Makan malam Pram dengan Salisa harus dia tunda akibat orang tuanya ingin makan malam dengannya. Dia tak bisa menolak karena momen makan malam bersama di tahun ini bisa diingat hanya berapa kali. Tak sesering dulu karena orang tuanya sangat sibuk ke luar negeri.
"Papa ngundang Pak Gunawan dan istrinya juga," ujar Hilda, mamanya.
Pram yang baru datang mengangguk. Dia tak keberatan siapa pun yang diundang orang tuanya.
"Apa kabar, Ma?" tanya Pram sembari memeluk dan mengecup pipi mamanya.
Hilda tersenyum tipis. "Baik. Kamu?"
"Tentu saja seperti yang Mama lihat."
Wanita itu tersenyum bahagia mendengar itu. Pram pun beralih menyapa papanya yang masih sibuk dengan ponsel. Setelah itu dia mengambil tempat duduk di samping mamanya.
"Engga ada kandidat calon buat dikenalin ke Mama, nih?"
Jika biasanya orang-orang seumuran Pram yang belum menikah akan malas ditanya begitu karena sangat terlihat mengenaskan, Pram tidak. Dia senang mendengar itu, artinya orang tuanya peduli tentang Pram. Namun jika bukan orang tua atau keluarganya, jangan berani-berani menyenggol status pria itu jika tak mau disilet oleh lidah tajamnya.
"Belum ada, Ma. Banyak yang enggak cocok."
Hilda menghela napasnya. "Mau Mama kenalkan? Teman-teman Mama banyak yang mengincar kamu."
Pram pura-pura terkejut. Dia memeluk tubuhnya sendiri. "Ih, engga mau, ah, sama yang udah berumur."
Hilda melotot. Tangannya memukul lengan kekar anaknya. "Ya ... bukan buat dia sendiri, buat anaknya-lah."
Pram tentu paham maksud mamanya, tetapi dia hanya senang menggoda mamanya.
"Engga dulu, deh, Ma. Nanti aja kalo udah empat puluh tahun."
Hilda melipat bibirnya gemas. "Tiga tahun lagi kamu empat puluh. Kamu kira temen-temen Mama masih ada yang ngincer kamu buat jadi menantunya?"
Pram mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Hilda pun semakin gemas melihat anak bungsunya yang masih tak gairah pada pernikahan.
"Jangan bilang kamu ... aseksual? Atau ...."
"Gay?" Pram melanjutkan perkataan Hilda dengan ringan, seolah tebakannya itu bukan sesuatu yang mengejutkan.
Hilda kembali melotot mendengarnya. Jantungnya seakan mau meledak mendengar ucapan Pram. Tangannya pun segera menuju ke arah perut anaknya dan mencubit kuat-kuat di sana. "Sadar, Dek, sadar. Ayo ke dokter besok. Engga mau tahu! Kamu harus periksa ke dokter! Psikologis kamu juga!"
Pram mengaduh karena kuku mamanya terasa menggigit di perutnya. "Ampun, Ma. Pram cuma bercanda. Sumpah demi Tuhan," ujarnya sembari menjauhkan tangan mamanya dari perutnya yang menjadi sasaran kekesalan Hilda.
"Engga lucu Praaaaaam."
Pram tertawa mendengarnya, sedangkan mamanya terlihat jengkel.
Bertepatan dengan itu pasangan paruh baya datang dengan senyum merekah. Mama pun bangkit diikuti oleh Pram. Sedangkan papanya langsung mematikan teleponnya lalu berjalan dengan antusias pada pria paruh baya dengan rambut dan jenggot yang sebagian sudah memutih.
"Apa kabar Gunawan? Lama tak berjumpa?" tanya Santoso, papa Pram.
Pria bernama gunawan itu memeluk Santoso dengan erat. "Baik, Kawan. Sangat baik."
Hilda maju untuk menyambut wanita paruh baya tadi. Bercipika-cipiki sebentar sebelum akhirnya menyilahkan dua orang itu untuk duduk.
"Ini ... Pram bukan?" tanya Gunawan saat melihat satu-satunya anak muda di sana.
Pram tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Gunawan.
"Iya, Om. Saya Pram."
Ajeng, istri Gunawan, terkejut mendengar itu. "Pram yang dulu jaga Esthel bukan?"
Pram tersenyum tipis dan mengangguk. "Apa kabar Esthel, Tante?"
Ajeng yang masih dalam mode tak percaya, mengangguk kecil. "Masih belum percaya ini Pram yang dulu jaga Esthel."
"Kenapa memang, Jeng?" tanya Hilda.
"Dia beda banget. Dulu Pram kurus kering gitu, urakan keliatannya. Ini sekarang berisi, ganteng, rapi juga."
Pram hanya tersenyum dipuji begitu. Dia sudah biasa disanjung-sanjung oleh teman mamanya. Tak terbang sama sekali kecuali yang memuji ibu dari Salisa.
Hilda tertawa. "Anak kamu? Dia udah segede apa sekarang? Dulu seinget aku dia masih umur lima tahun bukan?"
Ajeng mengangguk. "Dia udah gede, Ci. Umur 21 sekarang. Duh, nakalnya angkat tangan, deh. Adaaaa aja yang bikin pusing kepala. Nakalnya udah kek anak laki aja dia. Aku enggak punya anak cowok, kayak punya tahu enggak."
Hilda tertawa mendengar itu, sedangkan Pram tak tertarik sekali. Dia lebih memilih mendengarkan percakapan antara Santoso dan Gunawan perihal masa-masa susah mereka.
"Duh. kebalikan banget sama aku, Jeng. Aku punya anak cowok tapi sifatnya diem banget. Nurut juga. Apa-apa, ya, mau. Satu dua sama kakaknya yang cewek."
Pram melirik mamanya dengan menghela napas. "Mama mau Pram jadi anak nakal, nih?"
"Ya, enggak juga."
Pram tak menanggapi lagi. Dia pun tak tahu maksud mamanya. Memang wanita tak bisa dimengerti.
"Aku takut, Ci. Takut Esthel terjerumus ke hal-hal yang enggak-enggak. Tanpa pengawasan siapa pun juga."
"Kamu enggak bilang dia di Jakarta. Tahu gitu biar di rumah aku aja. Biar ada yang ngawasin."
Ajeng tersadarkan akan itu. "Sebenernya aku pernah mikir buat kenalin dia ke kamu, tapi anak itu ... astaga, dia ngancem bakal ngelakuin hal yang enggak-enggak kalau aku ngubungin temenku yang di Jakarta buat mantau dia. Ya, gimana. Anak satu-satunya, mau enggak mau aku turtuin, Ci."
"Dia semester berapa sekarang?"
"Tujuh kalo enggak salah. Mau lulus kok bentar lagi."
"Masih ngelakuin hal aneh enggak? Selama tiga tahun di sini."
"Ya, tujuan aku terbang dari Surabaya ke sini karena itu. Dia ngelakuin hal-hal aneh."
Hilda menaikkan kedua alisnya. "Kenapa memang?"
"Apartemennya dicorat-coret pake pilox. Engga tahu sama siapa. Esthel juga engga ngasih tahu. Bilangnya cuma mau apartemennya direnovasi, kemarin aku lihat semua coretannya kek ujaran kebencian gitu."
"Terus gimana sekarang?"
"Entahlah pusing banget ngadepin itu anak. Baru bulan kemarin hukuman uang sakunya dipotong karena ketangkep polisi di area balap liar, eh, sekarang berulah lagi."
Ajeng memijat pelipisnya. "Pengen nyewa pelatih untuk ngelatih dia, Ci. Biar jadi pribadi yang baik gitu. Aku enggak bisa tinggal bareng dia di sini. Kerjaan banyak. Keknya dia gitu karena merasa pengawasan orang tuanya enggak ketat. Jadi lakuin segala yang dia mau. Enggak ada bagus-bagusnya kehidupan dia."
Hilda meringis mendengar itu. Dia memikirkan pelatih mana yang bisa melatih seorang anak dewasa. Kenalannya hanya etika. Dan mereka tak mungkin mengajarkan bagaimana kehidupan sehari-hari dari bangun pagi sampai tidur kembali.
Bertepatan dengan itu, Pram mendekat ke arah mamanya untuk mengambil ponselnya yang tadi dia taruh di meja yang semula tempatnya.
Hilda memiliki ide cemerlang. Dia pun menepuk bahu anaknya, membuat Pram terkejut.
"Mama punya permintaan tolong. Adek mau bantu Mama enggak?"
Pram yang memang penurut, langsung mengangguki ucapan mamanya.
"Janji?"
Pram mengangkat alisnya sebelah. Ada kecurigaan di sana. "Apalagi, Ma?"
Terakhir meminta tolong dua bulan lalu, mamanya memintanya untuk ikut arisan dengannya yang ternyata hanya untuk memamerkannya.
"Janji dulu mau nepatin permintaan Mama," ujar Hilda sembari mengulurkan kelingkingnya.
Pram menggeleng. "Enggak, apa dulu. Baru Pram pertimbangan iya atau enggaknya."
"Jagain anak temen Mama."
Pram mengerutkan keningnya.
"Enggak mau. Pram udah lama enggak megang anak kecil."
"Sebulan doang."
Pram kini menaikkan kedua alisnya. "Sebulan itu doang, Ma? Dulu seminggu aja Pram kewalahan."
"Mama bakal bantuin kamu kok."
Pram terdiam. Jika mamanya mau membantunya, itu berarti Hilda akan banyak meluangkan waktu bersamanya.
"Sebulan doang kan?"
Hilda mengangguk pasti.
Pram pun mengeluarkan tangannya dari sakunya untuk bersalaman dengan mamanya. Namun ketika hampir menyatu, Pram kembali menarik tangannya.
"Apa lagi, sayang? Ribet amat," ujar Hilda dengan memutar bola matanya.
"Pake baby sitter kayak dulu 'kan?"
Hilda menggeleng. "Dia bisa apa-apa sendiri kok. Cebok juga."
Pram pun mengangguk. Lalu menyatukan tangannya pada Hilda sebagai sebuah kesepakatan.
"Kamu udah janji sama Mama ya."
Pram mengangguk. "Emang anak temen mama yang mana lagi ini?"
"Tante Ajeng."
Pram yang akan memasukkan potongan kentang ke mulutnya langsung menoleh ke arah mamanya.
"Maksudnya Ma?"
"Iya, anaknya Tante Ajeng yang ini."
Pram mengangguk kecil.
"Oh, Tante Ajeng punya anak lagi? Umur berapa sekarang Tante?"
Ajeng menggeleng. "Saya cuma punya Esthel."
Pram melotot ke arah mamanya.
"MAM??"
***
"Esthel, sini bentar."Panggilan dari mamanya membuat wanita dengan setelan santai itu mendekat ke arah mamanya berada."Mama pulang nanti malam," ujar Ajeng pada anak tunggalnya.Wanita muda itu terlihat menahan senyum bahagianya."Mama kok cepet banget di sininya? Engga mau satu bulan gitu?" tanyanya dengan nada yang dibuat sedih.Ajeng menghela napas mendengar itu. "Yaudah, Mama sebulan di sini."Sekarang wajah wanita muda itu gelagapan. "Eh, kata Papa, kalian lagi sibuk launching produk baru. Kalo ditinggal kan nggak baik, Ma," ujarnya beralasan dan Ajeng tahu akan maksud ucapan itu. Dia hanya menggertak anaknya.Gunawan datang dari arah dapur. "Papa sendirian nge-handle bisa, tuh. Kayaknya kamu aja yang nggak mau kami di sini," ujarnya sembari membawa sepiring buah naga.Wanita muda itu melipat bibirnya ke dala
Setelah kepergian para orang tua, kini tinggallah Pram dan Rachel dalam ruangan selebar itu. Rachel bingung akan melakukan apa karena barang-barangnya sudah ditata oleh mamanya."Kita bicara sebentar bisa?"Pram yang berjalan di belakangnya berbicara, membuat Rachel berbalik menoleh ke arahnya."Tentang?""Kesepakatan."Rachel pun mengangguk. Iya, harus ada kesepakatan di antara mereka, agar dosen itu tak semena-mena. Ya ... meskipun yang berpotensi untuk semena-mena adalah dirinya sendiri.Pram menuju sofa yang tadi diramaikan oleh keluarganya.Setelah Rachel duduk, Pram mengeluarkan dua lembar kertas HVS lengkap dengan bolpoin yang dia ambil dari bawah meja."Tulis hal-hal yang kamu ingin sepakati dengan saya. Saya juga akan menuliskannya."Rachel mengangguk tanpa bertanya lagi, dia pun segera menulis semua hal yang ada
Pukul lima pas, Pram keluar dari kamarnya sembari melakukan streaching agar peredaran darahnya lancar. Kakinya dengan langkah ringan berjalan ke arah sakelar lampu berada. Mematikan satu persatu lampu yang semalam tak sempat dia matikan karena dia terlelap tanpa direncanakan. Setelah itu dia berbalik ke arah dapur untuk menyeduh kopi instan. Pagi yang hambar jika tanpa sebuah minuman pekat menyegarkan mata.Selesai melarutkan bubuk itu, Pram berjalan lagi ke arah ruang santai. Berdiri di depan ruangan dengan pemandangan yang langsung disajikan hamparan gedung-gedung di sekitar gedung apartemen Pram berhalangkan smart glass. Sembari meminum sedikit demi sedikit kafeinnya, Pram menata hal-hal yang akan dia lakukan seharian itu dalam pikirannya.Seketika Pram ingat bahwa dia tak tinggal sendirian. Ada Rachel juga yang harus Pram ajak untuk melakukan aktivitas harian bersamanya.Pria itu meletakkan cang
Setelah dari mesin cuci tadi, Rachel memilih untuk mengambil ponselnya untuk menghubungi teman-temannya."Mau kemana kita hari ini, yaaaa?"Rachel bermonolog sembari menunggu panggilan videonya tersambung dengan para sahabatnya.Adit, Sopo dan Jarwo namanya. Tiga lelaki dengan tingkah laku bikin tepok jidat yang sayangnya merupakan sahabat Rachel. "Widih, apartemen baru, nih? Pesta kagak?" Satu suara yang sangat dikenal menyambut ketika video tersambung. Lelaki gendut dengan rambut keriting dan kaca mata minus di batang hidung merupakan pelakunya. Namanya Sopo.
Setelah kepergian Pram, Rachel bernapas lega. Dia pun bersiap-siap karena memiliki janji dengan para sahabatnya. Siapa lagi kalo bukan Adit, Sopo, dan Jarwo.Sebenarnya itu bukan nama mereka. Itu panggilan kesayangan Rachel pada tiga orang itu. Namun meski begitu, Rachel mengambilnya dari potongan nama mereka, bukan sembarangan ambil nama tokoh kartun, dan kebetulan semuanya tepat. Sehingga Rachel mencocokkan semuanya.Seperti Adit. Nama asli lelaki itu adalah Rakrya Ditya. Lalu Sopo dari Prakoso Poli. Dan terakhir Jarwo. Ganjar Wobikarsono. Kebetulan yang sangat pas bukan?Setelah siap dengan dandanannya, Rachel segera turun. Menghampiri Adit yang sedari sepuluh menit lalu menunggunya di depan gedung."Om lo kaya, ya?"Sambutan dari Adit bukan tentang kabarnya, melainkan tentang om bohongannya yang tentu saja Pram maksudnya.Rachel mengangguk tak acuh. Dia segera masuk di
Dari sekian banyak hal baik yang dilakukan oleh Rachel, dia tak menyangka bahwa hal jelek terus yang akan tampak di mata dosennya itu. Ini baru hari kedua sejak wanita itu kenal secara personal dengan Pram. Namun tak ada hal baik sedikit pun yang bisa dia tampakkan padanya. Selalu kejelekan. Sampai-sampai Rachel malu sendiri mengingatnya.Sejujurnya, bangun pagi dibangunkan oleh pria merupakan hal yang nggak banget untuk diceritakan pada siapa pun. Itu aib bagi Rachel. Dia juga seorang wanita yang ingin dipandang dari sisi baiknya, apalagi di depan lawan jenis yang super tampan dan holkay. Sebenarnya dia ingin sekali bangun pagi. Memberikan kesan baik pada pria tampan itu setidaknya dengan bangun lebih dulu. Sayang seribu kali sayang kebiasannya yang selalu bangun telat terbawa sampai detik ini.Rachel duduk dengan canggung di sofa. Bayu di sebelahnya juga. Dia terlihat salah tingkah ketika matanya berserobot dengan dua dosen di depannya.
Pulang dari rumah Sopo, Rachel melihat ke arah jam tangannya. Sudah pukul sebelas malam dan dia baru saja sampai di apartemen dosennya.Wanita dengan jeans dan tank top rib-nya berjalan santai ke arah dapur. Tangannya menaruh kemeja yang tadi dia pakai tetapi dia buka karena kegerahan, juga tas slempangnya ke atas meja dapur.Suasana yang remang-remang membuat bulu kuduknya merinding. Rachel termasuk pasukan remaja yang takut dengan mati lampu dan dia sekarang berada di dapur dengan lampu remang-remang. Mitos konon katanya setan selalu berada di atas kompor atau di belakang pintu kulkas jika buka malam-malam. Naasnya, Rachel akan membuka pintu kulkas itu karena mineral semuanya berkumpul di sana. Jika saja dia tahu di mana sakelar lampunya, pasti Rachel akan menghampiri tempat itu lebih dulu, sayang dia orang baru di sana.Rachel berniat mengurungkan niatnya itu, tetapi tenggorokannya seret akibat memakan bakpia m
Setelah drama bangun tidur tadi, Rachel tak berhenti di situ. Dia masih mencari gara-gara agar Pram semakin kesal dengannya. Seperti saat ini, saat tengah lari pagi, Rachel malah berjalan dengan santai di belakang Pram seoalah wanita itu sedabg menikmati udara segar pagi. Sehingga Pram yang sudah jauh di depannya harus mundur kembali untuk menceramahi Rachel."Santai, atuh, Pak. Dikejar apa sih? Udara pagi itu harus dinikmati," ujarnya dengan berlagak menghirup udara.Pram menghela napas. "Lari atau saya potong uang jajan kamu?""Dih, mainnya gitu, nggak seru deh," gerutu Rachel yang mau tak mau harus memilih lari. Uang tiga ratus kemarin kurang, apalagi jika masih dikurangi. Kemarin cukup karena para sahabatnya mentraktirnya segala macam dan pulang pergi dijemput oleh Adit. Entahlah hari ini bagaimana Rachel akan menjalani harinya.Berlari sedikit, Rachel sudah sesak napas. Pram di belakangnya terkekeh, t
Di pagi hari, seperti biasa Rachel akan dibangunkan oleh Pram untuk olahraga, bersih-bersih dan memasak.Hari ini Pram berangkat kerja siang, jadi Pram sedikit lembut pada Rachel dan tak memburu-burunya."Pak, hari ini beli McD, ya?"Rachel berucap ketika mereka telah selesai membersihkan seluruh penjuru apartemen itu. Pram merupakan orang yang teliti, di waktu seperti ini, pria itu biasa membersihkan apartemennya lebih intens daripada hari-hari biasanya, apalagi ketika hari libur, membuat Rachel jengkel setengah mati. Dia yang selalu ogah-ogahan mengerjakan sesuatu dituntut untuk ikut bersifat teliti dan sungguh-sungguh seperti dosennya itu. Jika tidak, you know-lah apa yang akan terjadi. Sangunya diancam akan semakin menipis. Ya ... meskipun selama beberapa hari itu ancaman Pram tak pernah terjadi. Namun Rachel tetap berhati-hati, uangnya tak cukup untuk apa pun, tetapi masih akan dipotong. Ke lau
Rachel membersihkan dirinya setelah dipaksa Pram menata segala belanjaannya. Tak hanya itu, Pram sekaligus menyuruh Rachel membersihkan kamarnya. Tentu dengan pengawasan dosennya itu karena jika tak begitu, maka seluruh area kamarnya tak sebersih itu sekarang. Lihat, bahkan keranjang baju kotornya saja bersih karena Pram ingin Rachel mencuci bajunya detik itu juga.Setelah selesai membersihkan diri, Rachel menatap jam di dinding. Sudah pukul tujuh malam. Tak terasa, ternyata Rachel menghabiskan satu jam sendiri untuk memanjakan tubuhnya.Sembari menelepon Bayu, Rachel sembari memakai skincare malamnya. Katanya, rangkaian perawatan wajah lebih efektif saat dipakai pukul sembilan malam. Namun, jika nanti-nanti maka Rachel akan malas. Jadi, Rachel memakai skincare-nya se-mood hatinya saja. Untung saja tetap memberi efek bagus pada kulitnya."Bi, nginep sini, yuk. Besok aku libur k
Pertemuan tadi mengantarkan Pram pada suasana pembulian di antara teman-temannya. Namanya yang terus suci—meski dia tak sesuci itu, jadi tercoreng. Di sana rasanya Pram ingin melahap Rachel hidup-hidup. Apalagi ketika melihat wajah mahasiswanya itu yang terlihat tanpa dosa setelah mengatakan hal fitnah.Kini, Pram dan Rachel beserta enam pria dewasa tadi memilih untuk berkumpul di salah satu kios restoran untuk mengisi perut mereka di siang hari itu."Ketemu di mana sama ini om-om renta?"Raka, sahabat Pram dengan kemeja biru dan celana putih tadi yang bersuara.Pram tak terima dituakan, meski memang umurnya hampir menuju angka empat. "Gue renta, lu apaan? Fosilnya renta? Inget, baru kepala empat lo. Jan belagak masih kepala tig
Setelah dari market meski dengan wajah masam, Pram masih mau mengantar Rachel ke mal untuk membeli skincare. Mungkin dosennya itu malas berhadapan dengan drama-drama yang akan dibuat Rachel."Ambil sebutuhnya aja," peringat Pram yang membuat Rachel merotasikan bola matanya."Iya, iya Pak! Harus berapa kali lagi sih ngomong gitu.""Kamu orangnya boros! Makanya harus diingetin terus biar nggak kalap."Semakin dilarang, maka seperti suruhan bagi Rachel. Tenang, Pram akan merasakan jengkel jilid dua untuk hari yang sama."Dih, kalo nggak percaya yaudah ikut masuk aja," celetuk Rachel.Pram mengangguk, lalu segera melangkahkan kakinya ke dalam kios serba pink itu.Lah, benaran masuk. Padahal Rachel berkata asal saja.Akhirnya Rachel membuntuti Pram. Dia mengambil keranjang sebelum akhirnya berjalan memburu barang skincare
Rachel berjalan cepat di belakang Pram karena langkah dosennya itu lebar sekali."Pak! Kita nggak dikejar setan!" ujar Rachel pada akhirnya karena lelah mengikuti jejak Pram.Pria dengan kemeja hitam dan celana cokelat susu itu berhenti lalu menoleh ke arah Rachel yang terlihat berada di belakang beberapa langkah.Pria itu mengangguk, lalu berjalan santai sembari melihat ponselnya.Rachel mendekat dan menyamai langkah Pram. Mereka saat ini berada di area parkiran menuju lantai di mana big mart berada. Berjalan bersama memasuki gedung betingkat-tingkat itu."Ambil yang dibutuhkan aja," peringat Pram sembari mendorong troll yang baru dia ambil.Rachel merotasikan bola matanya mendengar itu. Ketika dosennya itu tak melihatnya, Rachel berkata lirih, "Nyenyenyenye." Sembari mencakar angin.Pram tahu Rachel bertingkah aneh di belakangnya, tetap
Sejak Rachel mengetahui kelemahan Pram, wanita itu mulai menyusun strategi. Sepertinya menjahili dosennya itu seperti tadi menyenangkan sekali. Apalagi ketika melihat Pram tak berkutik ketika Rachel dekati. Lucunya lagi sampai menahan napas. Benar-benar kolot, batin Rachel.Rachel sekarang berada di balkon, menikmati suasana pagi dengan sinar yang baik untuk tubuh. Kakinya berselonjor di kursi santai dengan tangan yang terlipat di belakang kepala sebagai bantal. Dilihat-lihat, Rachel seperti berjemur di pantai. Untuk saja dia tak memakai bikini.Setelah menyicil judul-judul penelitian yang akan disetorkan ada Pram, Rachel tak tahu lagi akan melakukan apa. Tiga sahabatnya sedang sibuk aktivitas masing-masing. Pacarnya sedang sibuk magang. Ingin bertemu dengan teman wanitanya tetapi Rachel sedang tak pegang duit.Bertemu dengan para wanita tanpa uang di kantong bukanlah ide bagus. Pertemanan Rachel dengan mereka han
Setelah drama bangun tidur tadi, Rachel tak berhenti di situ. Dia masih mencari gara-gara agar Pram semakin kesal dengannya. Seperti saat ini, saat tengah lari pagi, Rachel malah berjalan dengan santai di belakang Pram seoalah wanita itu sedabg menikmati udara segar pagi. Sehingga Pram yang sudah jauh di depannya harus mundur kembali untuk menceramahi Rachel."Santai, atuh, Pak. Dikejar apa sih? Udara pagi itu harus dinikmati," ujarnya dengan berlagak menghirup udara.Pram menghela napas. "Lari atau saya potong uang jajan kamu?""Dih, mainnya gitu, nggak seru deh," gerutu Rachel yang mau tak mau harus memilih lari. Uang tiga ratus kemarin kurang, apalagi jika masih dikurangi. Kemarin cukup karena para sahabatnya mentraktirnya segala macam dan pulang pergi dijemput oleh Adit. Entahlah hari ini bagaimana Rachel akan menjalani harinya.Berlari sedikit, Rachel sudah sesak napas. Pram di belakangnya terkekeh, t
Pulang dari rumah Sopo, Rachel melihat ke arah jam tangannya. Sudah pukul sebelas malam dan dia baru saja sampai di apartemen dosennya.Wanita dengan jeans dan tank top rib-nya berjalan santai ke arah dapur. Tangannya menaruh kemeja yang tadi dia pakai tetapi dia buka karena kegerahan, juga tas slempangnya ke atas meja dapur.Suasana yang remang-remang membuat bulu kuduknya merinding. Rachel termasuk pasukan remaja yang takut dengan mati lampu dan dia sekarang berada di dapur dengan lampu remang-remang. Mitos konon katanya setan selalu berada di atas kompor atau di belakang pintu kulkas jika buka malam-malam. Naasnya, Rachel akan membuka pintu kulkas itu karena mineral semuanya berkumpul di sana. Jika saja dia tahu di mana sakelar lampunya, pasti Rachel akan menghampiri tempat itu lebih dulu, sayang dia orang baru di sana.Rachel berniat mengurungkan niatnya itu, tetapi tenggorokannya seret akibat memakan bakpia m
Dari sekian banyak hal baik yang dilakukan oleh Rachel, dia tak menyangka bahwa hal jelek terus yang akan tampak di mata dosennya itu. Ini baru hari kedua sejak wanita itu kenal secara personal dengan Pram. Namun tak ada hal baik sedikit pun yang bisa dia tampakkan padanya. Selalu kejelekan. Sampai-sampai Rachel malu sendiri mengingatnya.Sejujurnya, bangun pagi dibangunkan oleh pria merupakan hal yang nggak banget untuk diceritakan pada siapa pun. Itu aib bagi Rachel. Dia juga seorang wanita yang ingin dipandang dari sisi baiknya, apalagi di depan lawan jenis yang super tampan dan holkay. Sebenarnya dia ingin sekali bangun pagi. Memberikan kesan baik pada pria tampan itu setidaknya dengan bangun lebih dulu. Sayang seribu kali sayang kebiasannya yang selalu bangun telat terbawa sampai detik ini.Rachel duduk dengan canggung di sofa. Bayu di sebelahnya juga. Dia terlihat salah tingkah ketika matanya berserobot dengan dua dosen di depannya.