Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Matahari saat ini sudah naik tinggi, sengatan panasnya terasa mencekik di udara. Para pelayan masih sibuk dengan persiapan banquet, meski tidak seheboh tadi pagi. Saat ini, mereka hanya perlu mengecek mana yang harus diperbaiki dan mana yang dibiarkan begitu saja, karena sudah sesuai posisi. Para pelayan masih bertanya-tanya tentang perubahan suasana yang terjadi di Mansion ini, meski tidak ada yang berani untuk bersuara. Bangunan megah berarsitektur klasik itu memancarkan aura yang istimewa, meski masih ada kejanggalan yang terasa. Kehangatan dan kegembiraan yang tadi tercipta, kini luruh dengan keheningan yang mencekam jiwa. Yang mereka tahu hanya, dua orang wanita yang berbeda usia itu kini tidak sedang akur seperti biasanya. Nyonya pemilik Mansion ini bersamaan dengan cucunya, tidak tampak menampakkan batang hidung mereka. Biasanya, sang nona akan mengatur sendiri display dan juga dekorasi yang dikehendaknya, namun kali ini, sepertinya ia tidak mempedulikan apa-apa. “Semoga s
"Di mana aku?" Suasana hening membuat telinga Arren berdenging. Lamat-lamat ia membuka mata, namun kepalanya masih terasa berat. Tidak ada yang rasakan kecuali sensasi sakit di sekujur tubuhnya. "Aroma ini…" Arren memejamkan mata, seolah memindai kenangan yang pernah ia rajut dalam memorinya. Aroma ini. Aroma balsamik yang khas, seperti di hutan Rossie yang selalu ia idamkan. Piknik di hutan yang rimbun dengan pepohonan Cedar selalu membuat hati Arren senang. Aromanya yang manis dan menenangkan, menggugah suasana hatinya menjadi berbunga-bunga. Lama Arren mengingat kejadian terakhir kali, ketika ia akhirnya berakhir di lokasi antah-berantah ini. Kemarin siang, Arren memutuskan untuk melarikan diri dari Mansion Rossie. Suasana Mansion yang hiruk-pikuk memuluskan jalan Arren untuk melancarkan aksi. Tidak ada yang mencurigai pergerakan si Nona muda yang ternyata pergi untuk meninggalkan kediaman neneknya. Arren terlalu sakit hati dan tidak mau menerima kenyataan bahwa selama ini,
"Bagaimana penampilanku?" tanya Leon pada Lora, ketika mereka tengah bersiap untuk menghadiri Banquet yang akan diselenggarakan oleh keluarga Rossie di Mansion mereka. "Anda tampak keren, Tuan!" Lora melontarkan kata pujian yang tidak dilebih-lebihkan. Leon tampak mempesona dengan kemeja formal dan celana bahan berwarna hitam, tanpa mengenakan setelan mahal seperti yang biasa ia pakai di acara-acara jamuan. Leon berusaha membaur dengan rakyat jelata yang hadir di pesta milik sang istri, tanpa ingin menimbulkan kecurigaan. Wajah parlentenya tentu akan membuat penjaga tamu undangan bertanya-tanya dan mengusirnya jika ketahuan menyusup di antara kaum jelata yang seharusnya menikmati jamuan makan dari majikan mereka. "Kalau aku, bagaimana?" Lora balik bertanya, dengan rona malu yang tampak jelas di wajahnya. "Kau cantik, Lora. Seperti keponakan kecilku," sahut Leon yang mengundang gelak tawa saudaranya Lora, Laurens. Pria bertubuh jangkung itu bahkan menyemburkan minumannya. "Huh!"
"Sudah ketemu?""Belum!"Derap langkah para penjaga dan pelayan yang beriringan, membuat gaduh Mansion Rossie yang ada di belakang Aula. Berbekal seragam pelayan samaran, Leon mulai tampak menyatu dengan kerumunan pegawai sang Nyonya besar. Leon berhasil mencuri seragam dari ruang ganti pelayan, yang tak jauh dari lokasi pesta. Ia kini turut ke sana-kemari, sambil berpura-pura mencari sang Nona muda yang belum kunjung ditemui. "Gawat!" pekik seorang pelayan wanita berusia muda yang masih belum bisa menemukan sang Nona. Ia tampaknya merasa tertekan dengan tugas yang diembannya. Sudah beberapa jam mencari, namun Nona muda tak kunjung menampakkan diri. "Coba cari lagi di kebun samping Mansion!" Seru pelayan lainnya, yang diikuti anggukan sang wanita tadi. Mereka kembali berpencar, dengan senter dan juga teriakan yang mencari-cari sosok wanita muda, sang pemimpin baru Rossie. Sayangnya, semua terasa sia-sia. Nona muda telah menghilang, entah ke mana. "Perhatian, Semuanya!"Suara men
Sementara itu, di lokasi Banquet Rakyat, suasana pesta menjadi aneh dan tidak biasa. Para tamu undangan terlihat masih kasak-kusuk untuk mencari tahu penyebab tidak adanya tuan rumah yang menyambut mereka di acara penting itu, meski derai tawa dan pekikan kemeriahan masih santer terdengar.“Lora, di mana Tuan Leon?” tanya Nyonya Dolores–sang ibu, seraya mendekati putrinya itu. “Entahlah, Bu. Aku juga tadi ditinggal sendiri,” kata Lora sambil mengunyah kudapan yang beraneka rasa. Mulutnya penuh dengan makanan, sampai-sampai, menjawab pertanyaan dari ibunya juga dengan susah-payah. "Lap dulu mulutmu!" Hardik ibunya yang membuat Lora terkekeh pelan. "Astaga, Lora! Kau seperti babi!" ejek Laurens sambil memutar bola matanya. Lora hanya melotot dan meneruskan aktivitas makannya tanpa mempedulikan perkataan kakak atau pun Ibunya. “Sudahlah, Bu. Mungkin Tuan Leon banyak urusan. Kita nikmati saja pesta ini,” ucap Laurens sambil mengambil dua gelas anggur yang terhidang di meja. Pria itu
“Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan-tuan?” Nyonya besar Rossie berbicara dingin, dengan ekspresi tegas untuk mengusir para tamu tak diundang. Pemilik Mansion ini segera menuju ke arah gerbang, setelah sang pengawal melaporkan situasi yang tidak diduga-duga di kediamannya. “Kami akan menggeledah Mansion ini,” ucap Inspektur Kirk secara pribadi, di hadapan sang Nyonya. “Saya Inspektur Kirk, dan saya membawa search warrant dari pengadilan,” tegasnya sambil mengulurkan dokumen resmi sebagai dasar legal tentang penggeledahan yang akan dilakukan. “Astaga! Apa yang terjadi?” Nyonya Rossie terkejut, dan tidak mengira akan mendapatkan perlakuan seperti ini. Rona wajahnya berubah. Nyonya yang semula dingin dan tegas, kali ini seakan tersinggung dengan perlakuan yang ia dapatkan. Bisa-bisanya para petugas dari ibu kota itu menggeledah kediaman seperti seorang kriminal. “Maaf, Nyonya. Kami hanya ingin mencari Abigail Rossie. Dia masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Anda, bukan?”“Anda
Sinar bulan yang awalnya memancar sempurna, kini temaram tertutup awan mendung yang tiba-tiba datang. Danau tenang kini beriak, dengan pantulan kekejian yang sedang berlangsung di daratan. Serigala berlumur darah, sedang mundur selangkah, untuk bersiap menyerang kembali mangsa yang ada di hadapannya. Pria itu, Adam Hart, tertatih menahan nyeri di koyakan lengannya. Dengan langkah limbung, Adam hampir kehabisan darah. Cairan merah itu terus mengalir deras, menimbulkan bau anyir yang menyegarkan bagi sang pemburu di sekitarnya. 'Grrrr...Serigala kembali menggeram, dengan menunjukkan gigi-giginya yang tajam. Semburat merah dengan irisan daging bertengger di antaranya, menimbulkan kehausan akan porsi yang lebih, dalam mengganjal rasa laparnya. Serigala itu bukanlah hewan yang biasa ditemui di Danau Hutan Cedar. Mungkin, ia benar-benar kelaparan, sehingga melintasi wilayah buruan hewan lain yang berada di luar kelompoknya. "Pergi! Binatang jalang!" Adam berteriak, dengan gemeletuk g
Seperti predator pada umumnya, Leon berpikir menggunakan otak reptilnya. Ia bahkan tidak menunggu hingga bala bantuan datang—para anak buahnya—dan segera berlari menuju ke arah yang ditunjukkan oleh sang ayah mertua. Sementara itu, tim pengawal Rossie—yang dipimpin oleh Clark—malah berlari ke arah sebaliknya. Mereka tidak mengetahui rahasia pondok tua milik Nenek Lucy—mantan dayang Ibunda Arren—sehingga mencari sang Nona ke arah yang salah. Pengawal-pengawal itu menyusuri pedesaan yang ada di sekitar lembah, yang masih berada dalam wilayah Rossie. Mereka tidak pernah mengira bahwa sang Nona sedang berada di area berbeda. Pertemuan Leon dengan ayah mertuanya—meski awalnya dianggap sebagai bentuk kesialan—ternyata memiliki manfaat yang besar. Leon dapat dengan mudah membawa kembali Arren tanpa harus melawan bala tentara Rossie yang tak terhitung jumlahnya. Jika dikalkulasikan, tentu anak buah Leon kalah jumlah. Namun, persoalan nyali, mereka tidak bisa dianggap sebagai orang-orang t