PULANG MEMBAWA CALON MANTU? "Masya Allah, banyak sekali. Sungguh hebat wanita jawa bisa menyediakan semua makanan itu dalam sehari," puji Umi Nisa. "Ya, itu lah yang selalu Gendhis kagumi dari para wanita Jawa, Mi. Mereka sangat hebat dalam hal prinsip hidup dan melestarikan semua peninggalan dan ajaran leluhur kami. Tapi untuk masakan pertama sahur nanti Gendhis ingin belajar masak makanan Tarim, Mi. Biar pintar masak," ucap Gendhis. "Betul! Lelaki itu kenyangkan pandangannya, perutnya, bawah perutnya. Cukup itu kau jaga, selebihnya pasrahkan Allah saja," sahut Umi Nisa. "Mari kita memasak untuk sahur pertama kita nanti malam. Kau ingin memasak apa?" tanya Umi Nisa. Selama di sini Gendis tak menyia-nyiakan kesempatan belajar apapun yang dia bisa selama ada di Tarim ini. Ya dia memang ingin suatu saat nanti jika memiliki pasangan melayani dengan sepenuh hati seperti apa yang dia lihat dari Umi Nisa pada Suaminya, Abi Usman. Gendhis i
SIAPAKAH LELAKI ITU? "Pulanglah, Mama Rindu," perintah Ibunya. "Bagaimana jika saat pulang Gendhis membawa calon menantu, Ma?" tanya Gendhis. "Apa maksudmu Pulang membawa calon mantu?" tanya Mama nya, Ririn. "Tadi umi Nisa mengatakan kepada Gendhia, jika ada seorang lelaki yang berminat mencari seorang jodoh dan Abah Usman serta Umi Nisa sepakat untuk menjodohkan Gendhis dengan lelaki itu," jawab Gendhis. "Lalu kamu mau?" tanya Ririn. "Tidak Ma, aku belum menjawab mau atau tidak mau. Banyak pertimbangan untuk Gendhis, selain ini adalah pilihan dan tawaran dari seorang Umi Nisa, Gendhis juga mengatakan kepada mereka bahwa harus bertanya kepada Mama dulu. Bagaimana pun Gendhis ingin meminta pertimbanganmu, Ma. Apakah Mama mengizinkan atau tidak? Jika memang Mama tidak mengizinkan maka aku pun tidak akan pernah menikah dengan lelaki itu, Mah," jelas Gendhis. "Jadi Mama tidak usah khawatir juga. Gendhis melakukan ini
BISMILLAH TA'ARUF! "Ah iya sama kan seperti di Tarim sini. Semua juga ingin begitu, hanya saja kalau kami dalam satu rumah akan ditingkat berundak dan dibuat untuk anak cucunya tanpa kami harus berada dalam satu dapur sama. Meski jika dipikir lagi masih dalam satu rumah juga," ucap Umi Nisa sambil tertawa renyah. Gendhis menganggukkan kepalanya. Ya memang begitulah di Tarim, mereka memang hidup dalam satu rumah bersama keluarga besar namun setiap lantai memiliki dapur pribadi masing-masing sehingga tidak saling mencampuri urusan satu sama lain. Sedangkan di Indonesia terkadang mereka memang tinggal dalam rumah yang berbeda namun masih acap kali campur tangan rumah tangga satu dengan rumah tangga lainnya, antar ipar, sehingga seringkali menimbulkan konflik. "Alhamdulillah, Nak. Sepertinya Allah memang menyayangimu. Dia memang berniat untuk berdakwah di Indonesia namun rasa cintanya di kota Tarim ini begitu besar, sehingga dia kembali lagi ke sini un
DARI SAMBUSA SAMPAI BOLU RAWANI"Apa maksudnya, Bah?" tanya Gendhis."Kau bisa menanyakan sendiri nanti kepadanya nanti, Nak. Tapi sebaik-baiknya kau bertanya Jangan pernah menanyakan tentang masa lalunya, Nak. Masa lalu itu biarlah menjadi rahasianya sendiri. Karena itu adalah aib nya. Yang penting kan hubungan kalian akan mendatang. Bagaimana kalian menghadapi semua ini bersama," ujar Abah Usman. Gendis pun menganggukkan kepalanya paham. "Nah jika kau sudah bersedia dan kau mau, maka Abah akan mempertemukan kalian di puasa hari ketiga. Bagaimana menurutmu?" tanya Abah Usman."Umi ikut saja bagaimana baiknya untuk Gendis. Apakah kau keberatan jika kita bertemu di hari ketiga puasa, Nak? Itu artinya kau masih ada waktu tiga hari untukmu istikharah, Nak," perintah Umi Nisa."Iya Mi, Gendhis semenjak setelah mendapatkan restu dari ibu di Indonesia apalagi Umi dan Abah yang mencarikannya maka Gendhis tidak keberatan. Gendhis pasrah dan minta tolong dengan sangat arahan Abah dan Umi," uc
ASTAGFIRULLOH! LELAKI ITU?"Gendis nak turunlah!" perintah Umi Nisa saat adzan magrib hendak berkumandang.Gendis pun turun dari kamarnya yang memang sengaja berada di lantai dua. Pasti lelaki itu sudah datang dan sekarang sedang berbincang dengan Abah Usman di depan. Jantung Gendhis berdetak tak karuan."Apakah begini jika semua di lakukan karena Gusti Allah? Begitu indah, mendebarkan," batin Gendhis."Gendhis, nanti kau hidangkan makanan dalam nampan itu ya. Umi sudah sengaja membuatkan dua nampan makanan. Lelaki itu sangat pemberani sekali, bahkan dia datang sendiri tak di temani siapapun," puji Umi Nisa. Lagi ucapan Umi Nisa itu membuat Gendhis tersipu malu. Dia sangat penasaran seperti apa lelaki yang akan menjadi calon suaminya itu."Iya, Mi," jawab Gendhis."Nah satu nampan teh hangat dan air itu untuk Abah Usman dan lelaki itu, satu untuk kita berdua makan. Meskipun kita nanti akan makan berpisah, jika memang kau tidak nyaman," kata Umi Nisa. Gendhis menganggukkan kepalanya.
TANGIS GENDHIS"Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan. Bukankah begitu, Abah?" tanya Mulki."Tafsir wajiz nya memang barang siapa mengerjakan kebajikan sekecil apa pun, baik dia laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman dan dilandasi keikhlasan, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik di dunia dan akan Kami beri dia balasan di akhirat atas kebajikannya dengan pahala yang lebih baik dan berlipat ganda dari apa yang telah mereka kerjakan," jawab Abah Usman."Sedangkan tafsir tahlili, Kemudian Allah swt dalam ayat ini berjanji bahwa Allah swt benar-benar akan memberikan kehidupan yang bahagia dan sejahtera di dunia kepada hamba-Nya, baik laki-laki maupun perempuan, yang mengerjakan amal saleh yaitu segala amal yang sesuai petunjuk Al-Qur'an dan
La Tahzan!"Tidak Abah. Tidak begitu, justru Gendhis ini merasa terharu, senang, sedih, bercampur menjadi satu," ujar Gendis sambil mengusap air matanya, nada suara gadis sudah bergetar berusaha sebisa mungkin menahan semua tangisnya."Lalu, mengapa kau menangis, Nak? Apa yang membuatmu sedih seperti itu? Kalau kau memang bahagia harusnya kau tersenyum. La tahzan, jangan lah engkau bersedih, Nak," ujar Abah Usman. Maryam anak Abah Usman pun berjalan mendekati Gendis."Ya Mama Gendis, kenapa engkau menangis? Apa ada yang membuat Mama Gendis sedih?" tanya gadis itu dengan polosnya.Ya selama ini anak Abah Usman memanggil Gendis dengan sebutan Mama. Gendhis lah yang memintanya sebagai pengobat rasa rindunya kepada almarhum anaknya, Kai."Apakah Paman itu yang membuat Mama Indonesia ku ini sedih? Apakah Paman itu yang membuat Mama Gendis menangis? Kalau iya maka aku akan menjewernya untuk Mama Gendis dan sedikit menasehatinya," kata Maryam dengan bersungguh-sungguh.
Kau dandelion dan aku anginnya"Apa yang ingin kau tanyakan padaku, Gendhis. Tanyakanlah, aku akan menjawab semuanya," perintah Mulki."Kenapa kau pergi begitu saja? Seolah mempermainkan aku! Mulki kau tahu kan? Kau mengerti kan aku adalah wanita yang sangat mudah tersentuh dan terbawa perasaanku sendiri. Kau datang bagaikan pahlawan di tengah aku sedang kesusahan karena Kai. Kau meyakinkan tak hanya aku saja, namun Ibuku juga. Kau dengan baiknya memperlakukan ku seperti orang yang begitu spesial bagimu, di hadapanmu. Tapi mengapa tiba-tiba setelah itu juga kau pergi tanpa berpamitan? Bukankah itu terlalu kejam?" tanya Gendhis sambil mendongakkan kepalanya. Dia baru berani menatap Mulki."Gendis kau salah paham. Sungguh sebnarnya semua tidak seperti yang kau pikirkan. Aku bisa menjelaskan semuanya. Aku akan menjawab kenapa aku pergi begitu saja setelah kepulangan dari sana. Jawabannya karena setelah pulangnya aku dari rumahmu, aku tak sadarkan diri hampir seharian dan sa