Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca!
Arren mencoba mengendalikan emosinya saat bertanya tentang suaminya, Leon. Wajahnya yang baru saja memancarkan rona kebahagiaan kini kembali meredup. Kecemasan menggerogoti hatinya. “Tenanglah, Arren. Kita akan menyelamatkannya. Yang terpenting sekarang adalah … kesembuhanmu terlebih dulu,” ucap neneknya mencoba membujuk Arren agar tidak terlalu banyak pikiran. Arren menggeleng. Ia mengetahui bagaimana rasa sesak menjadi tawanan. Kengerian di penjara bawah tanah seperti baru kemarin terjadi. Arren tidak dapat begitu mudah melupakannya. “Clark, tolong … bebaskan Leon.” Clark mendekat, menyunggingkan senyum lembut pada sang nona muda. “Tentu saja, kami akan menyiapkan misi penyelamatan.” Nyonya besar mengangguk, menyetujui usul Clark. “Mengapa kalian baru melakukannya? Mengapa tidak sejak awal? Menga—” “Arren! Kami fokus pada kesembuhanmu! Kami tidak bisa membiarkanmu berjuang melawan maut tanpa pantauan! Leon … pria itu pasti baik-baik saja!” tegas Nyonya Rossie yang tidak bisa la
Hari yang dinantikan tiba. Bulan madu panas yang diharapkan Lesel akhirnya ada di ujung mata. “Kita pergi ke mana?” tanyanya dengan raut wajah bahagia. Leon tersenyum, menyembunyikan niat buruknya. “Kita ke pantai. Bukankah, menikmati indahnya matahari terbenam adalah hal yang romantis?” tanyanya mencoba meyakinkan Lesel agar tak curiga. “Idemu bagus juga, Suamiku! Ayo kita ke pantai.” Akhirnya mereka berdua bertolak menuju pantai Lova yang berada di perbatasan wilayah Rossie dan Rocky. Tidak ada satu ide pun yang terbersit di benak Lesek bahwa Leon akan membohonginya dan merencanakan pelarian diri di tengah momen panas suami–istri ini. Bulan madu yang direncanakan Leon hanyalah tipu daya. Lesel sama sekali tak mengetahuinya. “Bawa pengawal secukupnya. Aku tak ingin mereka merusak momen romantis kita.” Seolah dibius oleh perkataan manis sang suami palsu, Lesel mengangguk tanpa memikirkan konsekuensinya. Berkurangnya pengawal–hampir separuh–dari pada biasanya, membuat gerak-ger
Pelabuhan tidak begitu jauh. Mobil mereka melintasi jalan berpasir yang menghubungkan pantai dengan pelabuhan. Suasana di sana berbanding terbalik 180 derajat. Keromantisan hilang berganti riuh rendah awak kapal beserta para penumpang yang hendak menyebrang ke wilayah lain dari sini. “Pelabuhan ternyata seperti ini, ya?” Lesel berucap. Leon mengangguk. “Di sini memang ramai. Memangnya, kau belum pernah ke pelabuhan?” tanya Leon, basa-basi. Pandangannya bahkan memindai dari sisi kanan ke sisi kiri tanpa melihat ke wajah si lawan bicara. “Tidak pernah. Kami selalu mengendarai mobil,” kata Lesel, merujuk pada keamanan anggota keluarga kerajaan yang harus selalu menjadi prioritas utama. “Pasti membosankan.” “Ya. Kau benar!” Leon masih berbicara santai dengan Lesel, sembari mengamati situasi. Di sekitar kapal besar, Leon baru meminta sopir untuk berhenti dan berpura-pura mengajak Lesel berjalan-jalan. “Kapal itu terlihat bagus!” Mereka berdua berdiri di dermaga, memandangi kapal yan
Gemerlap bintang kini terasa indah bagi Leon. Awalnya, nuansa langit malam yang anggun sama sekali tidak terasa dengan kehadiran Lesel. “Hah!” Leon merebah, menikmati bentangan angkasa yang luas di atasnya. “Bos! Kami tidak percaya, akhirnya ada bersama Anda lagi,” ucap salah seorang awak kapal yang baru saja meletakkan satu krat bir di sisi kiri Leon. Lantai dek dengan bunyi kayu yang berderit menjadi syahdu ketika Leon menatap wajah pemuda itu. “Ya! Kau benar. Aku pun tidak menyangka akan kembali bertemu kalian.” Mereka tertawa bersama, menikmati kelegaan setelah operasi penyelamatan yang tiba-tiba. Semua orang tidak menyangka bahwa … rencana Leon sungguh minimalis dan juga hampir tidak menimbulkan resiko yang berarti. “Anda tahu? Kami hampir berlayar ke Samudera Pasifik jika Anda tidak lagi membutuhkan bantuan kami,” raut wajah si pemuda berubah muram. “Kalian tahu, kan? Aku selalu membutuhkan bantuan kalian,” Leon terkekeh. Wajah si pemuda kembali cerah. Senyum lebar sege
“Alat ini rusak?” Leon menatap telepon satelit yang ada pada genggamannya. Sang kapten menyela, meminta izin untuk mengecek alat komunikasi miliknya. “Seharusnya alat ini baik-baik saja.” Leon menatap telepon satelit itu dengan sedikit rasa cemas. Ia tidak bisa menunda kabar lebih lama. Leon khawatir, pihak Rossie akan melancarkan serangan atau semacamnya yang hanya memperumit ketegangan antar-dua negara. "Sinyalnya seharusnya baik-baik saja," ujar Kapten sambil memeriksa layar dan tombol-tombol pada alat komunikasi itu. "Tapi sepertinya tidak ada respons dari menara kendali di Pulau Lesea." Leon mengangguk. “Bagaimana mengecek kerusakannya?” tanya Leon yang memang tidka mengetahui apapun tentang perangkat keras ini. Kapten kapal mencoba memeriksa dengan pandangannya, ia juga tampak mencopot baterai dan juga mengecek antena yang ada pada telepon itu. “Saya akan coba membawanya ke Hui. Dia adalah teknisi kapal ini.” Leon mengangguk. “Tolong cepat.” “Bak, Bos!” Kapten segera mem
Kapal terus melaju melintasi lautan yang dalam. Mentari di ufuk timur mulai menampakkan diri malu-malu, kendaraan besi besar itu terus membelah perairan untuk sampai ke pelabuhan yang dituju: Pelabuhan Rossie. Pagi itu, di atas kapal Serenade, semangat awak kapal tampak membara. Mereka telah melewati malam yang penuh peristiwa. Kini, matahari terbit memberikan harapan baru. Dek kapal yang berkilauan terkena sinar mentari seolah menyiratkan bahwa kejadian-kejadian sebelumnya memang benar hanya tinggal kenangan. “Selamat pagi, Bos!” sapa awak kapal yang telah terjaga. Leon tersenyum dan membalas sapaannya. Sebentar lagi, mereka akan tiba di tujuan akhir kapal. Perpisahan benar-benar akan terjadi. “Bagaimana kabar Anda?” “Yah, sudah lebih baik,” sahut Leon sambil menatap ke arah lautan lepas. Beberapa ikan tampak menyembul ke permukaan, seolah mengantarkan kepergian sang penumpang kapal. “Alat komunikasinya sudah tidak rusak, ‘kan?” tanyanya ingin memastikan. Pria itu mengambil sebo
Sehari sebelumnya, di Mansion Rossie, suasana hening sudah mulai terasa. Tidak ada lagi kehebohan karena insiden yang menimpa nona mereka. Kondisi Arren sudah terlihat lebih baik. Kesehatannya menunjukkan peningkatan. Siapa sangka? Obat yang diberikan oleh utusan Rocky itu memang memberikan khasiat yang seharusnya. Namun, anehnya, Arren mulai merasakan sakit pada perutnya. Rasa nyeri itu awalnya sepele, namun kemudian, menjadi lebih intens dan tak tertahankan. Arren mulai mengkhawatirkan keadaan janinnya. “Bagaimana janinku?” tanya Arren pada dokter yang sedang melakukan kunjungan rutinnya. “Janin Anda baik-baik saja, hanya … Anda harus menjaga kesehatan secara lebih intensif,” sahut sang dokter dengan ekspresi yang aneh. Arren memandang dokter itu dengan tatapan penuh perhatian. “Mengapa Anda tidak menatap wajah saya, Dokter?” tanyanya. Arren merasa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, dokter itu menggeleng. “Saya … tidak apa-apa.” “Anda dokter baru? Kemana perginya dokter yan
Wajah Arren yang muram berubah cerah ketika melihat Ava. Gadis berwajah bulat itu sungguh menggemaskan dan menghangatkan hatinya. “Bagaimana kabarmu, Ava?” tanya Arren sambil merentangkan tangan untuk menyambutnya. “Saya baik, Nona ….” Ava memeluk Arren dengan lembut dan penuh perasaan. Sejenak, mereka saling menenangkan diri masing-masing, seolah-olah, misi penyelamatan di kaki gunung itu baru saja berlangsung kemarin. “Aku merindukanmu, Ava.” “Aku juga, Nona. Bagaimana keadaan Anda? Saya mendengar bahwa Anda sedang sakit,” tanya Ava sambil mendongakkan kepala. Arren hanya tersenyum samar sambil mengelus rambutnya. “Ya. Tapi sekarang, aku baik–baik saja,” jawab Arren tanpa mau memberitahu keadaan yang sesungguhnya. Arren tidak ingin Ava menjadi cemas dan sedih hatinya. “Nona …,” Bibi Ava memanggilnya. “Oh, halo! Aku tidak memperhatikanmu. Kau ….” “Saya Esme, bibinya Ava. Anda masih ingat, ‘kan? Kita pernah bertemu di taman kota,” jawab Esme sambil tersenyum. Arren mengangguk