Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca!
“Baiklah. Persiapan sudah siap. Kami akan memperindah pakaian ini dan mengirimkan kembali ketika hari pernikahan tiba!” seru sang desainer yang tiba-tiba takut jika akan terjadi perseteruan pasangan di kamar ganti ini. Gaun Lesel dan tuxedo Leon dikembalikan. Pakaian pernikahan itu kemudian disimpan dengan indahnya di ruangan khusus. Sang desainer akan memastikan bahwa setiap lipatan dan detail gaun akan terlihat sempurna ketika hari pernikahan tiba. “Mohon bantuannya,” ucap Lesel dengan senyum kemenangan yang tersungging di wajahnya meski mimik wajahnya menunjukkan sebaliknya. Ia tahu, bagaimana pun, Lesel tidak akan pernah memenangkan hati Leon ketika pria itu bahkan terus merasa terjebak dalam permainannya. “Bagaimana lagi aku harus mencoba, Leon? Kapan kau akan memberikan hatimu untukku?” Lesel meratap penuh kesedihan ketika kembali ke kamarnya. Sementara itu, Leon kembali di antar ke paviliun luar istana karena mereka belum menikah secara resmi. Status Leon di kerajaan ini ha
Sementara itu, di Mansion Rossie, Arren terbaring lemah tak berdaya. Para dokter yang memeriksanya mengira itu adalah komplikasi kehamilan namun ternyata, dugaan mereka salah! “Uhuk! Uhuk!” Sekali lagi, Arren terbatuk. Kali ini, ada darah berwarna hitam yang turut menyertai dahak yang keluar. Kesadarannya telah separuhnya menghilang. Suasana muram menyelimuti kamar Arren. Nyonya besar tak bisa mengusir kekhawatirannya. “Dokter, lakukan semua pengobatan yang kau bisa!” serunya tanpa berhenti berdoa. Penguasa Rossie itu kini mengalami cobaan lain yang tidak diduganya. Sebelumnya, ia sangat gembira karena Arren telah berhasil ditemukan. Namun, kali ini, hatinya kembali terluka ketika segala sesuatu tidak seperti yang seharusnya. “Kami akan mengusahakan sebisanya, Nyonya!” Para dokter yang dipanggil dengan cepat melakukan pemeriksaan lanjutan. Seperti yang terjadi, sebelumnya, dugaan mereka adalah Arren mungkin mengalami komplikasi kehamilan yang meracuni tubuhnya. Namun, ketika g
Ketidakberdayaan dokter membuat semua orang merasa tertekan. Clark tidak ingin tinggal diam. “Bisakah kau ekstraksi racun itu, Dokter?” tanyanya dengan raut wajah kesal. Pria itu merasa sangat bersalah, terlebih … nyawa Arren benar-benar berada di ujung tanduk tanpa bisa diduga. Dokter, yang merasa tertekan oleh ketidakpastian penyakit yang tidak biasa ini, menjawab dengan suara serak, "Saya telah mencoba, Tuan Clark. Namun, racun ini begitu kompleks dan terkait erat dengan sistem tubuh Nona Arren. Ekstraksi bisa menjadi resiko besar, bahkan bisa memperburuk keadaannya." Clark menatap dokter dengan sorot mata yang penuh keputusasaan. Ia merasa seperti terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar. Sementara itu, Nyonya Besar yang duduk di ruang tengah, mencoba menahan air matanya yang terus mengalir. Kehilangan Arren, cucu satu-satunya, akan menjadi pukulan berat bagi keluarga Rossie. "Apakah tidak ada pilihan lain?" desak Clark, mencoba mencari jawaban yang bisa membawa harapan. Dokt
Langit di Kerajaan Rocky terlihat kelam, berbanding terbalik dengan kemeriahaan di dalam istana. Pesta pernikahan masih berlangsung dan hiruk-pikuk tamu undangan memenuhi aula kerajaan. Tepat di lantai teratas istana, di kamar sang putri, pasangan pengantin baru itu masih tapak tegang. Putri Lesel, yang kini tidak berbusana, masih saja merapatkan tubuhnya pada sang suami baru yang enggan disentuhnya. Bukannya enggan, pria itu jelas menolak. Tidak sudi jika harus berbagi ranjang dengan istri palsunya. “Kau tidak ingin Arren selamat rupanya?” ancam Lesel dengan congkaknya. Leon hanya menggeram dan seakan tuli dengan sumpah-serapah serta ancaman yang dilontarkan oleh pasangan hidupnya yang baru saja diresmikan oleh pendeta itu. “DIAM!” Lesel hanya tersenyum sinis dan terus menggoda lelaki yang sedari tadi mendorong tubuhnya menjauh. Wanita muda itu tidak mudah tergoyahkan. “Aku masih perawan, lho! Kau akan menyesal karena telah menolak gairah yang kutawarkan.” “CIH!” Lesel semakin m
Arren mencoba mengendalikan emosinya saat bertanya tentang suaminya, Leon. Wajahnya yang baru saja memancarkan rona kebahagiaan kini kembali meredup. Kecemasan menggerogoti hatinya. “Tenanglah, Arren. Kita akan menyelamatkannya. Yang terpenting sekarang adalah … kesembuhanmu terlebih dulu,” ucap neneknya mencoba membujuk Arren agar tidak terlalu banyak pikiran. Arren menggeleng. Ia mengetahui bagaimana rasa sesak menjadi tawanan. Kengerian di penjara bawah tanah seperti baru kemarin terjadi. Arren tidak dapat begitu mudah melupakannya. “Clark, tolong … bebaskan Leon.” Clark mendekat, menyunggingkan senyum lembut pada sang nona muda. “Tentu saja, kami akan menyiapkan misi penyelamatan.” Nyonya besar mengangguk, menyetujui usul Clark. “Mengapa kalian baru melakukannya? Mengapa tidak sejak awal? Menga—” “Arren! Kami fokus pada kesembuhanmu! Kami tidak bisa membiarkanmu berjuang melawan maut tanpa pantauan! Leon … pria itu pasti baik-baik saja!” tegas Nyonya Rossie yang tidak bisa la
Hari yang dinantikan tiba. Bulan madu panas yang diharapkan Lesel akhirnya ada di ujung mata. “Kita pergi ke mana?” tanyanya dengan raut wajah bahagia. Leon tersenyum, menyembunyikan niat buruknya. “Kita ke pantai. Bukankah, menikmati indahnya matahari terbenam adalah hal yang romantis?” tanyanya mencoba meyakinkan Lesel agar tak curiga. “Idemu bagus juga, Suamiku! Ayo kita ke pantai.” Akhirnya mereka berdua bertolak menuju pantai Lova yang berada di perbatasan wilayah Rossie dan Rocky. Tidak ada satu ide pun yang terbersit di benak Lesek bahwa Leon akan membohonginya dan merencanakan pelarian diri di tengah momen panas suami–istri ini. Bulan madu yang direncanakan Leon hanyalah tipu daya. Lesel sama sekali tak mengetahuinya. “Bawa pengawal secukupnya. Aku tak ingin mereka merusak momen romantis kita.” Seolah dibius oleh perkataan manis sang suami palsu, Lesel mengangguk tanpa memikirkan konsekuensinya. Berkurangnya pengawal–hampir separuh–dari pada biasanya, membuat gerak-ger
Pelabuhan tidak begitu jauh. Mobil mereka melintasi jalan berpasir yang menghubungkan pantai dengan pelabuhan. Suasana di sana berbanding terbalik 180 derajat. Keromantisan hilang berganti riuh rendah awak kapal beserta para penumpang yang hendak menyebrang ke wilayah lain dari sini. “Pelabuhan ternyata seperti ini, ya?” Lesel berucap. Leon mengangguk. “Di sini memang ramai. Memangnya, kau belum pernah ke pelabuhan?” tanya Leon, basa-basi. Pandangannya bahkan memindai dari sisi kanan ke sisi kiri tanpa melihat ke wajah si lawan bicara. “Tidak pernah. Kami selalu mengendarai mobil,” kata Lesel, merujuk pada keamanan anggota keluarga kerajaan yang harus selalu menjadi prioritas utama. “Pasti membosankan.” “Ya. Kau benar!” Leon masih berbicara santai dengan Lesel, sembari mengamati situasi. Di sekitar kapal besar, Leon baru meminta sopir untuk berhenti dan berpura-pura mengajak Lesel berjalan-jalan. “Kapal itu terlihat bagus!” Mereka berdua berdiri di dermaga, memandangi kapal yan
Gemerlap bintang kini terasa indah bagi Leon. Awalnya, nuansa langit malam yang anggun sama sekali tidak terasa dengan kehadiran Lesel. “Hah!” Leon merebah, menikmati bentangan angkasa yang luas di atasnya. “Bos! Kami tidak percaya, akhirnya ada bersama Anda lagi,” ucap salah seorang awak kapal yang baru saja meletakkan satu krat bir di sisi kiri Leon. Lantai dek dengan bunyi kayu yang berderit menjadi syahdu ketika Leon menatap wajah pemuda itu. “Ya! Kau benar. Aku pun tidak menyangka akan kembali bertemu kalian.” Mereka tertawa bersama, menikmati kelegaan setelah operasi penyelamatan yang tiba-tiba. Semua orang tidak menyangka bahwa … rencana Leon sungguh minimalis dan juga hampir tidak menimbulkan resiko yang berarti. “Anda tahu? Kami hampir berlayar ke Samudera Pasifik jika Anda tidak lagi membutuhkan bantuan kami,” raut wajah si pemuda berubah muram. “Kalian tahu, kan? Aku selalu membutuhkan bantuan kalian,” Leon terkekeh. Wajah si pemuda kembali cerah. Senyum lebar sege
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.