AKU MELIHAT CINTA DI MATAMU!
"Allah, alangkah nikmatnya suasana ini. Ramadhan di Tarim dengan membakar wewangian dan berdzikir kepada-Mu. Allah ya Robb, pantaskah aku menikah dengannya? Jika boleh meminta jodohkan aku dengan Mulki ya Robb, aku sungguh mencintainya," gumam Gendhis. Di negara kita indonesia, masyarakat kita kalau sudah mencium bau kemenyan langsung mengambil kesimpulan kalau ada pemanggilan roh, dan ada juga sebagian beranggapan hanya sebagai pengharum ruangan. Dan ada juga yang masih merasa terganggu dengan bau kemenyan atau buhur. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beliau sangat menyukai wangi-wangian, baik minyak wangi, bunga-bungaan atau pembakaran dupa. Perbuatan ini telah turun temurun diwariskan kepada sahabat dan tabi’in dengan membuat ruangan menjadi harum dengan membakar kemenyan, dupa dan kayu gaharu yang bisa membuat ketenangan di dalam ruangan rumah merupakan hal yang baik. Sampai sekarang di sekitar Masjid Nabawi dan juBERPAMITAN PULANG KE INDONESIAMendengar semua ucapan dari Gendhis itu pun membuat Mulki tersenyum. Dia baru merasa tak salah lagi mencintai wanita itu, dia benar-benar merasa beruntung dicintai oleh wanita yang setengah gila itu. Bagaimana tidak gila, dia bisa mencintai kakaknya dan sekarang giliran dia mencintai dirinya. Dua orang yang sama dalam satu rumah, hal gila bukan? Itu tak dapat dilakukan di lakukan oleh sosok seorang bernama wanita bernama Gendis. Terlepas dari itu Mulki sangat bahagia bisa menemukan pasangan yang rasanya lebih asik. Dia yakin hidupnya akan lebih berwarna, kisah cinta mereka tak akan melulu tentang ibadah, tak melulu tentang salat dan tak melulu tentang agama. Namun juga asik diajak berdiskusi apapun termasuk tentang cinta."Kenapa kau diam? Kau kaget ya?" tanya Gendhis."Lumayan, agak kaget saja bisa bertemu wanita unik sepertimu," jawab Mulki."Kau pikir hanya kau saja yang bisa menggombali aku? Kau pikir
TITIP GENDHIS, MI! TITIP GENDHIS BAH!Maryam! Maryam! Nak! Kemarilah, Nak," perintah Umi Nisa. Tak lama kemudian Maryam keluar dari kamar."Ya Umi," sahut Maryam datang menghampiri Umi Nisa yang memanggilnya sambil membawa qur'annya."Maryam, Sholehan. Bolehkah Umi meminta tolong padamu?" tanya Umi Maryam."Ya, Umi. Apa yang bisa Maryam lakukan untukmu, Umi?" tanya Maryam."Bisakah kau menemani Mama Gendhis di sini dengan Paman Indonesia? Umi akan memanggil Abah di kamar atas," jawab Umi Maryam."Baiklah, Umi. Tentu saja Maryam bisa melakukan untuk Umi," sahutnya dengan senang.Umi Nisa berpamitan pada mereka berdua untuk memanggil Abah Usman. Kini hanya menyisakan Maryam, Mulki, dan Gendhis salam ruangan. Mereka duduk di lesehan, sering kali terlihat dekorasi interior ala Arab menggunakan permadani dan bantal di lantai alias lesehan. Ternyata kebiasaan ini tidak hanya terpaut tradisi Arab saja, tetapi juga merupakan anjuran bagi muslim untuk duduk, tidur, bahkan makan di lantai. Hal
SANDWICH GENERATION"Nah ambillah, Nak!" kata Abah Usman sesaat setelah kembali sambil membawa kertas di tangannya yang dia masukkan ke dalam sebuah amplop kain berwarna merah cantik."Tolong berikan ini kepada Abahmu ya, Nak. Katakan ini dariku," perintah Abah Usman. Mulki pun menganggukkan kepalanya. Dia berbasa-basi sebentar dan berpamitan untuk pulang, setelah itu Umi Nisa langsung mengajak Gendis untuk membuat makanan berbuka puasa mereka. Hal itu dilakukan Umi Nisa agar Gendis tak selalu terpikirkan oleh Mulki saja, karena dia tahu gadis itu benar-benar sedih sekarang."Nak, mari kita memasak makanan untuk buka," ajak Umi Nisa. Gendhis hanya menggaanggukkan kepalanya dengan patuh kemudian berjalan mengikuti Umi Maryam."Gendis kau tahu tidak perjalanan rumah tangga itu adalah ibadah yang paling berat dan dilakukan oleh manusia seumur hidupnya. Jika bisa, hendaknya dia menikah sekali seumur hidup," jelas Umi Nisa."Iya, Umi. Gendis tahu, tapi banyak anak muda sekarang di negara
BERJUANG UNTUK MENDAPATKAN RESTU"Siapakah lelaki itu?""Gendhis tak tahu harus memulainya dari mana, Bu. Gendhis bingung antara takut atau bersyukur, musibah atau berkah," ujar Gendhis pada Ibunya."Loh kenapa? Kau takut kenapa memangnya? Ndu, jawab Mama. Kau memang di jodohkan dengan siapa oleh Abah Usman? Kalau kau memang tak suka, membuatmu tak nyaman, dan takut maka kau bisa menolaknya juga. Kalau memang kau tidak berani, biar mama saja yang menolak untukmu," kata Mama Gendhis, Ririn. Jujur saja, Mama Gendhis dia takut Abah Usman menjodohkan dengan lelaki sembarangan."Tidak, Ma. Bukan masalah itu," sergah Gendhis."Lalu apa? Abah Usman melakukan apa padamu? Apa yang menjadi masalahmu?" tanya Ririn."Mulki, Ma," jawab Gendhis."Hah? Apa maksudmu?" sahut Ririn."Ya, memang Mulki. Memang dia ternyata orang itu. Mulki adalah orang yang tidak pernah Gendhis pikirkan sebelumnya," jelas Gendhis."Siapa? Apa maksudmu, Nduk? Mulki lelaki mana?" tanya Ririn yang bingung sendiri."Mulki, M
Pulang Ke Indonesia![Mulki, jika kau mencari wanita seperti ibumu atau kakak perempuanmu mungkin aku jauh dari itu. Kalau Ibumu mencari wanita yang lemah lembut, penyayang, pengasih, bahkan tidak mempunyai masa lalu kelam, sungguh sulit dan posisiku terancam][Tolong hadapi aku dengan baik dan beritahu apapun, jangan biarkan aku berjuang sendiri untuk meluluhkan dan mendapatkan restu yang bahkan aku pun tidak pernah belajar soal itu][Aku tahu Gendis untuk memperjuangkan rezeki orang tua itu adalah tugasku sendiri bukan tugas calon istri sepertimu. Aku tahu kalau aku ingin bersamamu aku harus meyakinkan orang tuaku. Gendhis, aku belum bisa ke rumahmu, sebelum aku meyakinkan orang tuaku dulu. Karena aku ingin bertanggung jawab dalam mengambil keputusan dan tak akan melemparkan tanggung jawab ini kepadamu, Gendis][Gendis aku akan perjuangkanmu dan menempatkanmu di nomor pertama saat kau menjadi istriku. Apapun itu dalam hidupku dan kau akan menjad
SIAPA DIA?"Assalamualaikum," sapa Mulki."Pakde! Pakde!" teriak anak kecil di pangkuan Sifa, anak berusia satu tahun itu dengan bahasanya yang masih cadel menyapa Mulki."Assalamualaikum Humairah! Benar-benar Humairah, pipinya bersemu kemerahan. Cantik sekali," puji Mulki."Masuklah, Le," perintah Sifa."Iyo, Mbak. Sedang apa kau anak cantik? Kau sudah minum susu ya? Ah, pintarnya keponakan Pakde," kata Mulki sambil menaruh barang bawaannya di bagasi. Mulki ipun mencium tangan kakaknya. Sifa mengelus kepala adiknya dengan penuh rasa kasih sayang. Meskipun sudah besar, tetap saja Sifa memperlakukannya seperti anak kecil."Sudah menunggu lama, Mbak?" tanya Mulki. "Tidak kok, baru setengah jam kami sampai. Saat kau mengatakan hampir landing, Mas Rio mengontrol mu lewat jam kedatangan pesawat. Kami tadi berhenti di rumah makan yang memang dekat bandara," jelas Sifa."Syukurlah kalau begitu. Kau tak terl
SEBUAH SURAT DARI TARIMMulki pun menganggukkan kepalanya. Abah Furqon melihat mobil sudah memasuki gerbang pesantren rumahnya, Mulki melihat beberapa santri sedang berlarian pesantren yang dibangun Abahnya. Pesantren itu memang maju sangat pesat, mengingat Abahnya benar-benar sangat konsentrasi membangun pesantren itu dan tak main-main. Semua uang yang didapatkannya selalu dimasukkan untuk mengelola dan membesarkan pesantren. Banyak anak yatim piatu di sana, mereka sekolah dan mondok secara gratis.Tapi ada juga banyak anak-anak orang kaya yang di sana. Mereka selalu melebihkan biaya sekolah anak-anaknya sekaligus untuk infak. Itulah yang dijadikan subsidi silang untuk membiayai biaya operasional pesantren. Mulki pun turun dengan mencangklong ranselnya dan berniat mengambil koper itu."Taruh lah sana, Dek! Nanti aku akan bantu ambilkan. Kau pasti lelah," ujar Rio saat melihat Mulki sibuk menurunkan kopernya."Tidak usah, Mas. Aku bisa sendiri," s
KECEWANYA SEORANG AYAH"Astaghfirullahaladzim, Abah Usman kan memiliki sebuah surat yang harus aku sampaikan kepada Abah. Aku harus segera menyampaikannya," ujar Mulki.Dia pun meraih baju koko panjang yang dikenakannya saat dia pulang dari Tarim tadi dan segera menemukan surat itu dan pergi keluar mencari Abahnya. Mulki celingukan, di ruang tamu sudah tak terlihat sosok Abahnya. Kemudian dia berteriak sambil berjalan ke dapur."Bah! Bah," teriak Mulki. "Kau mencari Abah, Le? Jam segini pasti dia juga ada di pesantren. Dia hanya pulang sebentar demi menemui mu tadi. Kenapa memangnya?" tanya Umi."Oh sudah berangkat ya, Mi," gumam Mulki melihat Uminya menggoreng mendoan untuk mereka berbuka."Sudah, Le. Baru saja berangkat. Kenapa to? Kau tidurlah sana," perintah Umi Laila."Iya, Mi. Nanti kalau Abah sudah pulang tolong bangunkan Mulki ya, Mi. Mulki akan tidur sebentar agar tidak pusing," pamitnya."Ada apa to, memangnya? Dari tadi kok ndak di jawab pertanyaan Umi," ucap Umi Laila sam
ANAK PEREMPUANKU DAN SEJUTA MASA LALUNYA!"Kenapa? Kenapa aku yang harus bertanggung jawab atas kebahagiaan Kakak kandungku? Bukankah selama ini kau yang mengecewakan Kakak kandungku, Mas?" ledek Mulki."Mas Rio, Mas Rio. Kau ini aneh dan lucu sekali, kau itu jangan mencari kambing hitam atas rasa cemburumu. Kenapa? Kau masih tak terima kalah dariku? Dari tadi semua ucapan dan pembicaraanmu itu selalu berputar-putar arah! Pembicara kamu sungguh tak jelas seperti itu, kau di sini yang salah tapi kau tak mau mengakui kesalahan," ujar Mulki lirih. Dia tak enak juga jika mama Gendhis mendengarnya.Rio terdiam, dia hanya mengusap wajahnya dengan kasar. Tak lama kemudian Bu Ririn datang dari belakang, sudah tak mengenakan mukena lagi. Hanya mengenakan gamis panjang dan jilbabnya. Tak lama Gendhis menyusul di belakang sang Ibu sambil membawa nampan minuman dan meletakkannya di hadapan Rio."Maaf ya lama," kata Mama Gendis."Oh tidak apa apa, Tante. Kebetulan saya juga baru datang," sahut Mu
KENAPA HARUS AKU YANG BERTANGGUNG JAWAB?Mendengar ucapan Rio itu Gendis terdiam, dia tak mengira Rio akan menilainya seperti itu. Dia cukup kaget meskipun apa yang dikatakan Rio adalah kebenaran. Dia tak mengira serendah itu harga dirinya di hadapan Rio."Apakah sebegitu hina aku di hadapanmu, Mas?" Tanya Gendis dengan mata berkaca-kaca.Rio terdiam diam memandang ke arah wanita yang begitu dia cintai itu, kemudian dia menyadari kesalahannya. Mata cantik itu dulu pasti akan nyalang ketika dia melakukan kesalhan, langsung mendebat tanpa ampun namun sekarang semua sudah berbeda."Dia berubah," batin Rio dalam hati, justru berubahnya Gendhis membuat lelaki itu sedikit ketakutan.Rio meneguk ludahnya dengan kasar dan merutuki kebodohannya sendiri. Ya, karena emosinya tadi dan tak bisa menahannya, sampai dia mengucapkan sesuatu yang mungkin menyakiti hati Gendis. Rio pun melirik Gendhis lagi, wanita itu masih diam. Alih-alih marah justru Gendhis terlihat menyeka air matanya yang mulai
SEHINA ITUKAH AKU DI HADAPANMU, MAS?"Lalu kenapa kau menikah dengan Mulki?" cerca Rio."Aku tidak menikah dengan Mulki!" tegas Gendhis."Gendhis," panggil Mulki lirih, semua menoleh ke arah Mulki. Dengan cepat Gendhis memberikan kode pada lelaki itu, Mulki paham dan diam. Memang kalau di pikir lagi ucapan Gendhis benar, mereka belum menikah tak ada yang salah. "Halah omong kosong!" bentak Mulki."Demi Allah aku tidak menikah dengannya sekarang," sahut Gendhis dengan cepat"Tapi Mulki kan melamarmu," sanggah Rio. Gendhis menghela nafas panjang, sepersekian detik otaknya harus di paksa berpikir secepat mungkin agar dia bisa berkilah namun tak berbohong hanya dengan penyusunan kosakata."Tadinya memang begitu, tetapi aku telah membatalkannya," jawab Gendhis."Membatalkannya? Benarkah? Kau tak berbohong kan? Mengapa kau membatalkannya?" tanya Rio menatap ke arah Mulki dan Gendhis bergantian."Benar Mulki?" selidik Rio. Mulki diam tak menjawab namun dia menganggukkan kepalanya perl
AKU TIDAK MENIKAH DENGAN MULKI!"Allah itu maha pengampun, mungkin doa istrimu, doa mertuamu, atau doa orang tuamu yang dikabulkan Gusti Allah. Bersyukurlah atas itu, jangan sampai kau memiliki pemikiran POLIGAMI lagi!" bentaknya."Lantas kenapa kau berulah lagi? Kenapa kau datang ke sini marah-marah tak jelas seperti ini?" tanya Gendhis."Tak jelas katamu? Hah? Tak jelas? Hahaha!" teriak Rio dengan menatap nyala ke arah Gendis.Entah setan mana yang sedang menyambetnya, dia tiba-tiba maju dan mencengkram dagu Gendis dengan keras, sampai kuku itu sedikit menusuk ke pipi Gendhis. Wanita itu pun meringis kesakitan."Lepaskan!" perintah Mulki. "Tak usah ikut campur!" bentak Rio tanpa menoleh Gendis.Gendhis memberikan kode kedipan mata, membuat Mulki diam. Meski sangat ketakutan, Gendhis berusaha kuat. Jujur saja sekarang dadanya berdetak sangat kencang sekali, dia tak mengira Rio berani sekasar ini. Rio yang pendiam tiba-tiba berubah menjadi arogant bahkan kasar dan cenderung frontal
KETIKA KAU GAGAL JADI MADU KAU MEMBALAS INGIN MENJADI IPARKU!"Bagaimanapun juga dia anakku, Gendis! Tapi konyolnya aku tidak tahu! Aku berhak tahu!" sanggah Rio."Kata siapa? HAH?" bentak Gendhis."Apa maksudmu berkata seperti itu, Gendhis. Bagaimana pun juga aku adalah ayah Kai! Kau tahu itu kan? Sekarang kenapa kau berbicara seolah-olah aku orang asing bagimu dan Kai?" sahut Rio.Tangan Gendhis langsung mengepal, sungguh sakit hatinya sekarang. Marah dan tak terima bergolak menjadi satu dalam hatinya. Dia tak terima kepada sikap Rio, datang tak di undang melukai Mulki, dan sekarang mengatakan bahwa dia memiliki hak atas anaknya. Sedangkan dulu lelaki di hadapannya ini tak bisa memutuskan memberikan kejelasan akta pada putranya. Bahkan dia kembali pada Sifa, istrinya."Sepertinya kau lupa, Mas. Baiklah, aku akan jelaskan," kata Gendhis sambil tersenyum kecut, nada suaranya sudah bergetar menahan tangis dan amarah yang berkumpul menjadi satu."A...apa maksudmu?" tanya Rio dengan nad
DIA ANAKKU! DAN MENINGGAL AKU TAK TAHU!"Semi ustadz?" tanya Rio mengerutkan keningnya."BADJINGAN KAU!" Pekik Rio dalam hatinya.Semakin ke sini dia makin curiga bahwa lelaki itu adalah Mulki. Namun sekali lagi Rio tak ingin tergesa-gesa dulu menyimpulkan. Dia harus mengatur strategi dan taktik agar tak salah jalan. Meskipun dia tak bisa bersama Gendis tetapi jika gadis itu bersama Mulki pun hatinya juga tak rela, menurutnya lebih baik Gendis bersama orang yang tak dia kenal. Dia harus mengumpulkan bukti kuat sebelum mengatakan semua kebenaran ini pada sifa."Mohon maaf Bu Apakah lelaki itu sedikit tinggi mungkin lebih tinggi dari aku dia hobi sekali memakai baju semi Koko begitu kaos tapi bentuknya Koko sedikit putih tetapi tidak terlalu putih juga dan memiliki suara yang sangat kalem sekali benarkah seperti itu tanya Rio mulai menggambarkan ciri-ciri Mulki"Iyo, Mas.""Sik sebentar, Bu. Saya boleh memastikan tidak? Sepertinya yang lelaki itu temanku juga," kata Rio."Ah saya lamat
BADJINGAN KAU!"Apa kau bilang?" tanya Gendis pun mendengus kesal."Entah mengapa tiba-tiba perasaan tak suka mencuat begitu saja, dia tak menyangka jika orang-orang alim yang identik paham dengan agama justru akan melakukan poligami ya meskipun itu tidak disalahkan tapi naluriahnya sebagai seorang wanita tak ingin diduakan."Aku sudah memberikan kesempatan kepada Umi bahwa aku rela dijodohkan dengan siapapun selama wanita itu tahu latar belakangku dan tak ada kebohongan. Dia tahu penyakitku dan dia bisa menerimaku," jelas Mulki."Gendis, kau juga wanita kan? Kau mengerti maksudku. Kau pikir siapa yang mau menikah denganku saat kondisiku seperti ini?" sambungnya."Kau memanfaatkan itu?" tanya Gendhis."Hahaha, bahasamu terlalu jahat. Apalagi aku tidak memanfaatkannya, kau salah, Gendhis. Sebagai orang yang paham tentang agama, aku hanya ingin tak gagal dalam melakukan dan menjalani rumah tangga. Dalam membina sebuah hubungan keluarga aku menginginkan menikah itu langgeng, satu selaman
BERI AKU WAKTU TIGA BULAN!"Jangan pernah memaksa orang tuamu merestuinya. Kalau memang mereka tak ingin anaknya menikah denganku maka aku ikhlas, ini semua bukan salah mereka tapi salahku. Kebodohanku di masa lalu dan sisi egoku," jelas Gendhis."Aku tak masalah jika kau membatalkan. Membatalkan pinangan ini," ujarnya.Mulki terdiam, dia menatap Gendhis dengan tatapan tak percaya. Ya, wanita memanglah begitu, selalu mengedepankan egonya dari pada logikanya. Namun dia tak menduga Gendhis akan langsung menyerah seperti ini. Padahal saat bersama Rio sosok wanita di hadapannya bisa memperjuangkan cinta yang salah."Apa kau berpikir begitu?" tanya Mulki."Ya," jawab Gendhis dengan tegas."Jujur saja ini agak mengecewakan aku," kata Mulki. Gendhis menatap Mulki dengan tatapan bingung dan penuh tanya."Kenapa?" "Ya, bagaimana mungkin dengan mudah kau mengatakan membatalkan lamaran ini? Padahal ini bukan permainan. P
ASSALAMUALAIKUM MANISKU!"Assalamualaikum," sapa Mulki sambil menenteng dua kresek berisi martabak manis dan asin."Waalaikumsalam," sahut Gendhis,"Masuklah, Mulki," perintah Gendhis."Masya Allah manis," kata Mulki."Hah?" sahutnya."Kau manis sekali, manisku," puji Mulki yang otomatis langsung membuat wahag Gendhis merona."Halah aku bisa saja," cebiknya.Gendhis memakai gamis hitam, semenjak ke Tarim dan kondisi berduka Gendhis lebih senang memakai semua pakaian hitam. Termasuk cincin, permata hitam. Antara tanda duka atau tanda yang mencerminkan dirinya sekarang. Meski begitu itu tak mengurangi kecantikan dan aura elegan yang dia tampilkan."Kau sekarang menyukai warna hitam? Itu nampak sangat elegan sekali. Dari pada Gendhis yang biasanya," sambungnya."Kenapa memangnya? Bukankah artinya duka?" jawab Gendhis."Warna hitam memiliki makna simbol yang berbeda bagi setiap orang. Ket