Usaha pencarian Dara akhirnya dilakukan sore itu juga, mereka tidak ingin membuang waktu karena menganggap gadis itu sebagai saksi penting. Sambil menunggu persiapan matang, Rosie dan Maxwell mengobati luka-luka di wajah Xander. Pria itu tidak bisa menolak, adiknya yang keras kepala itu terus saja memaksa agar dirinya dirawat lebih dahulu.
"Kakak, kali ini aku tidak akan melarangmu. Asalkan kau mengajakku dalam pencarian!" Maxwell sudah berulang kali mengatakan itu.Rosie yang tengah memberi obat merah pada Sidja, sampai heran melihat sikap yang ditunjukkan oleh pria itu. Maxwell sangat bersikeras untuk ikut bersama Xander dan yang lainnya. Sedangkan kakaknya sedari tadi hanya diam, saat rengekan Maxwell berlebihan, Xander langsung melemparkan tatapan tajam sehingga membuat adiknya diam."Kali ini aku akan ikut denganmu, meski kau melarangku!" tegas Maxwell yang tidak ingin ditolak."Mengapa kau keras kepala, Ell. Ini adalah situasi serius, kitaTubuh Dara dibanting dengan kasar di atas rerumputan hijau yang basah oleh embun. Ia merasakan ngilu di sekujur tubuhnya. Keempat pria itu berdiri mengelilinginya, seringai jahat muncul di masing-masing wajah pelaku. Mereka menatap Dara dengan pandangan liar dan bernafsu."Lihat dia, wajahnya begitu cantik. Kulitnya mulus sekali, tubuhnya juga bagus. Aku ingin menjadi orang yang pertama kali menjamahnya!" ucap seorang pria berkulit putih. Dara mencoba menelisik wajah orang itu, tampak begitu tidak asing di matanya. Tetapi ia tidak mampu mengingat, tubuhnya terlalu lemah, perutnya terasa lapar, dan tenaganya sudah terkuras. Gadis itu mencoba mundur dengan bertumpu pada sikut dan tumitnya."Kumohon, jangan lakukan itu ...," ucapnya lirih."Ha ha ha ha ... mana mungkin kami bisa diam saja melihat bidadari turun dari langit. Nona, sebaiknya kau turuti saja keinginan kami. Kami akan main dengan lembut!" ucap pria yang paling tinggi.Dara meng
Xander dan yang lain terus menelusuri hutan. Mereka terkendala karena anjing yang diandalkan untuk mencari jejak Dara, menemukan kesulitan akibat aroma tanah dan tumbuhan yang begitu pekat, sehingga menyamarkan indra penciuman hewan-hewan tersebut.Matahari mulai condong ke arah barat. Semakin masuk ke dalam hutan, udara semakin dingin, banyak pakis hutan yang memiliki daun nan lebar dan aneka jamur. Tanah yang mereka injak terkadang terasa licin karena ditumbuhi lumut. Jarak pandang mereka semakin terbatas karena kabut tipis yang mulai turun dari pegunungan. Tiga kali mereka berputar-putar dan harus kembali ke rute yang sama. Sesekali, di antara mereka, ada yang jatuh ke dalam kubangan air sehingga kaki mereka basah sampai ke lutut.Samar-samar, dari balik kabut itu, terlihat asap dari kayu yang dibakar. "Aku melihat ada bekas kayu bakar, seperti ada seseorang di sana!" Bara yang jaraknya lebih dekat pada sumber api, berteriak keras."
"Brengsek, akan kubunuh kau!"Fons menengok ke belakang, belum sempat ia mengenali orang yang tiba-tiba mengumpat, tiba-tiba saja rahangnya menjadi sakit dan dan tubuhnya tersungkur ke tanah. Lelaki itu merasakan darah mengucur dari lubang hidungnya, lalu ia mengusap cairan kental tersebut.Xander tidak memberikan kesempatan bagi Fons untuk melawan. Saat melihat pria itu tergeletak, tangannya dengan cepat menarik tubuh Fons hingga terhuyung ke depan. Bagian tubuh Xander yang lain tidak ingin diam, kakinya terangkat dan ia ayunkan dengan sekuat tenaga untuk menendang dagu Fons—hingga terjungkal ke belakang."Orang sepertimu tidak pantas untuk hidup!" "Brengsek!" Fons kembali meludah, tapi gusinya terus mengeluarkan darah. Dua gigi serinya tanggal atas dan bawah, lidahnya merasakan seperti mengecap besi berkarat—alih-alih bibir Dara yang terasa manis seperti buah arbei masak."Siapa yang menyuruhmu untuk melakukan ini, ha?" Lenga
Kemana pun matanya memandang, yang ia lihat hanya kegelapan. Dinding, atap, dan tembok semua berwarna hitam. Tidak ada penerangan, tidak ada barang sama sekali, yang ada hanya ruang kosong dengan satu pintu. Sunyi, senyap, hening, dan lembab."Keluarkan aku dari tempat ini, aku mohon!"Tangisnya pecah sedari ia dimasukkan ke dalam ruangan tersebut. Ia meraba, tetapi tidak menemukan apa pun. Tidak tahu kalau di luar sana sudah siang atau malam. "Lebih baik kalian bunuh saja aku! Aku mohon, aku sangat takut kegelapan. Ini sungguh menyiksaku!" Orang itu berteriak sepanjang waktu, sampai suaranya serak dan pita suaranya sakit. Tubuhnya menggigil karena harus berbaring di ubin batu yang teramat keras. Perutnya meronta meminta diisi sesuap makanan, tetapi tak ada yang mau memberikan. Ia putus asa, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Ia ketakutan, tetapi tidak ada yang peduli."Aku ingin ke luar, aku ingin ke luar, aku ingin ke luar.
"Nah, Tuan. Sebaiknya, Anda baca surat yang datang tengah malam tadi." Paman Aldrich menyerahkan sepucuk surat yang ada di tangannya pada Maxwell."Terima kasih, Paman. Kalau begitu aku ke kamar dulu." Maxwell berlalu dan menepuk pundak pengasuh sekaligus pelayannya selama 22 tahun itu. Sambil berjalan, adik dari Xander itu membuka dan membaca isinya."Ternyata ini untuk kakak," gumam Maxwell. Tidak ingin membuang waktu, ia segera ke kamar Dara untuk menemui kakaknya.Xander tertidur di salah satu kursi dengan sandaran tangan dan kepala, kaki jenjangnya ia letakkan di atas meja. Pria itu tertidur sangat pulas dan dengkurannya terdengar halus teratur. Sedangkan Dara, gadis itu tetap tidak bergerak di tidur panjangnya.Maxwell terlihat ragu untuk membangunkan Xander, kakaknya terlihat sangat lelah. Lingkaran hitam di bawah matanya cukup kentara, dengan kantung mata yang sedikit kendur. Rasa bersalah yang kakaknya rasakan membuat ia harus kekurangan
Suara lantunan ayat suci terdengar merdu dan membuat hati damai. Mbah Slamet duduk di sebuah kursi, ia menghadap Dara yang kondisi tidak ada perubahan. Di tangannya ada sebuah Al Qur'an yang beberapa lembarnya terlepas dari sampulnya. Pria tua itu melafalkan setiap ayat dengan khusyuk dan khidmat. Berharap surah yang dibaca—bisa membawa perubahan yang baik bagi kesehatan Dara. Di belakang Mbah Slamet—berdiri Xander, Bara, Sidja, dan Rosie. Mereka mendengarkan dengan baik dan tidak menggangu. Dua jam Mbah Slamet habiskan untuk berdoa pada Allah.Sebuah keajaiban datang. Wajah Dara yang biasanya tenang, kini menunjukkan perubahan. Ia membuka sedikit mulutnya dan terdengar erangan lirih, disertai dengan kedua alisnya yang berkerut halus, dan kelopak matanya bergerak sangat samar. "Dia membuat gerakan!" Bara berkata dengan penuh semangat, sedari tadi fokusnya tertuju pada Dara.Semua orang menengok Bara sesaat, terkejut karena sebelumnya mereka terl
Xander terdiam sejenak, ragu untuk menceritakan dua kabar yang ia terima dari ibu sambungnya—nyai Aminah. Jari-jari Xander reflek membelai wajah Dara yang tiba-tiba tersenyum samar."Apa ini pertanda kau ingin mendengarnya, hmm?" Ia benarkan letak selimut yang membungkus tubuh Dara, kebetulan malam itu terasa dingin karena hujan yang turun sejak sore tadi. "Mamelie bilang, ia sangat senang kau bisa selamat dan memulai kehidupan baru. Ia berharap kau selalu sehat, dan memintaku untuk selalu menjagamu." Entah bagaimana awalnya, kini Xander menggenggam jari-jemari Dara dengan kedua tangannya. "Sejak aku mengenalmu, aku merasa duniaku berubah drastis. Setiap aku ada di dekatmu, selalu saja kita terlibat dalam masalah. Apa kau tahu? Aku membencimu, Dara."Xander terkekeh kecil dan tersenyum lembut. "Aku membencimu. Karena kau, aku harus tertahan di tempat ini sebagai orang yang diasingkan. Karen kau, aku gagal mendapat promosi dan menjadi seorang tah
"Ke mana pun jiwamu pergi, aku akan menemukanmu." Tangan pria dengan tatapan mata yang dalam itu, menggenggam jari-jari kurusl si gadis.Tiba-tiba saja, semua yang dipandangnya berubah menjadi putih. Si gadis kecil memejamkan mata karena cahaya yang sangat menyilaukan mata terpancar di mana-mana. Ia merasa tubuhnya ditarik dengan sangat kuat ke suatu tempat. Saat ia membuka mata dengan perlahan, gadis itu sudah berada di ruangan yang tampak asing.Matanya menengadah menghadap plafon bercat putih. Ada sebuah lampu gantung yang sangat indah, ia terdiam sejenak. Mencoba mencerna semua kejadian yang baru saja ia alami. Mendadak tangannya merasa hangat, saat ia melirik. Seorang pria tertidur dengan wajah yang menghadap kepadanya."Tuan," ucapnya lirih nyaris tidak terdengar. Maniknya jatuh pada kedua tangan mereka yang saling tertaut. Ia remas dengan tenaga yang sangat lemah, berharap pria itu terbangun."Tuan.""Dara?" Xan