Setelah dari mesin cuci tadi, Rachel memilih untuk mengambil ponselnya untuk menghubungi teman-temannya.
"Mau kemana kita hari ini, yaaaa?"
Rachel bermonolog sembari menunggu panggilan videonya tersambung dengan para sahabatnya.
Adit, Sopo dan Jarwo namanya. Tiga lelaki dengan tingkah laku bikin tepok jidat yang sayangnya merupakan sahabat Rachel.
"Widih, apartemen baru, nih? Pesta kagak?"
Satu suara yang sangat dikenal menyambut ketika video tersambung. Lelaki gendut dengan rambut keriting dan kaca mata minus di batang hidung merupakan pelakunya. Namanya Sopo.
Rachel yang sedang memposisikan agar ponselnya berada di tempat sempurna segera mendecak. "Pesta pala lu. Gue diem ama Om gue ini."
Setelah merasa pas, Rachel memperlihatkan wajahnya pada tiga lelaki dari balik layarnya.
Adit, lelaki paling tampan di sana menatap Rachel dengan penuh godaan. "Om beneran, apa Om Sugar, nih?"
Rachel mnyeruput minuman serealnya. "Om beneranlah."
"Yah, pendengar kecewa. Gue berharap om sugar. Biar gue kecipratan duid lo gitu," ujar lelaki dengan rambut cepak dan dagu berjanggut.
Rachel memutar bola matanya. "Heh, Jarwo. Uang dari emak bapak lu kurang emang?"
Sependek ingatan Rachel, ayah dari Sopo masih bekerja sebagai manajer di perusahaan mobil terkenal. Tak mungkin sekali jika Jarwo sampai kekurangan uang saku.
"Wkwkwk, dia lagi dihukum, Chel. Uang sakunya dipotong gara-gara ketahuan begituan sama ceweknya," celetuk Sopo yang membuat Jarwo terlihat keberatan dengan ucapannya.
"Heh, Sopo! Nyebar hoax dosa tahu!" sahut Jarwo dengan sok suci padahal mereka semua tahu bahwa tak ada orang baik di antara mereka.
"Hoax dosa. Nyundul gundukan cewek kaga ya, Wok," sindir Adit yang membuat Sopo tertawa puas.
"Terus napa uang jajan lo dipotong, Wo?" tanya Rachel.
"Gue nggak sengaja bentak nyokap. Doski tersinggung, Papa juga. Jadinya bagian gue dipotong. Katanya untuk merenungkan diri wkwkkw."
"Syukurin!" ujar Rachel, Sopo dan Adit bebarengan.
"Rachel, sini!"
"Om lo?" tanya Adit yang membuat Rachel tersenyum canggung.
"Gue off ya. Om gue, manggil."
Tanpa persetujuan mereka, Rachel langsung memutuskan sambungab itu.
Dia segera keluar dengan kaki dihentak-hentak untuk mengetahui hal apalagi yang akan membuat awal harinya menyebalkan. Sesampainya di depan kamarnya, Rachel menemukan Pram berdiri dengan memegang sapu dan pel-pelan.
Apalagi ini?
"Enggak mau."
Belum sepatah Pram berkata, tetapi Rachel langsung mengatakan itu.
"Surat kesepakatan nomor satu menyebutkan bahwa kamu harus menuruti ucapan saya."
Rachel memutar bola matanya. Dia pun dengan langkah ogah-ogahan mendekat ke arah Pram. "Apa? Kalo disuruh nyapu atau ngepel saya nggak mau."
Pram mendecak. "Terus gunanya kamu di apartemen saya apa?"
Rachel melipat tangannya sembari mengedikkan bahunya. "Ya mana saya tahu. Tanya aja ke mama saya sana."
Pram segera menyahut, "Oke," ujarnya sembari mengambil ponsel yang ada disaku celananya.
Rachel segera mendekat dan merampas ponsel pria itu. "Bercanda, Pak. Ish, Bapak ini nggak bisa diajak bercanda dikit aja."
Pram tersenyum miring. Dia pun sebenarnya tak berniat menelepon ibu dari mahasiswanya itu. Hanya gertakkan saja agar Rachel segera menuruti ucapannya.
"Pilih. Sapu atau pel?" tanya Pram sembari mengulurkan dua barang kedua tangannya.
"Atau."
Pram menghela napas mendengar itu.
Lelah sesungguhnya dia berbicara dengan Rachel. Namun jika tak begitu bagaimana lagi, karena ini sudah tugas yang dipasrahkan ibu wanita itu sendiri.
"Oke, kamu pel," putus Pram.
"Sapu," sahut Rachel sembari menarik kasar benda berambut itu dari tangan Pram.
Pram memaksakan tersenyum tipis sembari menghela napas. Dia harus lebih sabar menghadapi Rachel. Ini baru hari pertama. Masih ada 29 hari lagi— jika tak meleset dari dugaan— yang harus dia jalani bersama mahasiswanya itu.
"Kita ke ruang santai dulu," ujar Pram sembari memberi syarat agar Rachel mengikutinya.
Wanita itu menurut.
"Tahu cara gunainnya kan?"
Rachel menggeleng.
Sudah Pram duga.
Dia pun mendekat ke arah wanita itu.
"Ini udah alat paling gampang untuk kamu gunain, ya. Kalo masih juga enggak paham, saya rasa otak kamu ada yang salah."
"Dih, dosen kok julidan. Salah itu manusiawi kali," timpal Rachel dengan wajah tersinggung.
"Kamu manusia? Oh, saya kira setan. Soalnya sifatnya sama, sih, jadi ketuker kan saya."
Rachel terkejut mendengar ucapan dosennya itu. Ini baru hari pertama bersama pria itu, tetapi Pram sudah berani menghinanya. Bagaimana hari selanjutnya?
"Pak, ini bidadari, loh. Bisa-bisanya dipanggil setan."
Pram menepuk bahu Rachel dengan wajah mengerti yang dibuat-buat. "Oke, oke. Coba perhatiin ini, ya."
Rachel ingin sekali meneruskan perdebatan itu, tetapi jika dia mengulur waktu, maka semakin lama dia akan berurusan dengan dosen kampretnya itu.
"Kamu pel aja kayak biasanya. Biar lantainya harum dan bersih, kamu pencet ini nanti keluar air di sana," ujar Pram menjelaskan cara pemakaian pel semprot itu.
"Kayak biasanya gimana? Ini pertama kali dalam hidup saya," ujar Rachel sewot.
Pram berkacak pinggang. Manja sekali.
"Ini tinggal di dorong maju mundur doang. Kalo udah bersih, ya ... kamu pindah ke lain tempat." Pram mulai hilang kesabaran.
Rachel mengelus pundak Pram. "Sabar, sabar. Enggak usah marah-marah. Namanya orang enggak tahu."
Pram segera menyingkirkan tangan itu. Dia pun langsung mengerjakan bagiannya. Jika terus meladeni Rachel, bisa-bisa dia gila.
"Dih, ngambekkan."
Tak digubris. Akhirnya Rachel memilih untuk ikut membersihkan ruangan itu.
Tepat jam setengah delapan, keduanya selesai melakukan tugas bersih-bersih. Pram dan Rachel memilih duduk dan menyandarkan tubuhnya pada sofa. Keringat membasahi tubuh masing-masing. Padahal keduanya sudah membersihkan diri tadi setelah olahraga, tetapi terlihat seperti belum mandi.
"Ini dilakuin tiap hari?" tanya Rachel dengan terengah.
Pram mengangguk lemas.
Wanita itu mengangkat tangannya untuk melihat jam yang melingkar di sana.
"Mana cukup buat siap-siap ke kampus."
"Kalo kamu nggak ngerengek ini-itu, enggak ngotorin tempat yang udah saya bersihin, enggak menggerutu seolah orang paling ngenes di dunia ... jam tujuh udah selesai."
Rachel menegakkan tubuhnya dan menatap tak setuju pada Pram yang duduk di sebelahnya. "Kalo Bapak enggak main kejar-kejaran buat miting leher saya dan enggak ceramahin saya, mungkin sekarang saya udah kenyang makan sarapan saya."
Pram ikut menegakkan tubuhnya. "Alasan saya ngejar kamu itu kan kamu sendiri yang jahil. Pake naburin debu yang udah saya serok."
Rachel tak mau kalah. "Bapak duluan mancing-mancing saya dengan kalimat pedes Bapak."
"Itu fakta. Kalo enggak mau dikatain gitu, ya jadi orang normal dong. Ngapain kamu tersinggung sama hal yang jelas-jelas kamu lakuin sendiri."
Rachel melipat bibirnya ke dalam. "Oke, fine saya salah. Ayo sarapan. Saya laper, enggak mau kenyang sama cacian Bapak."
Pram tersadarkan bahwa dia belum sarapan dan perutnya sudah berbunyi sedari lari pagi tadi. Dia pun bangkit menuju dapur dengan dibuntuti oleh Rachel di belakangnya.
"Karena hari ini saya ada kerjaan, saya saja yang masak. Kalau masih mengajari kamu, mungkin sore nanti saya baru bisa sarapan."
Rachel mengedikkan bahunya. Tak menjawab dosennya itu, dia memilih untuk duduk di satu kursi bar mini.
Besok dan seterusnya, Rachel akan melakukan itu lagi agar setiap hari dosennya itu yang memasak. Haha.
***
Setelah kepergian Pram, Rachel bernapas lega. Dia pun bersiap-siap karena memiliki janji dengan para sahabatnya. Siapa lagi kalo bukan Adit, Sopo, dan Jarwo.Sebenarnya itu bukan nama mereka. Itu panggilan kesayangan Rachel pada tiga orang itu. Namun meski begitu, Rachel mengambilnya dari potongan nama mereka, bukan sembarangan ambil nama tokoh kartun, dan kebetulan semuanya tepat. Sehingga Rachel mencocokkan semuanya.Seperti Adit. Nama asli lelaki itu adalah Rakrya Ditya. Lalu Sopo dari Prakoso Poli. Dan terakhir Jarwo. Ganjar Wobikarsono. Kebetulan yang sangat pas bukan?Setelah siap dengan dandanannya, Rachel segera turun. Menghampiri Adit yang sedari sepuluh menit lalu menunggunya di depan gedung."Om lo kaya, ya?"Sambutan dari Adit bukan tentang kabarnya, melainkan tentang om bohongannya yang tentu saja Pram maksudnya.Rachel mengangguk tak acuh. Dia segera masuk di
Dari sekian banyak hal baik yang dilakukan oleh Rachel, dia tak menyangka bahwa hal jelek terus yang akan tampak di mata dosennya itu. Ini baru hari kedua sejak wanita itu kenal secara personal dengan Pram. Namun tak ada hal baik sedikit pun yang bisa dia tampakkan padanya. Selalu kejelekan. Sampai-sampai Rachel malu sendiri mengingatnya.Sejujurnya, bangun pagi dibangunkan oleh pria merupakan hal yang nggak banget untuk diceritakan pada siapa pun. Itu aib bagi Rachel. Dia juga seorang wanita yang ingin dipandang dari sisi baiknya, apalagi di depan lawan jenis yang super tampan dan holkay. Sebenarnya dia ingin sekali bangun pagi. Memberikan kesan baik pada pria tampan itu setidaknya dengan bangun lebih dulu. Sayang seribu kali sayang kebiasannya yang selalu bangun telat terbawa sampai detik ini.Rachel duduk dengan canggung di sofa. Bayu di sebelahnya juga. Dia terlihat salah tingkah ketika matanya berserobot dengan dua dosen di depannya.
Pulang dari rumah Sopo, Rachel melihat ke arah jam tangannya. Sudah pukul sebelas malam dan dia baru saja sampai di apartemen dosennya.Wanita dengan jeans dan tank top rib-nya berjalan santai ke arah dapur. Tangannya menaruh kemeja yang tadi dia pakai tetapi dia buka karena kegerahan, juga tas slempangnya ke atas meja dapur.Suasana yang remang-remang membuat bulu kuduknya merinding. Rachel termasuk pasukan remaja yang takut dengan mati lampu dan dia sekarang berada di dapur dengan lampu remang-remang. Mitos konon katanya setan selalu berada di atas kompor atau di belakang pintu kulkas jika buka malam-malam. Naasnya, Rachel akan membuka pintu kulkas itu karena mineral semuanya berkumpul di sana. Jika saja dia tahu di mana sakelar lampunya, pasti Rachel akan menghampiri tempat itu lebih dulu, sayang dia orang baru di sana.Rachel berniat mengurungkan niatnya itu, tetapi tenggorokannya seret akibat memakan bakpia m
Setelah drama bangun tidur tadi, Rachel tak berhenti di situ. Dia masih mencari gara-gara agar Pram semakin kesal dengannya. Seperti saat ini, saat tengah lari pagi, Rachel malah berjalan dengan santai di belakang Pram seoalah wanita itu sedabg menikmati udara segar pagi. Sehingga Pram yang sudah jauh di depannya harus mundur kembali untuk menceramahi Rachel."Santai, atuh, Pak. Dikejar apa sih? Udara pagi itu harus dinikmati," ujarnya dengan berlagak menghirup udara.Pram menghela napas. "Lari atau saya potong uang jajan kamu?""Dih, mainnya gitu, nggak seru deh," gerutu Rachel yang mau tak mau harus memilih lari. Uang tiga ratus kemarin kurang, apalagi jika masih dikurangi. Kemarin cukup karena para sahabatnya mentraktirnya segala macam dan pulang pergi dijemput oleh Adit. Entahlah hari ini bagaimana Rachel akan menjalani harinya.Berlari sedikit, Rachel sudah sesak napas. Pram di belakangnya terkekeh, t
Sejak Rachel mengetahui kelemahan Pram, wanita itu mulai menyusun strategi. Sepertinya menjahili dosennya itu seperti tadi menyenangkan sekali. Apalagi ketika melihat Pram tak berkutik ketika Rachel dekati. Lucunya lagi sampai menahan napas. Benar-benar kolot, batin Rachel.Rachel sekarang berada di balkon, menikmati suasana pagi dengan sinar yang baik untuk tubuh. Kakinya berselonjor di kursi santai dengan tangan yang terlipat di belakang kepala sebagai bantal. Dilihat-lihat, Rachel seperti berjemur di pantai. Untuk saja dia tak memakai bikini.Setelah menyicil judul-judul penelitian yang akan disetorkan ada Pram, Rachel tak tahu lagi akan melakukan apa. Tiga sahabatnya sedang sibuk aktivitas masing-masing. Pacarnya sedang sibuk magang. Ingin bertemu dengan teman wanitanya tetapi Rachel sedang tak pegang duit.Bertemu dengan para wanita tanpa uang di kantong bukanlah ide bagus. Pertemanan Rachel dengan mereka han
Rachel berjalan cepat di belakang Pram karena langkah dosennya itu lebar sekali."Pak! Kita nggak dikejar setan!" ujar Rachel pada akhirnya karena lelah mengikuti jejak Pram.Pria dengan kemeja hitam dan celana cokelat susu itu berhenti lalu menoleh ke arah Rachel yang terlihat berada di belakang beberapa langkah.Pria itu mengangguk, lalu berjalan santai sembari melihat ponselnya.Rachel mendekat dan menyamai langkah Pram. Mereka saat ini berada di area parkiran menuju lantai di mana big mart berada. Berjalan bersama memasuki gedung betingkat-tingkat itu."Ambil yang dibutuhkan aja," peringat Pram sembari mendorong troll yang baru dia ambil.Rachel merotasikan bola matanya mendengar itu. Ketika dosennya itu tak melihatnya, Rachel berkata lirih, "Nyenyenyenye." Sembari mencakar angin.Pram tahu Rachel bertingkah aneh di belakangnya, tetap
Setelah dari market meski dengan wajah masam, Pram masih mau mengantar Rachel ke mal untuk membeli skincare. Mungkin dosennya itu malas berhadapan dengan drama-drama yang akan dibuat Rachel."Ambil sebutuhnya aja," peringat Pram yang membuat Rachel merotasikan bola matanya."Iya, iya Pak! Harus berapa kali lagi sih ngomong gitu.""Kamu orangnya boros! Makanya harus diingetin terus biar nggak kalap."Semakin dilarang, maka seperti suruhan bagi Rachel. Tenang, Pram akan merasakan jengkel jilid dua untuk hari yang sama."Dih, kalo nggak percaya yaudah ikut masuk aja," celetuk Rachel.Pram mengangguk, lalu segera melangkahkan kakinya ke dalam kios serba pink itu.Lah, benaran masuk. Padahal Rachel berkata asal saja.Akhirnya Rachel membuntuti Pram. Dia mengambil keranjang sebelum akhirnya berjalan memburu barang skincare
Pertemuan tadi mengantarkan Pram pada suasana pembulian di antara teman-temannya. Namanya yang terus suci—meski dia tak sesuci itu, jadi tercoreng. Di sana rasanya Pram ingin melahap Rachel hidup-hidup. Apalagi ketika melihat wajah mahasiswanya itu yang terlihat tanpa dosa setelah mengatakan hal fitnah.Kini, Pram dan Rachel beserta enam pria dewasa tadi memilih untuk berkumpul di salah satu kios restoran untuk mengisi perut mereka di siang hari itu."Ketemu di mana sama ini om-om renta?"Raka, sahabat Pram dengan kemeja biru dan celana putih tadi yang bersuara.Pram tak terima dituakan, meski memang umurnya hampir menuju angka empat. "Gue renta, lu apaan? Fosilnya renta? Inget, baru kepala empat lo. Jan belagak masih kepala tig
Di pagi hari, seperti biasa Rachel akan dibangunkan oleh Pram untuk olahraga, bersih-bersih dan memasak.Hari ini Pram berangkat kerja siang, jadi Pram sedikit lembut pada Rachel dan tak memburu-burunya."Pak, hari ini beli McD, ya?"Rachel berucap ketika mereka telah selesai membersihkan seluruh penjuru apartemen itu. Pram merupakan orang yang teliti, di waktu seperti ini, pria itu biasa membersihkan apartemennya lebih intens daripada hari-hari biasanya, apalagi ketika hari libur, membuat Rachel jengkel setengah mati. Dia yang selalu ogah-ogahan mengerjakan sesuatu dituntut untuk ikut bersifat teliti dan sungguh-sungguh seperti dosennya itu. Jika tidak, you know-lah apa yang akan terjadi. Sangunya diancam akan semakin menipis. Ya ... meskipun selama beberapa hari itu ancaman Pram tak pernah terjadi. Namun Rachel tetap berhati-hati, uangnya tak cukup untuk apa pun, tetapi masih akan dipotong. Ke lau
Rachel membersihkan dirinya setelah dipaksa Pram menata segala belanjaannya. Tak hanya itu, Pram sekaligus menyuruh Rachel membersihkan kamarnya. Tentu dengan pengawasan dosennya itu karena jika tak begitu, maka seluruh area kamarnya tak sebersih itu sekarang. Lihat, bahkan keranjang baju kotornya saja bersih karena Pram ingin Rachel mencuci bajunya detik itu juga.Setelah selesai membersihkan diri, Rachel menatap jam di dinding. Sudah pukul tujuh malam. Tak terasa, ternyata Rachel menghabiskan satu jam sendiri untuk memanjakan tubuhnya.Sembari menelepon Bayu, Rachel sembari memakai skincare malamnya. Katanya, rangkaian perawatan wajah lebih efektif saat dipakai pukul sembilan malam. Namun, jika nanti-nanti maka Rachel akan malas. Jadi, Rachel memakai skincare-nya se-mood hatinya saja. Untung saja tetap memberi efek bagus pada kulitnya."Bi, nginep sini, yuk. Besok aku libur k
Pertemuan tadi mengantarkan Pram pada suasana pembulian di antara teman-temannya. Namanya yang terus suci—meski dia tak sesuci itu, jadi tercoreng. Di sana rasanya Pram ingin melahap Rachel hidup-hidup. Apalagi ketika melihat wajah mahasiswanya itu yang terlihat tanpa dosa setelah mengatakan hal fitnah.Kini, Pram dan Rachel beserta enam pria dewasa tadi memilih untuk berkumpul di salah satu kios restoran untuk mengisi perut mereka di siang hari itu."Ketemu di mana sama ini om-om renta?"Raka, sahabat Pram dengan kemeja biru dan celana putih tadi yang bersuara.Pram tak terima dituakan, meski memang umurnya hampir menuju angka empat. "Gue renta, lu apaan? Fosilnya renta? Inget, baru kepala empat lo. Jan belagak masih kepala tig
Setelah dari market meski dengan wajah masam, Pram masih mau mengantar Rachel ke mal untuk membeli skincare. Mungkin dosennya itu malas berhadapan dengan drama-drama yang akan dibuat Rachel."Ambil sebutuhnya aja," peringat Pram yang membuat Rachel merotasikan bola matanya."Iya, iya Pak! Harus berapa kali lagi sih ngomong gitu.""Kamu orangnya boros! Makanya harus diingetin terus biar nggak kalap."Semakin dilarang, maka seperti suruhan bagi Rachel. Tenang, Pram akan merasakan jengkel jilid dua untuk hari yang sama."Dih, kalo nggak percaya yaudah ikut masuk aja," celetuk Rachel.Pram mengangguk, lalu segera melangkahkan kakinya ke dalam kios serba pink itu.Lah, benaran masuk. Padahal Rachel berkata asal saja.Akhirnya Rachel membuntuti Pram. Dia mengambil keranjang sebelum akhirnya berjalan memburu barang skincare
Rachel berjalan cepat di belakang Pram karena langkah dosennya itu lebar sekali."Pak! Kita nggak dikejar setan!" ujar Rachel pada akhirnya karena lelah mengikuti jejak Pram.Pria dengan kemeja hitam dan celana cokelat susu itu berhenti lalu menoleh ke arah Rachel yang terlihat berada di belakang beberapa langkah.Pria itu mengangguk, lalu berjalan santai sembari melihat ponselnya.Rachel mendekat dan menyamai langkah Pram. Mereka saat ini berada di area parkiran menuju lantai di mana big mart berada. Berjalan bersama memasuki gedung betingkat-tingkat itu."Ambil yang dibutuhkan aja," peringat Pram sembari mendorong troll yang baru dia ambil.Rachel merotasikan bola matanya mendengar itu. Ketika dosennya itu tak melihatnya, Rachel berkata lirih, "Nyenyenyenye." Sembari mencakar angin.Pram tahu Rachel bertingkah aneh di belakangnya, tetap
Sejak Rachel mengetahui kelemahan Pram, wanita itu mulai menyusun strategi. Sepertinya menjahili dosennya itu seperti tadi menyenangkan sekali. Apalagi ketika melihat Pram tak berkutik ketika Rachel dekati. Lucunya lagi sampai menahan napas. Benar-benar kolot, batin Rachel.Rachel sekarang berada di balkon, menikmati suasana pagi dengan sinar yang baik untuk tubuh. Kakinya berselonjor di kursi santai dengan tangan yang terlipat di belakang kepala sebagai bantal. Dilihat-lihat, Rachel seperti berjemur di pantai. Untuk saja dia tak memakai bikini.Setelah menyicil judul-judul penelitian yang akan disetorkan ada Pram, Rachel tak tahu lagi akan melakukan apa. Tiga sahabatnya sedang sibuk aktivitas masing-masing. Pacarnya sedang sibuk magang. Ingin bertemu dengan teman wanitanya tetapi Rachel sedang tak pegang duit.Bertemu dengan para wanita tanpa uang di kantong bukanlah ide bagus. Pertemanan Rachel dengan mereka han
Setelah drama bangun tidur tadi, Rachel tak berhenti di situ. Dia masih mencari gara-gara agar Pram semakin kesal dengannya. Seperti saat ini, saat tengah lari pagi, Rachel malah berjalan dengan santai di belakang Pram seoalah wanita itu sedabg menikmati udara segar pagi. Sehingga Pram yang sudah jauh di depannya harus mundur kembali untuk menceramahi Rachel."Santai, atuh, Pak. Dikejar apa sih? Udara pagi itu harus dinikmati," ujarnya dengan berlagak menghirup udara.Pram menghela napas. "Lari atau saya potong uang jajan kamu?""Dih, mainnya gitu, nggak seru deh," gerutu Rachel yang mau tak mau harus memilih lari. Uang tiga ratus kemarin kurang, apalagi jika masih dikurangi. Kemarin cukup karena para sahabatnya mentraktirnya segala macam dan pulang pergi dijemput oleh Adit. Entahlah hari ini bagaimana Rachel akan menjalani harinya.Berlari sedikit, Rachel sudah sesak napas. Pram di belakangnya terkekeh, t
Pulang dari rumah Sopo, Rachel melihat ke arah jam tangannya. Sudah pukul sebelas malam dan dia baru saja sampai di apartemen dosennya.Wanita dengan jeans dan tank top rib-nya berjalan santai ke arah dapur. Tangannya menaruh kemeja yang tadi dia pakai tetapi dia buka karena kegerahan, juga tas slempangnya ke atas meja dapur.Suasana yang remang-remang membuat bulu kuduknya merinding. Rachel termasuk pasukan remaja yang takut dengan mati lampu dan dia sekarang berada di dapur dengan lampu remang-remang. Mitos konon katanya setan selalu berada di atas kompor atau di belakang pintu kulkas jika buka malam-malam. Naasnya, Rachel akan membuka pintu kulkas itu karena mineral semuanya berkumpul di sana. Jika saja dia tahu di mana sakelar lampunya, pasti Rachel akan menghampiri tempat itu lebih dulu, sayang dia orang baru di sana.Rachel berniat mengurungkan niatnya itu, tetapi tenggorokannya seret akibat memakan bakpia m
Dari sekian banyak hal baik yang dilakukan oleh Rachel, dia tak menyangka bahwa hal jelek terus yang akan tampak di mata dosennya itu. Ini baru hari kedua sejak wanita itu kenal secara personal dengan Pram. Namun tak ada hal baik sedikit pun yang bisa dia tampakkan padanya. Selalu kejelekan. Sampai-sampai Rachel malu sendiri mengingatnya.Sejujurnya, bangun pagi dibangunkan oleh pria merupakan hal yang nggak banget untuk diceritakan pada siapa pun. Itu aib bagi Rachel. Dia juga seorang wanita yang ingin dipandang dari sisi baiknya, apalagi di depan lawan jenis yang super tampan dan holkay. Sebenarnya dia ingin sekali bangun pagi. Memberikan kesan baik pada pria tampan itu setidaknya dengan bangun lebih dulu. Sayang seribu kali sayang kebiasannya yang selalu bangun telat terbawa sampai detik ini.Rachel duduk dengan canggung di sofa. Bayu di sebelahnya juga. Dia terlihat salah tingkah ketika matanya berserobot dengan dua dosen di depannya.