Roanna tersenyum untuk menyamarkan keterkejutannnya. "Tuan, selamat pagi."
Ananta berjalan mendekati Roanna, wanita itu menatap dengan kekaguman. Ia yakin kalau Ananta berasal dari keluarga berada, setelan jas yang ia kenakan pastilah dijahit langsung setelah mengukur tubuhnya yang atletis. Sebuah kacamata dengan lensa bulat bertengger di hidung mancungnya."Kau sedang berjalan-jalan sendiri?" tanya Ananta yang kini berdiri di hadapan Roanna."Aku suka udara pagi hari di pantai, sangat menenangkan dan damai. Apalagi belum banyak orang yang datang," jawab Roanna dan mereka mulai berjalan pelan."Di tempatku tidak ada pantai, yang ada hanya hamparan kebun teh dan pohon-pohon yang berjejer sepanjang hutan. Ini adalah sesuatu yang baru untukku. Tapi aku senang, hotelmu sangat luar biasa, Roanna. Aku sangat menyukai kamarku, dan–" Ananta menggantung perkataannya.Roanna sekila menoleh, hidung Ananta sangat tegas dari samping. "Dan?" tanya RoanSaat pergantian penjaga di kamar yang ditempati oleh tuan Kyler, yang notabene adalah seorang arsitek yang membangun salah satu gudang senjata. Bachdim segera mengganti baju yang tadi ia kenakan sebagai bartender. Kini, pria itu mengenakan pakaian serba hitam untuk berkamuflase dan menyatu dengan malam. Pria itu melompat dari atap ke atap dengan cepat, gerakannya sungguh senyap dan tak terlihat. Sampai ia meloncat ke balkon tuan Kyler tanpa menimbulkan suara sama sekali. Tubuhnya seakan ringan bagai bulu. Mata dan telinganya menjadi tajam, ia terbantu dengan suara musik yang terdengar sampai lantai atas.Semua jendela dan pintu kamar itu terkuci, lampu dimatikan sehingga terlihat gelap. Bachdim menggeser pot besar di pojok balkon, di bawah pot itu ternyata ada akses untuk tembus ke dalam kamar yang dihuni tuan Kyler. Pria itu membuka ubin yang dapat dibongkar pasang.Bachdim masuk dan merangkak ke ruang tersembunyi, yang hanya memiliki luas tida
Ananta terjaga ketika mencium wangi-wangian tepat di ujung hidungnya. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum terbuka sempurna, rasa sakit di tengkuknya membuat pria itu sulit untuk sekedar bangun dan duduk di atas ranjang kamar sewanya. Ia merasa haus dan sedikit pusing, saat ia menoleh ke kiri, baru Ananta sadari bahwa Roanna ada di sampingnya."Tuan, syukurlah. Anda sudah sadar." Roanna memegang sebuah botol kaca berukuran kecil di tangannya."Sadar?" Ananta mencoba mengingat-ingat. Keningnya berkerut-kerut, dan ia mendongak menatap langit-langit kamar."Aku ingat!" pekik Ananta, ia mengguncang bahu Roanna beberapa kali. "Dia, pria itu. Salah satu pelayanmu telah masuk tanpa izin ke kamar seorang tamu, aku melihatnya sendiri, Roanna!"Roanna mencoba tenang, ia mengusap dan memegang kedua pergelangan tangan Ananta, serta menaruh ke atas pangkuannya. "Tenang dulu, Tuan. Mungkin Anda salah lihat."Ananta menggeleng. "A
Bachdim menatap lurus ke dalam manik Roanna. "Apa aku terlihat sedang menyembunyikan sesuatu?"Roanna membereskan obat-obatan yang ia gunakan, bekas kasa yang ternoda oleh darah ia masukkan ke dalam bungkusan. "Entahlah, aku hanya takut kau menyimpan sesuatu dariku, Bachdim. Kau adalah orang yang sangat aku percayai."Segera, setelah mengatakan itu semua, Roanna pergi ke luar meninggalkan Bachdim seorang diri. Pria itu menatap langit cerah berwarna biru, dengan sedikit gumpalan awan yang bergerak beriringan terbawa angin. Ingatan Bachdim mundur ke belakang, tepatnya dua hari yang lalu.Bachdim melompati pagar setinggi tiga meter tanpa kesulitan berarti. Ia mendarat di sebuah kebun dengan beberapa pohon besar yang tumbuh berjajar, orang-orang bawahan tuan besar terlihat berjaga dari kejauhan.Bachdim mengendap dari pohon ke pohon dengan hati-hati. Sebelumnya, ia sudah mengetahui kamar yang ditempati oleh ibu Maryati. Ia mengendap-endap bagai maling. Berguling, melompat, dan memanjat.
Bachdim tiba di sebuah bukit yang menjorok ke lautan. Tebingnya terselubung pepohonan aras hijau nan ribun dan pinus kemerahan. Perhatian pria itu terpaku pada sebuah perkampungan kecil yang berisi beberapa rumah sederhana."Ayo, Tuan. Sedikit lagi kita akan sampai. Tapi maaf, saya tidak bisa menemani, saya hanya bisa memberitahu yang mana rumah wanita itu." Si penjual terus berjalan sampai kakinya terhenti dua puluh meter, dari sebuah rumah berdinding batu alam berwarna hitam dan banyak jendela kaca."Itu rumahnya, Tuan. Tolong jangan bilang padanya kalau saya yang memberitahu Anda, saya permisi, Tuan." Si penjual tembikar bergegas pergi meninggalkan Bachdim seorang diri.Bachdim memasuki halaman wanita itu, diketuknya pintu beberapa kali tetapi tidak ada yang menyahut. Gorden tersibak begitu saja sehingga ia bisa menginap dari luar. Di dalam sana, keadaan sangat sepi. Hanya ada lemari besar, kursi yang terbuat dari kayu jati, dan beberapa bingkai yang menghiasi dinding."Permisi."
Entah sudah berapa lama Bachdim duduk termenung seraya menatap langit cerah. Kisah yang diceritakan bu Maryati tidak sampai hati ia sampaikan pada Rohana alias Roanna. Sudah banyak luka yang menggores fisik maupun batin wanita itu. Lagipula, bu Maryati sudah berjanji akan menceritakan sendiri pada Roanna."Apa yang sedang kau pikirkan?" Roanna kembali ke kamarnya dengan membawa dua stel gaun baru dari penjahit langganannya.Melihat Bachdim yang sedari tadi bergeming sejak ia meninggalkan kamar sampai saat ini, membuat Roanna berpikir kalau memang benar ada sesuatu yang sedang disembuhkan oleh pria itu. "Aku tidak memikirkan apa-apa, Anna. Aku hanya lelah."Roanna menatap heran pada Bachdim. Sejak kapan pria yang ada di hadapannya ini merasa lelah, biasanya Bachdim tidak akan menunjukkan keluhannya pada siapa pun juga, termasuk dirinya. Pria itu akan selalu menyanggupi apa yang orang minta padanya."Bachdim, tidak biasanya kau seperti ini." Roanna meletakkan gaunnya di atas ranjang da
"Apa aku tidak salah lihat? Itu adalah mereka. Astaga, aku harus bisa mengejar kedua pria itu!" Ananta segera berlari ke luar untuk mengejar dua pria yang datang bersama bu Maryati. Namun, saat ia sudah sampai di pintu, bayangan dua orang pria yang notabene adalah Bumi dan Lembayang telah menjauh. Dokar yang membawa mereka bergerak menuju pelabuhan.Ananta hendak menyusul, tetapi ia tidak menemukan satu kendaraan pun yang melintas di depan hotel. Pria itu meraup wajahnya dengan kasar, dan memukul udara yang kosong. Padahal, sedikit lagi ia bisa memberikan apa yang sudah menjadi hak milik Bumi dan Lembayang."Sial, aku kalah cepat! Ke mana perginya mereka?" Dari jarak belasan meter, Ananta melihat sebuah becak yang baru saja menurunkan seorang penumpang. Pria itu segera menghampiri si tukang becak dengan berlari, takut jika diserobot penumpang lain. "Maaf, apakah kau bisa mengejar dokar di depan sana, aku rasa belum terlalu jauh." Ananta tidak menunggu jawaban si tukang becak, tetap
Hari-hari berlalu dengan cepat. Secepat angin menggugurkan dedaunan kering, atau secepat anak panah yang melesat setelah dilepas dari busurnya. Kehidupan orang-orang di pabrik gula bisa dibilang berjalan normal, termasuk kehidupan Dara dan Xander setelah runtutan perjalan mereka yang penuh dengan cerita luka.Hari ini, Dara berdiri di pantai berpasir putih. Langit tampak lebih biru daripada yang pernah diingat gadis itu satu tahun yang lalu, saat ia baru tiba di Paramaribo. Bentangan air hijau pucat dan biru tidak terbatas, kesunyian di sini membuatnya aman dan puas. "Dia akan berangkat satu jam lagi," ucap perawata Rosie yang datang dengan membawa dua buah kepala muda di kedua tangannya. Dara menoleh pada Rosie, wanita itu berpakaian bebas—kemeja putih dengan rok lebar biru sepanjang lutut, melepas seragam putih-putih yang ia kenakan setiap hari saat bertugas. Dara menerima satu buah kelapa muda yang airnya terasa manis."Mereka sedang mengurus berkas-berkas keberangkatannya," tamb
Dara membuang pandangan ke luar jendela mobil yang dikendarai Maxwell. Menatap orang-orang yang berlalu-lalang, memperhatikan deretan toko-toko dan tiang jalanan, mengamati kebun-kebun yang mereka lewati. Hatinya berkecamuk setelah melepas kepergian Xander satu jam yang lalu. Dara tidak melepaskan matanya pada sosok pria berperawakan tinggi besar itu saat melewati papan titian. Ia memandang dari kejuahan, melihat Xander yang berdiri di tepi geladak sambil melambaikan tangan. Mata mereka saling bertemu, sama-sama bertatapan dengan lekat meski terhalang jarak. Saat terdengar peluit panjang, asap tebal berwarna hitam mengepul dari cerobong asap kapal SS Statendam III, dan kapal itu pun mulai berlayar. Membawa sosok Xander menjauh dari pandangan mata. Ada sesuatu yang hilang di hati Dara, tapi ia enggan untuk mengakuinya. Percuma, karena gadis itu pesimis mereka akan berjumpa lagi. Maxwell memperhatikan dari kaca spion mobil, ia dan perawat Rosie hanya saling pandang. Membiarkan Dara m