi pandang ke arah Valdi, menyadari bahwa pria itu memang gagah dan tampan. Wajahnya tegas, rahangnya kuat, dengan sorot mata yang tajam namun lembut.Om Valdi seganteng ini kenapa diceraikan istrinya ya? pikir Mayang, sedikit penasaran. Aroma pheromone yang samar tapi kuat mulai tercium olehnya, membuat perasaannya sedikit bergetar. Ada sesuatu dalam aroma itu ya