Tahun ajaran baru telah tiba. Seperti biasa, setelah melewati liburan panjang selama kurang lebih dua bulanan, pria dengan pekerjaan sebagai seorang dosen itu harus kembali menapaki kampus dengan tujuan tentu untuk mengajar. Memberi ilmu pada mahasiswanya agar pandangan mereka lebih luas.
Namanya Pram. Gemilang Bintang Pram Santoso. Seorang dosen dari jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu universitas swasta di Jakarta. Jangan tanya umurnya berapa karena pria dengan setelan kemeja putih dan celana gelap itu sangat sensitif jika seseorang menanyakan umurnya. Menurut pria itu, umur hanyalah angka. Tak berarti apa pun selama kualitas diri lebih oke dan jiwa terasa masih muda.
Langkah lebarnya membelah lautan mahasiswa yang memenuhi lantai lobi kampus.
"Selamat pagi, Pak Pram," sapa salah satu mahasiswa bimbingannya yang dia kenal sebagai mantan wakil ketua HMJ.
Pram tak menghentikan langkahnya, tetapi dia tersenyum pada mahasiswa itu. Iya, meskipun wajahnya terlihat kurang bisa berekspresi, tetapi Pram bukanlah tipe orang yang dingin. Dia bisa tersenyum kepada orang-orang dengan ramah. Membalas sapaan mahasiswanya atau sekedar mengobrol sebentar dengan mereka.
Hari ini jadwal mengajarnya tak padat. Hanya dua SKS untuk mahasiswa baru dan empat SKS untuk mahasiswa basi alias mahasiswa lama. Setelahnya di free. Tak ada kegiatan lain selain pergi ke kantor untuk melihat kondisinya setelah setahun yang lalu dia mulai menggunakan jasa Manajer Profesional.
Ya, menjadi seorang anak dari pemilik perusahaan tak senyaman yang dikira orang-orang. Setidaknya Pram harus ikut andil menjalankan perusahaan yang mana bukan passion-nya. Dia tak suka dunia bisnis yang selalu tentang persaingan. Belum lagi orang-orang licik di dalamnya. Dengan persetujuan kedua orang tuanya, Pram menyerahkan tanggung jawabnya dengan menggunakan jasa manajer profesional. Meski begitu, Pram tetap harus memeriksa semuanya. Memberi perintah dan mengonfirmasi. Langkah apa yang akan diambil sang manajer harus lewat pemeriksaannya dulu. Barulah boleh dilaksanakan jika telah dia setujui.
Pram sendiri lebih suka menjadi seorang dosen. Mendidik para mahasiswa agar membuka pandangan lebih luas tentang dunia yang pelik ini. Membaca dan mengajar adalah hobinya. Tak ada alasan spesial, itu hanya kesukaannya. Berbanding terbalik dengan kakak pertamanya yang lebih suka berkecimpung di dunia persaingan seperti ayahnya, meskipun dia seorang wanita.
"Selamat pagi, Mas Pram."
Pram yang sedang meletakkan barang-barang di mejanya segera menoleh mendengar sapaan seseorang. Dia menemukan seorang wanita paruh baya di sana dengan senyum tipis di bibirnya.
"Pagi juga Bu Devi," sapanya balik pada ketua program studi yang baru saja masuk.
Bu Devi berjalan ke arah mejanya berada.
"Ngajar di mana nanti Mas?" tanyanya.
"Dua kelas aja, Bu. Anak baru sama mahasiswa semester 7."
"Wah, Seninnya senggang, ya, Mas."
Pram tersenyum tipis mendengar itu. Senin senggang memang sangat jarang. Bahkan dua tahun mengajar, baru semester ini menemukan jadwal bahwa Seninnya lumayan sepi. Paling cepat biasanya dia sampai sore. Kali ini, pukul satu siang dia sudah lepas dari jadwal kampus. Untuk sekarang masih belum ada jadwal seminar atau pun rapat.
Jam mulai menunjukkan pukul delapan pas. Para dosen mulai berdatangan. Ada yang sudah datang sedari tadi, kini keluar untuk mengajar. Rata-rata yang begitu dosen yang biasanya para mahasiswa sebut killer. Dan Pram salah satunya. Sebenarnya sebutan killer itu karena dosen itu berada di jalan yang benar. Makanya para mahasiswa yang hidupnya kebanyakan klemar-klemer selalu merasa tak nyaman dengan dosen yang sat set seperti Pram.
"Pagi, Bu Devi, pagi Mas Pram."
Sapa seorang wanita dengan setelan kasual dan terlihat anggun dipakainya, masuk dengan senyum tipis.
Pram tersenyum melihat kedatangan wanita itu.
"Pagi juga, Bu Salisa," sapa balik oleh Bu Devi.
"Duh, tambah ayu saja Bu Salisa ini. Cocok sekali dengan Mas Pram."
Pram terkekeh, sedangkan Salisa tersenyum malu.
"Sudah, cepat disegerakan Mas Pram. Nanti Bu Salisa diembat orang gimana coba?" kelakar Devi ketika terus melihat kucing-kucingan antara dua bawahannya.
"Pak Pram ini sahabat saya kok, Bu," jawab Salisa dengan cengiran. Dia pun berjalan mendekat ke arah mejanya yang sejajar dengan meja Pram.
Pram hanya diam. Perkataan itu bukan apa-apa ketimbang kenangan dua kali penolakan dari wanita itu. Hatinya sudah kebal.
"Ngajar sampe pukul berapa?"
Salisa mengingat sebentar. "Sore kayaknya. Lo?"
"Siang doang. Dinner mau sama gue?"
Salisa langsung mengangguk dengan dua jempol terangkat.
Makanan doang yang di-yes-in. Perasaan Pram tidak.
Sudah biasa. Pram tak kaget akan itu.
Lalu Salisa dan Pram berpisah untuk beranjak ke kelas masing-masing yang akan dia ajar.
"Jangan galak-galak ke anak baru, Pram," ujar Salisa di akhiri dengan lambaiannya.
Pram hanya menaikkan kedua alisnya sebelum kembali melangkah ke arah tujuannya. Lantai empat lah yang dimaksud. Biasanya Pram lebih suka sampai dengan menaiki tangga. Namun hari ini badannya terasa tak nyaman, seperti masuk angin. Jadi dia memutuskan untuk menaiki lift.
Seperti biasa, lift terlihat penuh. Tak ada pembeda antara lift dosen dan mahasiswa di sana. Semuanya bercampur. Hanya saja untuk menuju lantai tiga dan dua harus memiliki kartu akses yang hanya dimiliki oleh dosen karena lantai itu terdapat ruangan rapat yang hanya dikhususkan oleh para jajaran.
Belum sampai pada jajaran mahasiswa yang mengantri, semuanya segera memberikan jalan pada Pram agar lebih dulu memasuki lift yang mereka tunggu sedari tadi.
Pram tak menolak. Mereka masih muda, jadi jika terlambat bisa berlari ke arah tangga. Sedangkan dirinya sudah berumur—ah, bukan begitu juga, tapi memang begitu—yang jika sakit begini menaiki tangga rasanya tubuhnya rontok semua.
Di lift itu tak begitu sesak. Ada tiga perempuan dan dua lelaki. Namun ketika dia sudah masuk ke sana, para mahasiswa di belakang berebutan untuk ikut masuk.
Ada dua alasan yang cocok untuk orang-orang itu. Pertama, mereka ingin satu lift dengan Pram. Kedua, mereka tak ingin telat karena dosen mereka tepat waktu seperti Pram. Namun melihat dari mereka tak ada satu pun yang menyapanya, Pram merasa alasan kedua yang cocok untuk mereka.
Pram terdorong sampai berdekatan dengan seorang wanita yang sedari dia masuk terus menatap ponselnya. Sudah sebegitu sesaknya lift itu, tetapi para mahasiswa masih berusaha mencari space kosong untuk mereka sampai benar-benar sesesak itu. Bahkan tubuh Pram dan mahasiswa itu saling menempel. Ada gesekan sedikit saat wanita itu terus di dorong ke belakang.
"Woy! Penuh ini!" ujar wanita itu setelah alarm tanda lift keberatan muatan terdengar.
Lalu beberapa orang mengalah dan keluar sampai alarm itu tak lagi berbunyi.
Pram ingin menempatkan tas laptopnya di depan asetnya, tetapi jika dia bergerak, ada kemungkiman orang di depannya salah paham. Dia pun mengangkat tangannya agar jika wanita itu merasa dilecehkan, CCTV bisa melihat tangannya tak melakukan apa pun. Bukan salahnya jika phallus-nya mengembang akibat senggolan oleh gundukan belakang wanita itu. Entah disengaja atau tidak, Pram tak tahu itu. Namun dari sesaknya besi kotak itu, Pram menyimpulkan bahwa semuanya karena orang-orang yang berdesakan.
Wanita itu terkekeh sinis. "Boys will boys," katanya dengan tetap memandang ponselnya seolah dia mengatakan itu untuk sesuatu di layar itu. Padahal Pram tahu betul perkataan itu untuknya.
Pram mengikuti alur buatan wanita itu. Dia ikut mengeluarkan ponselnya, meletakkan di telinganya seolah dia sedang menelepon. "Hey, Excuse me, itu salah saya?"
Beberapa orang menoleh ke arahnya. Bukan karena dia berteriak, tetapi karena suara lirihnya yang terdengar musk dan berat.
Begitu pun dengan wanita itu. Dia mendongak untuk melihat wajah Pram.
Pram memamerkan senyum palsu pada wanita itu. Setelah angka lift menunjukkan lantai tujuannya, dia pun segera pamit dengan isyarat pada wanita itu untuk keluar lebih dulu.
Wanita dengan rambut gelombang itu menatap Pram dengan tak suka, tetapi dia tetap menyingkir dari hadapan pria itu. Tujuan mereka berbeda. Wanita itu tetap stay di sana, sedangkan Pram keluar dari sana.
Pram menghela napas untuk merilekskan diri. Pria dewasa tanpa pasangan, di pagi hari terkena senggolan pantat wanita yang tak dikenal harus dimaklumi bukan jika phallus-nya terbangun? Itu sebuah kejadian yang tak terencana. Semoga tak mencoreng nama baik seorang dosen. Nama baiknya tak apa, asal jangan nama instansi atau pekerjaannya yang sangat mulia. Jika wanita itu memiliki akal, pasti dia akan memakluminya.
Setelah ini apakah dia akan dicap sebagai dosen mesum?
Pram menghela napasnya sebelum masuk di sebuah ruangan yang berada di ujung dekat tangga. Dia meninggalkan semua masalah pribadinya di luar, lalu fokus untuk menjalankan kewajibannya.
Langkahnya santai, tetapi orang-orang di dalam langsung ribut begitu melihat sosoknya.
Pram tersenyum tipis melihat itu.
"Tolong ditutup pintunya," ujar Pram pada seorang mahasiswi berhijab yang duduk lebih dekat dengan pintu.
Dia tersenyum sopan lalu mengangguk, setelahnya di berdiri untuk menutup pintu itu dan kembali duduk ke kursinya setelah melaksanakan tugas yang diberikan oleh Pram.
Setelahnya, Pram menghidupkan laptopnya. Mengambil kabel proyektor untuk menyambungkan tampilan layar laptopnya pada benda teknologi itu.
"Mas-mas yang tinggi, tolong tarik itu," tunjuk Pram pada pegangan layar yang berada di atas papan.
Sebenarnya Pram bisa melakukan sendiri semua suruhannya, tetapi itu agar membuat koneksi komunikasi dengan para mahasiswanya. Karena jika dia melakukan semuanya sendiri, kelas akan hening dan wajah dinginnya membuat kesan buruk dipertemuan pertamanya dengan para mahasiswa yang masih unyuk-unyuk.
"Oke, saya akan menjelaskan peraturan-peraturan di kelas saya."
Pram berdiri dari duduknya.
"Pertama, kalian tidak boleh menggunakan ponsel barang sedetik pun, kecuali: satu, saat absen. Dua, saat saya suruh. Selain dari dua hal tersebut, kalian sangat dilarang menggunakan benda pipih itu. Paham?"
Para mahasiswa menyahut paham dengan serentak. Namun satu orang mengunjukkan tangan.
"Hukumannya apa, Pak?"
Pram tersenyum tipis. "Tidak ada," jawabnya dengan tanpa memikirkan sedikit pun hukuman untuk mereka.
Mereka tertawa mendengar itu. Tawa yang sama dengan para kakak tingkat mereka saat masih mahasiswa baru juga.
"Toleransi keterlambatan lima menit. Lebih dari itu silakan membuat makalah tentang materi hari itu lalu mempresentasilan pada saya lewat pertemuan virtual."
Satu orang mengangkat tangan. Namun Pram menahannya sebentar untuk melanjutkan kalimatnya.
"Itu juga berlaku untuk saya. Bedanya saya tetap mengajar. Namun setiap saya telat, saya akan mengugurkan satu rencana kuis mendadak dari saya untuk kalian dan memberi nilai A pada kuis itu bagi yang hadir sebelum saya terlambat."
Semuanya bersorak gembira. Sedangkan Pram hanya tersenyum tipis merekam senyum-senyum itu diingatannya yang sepertinya mustahil untuk dia lihat ke depannya.
Itu mustahil, ya. Jangan berharap.
Setelah itu, Pram melanjutkan menjelaskan mekanisme pengajarannya lalu berlanjut pada sesi saling berkenalan diri, baik dirinya atau pun mahasiswanya.
Setiap mengajar mahasiswa baru, pertemuan pertamanya akan Pram isi dengan perkenalan dan pembagian kelompok presentasi. Namun setelah hari itu, tidak ada namanya hari santai. Semua harus bersiap berada di kapal pengajarannya sampai berhenti dipelabuhan pergantian semester.
***
Selesai mengajar di kelas anak-anak baru, Pram melangkahkan kakinya untuk menuju ke kelas selanjutnya. Yakni kelas para mahasiswa basi. Mata kuliah yang dia ajarkan untuk mereka adalah riset. Untuk kelas ini, Pram akan membuat kesepakatan untuk pertemuan mereka karena tak mungkin setiap minggu mereka harus berada di kelas. Mahasiswa seperti ini sudah punya kesibukan masing-masing. Ada yang magang, ada yang sudah bekerja، ada yang job sana sini, ada pula yang menunggu nasib baik di kediaman.Pram membuka pintu, tak seperti mahasiswa baru yang antusias, para mahasiswa yang berjumlah 72 orang ini menatap biasa pada Pram. Hanya tersenyum tipis jika saling berserobok mata.Pram mendudukkan diri lalu menatap pada sebagian anggota kelas yang Pram hafalnamanya karena mereka sering bolak-balik bertemu kaprodi. Apalagi di kelas itu lebih banyak pengurus himpunan yang sering mengundangnya untuk seminar.Pram memang buk
Makan malam Pram dengan Salisa harus dia tunda akibat orang tuanya ingin makan malam dengannya. Dia tak bisa menolak karena momen makan malam bersama di tahun ini bisa diingat hanya berapa kali. Tak sesering dulu karena orang tuanya sangat sibuk ke luar negeri."Papa ngundang Pak Gunawan dan istrinya juga," ujar Hilda, mamanya.Pram yang baru datang mengangguk. Dia tak keberatan siapa pun yang diundang orang tuanya."Apa kabar, Ma?" tanya Pram sembari memeluk dan mengecup pipi mamanya.Hilda tersenyum tipis. "Baik. Kamu?""Tentu saja seperti yang Mama lihat."Wanita itu tersenyum bahagia mendengar itu. Pram pun beralih menyapa papanya yang masih sibuk dengan ponsel. Setelah itu dia mengambil tempat duduk di samping mamanya."Engga ada kandidat calon buat dikenalin ke Mama, nih?"Jika biasanya orang-orang seumuran Pram yang belum menikah ak
"Esthel, sini bentar."Panggilan dari mamanya membuat wanita dengan setelan santai itu mendekat ke arah mamanya berada."Mama pulang nanti malam," ujar Ajeng pada anak tunggalnya.Wanita muda itu terlihat menahan senyum bahagianya."Mama kok cepet banget di sininya? Engga mau satu bulan gitu?" tanyanya dengan nada yang dibuat sedih.Ajeng menghela napas mendengar itu. "Yaudah, Mama sebulan di sini."Sekarang wajah wanita muda itu gelagapan. "Eh, kata Papa, kalian lagi sibuk launching produk baru. Kalo ditinggal kan nggak baik, Ma," ujarnya beralasan dan Ajeng tahu akan maksud ucapan itu. Dia hanya menggertak anaknya.Gunawan datang dari arah dapur. "Papa sendirian nge-handle bisa, tuh. Kayaknya kamu aja yang nggak mau kami di sini," ujarnya sembari membawa sepiring buah naga.Wanita muda itu melipat bibirnya ke dala
Setelah kepergian para orang tua, kini tinggallah Pram dan Rachel dalam ruangan selebar itu. Rachel bingung akan melakukan apa karena barang-barangnya sudah ditata oleh mamanya."Kita bicara sebentar bisa?"Pram yang berjalan di belakangnya berbicara, membuat Rachel berbalik menoleh ke arahnya."Tentang?""Kesepakatan."Rachel pun mengangguk. Iya, harus ada kesepakatan di antara mereka, agar dosen itu tak semena-mena. Ya ... meskipun yang berpotensi untuk semena-mena adalah dirinya sendiri.Pram menuju sofa yang tadi diramaikan oleh keluarganya.Setelah Rachel duduk, Pram mengeluarkan dua lembar kertas HVS lengkap dengan bolpoin yang dia ambil dari bawah meja."Tulis hal-hal yang kamu ingin sepakati dengan saya. Saya juga akan menuliskannya."Rachel mengangguk tanpa bertanya lagi, dia pun segera menulis semua hal yang ada
Pukul lima pas, Pram keluar dari kamarnya sembari melakukan streaching agar peredaran darahnya lancar. Kakinya dengan langkah ringan berjalan ke arah sakelar lampu berada. Mematikan satu persatu lampu yang semalam tak sempat dia matikan karena dia terlelap tanpa direncanakan. Setelah itu dia berbalik ke arah dapur untuk menyeduh kopi instan. Pagi yang hambar jika tanpa sebuah minuman pekat menyegarkan mata.Selesai melarutkan bubuk itu, Pram berjalan lagi ke arah ruang santai. Berdiri di depan ruangan dengan pemandangan yang langsung disajikan hamparan gedung-gedung di sekitar gedung apartemen Pram berhalangkan smart glass. Sembari meminum sedikit demi sedikit kafeinnya, Pram menata hal-hal yang akan dia lakukan seharian itu dalam pikirannya.Seketika Pram ingat bahwa dia tak tinggal sendirian. Ada Rachel juga yang harus Pram ajak untuk melakukan aktivitas harian bersamanya.Pria itu meletakkan cang
Setelah dari mesin cuci tadi, Rachel memilih untuk mengambil ponselnya untuk menghubungi teman-temannya."Mau kemana kita hari ini, yaaaa?"Rachel bermonolog sembari menunggu panggilan videonya tersambung dengan para sahabatnya.Adit, Sopo dan Jarwo namanya. Tiga lelaki dengan tingkah laku bikin tepok jidat yang sayangnya merupakan sahabat Rachel. "Widih, apartemen baru, nih? Pesta kagak?" Satu suara yang sangat dikenal menyambut ketika video tersambung. Lelaki gendut dengan rambut keriting dan kaca mata minus di batang hidung merupakan pelakunya. Namanya Sopo.
Setelah kepergian Pram, Rachel bernapas lega. Dia pun bersiap-siap karena memiliki janji dengan para sahabatnya. Siapa lagi kalo bukan Adit, Sopo, dan Jarwo.Sebenarnya itu bukan nama mereka. Itu panggilan kesayangan Rachel pada tiga orang itu. Namun meski begitu, Rachel mengambilnya dari potongan nama mereka, bukan sembarangan ambil nama tokoh kartun, dan kebetulan semuanya tepat. Sehingga Rachel mencocokkan semuanya.Seperti Adit. Nama asli lelaki itu adalah Rakrya Ditya. Lalu Sopo dari Prakoso Poli. Dan terakhir Jarwo. Ganjar Wobikarsono. Kebetulan yang sangat pas bukan?Setelah siap dengan dandanannya, Rachel segera turun. Menghampiri Adit yang sedari sepuluh menit lalu menunggunya di depan gedung."Om lo kaya, ya?"Sambutan dari Adit bukan tentang kabarnya, melainkan tentang om bohongannya yang tentu saja Pram maksudnya.Rachel mengangguk tak acuh. Dia segera masuk di
Dari sekian banyak hal baik yang dilakukan oleh Rachel, dia tak menyangka bahwa hal jelek terus yang akan tampak di mata dosennya itu. Ini baru hari kedua sejak wanita itu kenal secara personal dengan Pram. Namun tak ada hal baik sedikit pun yang bisa dia tampakkan padanya. Selalu kejelekan. Sampai-sampai Rachel malu sendiri mengingatnya.Sejujurnya, bangun pagi dibangunkan oleh pria merupakan hal yang nggak banget untuk diceritakan pada siapa pun. Itu aib bagi Rachel. Dia juga seorang wanita yang ingin dipandang dari sisi baiknya, apalagi di depan lawan jenis yang super tampan dan holkay. Sebenarnya dia ingin sekali bangun pagi. Memberikan kesan baik pada pria tampan itu setidaknya dengan bangun lebih dulu. Sayang seribu kali sayang kebiasannya yang selalu bangun telat terbawa sampai detik ini.Rachel duduk dengan canggung di sofa. Bayu di sebelahnya juga. Dia terlihat salah tingkah ketika matanya berserobot dengan dua dosen di depannya.
Di pagi hari, seperti biasa Rachel akan dibangunkan oleh Pram untuk olahraga, bersih-bersih dan memasak.Hari ini Pram berangkat kerja siang, jadi Pram sedikit lembut pada Rachel dan tak memburu-burunya."Pak, hari ini beli McD, ya?"Rachel berucap ketika mereka telah selesai membersihkan seluruh penjuru apartemen itu. Pram merupakan orang yang teliti, di waktu seperti ini, pria itu biasa membersihkan apartemennya lebih intens daripada hari-hari biasanya, apalagi ketika hari libur, membuat Rachel jengkel setengah mati. Dia yang selalu ogah-ogahan mengerjakan sesuatu dituntut untuk ikut bersifat teliti dan sungguh-sungguh seperti dosennya itu. Jika tidak, you know-lah apa yang akan terjadi. Sangunya diancam akan semakin menipis. Ya ... meskipun selama beberapa hari itu ancaman Pram tak pernah terjadi. Namun Rachel tetap berhati-hati, uangnya tak cukup untuk apa pun, tetapi masih akan dipotong. Ke lau
Rachel membersihkan dirinya setelah dipaksa Pram menata segala belanjaannya. Tak hanya itu, Pram sekaligus menyuruh Rachel membersihkan kamarnya. Tentu dengan pengawasan dosennya itu karena jika tak begitu, maka seluruh area kamarnya tak sebersih itu sekarang. Lihat, bahkan keranjang baju kotornya saja bersih karena Pram ingin Rachel mencuci bajunya detik itu juga.Setelah selesai membersihkan diri, Rachel menatap jam di dinding. Sudah pukul tujuh malam. Tak terasa, ternyata Rachel menghabiskan satu jam sendiri untuk memanjakan tubuhnya.Sembari menelepon Bayu, Rachel sembari memakai skincare malamnya. Katanya, rangkaian perawatan wajah lebih efektif saat dipakai pukul sembilan malam. Namun, jika nanti-nanti maka Rachel akan malas. Jadi, Rachel memakai skincare-nya se-mood hatinya saja. Untung saja tetap memberi efek bagus pada kulitnya."Bi, nginep sini, yuk. Besok aku libur k
Pertemuan tadi mengantarkan Pram pada suasana pembulian di antara teman-temannya. Namanya yang terus suci—meski dia tak sesuci itu, jadi tercoreng. Di sana rasanya Pram ingin melahap Rachel hidup-hidup. Apalagi ketika melihat wajah mahasiswanya itu yang terlihat tanpa dosa setelah mengatakan hal fitnah.Kini, Pram dan Rachel beserta enam pria dewasa tadi memilih untuk berkumpul di salah satu kios restoran untuk mengisi perut mereka di siang hari itu."Ketemu di mana sama ini om-om renta?"Raka, sahabat Pram dengan kemeja biru dan celana putih tadi yang bersuara.Pram tak terima dituakan, meski memang umurnya hampir menuju angka empat. "Gue renta, lu apaan? Fosilnya renta? Inget, baru kepala empat lo. Jan belagak masih kepala tig
Setelah dari market meski dengan wajah masam, Pram masih mau mengantar Rachel ke mal untuk membeli skincare. Mungkin dosennya itu malas berhadapan dengan drama-drama yang akan dibuat Rachel."Ambil sebutuhnya aja," peringat Pram yang membuat Rachel merotasikan bola matanya."Iya, iya Pak! Harus berapa kali lagi sih ngomong gitu.""Kamu orangnya boros! Makanya harus diingetin terus biar nggak kalap."Semakin dilarang, maka seperti suruhan bagi Rachel. Tenang, Pram akan merasakan jengkel jilid dua untuk hari yang sama."Dih, kalo nggak percaya yaudah ikut masuk aja," celetuk Rachel.Pram mengangguk, lalu segera melangkahkan kakinya ke dalam kios serba pink itu.Lah, benaran masuk. Padahal Rachel berkata asal saja.Akhirnya Rachel membuntuti Pram. Dia mengambil keranjang sebelum akhirnya berjalan memburu barang skincare
Rachel berjalan cepat di belakang Pram karena langkah dosennya itu lebar sekali."Pak! Kita nggak dikejar setan!" ujar Rachel pada akhirnya karena lelah mengikuti jejak Pram.Pria dengan kemeja hitam dan celana cokelat susu itu berhenti lalu menoleh ke arah Rachel yang terlihat berada di belakang beberapa langkah.Pria itu mengangguk, lalu berjalan santai sembari melihat ponselnya.Rachel mendekat dan menyamai langkah Pram. Mereka saat ini berada di area parkiran menuju lantai di mana big mart berada. Berjalan bersama memasuki gedung betingkat-tingkat itu."Ambil yang dibutuhkan aja," peringat Pram sembari mendorong troll yang baru dia ambil.Rachel merotasikan bola matanya mendengar itu. Ketika dosennya itu tak melihatnya, Rachel berkata lirih, "Nyenyenyenye." Sembari mencakar angin.Pram tahu Rachel bertingkah aneh di belakangnya, tetap
Sejak Rachel mengetahui kelemahan Pram, wanita itu mulai menyusun strategi. Sepertinya menjahili dosennya itu seperti tadi menyenangkan sekali. Apalagi ketika melihat Pram tak berkutik ketika Rachel dekati. Lucunya lagi sampai menahan napas. Benar-benar kolot, batin Rachel.Rachel sekarang berada di balkon, menikmati suasana pagi dengan sinar yang baik untuk tubuh. Kakinya berselonjor di kursi santai dengan tangan yang terlipat di belakang kepala sebagai bantal. Dilihat-lihat, Rachel seperti berjemur di pantai. Untuk saja dia tak memakai bikini.Setelah menyicil judul-judul penelitian yang akan disetorkan ada Pram, Rachel tak tahu lagi akan melakukan apa. Tiga sahabatnya sedang sibuk aktivitas masing-masing. Pacarnya sedang sibuk magang. Ingin bertemu dengan teman wanitanya tetapi Rachel sedang tak pegang duit.Bertemu dengan para wanita tanpa uang di kantong bukanlah ide bagus. Pertemanan Rachel dengan mereka han
Setelah drama bangun tidur tadi, Rachel tak berhenti di situ. Dia masih mencari gara-gara agar Pram semakin kesal dengannya. Seperti saat ini, saat tengah lari pagi, Rachel malah berjalan dengan santai di belakang Pram seoalah wanita itu sedabg menikmati udara segar pagi. Sehingga Pram yang sudah jauh di depannya harus mundur kembali untuk menceramahi Rachel."Santai, atuh, Pak. Dikejar apa sih? Udara pagi itu harus dinikmati," ujarnya dengan berlagak menghirup udara.Pram menghela napas. "Lari atau saya potong uang jajan kamu?""Dih, mainnya gitu, nggak seru deh," gerutu Rachel yang mau tak mau harus memilih lari. Uang tiga ratus kemarin kurang, apalagi jika masih dikurangi. Kemarin cukup karena para sahabatnya mentraktirnya segala macam dan pulang pergi dijemput oleh Adit. Entahlah hari ini bagaimana Rachel akan menjalani harinya.Berlari sedikit, Rachel sudah sesak napas. Pram di belakangnya terkekeh, t
Pulang dari rumah Sopo, Rachel melihat ke arah jam tangannya. Sudah pukul sebelas malam dan dia baru saja sampai di apartemen dosennya.Wanita dengan jeans dan tank top rib-nya berjalan santai ke arah dapur. Tangannya menaruh kemeja yang tadi dia pakai tetapi dia buka karena kegerahan, juga tas slempangnya ke atas meja dapur.Suasana yang remang-remang membuat bulu kuduknya merinding. Rachel termasuk pasukan remaja yang takut dengan mati lampu dan dia sekarang berada di dapur dengan lampu remang-remang. Mitos konon katanya setan selalu berada di atas kompor atau di belakang pintu kulkas jika buka malam-malam. Naasnya, Rachel akan membuka pintu kulkas itu karena mineral semuanya berkumpul di sana. Jika saja dia tahu di mana sakelar lampunya, pasti Rachel akan menghampiri tempat itu lebih dulu, sayang dia orang baru di sana.Rachel berniat mengurungkan niatnya itu, tetapi tenggorokannya seret akibat memakan bakpia m
Dari sekian banyak hal baik yang dilakukan oleh Rachel, dia tak menyangka bahwa hal jelek terus yang akan tampak di mata dosennya itu. Ini baru hari kedua sejak wanita itu kenal secara personal dengan Pram. Namun tak ada hal baik sedikit pun yang bisa dia tampakkan padanya. Selalu kejelekan. Sampai-sampai Rachel malu sendiri mengingatnya.Sejujurnya, bangun pagi dibangunkan oleh pria merupakan hal yang nggak banget untuk diceritakan pada siapa pun. Itu aib bagi Rachel. Dia juga seorang wanita yang ingin dipandang dari sisi baiknya, apalagi di depan lawan jenis yang super tampan dan holkay. Sebenarnya dia ingin sekali bangun pagi. Memberikan kesan baik pada pria tampan itu setidaknya dengan bangun lebih dulu. Sayang seribu kali sayang kebiasannya yang selalu bangun telat terbawa sampai detik ini.Rachel duduk dengan canggung di sofa. Bayu di sebelahnya juga. Dia terlihat salah tingkah ketika matanya berserobot dengan dua dosen di depannya.