"Segeralah mandi dan tidur," ucap Elvano dingin. Elvano merasa tersinggung dengan ucapan Rubby. Suasana yang tadinya penuh gelora, kini menjadi hambar karena ucapan Rubby. Elvano segera meraih handuk putih yang tergantung dan segera mengusap ke rambutnya yang basah dan berlalu dari kamar mandi. Rugby mematung melihat sikap Elvano yang tiba-tiba saja dingin dan cuek. Dia buru-buru meraih handuk kimono dan segera menyusul Elvano. Di dalam kamar, Elvano membuka lemari pakaiannya untuk dikenakan. "Paman, ada apa denganmu? Kenapa kamu bertingkah seperti ini? Apakah aku mengucapkan sesuatu yang salah?" tanya Rugby dengan bingung melihat perubahan sikap yang Elvano tunjukan kepadanya. Sambil mengenakan kemejanya, Elvano pun menjawab. "Rubby, kamu benar. Sepertinya hubungan kita hanya Suami-Istri di atas kertas. Untuk kedepannya, kita masing-masing. Pernikahan ini terjadi karena kita mempunyai tujuan masing-masing." Sedikit terkejut mendengar penuturan Elvano. 'Jadi, yang membuat Paman
"Bubu…!" Wanita tinggi dengan tubuh yang proporsional, berjalan dengan elegan di dalam bandara. Rambutnya tergerai lurus seperti air, menambah kesan anggun pada penampilannya. Wajahnya yang cantik memancarkan kilauan yang menarik perhatian. Dengan senyuman manis, ia melambaikan tangan ke arah Elvano yang sedang berjalan menuju area kedatangan. "Bubu, aku disini!" serunya dengan senyum merekah lebar melihat kedatang Elvano. Dibalik masker yang Elvano kenalan, wajah sedingin Es saat matahari sudah berada di atas kepala, Elvano yang menggunakan masker mulut itu melangkah menuju ke arah Anna. Elvano sengaja memakai masker mulut karena takut terlihat oleh publik. "Bubu…! I Miss You So Much!" Anna memeluk tubuh Elvano dengan gembira. Sesekali, dia mengecup pipi Elvano. Elvano yang merasa risih pun mendorong tubuh mantan kekasihnya itu. "Jaga sikapmu. Kamu seorang bintang!" hardik Elvano. Anna mengerucutkan bibirnya. "Kamu masih marah? Karena aku meninggalkanmu?" Dengan wajah yang mas
"Haaa! Selagi Vina melakukan Audisi, lebih baik aku berkeliling melihat situasi perusahaan," Gumam Rubby. Dengan rok selutut serta rambut tergerai indah, Rubby dengan langkah kaki yang riang berjalan di teras depan seperti koridor dengan para aktivitas orang-orang berlalu lalang. Hingga sorot mata Rubby tertuju ke sebuah kafe. "Ke kafe itu saja, ya!" serunya bermonolog. Dengan berlari kecil, Rubby menuju ke arah kafe tersebut. Kini Rubby sudah berada di depan teras kafe. Dia hendak mendorong pintu kafe tersebut. Sebelum tangannya menyentuh pintu kaca hitam itu, pintu itu sudah terbuka dan seorang pria keluar dari pintu tersebut. "Rubby!" Wajah yang tadinya cerah, kini berubah menjadi gersang dan sorot mata Rubby berubah tajam saat tahu siapa pria itu. "Kebetulan sekali, ya!" ucap Toni. "Tolong, jangan sok akrab!" ketus Rubby memutar tubuhnya. Rubby mengurungkan niatnya untuk sekedar minuman kopi menunggu Vina di tempat tersebut. Melihat Toni, membuat emosi Rubby sontak ingin m
'Astaga! Apa yang sedang… tidak, tunggu…' Vina terlihat kalang kabut sendiri di belakang tubuh Gio. Gio yang dikenal dingin dan kadang hangat tapi mempunyai kebiasaan yang di luar perkiraan. 'Bahkan aku tidak pernah memegang benda ku dengan tanganku. Lantas, kenapa dia memegang alat tempurnya seperti itu?' Lagi-lagi Vina meracau dalam hati saat melihat CEO gila sedang asyik memainkan genggaman tangannya secara naik-turun pada bambu petuk yang sudah tampak sebesar pentungan pos ronda. 'Aku segera keluar! Ini privasi! Terserah dia mau ngocok atau apa terserah!' Vina yang takut ketahuan, dengan hati-hati memutar tubuhnya. Gio, memutar kursinya. "Siapa yang memberikan izin untuk keluar? Kau pikir, aku tidak tahu kau dari tadi melihatku?" suara Gio terdengar menekan. Mendengar suara Gio, tubuh Vina mematung. Dia mengatur nafasnya dan posisi tubuh sebelum kembali memulihkan tubuhnya. Setelah merasa sudah tenang, Vina memutar tubuhnya. Deg! 'Astaga! Pria ini, aku pikir dia sudah men
"Apa kau tidak apa-apa, Monster kecil?" Elvano bertanya saat dirinya dan Rubby kini berada di ruang VVIP untuk menunggu minuman pesanan mereka datang. "Aku tidak apa-apa. Jadi, Paman tidak perlu khawatir," jawab Rubby dengan tersenyum kikuk kepada Elvano. Elvano menatap selidik setiap detail wajah dan tubuh Monster Kecilnya. "Apa kau yakin? Aku takut jika bajingan itu melukaimu," tanyanya, dengan suara yang penuh kekhawatiran. Rubby melambaikan kedua tangannya di dada. Dia memberikan senyum canggung lalu menjawab, "sungguh, aku benar tidak apa-apa, Paman. Begundal Toni tidak menyentuhku sama sekali." Tangan Elvano terulur, mengusap pipi Rubby dengan kekhawatiran yang mendalam. "Syukurlah jika kau tidak apa-apa. Aku sempat khawatir," ucapnya tulus. Rubby tertunduk dan malu. Padahal, sebelumnya, dia membuat Elvano kecewa karena ucapannya saat mereka di kamar mandi. Tapi saat ini, Elvano masih berlaku begitu manis. "Tuan, silahkan pesanannya." seorang pria pramusaji dengan rompi be
"Vina… Vina, oh… Vina! Wajahmu dengan dengan otakmu sekarang ini benar sama-sama cabul."Vina yang mendengar ucapan Gio membuat dia sedikit terganggu. Bukankah dia sendiri yang membuat Vina terlihat cabul yang mempermainkan area sensitif di seluruh tubuh Vina? Mana ada yang tahan jika terowongannya dimainkan seperti itu?"Kau… yang membuat aku seperti ini, Bangsat! Siapa juga yang tidak cabul jika perlakuanmu seperti ini? Jika ada yang tidak merasakan rangsangan, wanita itu tentu munafik!" celetuk Vina. Goi, hanya memainkan ujung tombaknya di depan lorong milik Vina. Membuat tubuh Vina merasakan geli hingga tubuhnya menggelinjang. "Vina, apakah sudah gatal? Lihat, punyamu begitu basah," ucap Gio sambil tangannya membuat bibir terowongan Vina. "Bajingan, kalau mau tusuk, tusuk saja! Tidak perlu kau mempermainkannya seperti itu!" kesal Vina di sela kenikmatan. Lagi-lagi, Gio memasukkan jarinya. Membuat Vina mencengkram dadanya sendiri. "Oh… Gio, tolong… aku sudah tidak tahan…" Vina
"Siapa yang menelponmu?" Saat sedang menikmati kemesraan berdua di ruang kafe VVIP sambil sekedar karaoke, Rubby menerima telepon dari Sang Ibu. Melihat ekspresi Rubby yang tiba-tiba sedih, membuat Elvano pun bertanya. "Um… Ibu yang menelpon, Paman. Ibu memintaku untuk pulang," jawab Rubby sedikit memelas. Elvano mengusap lembut kepala Rubby. Dia tahu kegundahan hati wanitanya itu. Setiap kali wanitanya menerima telepon dari Emily, Rubby akan bersusah hati. "Aku temani, ya! Aku juga harus mendapatkan restu dari Ibumu, 'kan?" Rubby tertunduk. Dia takut mengecewakan ibunya. Sampai detik ini pun, Rubby belum bisa membahagiakan Emily. Meraih kembali Anderson adalah impian dia untuk mengembalikan senyum Ibunya yang telah lama hilang oleh pengkhianatan ayahnya. "Tapi, Paman, bagaimana jika ibu membenciku?" tanya Rubby. "Katamu, ibumu membenciku? Apa kau tahu, alasan apa ibumu membenciku? Selama aku hidup, aku tidak pernah membuat kesalahan kepada ibumu."Ucapan Elvano membuat Rubby b
"Hei, monster kecil. Kau tampak begitu tegang, padahal punyaku belum tegang," Elvano mencoba mencairkan suasana di dalam mobil yang sedang melaju. Rubby menoleh ke arah Elvano. Dia mencubit perut Elvano yang sedang menyetir dengan kesal. Selalu saja Elvano bercanda disaat Rubby sedang memikirkan bagaimana dirinya menghadapi Ibunya jika bertemu. "Paman… ih, kamu tuh, nyebelin. Kok ada manusia seperti Paman? Aku sedang takut bertemu dengan Ibu," ujarnya kesal. Elvano tersenyum, diam menggenggam tangan Rubby. Memberikan dukungan dari genggamannya itu. "Kita akan melewati ini berdua. Jangan cemas. Bukankah aku ada untuk dirimu?" ucap Elvano. Rubby tersenyum, walaupun tidak ada cinta di antara mereka berdua, setidaknya, Elvano selalu ada disetiap kali Rubby membutuhkannya. Hal itu membuat Rubby bersyukur. Elvano melepaskan genggaman tangannya saat ponselnya bergetar. Elvano meraih ponselnya yang terselip di saku celana. Saat melihat layar ponsel itu, wajahnya seketika berubah. Rubby m