"Ke mana pun jiwamu pergi, aku akan menemukanmu." Tangan pria dengan tatapan mata yang dalam itu, menggenggam jari-jari kurusl si gadis.
Tiba-tiba saja, semua yang dipandangnya berubah menjadi putih. Si gadis kecil memejamkan mata karena cahaya yang sangat menyilaukan mata terpancar di mana-mana.Ia merasa tubuhnya ditarik dengan sangat kuat ke suatu tempat. Saat ia membuka mata dengan perlahan, gadis itu sudah berada di ruangan yang tampak asing.Matanya menengadah menghadap plafon bercat putih. Ada sebuah lampu gantung yang sangat indah, ia terdiam sejenak. Mencoba mencerna semua kejadian yang baru saja ia alami. Mendadak tangannya merasa hangat, saat ia melirik. Seorang pria tertidur dengan wajah yang menghadap kepadanya."Tuan," ucapnya lirih nyaris tidak terdengar. Maniknya jatuh pada kedua tangan mereka yang saling tertaut. Ia remas dengan tenaga yang sangat lemah, berharap pria itu terbangun."Tuan.""Dara?"Xan"Aku mohon. Bunuh saja aku sekarang juga!"Sidja dan Diah yang tengah melintas di lapangan terbuka, melihat kondisi Ayu yang tampak frustasi dan tersiksa. Mereka berdua saling pandang, entah harus merasa senang ataupun sedih. Wanita yang selama ini menzolimi mereka kini sedang menerima ganjarannya.Mereka teringat saat kedua wanita itu—Ayu dan Bena ditangkap di malam yang sama dengan Dara ditemukan. Selama beberapa hari mereka disiksa di dalam penjara, dan tidak pernah menjalankan persidangan. Sebulan lamanya kasus itu telah berlalu. Kondisi Dara semakin membaik meski traumanya sulit dihilangkan.Bena dikabarkan meninggal dunia di dalam penjara jiwa. Ia menjadi gila sebelum meregang nyawa, dan menurut para penjaga yang mengawasi gadis itu. Bena acapkali memakan kotoran sendiri karena dibiarkan begitu saja tanpa ada makanan. Ia kerap menyakiti dirinya karena merasa putus asa, hal yang paling ditakuti gadis itu adalah kegelapan.Dan di depan mereka.
Dara berdiri di tepi balkon kediaman Maxwell. Tiga bulan sudah ia menetap di rumah mewah itu untuk menjalani pengobatan. Luka di tubuhnya sudah hilang, meski ada beberapa yang meninggalkan bekas samar. Namun, luka di hatinya masih menganga, seolah kejadian itu baru saja terjadi kemarin.Hampir setiap hari, ketika Dara bangun dari tidurnya, gadis itu akan berteriak ketakutan seraya memeluk tubuhnya sendiri. Jika hal itu terjadi, Rosie yang tinggal tepat di kamar sebelah, akan langsung menenangkannya. Pikiran gadis itu bercabang. Meski tubuhnya semakin berisi dan rona kemerahan di pipinya sudah kembali, tetapi bayangan mimpi yang ia alami sangat melekat dalam ingatannya. Tentang kedua orang tuanya yang mungkin saat ini telah tiada, dan keadaan kedua kakaknya yang kini entah berada di mana."Astaga, aku sudah mencarimu ke mana-mana, Dara. Apa yang kau lakukan di sini? Matahari belum terbit dengan sempurna, dan kau bisa kedinginan jika seperti ini." Maxwell m
Roanna tersenyum untuk menyamarkan keterkejutannnya. "Tuan, selamat pagi."Ananta berjalan mendekati Roanna, wanita itu menatap dengan kekaguman. Ia yakin kalau Ananta berasal dari keluarga berada, setelan jas yang ia kenakan pastilah dijahit langsung setelah mengukur tubuhnya yang atletis. Sebuah kacamata dengan lensa bulat bertengger di hidung mancungnya."Kau sedang berjalan-jalan sendiri?" tanya Ananta yang kini berdiri di hadapan Roanna."Aku suka udara pagi hari di pantai, sangat menenangkan dan damai. Apalagi belum banyak orang yang datang," jawab Roanna dan mereka mulai berjalan pelan."Di tempatku tidak ada pantai, yang ada hanya hamparan kebun teh dan pohon-pohon yang berjejer sepanjang hutan. Ini adalah sesuatu yang baru untukku. Tapi aku senang, hotelmu sangat luar biasa, Roanna. Aku sangat menyukai kamarku, dan–" Ananta menggantung perkataannya.Roanna sekila menoleh, hidung Ananta sangat tegas dari samping. "Dan?" tanya Roan
Saat pergantian penjaga di kamar yang ditempati oleh tuan Kyler, yang notabene adalah seorang arsitek yang membangun salah satu gudang senjata. Bachdim segera mengganti baju yang tadi ia kenakan sebagai bartender. Kini, pria itu mengenakan pakaian serba hitam untuk berkamuflase dan menyatu dengan malam. Pria itu melompat dari atap ke atap dengan cepat, gerakannya sungguh senyap dan tak terlihat. Sampai ia meloncat ke balkon tuan Kyler tanpa menimbulkan suara sama sekali. Tubuhnya seakan ringan bagai bulu. Mata dan telinganya menjadi tajam, ia terbantu dengan suara musik yang terdengar sampai lantai atas.Semua jendela dan pintu kamar itu terkuci, lampu dimatikan sehingga terlihat gelap. Bachdim menggeser pot besar di pojok balkon, di bawah pot itu ternyata ada akses untuk tembus ke dalam kamar yang dihuni tuan Kyler. Pria itu membuka ubin yang dapat dibongkar pasang.Bachdim masuk dan merangkak ke ruang tersembunyi, yang hanya memiliki luas tida
Ananta terjaga ketika mencium wangi-wangian tepat di ujung hidungnya. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum terbuka sempurna, rasa sakit di tengkuknya membuat pria itu sulit untuk sekedar bangun dan duduk di atas ranjang kamar sewanya. Ia merasa haus dan sedikit pusing, saat ia menoleh ke kiri, baru Ananta sadari bahwa Roanna ada di sampingnya."Tuan, syukurlah. Anda sudah sadar." Roanna memegang sebuah botol kaca berukuran kecil di tangannya."Sadar?" Ananta mencoba mengingat-ingat. Keningnya berkerut-kerut, dan ia mendongak menatap langit-langit kamar."Aku ingat!" pekik Ananta, ia mengguncang bahu Roanna beberapa kali. "Dia, pria itu. Salah satu pelayanmu telah masuk tanpa izin ke kamar seorang tamu, aku melihatnya sendiri, Roanna!"Roanna mencoba tenang, ia mengusap dan memegang kedua pergelangan tangan Ananta, serta menaruh ke atas pangkuannya. "Tenang dulu, Tuan. Mungkin Anda salah lihat."Ananta menggeleng. "A
Bachdim menatap lurus ke dalam manik Roanna. "Apa aku terlihat sedang menyembunyikan sesuatu?"Roanna membereskan obat-obatan yang ia gunakan, bekas kasa yang ternoda oleh darah ia masukkan ke dalam bungkusan. "Entahlah, aku hanya takut kau menyimpan sesuatu dariku, Bachdim. Kau adalah orang yang sangat aku percayai."Segera, setelah mengatakan itu semua, Roanna pergi ke luar meninggalkan Bachdim seorang diri. Pria itu menatap langit cerah berwarna biru, dengan sedikit gumpalan awan yang bergerak beriringan terbawa angin. Ingatan Bachdim mundur ke belakang, tepatnya dua hari yang lalu.Bachdim melompati pagar setinggi tiga meter tanpa kesulitan berarti. Ia mendarat di sebuah kebun dengan beberapa pohon besar yang tumbuh berjajar, orang-orang bawahan tuan besar terlihat berjaga dari kejauhan.Bachdim mengendap dari pohon ke pohon dengan hati-hati. Sebelumnya, ia sudah mengetahui kamar yang ditempati oleh ibu Maryati. Ia mengendap-endap bagai maling. Berguling, melompat, dan memanjat.
Bachdim tiba di sebuah bukit yang menjorok ke lautan. Tebingnya terselubung pepohonan aras hijau nan ribun dan pinus kemerahan. Perhatian pria itu terpaku pada sebuah perkampungan kecil yang berisi beberapa rumah sederhana."Ayo, Tuan. Sedikit lagi kita akan sampai. Tapi maaf, saya tidak bisa menemani, saya hanya bisa memberitahu yang mana rumah wanita itu." Si penjual terus berjalan sampai kakinya terhenti dua puluh meter, dari sebuah rumah berdinding batu alam berwarna hitam dan banyak jendela kaca."Itu rumahnya, Tuan. Tolong jangan bilang padanya kalau saya yang memberitahu Anda, saya permisi, Tuan." Si penjual tembikar bergegas pergi meninggalkan Bachdim seorang diri.Bachdim memasuki halaman wanita itu, diketuknya pintu beberapa kali tetapi tidak ada yang menyahut. Gorden tersibak begitu saja sehingga ia bisa menginap dari luar. Di dalam sana, keadaan sangat sepi. Hanya ada lemari besar, kursi yang terbuat dari kayu jati, dan beberapa bingkai yang menghiasi dinding."Permisi."
Entah sudah berapa lama Bachdim duduk termenung seraya menatap langit cerah. Kisah yang diceritakan bu Maryati tidak sampai hati ia sampaikan pada Rohana alias Roanna. Sudah banyak luka yang menggores fisik maupun batin wanita itu. Lagipula, bu Maryati sudah berjanji akan menceritakan sendiri pada Roanna."Apa yang sedang kau pikirkan?" Roanna kembali ke kamarnya dengan membawa dua stel gaun baru dari penjahit langganannya.Melihat Bachdim yang sedari tadi bergeming sejak ia meninggalkan kamar sampai saat ini, membuat Roanna berpikir kalau memang benar ada sesuatu yang sedang disembuhkan oleh pria itu. "Aku tidak memikirkan apa-apa, Anna. Aku hanya lelah."Roanna menatap heran pada Bachdim. Sejak kapan pria yang ada di hadapannya ini merasa lelah, biasanya Bachdim tidak akan menunjukkan keluhannya pada siapa pun juga, termasuk dirinya. Pria itu akan selalu menyanggupi apa yang orang minta padanya."Bachdim, tidak biasanya kau seperti ini." Roanna meletakkan gaunnya di atas ranjang da