"Esthel, sini bentar."
Panggilan dari mamanya membuat wanita dengan setelan santai itu mendekat ke arah mamanya berada.
"Mama pulang nanti malam," ujar Ajeng pada anak tunggalnya.
Wanita muda itu terlihat menahan senyum bahagianya.
"Mama kok cepet banget di sininya? Engga mau satu bulan gitu?" tanyanya dengan nada yang dibuat sedih.
Ajeng menghela napas mendengar itu. "Yaudah, Mama sebulan di sini."
Sekarang wajah wanita muda itu gelagapan. "Eh, kata Papa, kalian lagi sibuk launching produk baru. Kalo ditinggal kan nggak baik, Ma," ujarnya beralasan dan Ajeng tahu akan maksud ucapan itu. Dia hanya menggertak anaknya.
Gunawan datang dari arah dapur. "Papa sendirian nge-handle bisa, tuh. Kayaknya kamu aja yang nggak mau kami di sini," ujarnya sembari membawa sepiring buah naga.
Wanita muda itu melipat bibirnya ke dalam. "Rachel enggak mau nyusahin Papa Mama aja, sih."
Ajeng menggerutu. "Enggak mau nyusahin, tapi kerjaannya nyusahin mulu. Sadar nggak sadar kayaknya ini anak."
Wanita muda bernama Rachel itu terkekeh mendengar sungutan mamanya. Dia pun mendekat dan memeluk bundaharanya. "Maafin aku mommy," ujarnya dengan nada manja, membuat Ajeng luluh seketika.
Rachel melepas pelukannya untuk mencomot satu potongan buah milik Gunawan. "Selama apartemen aku di perbaiki, aku tinggal di mana, Ma?"
"Dia aparteme—"
"Yes!"
Belum selesai perkataan Ajeng, tetapi Rachel sudah berselebrasi.
"—men anaknya temen Mama," lanjut ajeng dengan raut terkesiap.
Rachel menoleh ke arah Ajeng dengan raut bertanya. "Heh?"
"Kamu akan tinggal di apartemen anaknya temen Mama."
Rachel melotot. Dia pun menjatuhkan potongan buahnya ke lantai kamar hotel.
"Mama Papa bangkrut?!" tanyanya dengan histeris membuat Gunawan terkejut mendengarnya. Dia sampai langsung menelan utuh satu potongan besar buah naga.
"Astaga!" katanya setelah buah naga itu berhasil meluncur dengan susah payah di tenggorokan sempitnya.
Ajeng menggeleng dengan tenang.
"Terus??"
"Supaya kamu bisa contoh hidup baik dia."
Rachel menggeleng. "No! Aku enggak mau!"
Ajeng juga menggeleng. "Kamu harus mau."
Rachel menghela napas beratnya. "Kalo aku nggak mau Mama mau gimana?"
"Potong sangu kamu lebih ekstrim dari sekarang."
Big no! Rachel merupakan orang yang gila sosialita. Hidup dengan potongan sangu kemarin saja membuat hidupnya engap. Apa lagi pemotong yang lebih ekstrem dari itu.
"Aku nginep di apartemen temen aku aja."
"Siapa? Cewek atau cowok? Hidupnya baik engga? Bisa menjadi contoh kamu selama sebulan itu? Atau malah mengajak kamu yang enggak-enggak."
Rachel hanya bisa mengerucutkan bibirnya. Temannya memang tak ada yang benar. Bahkan dengan sekali lihat, mata mamanya yang tajam itu bisa mengetahui sifat busuk hati teman-temannya yang sebelas dua belas dengannya. Memang teman, tuh, cerminan diri banget.
"Oke, aku mau. Sebulan doang 'kan?" tanya Rachel memastikan.
Ajeng mengedikkan bahunya. "Seselesainya renovasi apartemen kamu."
Rachel menepuk dahinya. Banyak yang dia minta pada renovasi itu. Minimal 45 hari baru selesai semua dalam perhitungan kotor. Bisa lebih dari itu, tetapi tak mungkin kurang.
Baru kali ini Rachel mengutuk keinginannya yang terlalu banyak itu.
***
Rachel berjalan mengikuti langkah mama dan papanya dengan ogah-ogahan. Dia sangat tak bersemangat untuk pindah dari hotel menuju apartemen anak dari sahabat mamanya. Padahal dilihat dari nama gedung ini, Rachel tahu bahwa isinya orang kaya semua. Namun mengingat dia akan hidup bersama orang lain, rasanya sangat menyebalkan.
Ajeng tak menggubris omongan anaknya dari belakang. Dia tetap berjalan menuju tempat yang diberitahukan Hilda kemarin.
Masuk ke kotak besi, Rachel menghentikan langkahnya di luar lift, sedangkan orang tuanya sudah masuk.
"Masuk, Esthel," ucap Ajeng dengan santai.
Rachel menggeleng.
Ajeng yang tengah memencet tombol agar pintu tetap terbuka mengedikkan bahunya lalu melepaskan tombol itu setelah menekankan kartu akses pada sensor di sana agar langsung menuju lantai yang dia tuju.
"Terserah kamu. Berarti kamu memilih untuk menjadi orang susah,"
Ajeng memilih menegaskan diri di sana. Anak perempuannya itu selalu semena-mena karena dia memanjakannya.
Pintu pun tertutup, dan Ajeng sama sekali tak berharap pintu itu terbuka lagi. Dia sebenarnya lebih senang jika Rachel memilih untuk hidup susah. Itu artinya dia mempunyai kemauan untuk mengirit. Saat tangannya ingin menelepon Hilda untuk membatalkan perihal Rachel, pintu itu terbuka menampilkan anaknya dengan wajah ditekuk.
"Kamu sudah memilih, cepet masuk dan jangan rewel."
Rachel melangkah masuk dengan ogah-ogahan. Hatinya dongkol sekali, tetapi dia tak bisa mengeluarkan emosinya pada orang tua yang selalu memberikan yang terbaik untuknya.
Pintu lift terbuka tepat pada lantai 28. Tiga orang itu keluar dan langsung disuguhkan sebuah ruangan yang sangat terlihat mewah sekaligus klasik.
"Wah, sudah datang ternyata."
Suara itu menyambut keluarga Gunawan ketika mereka sudah keluar dari kotak besi itu.
Wanita paruh baya yang bajunya sedang dilapisi celemek itu mendekat dengan heboh.
"Apa kabar Esthel? Aduh duh, cantik sekali."
Rachel tersenyum tipis. Dia ingin menyalami wanita itu, tetapi dia menjauh.
"Bau daging. Nanti aja ya, Cantik," ujarnya ramah.
"Silakan duduk di sana, Jeng, Wan. Aku lagi siapin makan malam. Para cowok-cowok lagi beli-beli ke bawah."
Ajeng mengangguk, lalu dia mendorong Rachel dan Gunawan ke arah ruang santai berada. Sedangkan dia mendekat ke arah Hilda. "Ci, aku bantu, yah."
"Kuy."
Itu percakapan terakhir sebelum Rachel beranjak ke ruang santai. Di sana sepi. Tak ada orang satu pun. Hanya alunan musik dari sound yang beradi di pojokan.
Rachel duduk santai, tetapi matanya memindai ruangan yang luasnya tiga kali lipat ketimbang apartemennya. Dia menebak-nebak umur sang pemilik apartemen ini. Bisa jadi anak sahabat mamanya itu seumuran dengan para dosennya. Atau mungkin seumurannya? Jika iya, iri sekali Rachel pada anak itu.
Apartemen ini luas sekali. Jika hanya dihuni sendirian, rasanya sangat membahagiakan.
"Umur berapa anak temen Mama ini Pa?" tanya Rachel pada Gunawan di sampingnya yang sedang fokus dengan ponsel.
"Enggak tahu, tapi kayaknya 30-an, deh."
Rachel mengangguk-angguk mendengar itu. Dia pun kembali terdiam sembari menatap ke sekeliling. Nuansanya sangat klasik. Perpaduan warna putih dan kayu. Terlihat estetika sekali. Dilihat dari sekitar yang sangat bersih tanpa perabotan lain selain yang dibutuhkan, pasti sang pemilik tak suka kotor dan anti ribet. Berbanding terbalik dengan dirinya yang sangat suka mengacak-ngacak kediamannya. Menaruh ini-itu untuk memperamai space yang terlihat kosong dan hambar.
Beberapa menit dari itu, lift berdenting. Menandakan kedatangan seseorang. Gunawan terlihat memasukkan ponselnya dan dengan cepat berdiri dari duduknya untuk menemui orang itu.
Rachel ikut berdiri, tetapi dia tak beranjak dari tempatnya. Hanya sekedar menghormati sang pemilik apartemen.
"Dari mana saja Kawan?" sapa papanya.
Gunawan dan Santoso saling berpelukan sebentar. Lalu berjalan bersama dengan saling merangkul ke arah sofa berada. Tepat ketika tubuh dua pria paruh baya itu menyingkir, Rachel melihat sosok tak asing di sana.
Dia membulatkan matanya, menutup mulut karena tak percaya dengan sosok yang dilihatnya.
"Pak Pram?" lirih Rachel yang membuat pria itu menoleh ke arahnya.
Pria itu menatap Rachel sebentar sebelum tersenyum tipis pada wanita itu. Sangat tenang, tak terlihat terkejut sekali. Kontras dengan Rachel yang seakan matanya akan keluar dari tempatnya.
"Saling mengenal?" tanya Gunawan pada Rachel karena terus menatap Pram dari pria itu berjalan ke sofa hingga duduk di seberang Rachel.
"Enggak!"
"Iya."
Jawaban yang kontras. Membuat Gunawan maupun Santoso menatap heran pada dua manusia itu.
"Dia salah satu mahasiswi Pram, Pa, Om."
Rachel menggerutu, mengapa dosennya itu harus mengaku.
Rachel duduk dengan canggung.
"Wah? Kebetulan sekali, ya?"
"Apa yang kebetulan?"
Itu suara Ajeng yang baru saja datang dari arah dapur dengan Hilda.
"Ini, Ma. Ternyata Nak Pram itu dosen Esthel dia kampus."
Ajeng dan Hilda kompak terkejut. "Oh, iya? Wah, kebetulan sekali ini. Tolong diawasi ya, Nak Pram. Kalau dia nakal, coreng saja nilainya."
Apa maksudnya ini? Siapa yang mengawasi Rachel? Atau jangan-jangan ...?
Rachel tersungut mengetahui apa maksudnya. Untung saja Hilda menghentikan itu sebelum dia melontarkan keberatannya karena sudah tiba waktunya makan malam.
Selama makan malam, Rachel tak menyahuti percakapan orang-orang di depannya. Dia hanya menatap makanannya sesekali melihat Pram dengan sewot ketika pria itu berbicara tentang dirinya. Lebih tepatnya tentang kelakuannya di kampus yang terus mencetak nilai pas-pasan di matkulnya.
Tahu apa memang dia. Rachel dan dosennya itu tak saling mengenal. Don't judge me by my grades!
Setelah makan malam itu selesai, Rachel meminta waktu bicara dengan Ajeng. Hilda pun paham, akhirnya dia mengizinkan memakaibsatu kamar untuk pembicaraan mereka.
"Ma! Dia pria dewasa! Mama yakin aku enggak bakal diapa-apain?"
Ajeng bersedekap dada. "Mama malah khawatir Pram yang kamu apa-apain."
Rachel menggertakkan giginya. "Dia pria dewasa, loh, Ma."
"Justru karena dia dewasa makanya Mama percaya titipin kamu ke dia daripada ke temen kamu yang enggak jelas itu."
Rachel menghela napas beratnya. Tak lagi mendebat karena pasti dialah yang kalah.
Ajeng memegang dua bahu Rachel. "Mama tahu keluarga Pram. Mereka orang baik. Kalo-kalo seumpama Pram melakukan sesuatu yang enggak-enggak. Mama yang bakal hukum dia dengan tangan Mama sendiri."
Ajeng terdengar sungguh-sungguh.
"Lagi pula di sini kalian bukannya satu kamar. Kamar di sini ada empat. Hanya satu atap saja. Itu pun kamu bisa lihat sendiri betapa luasnya tempat ini."
Ya, Rachel benar-benar kalah debat.
***
Setelah kepergian para orang tua, kini tinggallah Pram dan Rachel dalam ruangan selebar itu. Rachel bingung akan melakukan apa karena barang-barangnya sudah ditata oleh mamanya."Kita bicara sebentar bisa?"Pram yang berjalan di belakangnya berbicara, membuat Rachel berbalik menoleh ke arahnya."Tentang?""Kesepakatan."Rachel pun mengangguk. Iya, harus ada kesepakatan di antara mereka, agar dosen itu tak semena-mena. Ya ... meskipun yang berpotensi untuk semena-mena adalah dirinya sendiri.Pram menuju sofa yang tadi diramaikan oleh keluarganya.Setelah Rachel duduk, Pram mengeluarkan dua lembar kertas HVS lengkap dengan bolpoin yang dia ambil dari bawah meja."Tulis hal-hal yang kamu ingin sepakati dengan saya. Saya juga akan menuliskannya."Rachel mengangguk tanpa bertanya lagi, dia pun segera menulis semua hal yang ada
Pukul lima pas, Pram keluar dari kamarnya sembari melakukan streaching agar peredaran darahnya lancar. Kakinya dengan langkah ringan berjalan ke arah sakelar lampu berada. Mematikan satu persatu lampu yang semalam tak sempat dia matikan karena dia terlelap tanpa direncanakan. Setelah itu dia berbalik ke arah dapur untuk menyeduh kopi instan. Pagi yang hambar jika tanpa sebuah minuman pekat menyegarkan mata.Selesai melarutkan bubuk itu, Pram berjalan lagi ke arah ruang santai. Berdiri di depan ruangan dengan pemandangan yang langsung disajikan hamparan gedung-gedung di sekitar gedung apartemen Pram berhalangkan smart glass. Sembari meminum sedikit demi sedikit kafeinnya, Pram menata hal-hal yang akan dia lakukan seharian itu dalam pikirannya.Seketika Pram ingat bahwa dia tak tinggal sendirian. Ada Rachel juga yang harus Pram ajak untuk melakukan aktivitas harian bersamanya.Pria itu meletakkan cang
Setelah dari mesin cuci tadi, Rachel memilih untuk mengambil ponselnya untuk menghubungi teman-temannya."Mau kemana kita hari ini, yaaaa?"Rachel bermonolog sembari menunggu panggilan videonya tersambung dengan para sahabatnya.Adit, Sopo dan Jarwo namanya. Tiga lelaki dengan tingkah laku bikin tepok jidat yang sayangnya merupakan sahabat Rachel. "Widih, apartemen baru, nih? Pesta kagak?" Satu suara yang sangat dikenal menyambut ketika video tersambung. Lelaki gendut dengan rambut keriting dan kaca mata minus di batang hidung merupakan pelakunya. Namanya Sopo.
Setelah kepergian Pram, Rachel bernapas lega. Dia pun bersiap-siap karena memiliki janji dengan para sahabatnya. Siapa lagi kalo bukan Adit, Sopo, dan Jarwo.Sebenarnya itu bukan nama mereka. Itu panggilan kesayangan Rachel pada tiga orang itu. Namun meski begitu, Rachel mengambilnya dari potongan nama mereka, bukan sembarangan ambil nama tokoh kartun, dan kebetulan semuanya tepat. Sehingga Rachel mencocokkan semuanya.Seperti Adit. Nama asli lelaki itu adalah Rakrya Ditya. Lalu Sopo dari Prakoso Poli. Dan terakhir Jarwo. Ganjar Wobikarsono. Kebetulan yang sangat pas bukan?Setelah siap dengan dandanannya, Rachel segera turun. Menghampiri Adit yang sedari sepuluh menit lalu menunggunya di depan gedung."Om lo kaya, ya?"Sambutan dari Adit bukan tentang kabarnya, melainkan tentang om bohongannya yang tentu saja Pram maksudnya.Rachel mengangguk tak acuh. Dia segera masuk di
Dari sekian banyak hal baik yang dilakukan oleh Rachel, dia tak menyangka bahwa hal jelek terus yang akan tampak di mata dosennya itu. Ini baru hari kedua sejak wanita itu kenal secara personal dengan Pram. Namun tak ada hal baik sedikit pun yang bisa dia tampakkan padanya. Selalu kejelekan. Sampai-sampai Rachel malu sendiri mengingatnya.Sejujurnya, bangun pagi dibangunkan oleh pria merupakan hal yang nggak banget untuk diceritakan pada siapa pun. Itu aib bagi Rachel. Dia juga seorang wanita yang ingin dipandang dari sisi baiknya, apalagi di depan lawan jenis yang super tampan dan holkay. Sebenarnya dia ingin sekali bangun pagi. Memberikan kesan baik pada pria tampan itu setidaknya dengan bangun lebih dulu. Sayang seribu kali sayang kebiasannya yang selalu bangun telat terbawa sampai detik ini.Rachel duduk dengan canggung di sofa. Bayu di sebelahnya juga. Dia terlihat salah tingkah ketika matanya berserobot dengan dua dosen di depannya.
Pulang dari rumah Sopo, Rachel melihat ke arah jam tangannya. Sudah pukul sebelas malam dan dia baru saja sampai di apartemen dosennya.Wanita dengan jeans dan tank top rib-nya berjalan santai ke arah dapur. Tangannya menaruh kemeja yang tadi dia pakai tetapi dia buka karena kegerahan, juga tas slempangnya ke atas meja dapur.Suasana yang remang-remang membuat bulu kuduknya merinding. Rachel termasuk pasukan remaja yang takut dengan mati lampu dan dia sekarang berada di dapur dengan lampu remang-remang. Mitos konon katanya setan selalu berada di atas kompor atau di belakang pintu kulkas jika buka malam-malam. Naasnya, Rachel akan membuka pintu kulkas itu karena mineral semuanya berkumpul di sana. Jika saja dia tahu di mana sakelar lampunya, pasti Rachel akan menghampiri tempat itu lebih dulu, sayang dia orang baru di sana.Rachel berniat mengurungkan niatnya itu, tetapi tenggorokannya seret akibat memakan bakpia m
Setelah drama bangun tidur tadi, Rachel tak berhenti di situ. Dia masih mencari gara-gara agar Pram semakin kesal dengannya. Seperti saat ini, saat tengah lari pagi, Rachel malah berjalan dengan santai di belakang Pram seoalah wanita itu sedabg menikmati udara segar pagi. Sehingga Pram yang sudah jauh di depannya harus mundur kembali untuk menceramahi Rachel."Santai, atuh, Pak. Dikejar apa sih? Udara pagi itu harus dinikmati," ujarnya dengan berlagak menghirup udara.Pram menghela napas. "Lari atau saya potong uang jajan kamu?""Dih, mainnya gitu, nggak seru deh," gerutu Rachel yang mau tak mau harus memilih lari. Uang tiga ratus kemarin kurang, apalagi jika masih dikurangi. Kemarin cukup karena para sahabatnya mentraktirnya segala macam dan pulang pergi dijemput oleh Adit. Entahlah hari ini bagaimana Rachel akan menjalani harinya.Berlari sedikit, Rachel sudah sesak napas. Pram di belakangnya terkekeh, t
Sejak Rachel mengetahui kelemahan Pram, wanita itu mulai menyusun strategi. Sepertinya menjahili dosennya itu seperti tadi menyenangkan sekali. Apalagi ketika melihat Pram tak berkutik ketika Rachel dekati. Lucunya lagi sampai menahan napas. Benar-benar kolot, batin Rachel.Rachel sekarang berada di balkon, menikmati suasana pagi dengan sinar yang baik untuk tubuh. Kakinya berselonjor di kursi santai dengan tangan yang terlipat di belakang kepala sebagai bantal. Dilihat-lihat, Rachel seperti berjemur di pantai. Untuk saja dia tak memakai bikini.Setelah menyicil judul-judul penelitian yang akan disetorkan ada Pram, Rachel tak tahu lagi akan melakukan apa. Tiga sahabatnya sedang sibuk aktivitas masing-masing. Pacarnya sedang sibuk magang. Ingin bertemu dengan teman wanitanya tetapi Rachel sedang tak pegang duit.Bertemu dengan para wanita tanpa uang di kantong bukanlah ide bagus. Pertemanan Rachel dengan mereka han
Di pagi hari, seperti biasa Rachel akan dibangunkan oleh Pram untuk olahraga, bersih-bersih dan memasak.Hari ini Pram berangkat kerja siang, jadi Pram sedikit lembut pada Rachel dan tak memburu-burunya."Pak, hari ini beli McD, ya?"Rachel berucap ketika mereka telah selesai membersihkan seluruh penjuru apartemen itu. Pram merupakan orang yang teliti, di waktu seperti ini, pria itu biasa membersihkan apartemennya lebih intens daripada hari-hari biasanya, apalagi ketika hari libur, membuat Rachel jengkel setengah mati. Dia yang selalu ogah-ogahan mengerjakan sesuatu dituntut untuk ikut bersifat teliti dan sungguh-sungguh seperti dosennya itu. Jika tidak, you know-lah apa yang akan terjadi. Sangunya diancam akan semakin menipis. Ya ... meskipun selama beberapa hari itu ancaman Pram tak pernah terjadi. Namun Rachel tetap berhati-hati, uangnya tak cukup untuk apa pun, tetapi masih akan dipotong. Ke lau
Rachel membersihkan dirinya setelah dipaksa Pram menata segala belanjaannya. Tak hanya itu, Pram sekaligus menyuruh Rachel membersihkan kamarnya. Tentu dengan pengawasan dosennya itu karena jika tak begitu, maka seluruh area kamarnya tak sebersih itu sekarang. Lihat, bahkan keranjang baju kotornya saja bersih karena Pram ingin Rachel mencuci bajunya detik itu juga.Setelah selesai membersihkan diri, Rachel menatap jam di dinding. Sudah pukul tujuh malam. Tak terasa, ternyata Rachel menghabiskan satu jam sendiri untuk memanjakan tubuhnya.Sembari menelepon Bayu, Rachel sembari memakai skincare malamnya. Katanya, rangkaian perawatan wajah lebih efektif saat dipakai pukul sembilan malam. Namun, jika nanti-nanti maka Rachel akan malas. Jadi, Rachel memakai skincare-nya se-mood hatinya saja. Untung saja tetap memberi efek bagus pada kulitnya."Bi, nginep sini, yuk. Besok aku libur k
Pertemuan tadi mengantarkan Pram pada suasana pembulian di antara teman-temannya. Namanya yang terus suci—meski dia tak sesuci itu, jadi tercoreng. Di sana rasanya Pram ingin melahap Rachel hidup-hidup. Apalagi ketika melihat wajah mahasiswanya itu yang terlihat tanpa dosa setelah mengatakan hal fitnah.Kini, Pram dan Rachel beserta enam pria dewasa tadi memilih untuk berkumpul di salah satu kios restoran untuk mengisi perut mereka di siang hari itu."Ketemu di mana sama ini om-om renta?"Raka, sahabat Pram dengan kemeja biru dan celana putih tadi yang bersuara.Pram tak terima dituakan, meski memang umurnya hampir menuju angka empat. "Gue renta, lu apaan? Fosilnya renta? Inget, baru kepala empat lo. Jan belagak masih kepala tig
Setelah dari market meski dengan wajah masam, Pram masih mau mengantar Rachel ke mal untuk membeli skincare. Mungkin dosennya itu malas berhadapan dengan drama-drama yang akan dibuat Rachel."Ambil sebutuhnya aja," peringat Pram yang membuat Rachel merotasikan bola matanya."Iya, iya Pak! Harus berapa kali lagi sih ngomong gitu.""Kamu orangnya boros! Makanya harus diingetin terus biar nggak kalap."Semakin dilarang, maka seperti suruhan bagi Rachel. Tenang, Pram akan merasakan jengkel jilid dua untuk hari yang sama."Dih, kalo nggak percaya yaudah ikut masuk aja," celetuk Rachel.Pram mengangguk, lalu segera melangkahkan kakinya ke dalam kios serba pink itu.Lah, benaran masuk. Padahal Rachel berkata asal saja.Akhirnya Rachel membuntuti Pram. Dia mengambil keranjang sebelum akhirnya berjalan memburu barang skincare
Rachel berjalan cepat di belakang Pram karena langkah dosennya itu lebar sekali."Pak! Kita nggak dikejar setan!" ujar Rachel pada akhirnya karena lelah mengikuti jejak Pram.Pria dengan kemeja hitam dan celana cokelat susu itu berhenti lalu menoleh ke arah Rachel yang terlihat berada di belakang beberapa langkah.Pria itu mengangguk, lalu berjalan santai sembari melihat ponselnya.Rachel mendekat dan menyamai langkah Pram. Mereka saat ini berada di area parkiran menuju lantai di mana big mart berada. Berjalan bersama memasuki gedung betingkat-tingkat itu."Ambil yang dibutuhkan aja," peringat Pram sembari mendorong troll yang baru dia ambil.Rachel merotasikan bola matanya mendengar itu. Ketika dosennya itu tak melihatnya, Rachel berkata lirih, "Nyenyenyenye." Sembari mencakar angin.Pram tahu Rachel bertingkah aneh di belakangnya, tetap
Sejak Rachel mengetahui kelemahan Pram, wanita itu mulai menyusun strategi. Sepertinya menjahili dosennya itu seperti tadi menyenangkan sekali. Apalagi ketika melihat Pram tak berkutik ketika Rachel dekati. Lucunya lagi sampai menahan napas. Benar-benar kolot, batin Rachel.Rachel sekarang berada di balkon, menikmati suasana pagi dengan sinar yang baik untuk tubuh. Kakinya berselonjor di kursi santai dengan tangan yang terlipat di belakang kepala sebagai bantal. Dilihat-lihat, Rachel seperti berjemur di pantai. Untuk saja dia tak memakai bikini.Setelah menyicil judul-judul penelitian yang akan disetorkan ada Pram, Rachel tak tahu lagi akan melakukan apa. Tiga sahabatnya sedang sibuk aktivitas masing-masing. Pacarnya sedang sibuk magang. Ingin bertemu dengan teman wanitanya tetapi Rachel sedang tak pegang duit.Bertemu dengan para wanita tanpa uang di kantong bukanlah ide bagus. Pertemanan Rachel dengan mereka han
Setelah drama bangun tidur tadi, Rachel tak berhenti di situ. Dia masih mencari gara-gara agar Pram semakin kesal dengannya. Seperti saat ini, saat tengah lari pagi, Rachel malah berjalan dengan santai di belakang Pram seoalah wanita itu sedabg menikmati udara segar pagi. Sehingga Pram yang sudah jauh di depannya harus mundur kembali untuk menceramahi Rachel."Santai, atuh, Pak. Dikejar apa sih? Udara pagi itu harus dinikmati," ujarnya dengan berlagak menghirup udara.Pram menghela napas. "Lari atau saya potong uang jajan kamu?""Dih, mainnya gitu, nggak seru deh," gerutu Rachel yang mau tak mau harus memilih lari. Uang tiga ratus kemarin kurang, apalagi jika masih dikurangi. Kemarin cukup karena para sahabatnya mentraktirnya segala macam dan pulang pergi dijemput oleh Adit. Entahlah hari ini bagaimana Rachel akan menjalani harinya.Berlari sedikit, Rachel sudah sesak napas. Pram di belakangnya terkekeh, t
Pulang dari rumah Sopo, Rachel melihat ke arah jam tangannya. Sudah pukul sebelas malam dan dia baru saja sampai di apartemen dosennya.Wanita dengan jeans dan tank top rib-nya berjalan santai ke arah dapur. Tangannya menaruh kemeja yang tadi dia pakai tetapi dia buka karena kegerahan, juga tas slempangnya ke atas meja dapur.Suasana yang remang-remang membuat bulu kuduknya merinding. Rachel termasuk pasukan remaja yang takut dengan mati lampu dan dia sekarang berada di dapur dengan lampu remang-remang. Mitos konon katanya setan selalu berada di atas kompor atau di belakang pintu kulkas jika buka malam-malam. Naasnya, Rachel akan membuka pintu kulkas itu karena mineral semuanya berkumpul di sana. Jika saja dia tahu di mana sakelar lampunya, pasti Rachel akan menghampiri tempat itu lebih dulu, sayang dia orang baru di sana.Rachel berniat mengurungkan niatnya itu, tetapi tenggorokannya seret akibat memakan bakpia m
Dari sekian banyak hal baik yang dilakukan oleh Rachel, dia tak menyangka bahwa hal jelek terus yang akan tampak di mata dosennya itu. Ini baru hari kedua sejak wanita itu kenal secara personal dengan Pram. Namun tak ada hal baik sedikit pun yang bisa dia tampakkan padanya. Selalu kejelekan. Sampai-sampai Rachel malu sendiri mengingatnya.Sejujurnya, bangun pagi dibangunkan oleh pria merupakan hal yang nggak banget untuk diceritakan pada siapa pun. Itu aib bagi Rachel. Dia juga seorang wanita yang ingin dipandang dari sisi baiknya, apalagi di depan lawan jenis yang super tampan dan holkay. Sebenarnya dia ingin sekali bangun pagi. Memberikan kesan baik pada pria tampan itu setidaknya dengan bangun lebih dulu. Sayang seribu kali sayang kebiasannya yang selalu bangun telat terbawa sampai detik ini.Rachel duduk dengan canggung di sofa. Bayu di sebelahnya juga. Dia terlihat salah tingkah ketika matanya berserobot dengan dua dosen di depannya.