Bachdim tiba di sebuah bukit yang menjorok ke lautan. Tebingnya terselubung pepohonan aras hijau nan ribun dan pinus kemerahan. Perhatian pria itu terpaku pada sebuah perkampungan kecil yang berisi beberapa rumah sederhana."Ayo, Tuan. Sedikit lagi kita akan sampai. Tapi maaf, saya tidak bisa menemani, saya hanya bisa memberitahu yang mana rumah wanita itu." Si penjual terus berjalan sampai kakinya terhenti dua puluh meter, dari sebuah rumah berdinding batu alam berwarna hitam dan banyak jendela kaca."Itu rumahnya, Tuan. Tolong jangan bilang padanya kalau saya yang memberitahu Anda, saya permisi, Tuan." Si penjual tembikar bergegas pergi meninggalkan Bachdim seorang diri.Bachdim memasuki halaman wanita itu, diketuknya pintu beberapa kali tetapi tidak ada yang menyahut. Gorden tersibak begitu saja sehingga ia bisa menginap dari luar. Di dalam sana, keadaan sangat sepi. Hanya ada lemari besar, kursi yang terbuat dari kayu jati, dan beberapa bingkai yang menghiasi dinding."Permisi."
Entah sudah berapa lama Bachdim duduk termenung seraya menatap langit cerah. Kisah yang diceritakan bu Maryati tidak sampai hati ia sampaikan pada Rohana alias Roanna. Sudah banyak luka yang menggores fisik maupun batin wanita itu. Lagipula, bu Maryati sudah berjanji akan menceritakan sendiri pada Roanna."Apa yang sedang kau pikirkan?" Roanna kembali ke kamarnya dengan membawa dua stel gaun baru dari penjahit langganannya.Melihat Bachdim yang sedari tadi bergeming sejak ia meninggalkan kamar sampai saat ini, membuat Roanna berpikir kalau memang benar ada sesuatu yang sedang disembuhkan oleh pria itu. "Aku tidak memikirkan apa-apa, Anna. Aku hanya lelah."Roanna menatap heran pada Bachdim. Sejak kapan pria yang ada di hadapannya ini merasa lelah, biasanya Bachdim tidak akan menunjukkan keluhannya pada siapa pun juga, termasuk dirinya. Pria itu akan selalu menyanggupi apa yang orang minta padanya."Bachdim, tidak biasanya kau seperti ini." Roanna meletakkan gaunnya di atas ranjang da
"Apa aku tidak salah lihat? Itu adalah mereka. Astaga, aku harus bisa mengejar kedua pria itu!" Ananta segera berlari ke luar untuk mengejar dua pria yang datang bersama bu Maryati. Namun, saat ia sudah sampai di pintu, bayangan dua orang pria yang notabene adalah Bumi dan Lembayang telah menjauh. Dokar yang membawa mereka bergerak menuju pelabuhan.Ananta hendak menyusul, tetapi ia tidak menemukan satu kendaraan pun yang melintas di depan hotel. Pria itu meraup wajahnya dengan kasar, dan memukul udara yang kosong. Padahal, sedikit lagi ia bisa memberikan apa yang sudah menjadi hak milik Bumi dan Lembayang."Sial, aku kalah cepat! Ke mana perginya mereka?" Dari jarak belasan meter, Ananta melihat sebuah becak yang baru saja menurunkan seorang penumpang. Pria itu segera menghampiri si tukang becak dengan berlari, takut jika diserobot penumpang lain. "Maaf, apakah kau bisa mengejar dokar di depan sana, aku rasa belum terlalu jauh." Ananta tidak menunggu jawaban si tukang becak, tetap
Hari-hari berlalu dengan cepat. Secepat angin menggugurkan dedaunan kering, atau secepat anak panah yang melesat setelah dilepas dari busurnya. Kehidupan orang-orang di pabrik gula bisa dibilang berjalan normal, termasuk kehidupan Dara dan Xander setelah runtutan perjalan mereka yang penuh dengan cerita luka.Hari ini, Dara berdiri di pantai berpasir putih. Langit tampak lebih biru daripada yang pernah diingat gadis itu satu tahun yang lalu, saat ia baru tiba di Paramaribo. Bentangan air hijau pucat dan biru tidak terbatas, kesunyian di sini membuatnya aman dan puas. "Dia akan berangkat satu jam lagi," ucap perawata Rosie yang datang dengan membawa dua buah kepala muda di kedua tangannya. Dara menoleh pada Rosie, wanita itu berpakaian bebas—kemeja putih dengan rok lebar biru sepanjang lutut, melepas seragam putih-putih yang ia kenakan setiap hari saat bertugas. Dara menerima satu buah kelapa muda yang airnya terasa manis."Mereka sedang mengurus berkas-berkas keberangkatannya," tamb
Dara membuang pandangan ke luar jendela mobil yang dikendarai Maxwell. Menatap orang-orang yang berlalu-lalang, memperhatikan deretan toko-toko dan tiang jalanan, mengamati kebun-kebun yang mereka lewati. Hatinya berkecamuk setelah melepas kepergian Xander satu jam yang lalu. Dara tidak melepaskan matanya pada sosok pria berperawakan tinggi besar itu saat melewati papan titian. Ia memandang dari kejuahan, melihat Xander yang berdiri di tepi geladak sambil melambaikan tangan. Mata mereka saling bertemu, sama-sama bertatapan dengan lekat meski terhalang jarak. Saat terdengar peluit panjang, asap tebal berwarna hitam mengepul dari cerobong asap kapal SS Statendam III, dan kapal itu pun mulai berlayar. Membawa sosok Xander menjauh dari pandangan mata. Ada sesuatu yang hilang di hati Dara, tapi ia enggan untuk mengakuinya. Percuma, karena gadis itu pesimis mereka akan berjumpa lagi. Maxwell memperhatikan dari kaca spion mobil, ia dan perawat Rosie hanya saling pandang. Membiarkan Dara m
"Kenapa betah ada di dalam telaga duka kalau kau bisa bahagia, Dara? Kau harus membuka lembaran baru. Aku bisa menjadi penghapus untuk menghilangkan guratan luka di hatimu. Aku bisa menjadi pena untuk menulis kisah bahagiamu. Tapi percuma, kau selalu terlalu lama menutup bukumu hingga berdebu."Kata-kata yang diucapkan Bara bagai embun yang menyejukkan hati Dara yang selama ini kering."Kau harus mulai melangkah. Bebaskan dirimu, kau harusnya bersyukur dengan kehidupan baru yang kau miliki. Di luar sana, banyak orang yang tak seberuntung dirimu."Sekali lagi, apa yang dikatakan Bara adalah kebenaran. Untuk apa terus bersedih dan terpuruk, mengurung diri dalam penjara luka yang tercipta oleh kenangan buruk. Selama tujuh bulan setelah kepergian Xander, Bara acapkali memberikan perhatian lebih untuk gadis cantik itu.Membantu membuka hati dan menata hidupnya kembali.Bara dan Xander bagai panorama yang memiliki keindahannya sendiri. Jika Xander seperti lautan—yang lewat tatapan matanya m
"Kau pulang terlambat, Dara." Maxwell berdiri seraya menyandarkan dirinya pada sebuah tiang besar yang ada di selasar, melipat kedua tangannya di depan dada, sambil memperhatikan Dara yang berjalan menaiki anak tangga."Maaf, Ell. Apa aku membuatmu cemas?" tanya Dara hati-hati, wajah Maxwell yang bermandikan cahaya dari lampu kekuningan tampak dingin, apalagi mengetahui orang yang mengantar gadis itu pulang sampai depan pagar."Tentu saja aku sangat mengkhawatirkanmu, aku sengaja pulang lebih cepat agar kita bisa makan malam bersama. Tapi kata orang rumah, kau belum juga sampai." Maxwell segera membawakan buku-buku yang menumpuk di tangan Dara."Sekali lagi maafkan aku, Ell. Aku lupa waktu kalau sedang membaca buku. Kau pernah berkata, bukan? Kalau sudah waktunya untukku merubah diri menjadi lebih baik." "Mari masuk," ajak Maxwell saat seorang pelayan membukakan pintu setinggi dua meter setengah untuk mereka. "Dan kau memilih menambah pengetahuan lewat buku-buku ini? Jika demikian, t
POV DARAEntah nyata atau hanya mimpi. Dalam sinar mentari yang terbit di pagi ini, hatiku bergemuruh. Saat ini darahku seakan tak mengalir, saat ini detak jantung seakan berhenti, dan pikiranku dijejali oleh ribuan pertanyaan. Tanganku bergetar tatkala memegangi sepucuk surat yang akhirnya datang padaku. Mataku mengembun, dan bersamaan bulir bening yang menetes di pipi, maka tumpahlah segala isi hati. Entah bagaimana caranya aku bisa mengekspresikan kebahagiaan ini."Aku bebas?" tanyaku yang masih tidak percaya.Inilah hari yang aku nantikan. Tak ada lagi beban, tak ada lagi siksaan, tak ada lagi Kungkungan. Di setiap hela nafas ini, aku merasakan kehidupan yang baru. Kini, waktu tak lagi berlari. Karena aku sudah bebas dalam pikiran, angan, dan kebahagiaan. "Selamat, Dara. Kau sudah jadi orang yang merdeka." Maxwell merentangkan kedua tangannya, dan aku menghambur ke dalam pelukannya yang hangat. Lelaki ini menepati semua janjinya kepadaku. Membuktikan kalau dia bersungguh-sunggu