"Brengsek, akan kubunuh kau!"
Fons menengok ke belakang, belum sempat ia mengenali orang yang tiba-tiba mengumpat, tiba-tiba saja rahangnya menjadi sakit dan dan tubuhnya tersungkur ke tanah. Lelaki itu merasakan darah mengucur dari lubang hidungnya, lalu ia mengusap cairan kental tersebut.Xander tidak memberikan kesempatan bagi Fons untuk melawan. Saat melihat pria itu tergeletak, tangannya dengan cepat menarik tubuh Fons hingga terhuyung ke depan. Bagian tubuh Xander yang lain tidak ingin diam, kakinya terangkat dan ia ayunkan dengan sekuat tenaga untuk menendang dagu Fons—hingga terjungkal ke belakang."Orang sepertimu tidak pantas untuk hidup!""Brengsek!" Fons kembali meludah, tapi gusinya terus mengeluarkan darah.Dua gigi serinya tanggal atas dan bawah, lidahnya merasakan seperti mengecap besi berkarat—alih-alih bibir Dara yang terasa manis seperti buah arbei masak."Siapa yang menyuruhmu untuk melakukan ini, ha?" LengaKemana pun matanya memandang, yang ia lihat hanya kegelapan. Dinding, atap, dan tembok semua berwarna hitam. Tidak ada penerangan, tidak ada barang sama sekali, yang ada hanya ruang kosong dengan satu pintu. Sunyi, senyap, hening, dan lembab."Keluarkan aku dari tempat ini, aku mohon!"Tangisnya pecah sedari ia dimasukkan ke dalam ruangan tersebut. Ia meraba, tetapi tidak menemukan apa pun. Tidak tahu kalau di luar sana sudah siang atau malam. "Lebih baik kalian bunuh saja aku! Aku mohon, aku sangat takut kegelapan. Ini sungguh menyiksaku!" Orang itu berteriak sepanjang waktu, sampai suaranya serak dan pita suaranya sakit. Tubuhnya menggigil karena harus berbaring di ubin batu yang teramat keras. Perutnya meronta meminta diisi sesuap makanan, tetapi tak ada yang mau memberikan. Ia putus asa, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Ia ketakutan, tetapi tidak ada yang peduli."Aku ingin ke luar, aku ingin ke luar, aku ingin ke luar.
"Nah, Tuan. Sebaiknya, Anda baca surat yang datang tengah malam tadi." Paman Aldrich menyerahkan sepucuk surat yang ada di tangannya pada Maxwell."Terima kasih, Paman. Kalau begitu aku ke kamar dulu." Maxwell berlalu dan menepuk pundak pengasuh sekaligus pelayannya selama 22 tahun itu. Sambil berjalan, adik dari Xander itu membuka dan membaca isinya."Ternyata ini untuk kakak," gumam Maxwell. Tidak ingin membuang waktu, ia segera ke kamar Dara untuk menemui kakaknya.Xander tertidur di salah satu kursi dengan sandaran tangan dan kepala, kaki jenjangnya ia letakkan di atas meja. Pria itu tertidur sangat pulas dan dengkurannya terdengar halus teratur. Sedangkan Dara, gadis itu tetap tidak bergerak di tidur panjangnya.Maxwell terlihat ragu untuk membangunkan Xander, kakaknya terlihat sangat lelah. Lingkaran hitam di bawah matanya cukup kentara, dengan kantung mata yang sedikit kendur. Rasa bersalah yang kakaknya rasakan membuat ia harus kekurangan
Suara lantunan ayat suci terdengar merdu dan membuat hati damai. Mbah Slamet duduk di sebuah kursi, ia menghadap Dara yang kondisi tidak ada perubahan. Di tangannya ada sebuah Al Qur'an yang beberapa lembarnya terlepas dari sampulnya. Pria tua itu melafalkan setiap ayat dengan khusyuk dan khidmat. Berharap surah yang dibaca—bisa membawa perubahan yang baik bagi kesehatan Dara. Di belakang Mbah Slamet—berdiri Xander, Bara, Sidja, dan Rosie. Mereka mendengarkan dengan baik dan tidak menggangu. Dua jam Mbah Slamet habiskan untuk berdoa pada Allah.Sebuah keajaiban datang. Wajah Dara yang biasanya tenang, kini menunjukkan perubahan. Ia membuka sedikit mulutnya dan terdengar erangan lirih, disertai dengan kedua alisnya yang berkerut halus, dan kelopak matanya bergerak sangat samar. "Dia membuat gerakan!" Bara berkata dengan penuh semangat, sedari tadi fokusnya tertuju pada Dara.Semua orang menengok Bara sesaat, terkejut karena sebelumnya mereka terl
Xander terdiam sejenak, ragu untuk menceritakan dua kabar yang ia terima dari ibu sambungnya—nyai Aminah. Jari-jari Xander reflek membelai wajah Dara yang tiba-tiba tersenyum samar."Apa ini pertanda kau ingin mendengarnya, hmm?" Ia benarkan letak selimut yang membungkus tubuh Dara, kebetulan malam itu terasa dingin karena hujan yang turun sejak sore tadi. "Mamelie bilang, ia sangat senang kau bisa selamat dan memulai kehidupan baru. Ia berharap kau selalu sehat, dan memintaku untuk selalu menjagamu." Entah bagaimana awalnya, kini Xander menggenggam jari-jemari Dara dengan kedua tangannya. "Sejak aku mengenalmu, aku merasa duniaku berubah drastis. Setiap aku ada di dekatmu, selalu saja kita terlibat dalam masalah. Apa kau tahu? Aku membencimu, Dara."Xander terkekeh kecil dan tersenyum lembut. "Aku membencimu. Karena kau, aku harus tertahan di tempat ini sebagai orang yang diasingkan. Karen kau, aku gagal mendapat promosi dan menjadi seorang tah
"Ke mana pun jiwamu pergi, aku akan menemukanmu." Tangan pria dengan tatapan mata yang dalam itu, menggenggam jari-jari kurusl si gadis.Tiba-tiba saja, semua yang dipandangnya berubah menjadi putih. Si gadis kecil memejamkan mata karena cahaya yang sangat menyilaukan mata terpancar di mana-mana. Ia merasa tubuhnya ditarik dengan sangat kuat ke suatu tempat. Saat ia membuka mata dengan perlahan, gadis itu sudah berada di ruangan yang tampak asing.Matanya menengadah menghadap plafon bercat putih. Ada sebuah lampu gantung yang sangat indah, ia terdiam sejenak. Mencoba mencerna semua kejadian yang baru saja ia alami. Mendadak tangannya merasa hangat, saat ia melirik. Seorang pria tertidur dengan wajah yang menghadap kepadanya."Tuan," ucapnya lirih nyaris tidak terdengar. Maniknya jatuh pada kedua tangan mereka yang saling tertaut. Ia remas dengan tenaga yang sangat lemah, berharap pria itu terbangun."Tuan.""Dara?" Xan
"Aku mohon. Bunuh saja aku sekarang juga!"Sidja dan Diah yang tengah melintas di lapangan terbuka, melihat kondisi Ayu yang tampak frustasi dan tersiksa. Mereka berdua saling pandang, entah harus merasa senang ataupun sedih. Wanita yang selama ini menzolimi mereka kini sedang menerima ganjarannya.Mereka teringat saat kedua wanita itu—Ayu dan Bena ditangkap di malam yang sama dengan Dara ditemukan. Selama beberapa hari mereka disiksa di dalam penjara, dan tidak pernah menjalankan persidangan. Sebulan lamanya kasus itu telah berlalu. Kondisi Dara semakin membaik meski traumanya sulit dihilangkan.Bena dikabarkan meninggal dunia di dalam penjara jiwa. Ia menjadi gila sebelum meregang nyawa, dan menurut para penjaga yang mengawasi gadis itu. Bena acapkali memakan kotoran sendiri karena dibiarkan begitu saja tanpa ada makanan. Ia kerap menyakiti dirinya karena merasa putus asa, hal yang paling ditakuti gadis itu adalah kegelapan.Dan di depan mereka.
Dara berdiri di tepi balkon kediaman Maxwell. Tiga bulan sudah ia menetap di rumah mewah itu untuk menjalani pengobatan. Luka di tubuhnya sudah hilang, meski ada beberapa yang meninggalkan bekas samar. Namun, luka di hatinya masih menganga, seolah kejadian itu baru saja terjadi kemarin.Hampir setiap hari, ketika Dara bangun dari tidurnya, gadis itu akan berteriak ketakutan seraya memeluk tubuhnya sendiri. Jika hal itu terjadi, Rosie yang tinggal tepat di kamar sebelah, akan langsung menenangkannya. Pikiran gadis itu bercabang. Meski tubuhnya semakin berisi dan rona kemerahan di pipinya sudah kembali, tetapi bayangan mimpi yang ia alami sangat melekat dalam ingatannya. Tentang kedua orang tuanya yang mungkin saat ini telah tiada, dan keadaan kedua kakaknya yang kini entah berada di mana."Astaga, aku sudah mencarimu ke mana-mana, Dara. Apa yang kau lakukan di sini? Matahari belum terbit dengan sempurna, dan kau bisa kedinginan jika seperti ini." Maxwell m
Roanna tersenyum untuk menyamarkan keterkejutannnya. "Tuan, selamat pagi."Ananta berjalan mendekati Roanna, wanita itu menatap dengan kekaguman. Ia yakin kalau Ananta berasal dari keluarga berada, setelan jas yang ia kenakan pastilah dijahit langsung setelah mengukur tubuhnya yang atletis. Sebuah kacamata dengan lensa bulat bertengger di hidung mancungnya."Kau sedang berjalan-jalan sendiri?" tanya Ananta yang kini berdiri di hadapan Roanna."Aku suka udara pagi hari di pantai, sangat menenangkan dan damai. Apalagi belum banyak orang yang datang," jawab Roanna dan mereka mulai berjalan pelan."Di tempatku tidak ada pantai, yang ada hanya hamparan kebun teh dan pohon-pohon yang berjejer sepanjang hutan. Ini adalah sesuatu yang baru untukku. Tapi aku senang, hotelmu sangat luar biasa, Roanna. Aku sangat menyukai kamarku, dan–" Ananta menggantung perkataannya.Roanna sekila menoleh, hidung Ananta sangat tegas dari samping. "Dan?" tanya Roan