"Ada tamu rese! Masa minta kamar VVIP sama pihak hotel, udah gitu minta panggil atasan kita lagi.” Lia menunjuk ke arah Rosa dengan kepalanya sambil melipatkan kedua tangannya di dada.
Mata Sri langsung menoleh ke arah Rosa dan juga Dinda, matanya terus memperhatikan penampilan Rosa dari atas kepala hingga bawah kaki. Begitu juga dengan Dinda yang tak luput dari mata Sriyani.
"Pfft." Sriyani langsung menahan tawanya dengan cara menutup mulutnya pakai satu tangannya. Sebenarnya ia ingin tertawa kencang melihat penampilan Rosa dan juga Dinda, apalagi Dinda terlihat seperti orang kampung dengan pakaian biasanya.
"Mohon maaf nih, rasanya gue pengen ketawa," bisik Sriyani pada Lia.
"Ketawa aja Beb, gue juga dari tadi pengen ketawa kok," timpal Lia, ia juga heran bagaimana bisa Rosa yang berpenampilan seperti ini menyewa kamar VVIP untuk dirinya. Padahal untuk menginap di hotel ini dengan fasilitas lengkap saja biayanya mahal, hanya orang kalangan atas saja yang dapat memakai kamar fasilitas VVIP.
Melihat tingkah pegawainya membuat Rosa semakin emosi, bagaimana bisa pihak hotel merekrut karyawan yang tidak mempunyai etika sopan santun seperti ini terhadap tamu. Jika ada lowongan lagi di hotel ini, ia akan merekrut calon pegawai dengan sangat hati-hati. Ternyata pendidikan tinggi tidak menjamin akhlak manusia menjadi baik. Walau pun ada calon karyawan yang ingin melamar pekerjaan di hotel ini, dan hanya lulusan sekolah sekolah dasar saja. Asal mempunyai etika yang baik terhadap tamu Rosa pasti akan menerimanya. Karena beretika terhadap orang lain sanggatlah penting.
"Ada apa ini? Kenapa kalian malah ketawa-ketawa di saat jam kerja!" ucap supervisor perhotelan ia tiba-tiba datang karena mendengar suara bawahannya tertawa, dari jauh supervisor itu sudah memperhatikan dari jauh. Melihat supervisornya datang Lia dan Suryani langsung menghadap dengan sigap.
“Selamat siang Pak," salam Sriyani dan Lia.
"Saya perhatikan dari jauh, kalian berdua terus saja mengobrol? Memangnya kalian tidak ada pekerjaan?” Supervisor bernama Rio Adi Pemungkas belum menyadari jika bos dari pemilik Perhotelan ini berada di depan matanya.
"Begini Pak Rio ada tamu datang entah dari planet mana. Tiba-tiba memesan kamar VVIP," jelas Lia.
"Loh bukanya malah bagus jika ada tamu yang memesan kamar hotel kita? Apalagi kelas VVIP, mana orang yang mau pesan kamar VVIP"
"Itu Pak orangnya." Lia menunjuk ke arah Rosa. Saat Rio menoleh ke arah Rosa seketika Rio membulatkan matanya ke arah Rosa, Rio sangat terkejut tamu yang dimaksud dengan Lia adalah Rosa Adhitama pemilik dari hotel ini. Melihat ada bos pemilik hotel ini, ia langsung kelabakan. Ia tidak tahu jika bos besarnya akan datang ke hotel ini karena tidak ada pengumuman bahwa pemilik hotel akan datang.
Keringat dingin sudah mulai bercucuran di keningnya, dia benar-benar sangat gugup akan kedatangan bosnya. Bahkan untuk menelan air liurnya saja ia tidak bisa. Rio bingung harus berbuat apa, sementara tidak ada yang boleh tahu jika bosnya adalah pemilik dari hotel ini sesuai dengan peraturan yang tertera di hotel ini, dan hanya orang yang mempunyai jabatan saja yang mengetahui identitas Rosa Adhitama.
Rosa menatap Rio, “tolong siapkan kamar buat saya," pinta Rosa, ia pun segera pergi meninggalkan area resepsionis. Setelah kepergian Rosa, ia mengusap keningnya yang sudah dipenuhi keringat dingin bahkan kakinya tak luput dari rasa takut. Saking takutnya kaki Rio sampai bergetar. Dua bawahan Rio hanya bisa menatap atasannya dengan tatapan heran.
“Maaf, Pak Rio anda kenapa ya? Muka Bapak sampai pucat gitu?” tanya Sriyani penasaran.
“Iya, ih. Bapak lebay deh. Memangnya kenapa sih Pak? Kok sampai begitu liat tamu tadi?” Rio menatap dua bawahannya dengan rasa kesal, ia yakin sekali pasti telah terjadi sesuatu antara pegawainya dengan bos besarnya. Kali ini ia tidak bisa lagi berbuat banyak, dia harus memecat 2 pegawainya dari hotel ini untuk melakukan tindak penegasan jika sewaktu-waktu ia disuruh menghadap bosnya.
"Kalian jangan banyak bicara! Cepat kalian berdua siapkan kamar untuk tamu yang tadi."
"Kenapa Pak?" tanya Lia ia bingung dengan sikap atasannya itu. dalam sekejap langsung berubah.
"Kalian berdua jangan banyak tanya!"
"Ta-tapi Pak--"
"Jika kalian berdua masih mau bekerja di sini. Maka saya sarankan kalian bersiap-siap untuk meminta maaf padanya.” Selesai berbicara Rio langsung pergi, ia ingin menemui bosnya di lobi.
"Apa!" Lia begitu terkejut dengan ucapan atasannya, ia langsung memandang temanya dengan tatapan bingung.
"Duh, sebenarnya ada apa ya? Kok sikap Pak Rio jadi kaya gitu ya?"
"Enggak tahu juga dah, pokoknya kita turuti aja apa kata Pak Rio. Nanti juga kita tahu."
Rosa dan Dinda masih menunggu kedatangan Rio di lobi, ia yakin Rio akan menghampirinya di lobi.
"Tuh, benarkan kataku. Dia pasti datang ke sini," batin Rosa, ternyata dugaan Rosa tidak meleset. Rio datang tergopoh-gopoh menuju Rosa. Ternyata di belakang Rio sudah ada beberapa porter (Pengangkut Barang Barang) dan juga Supervisor of Guest Services.
“Se-selamat datang di hotel kami Ibu Rosa.” Rio terlihat gugup apalagi dia adalah supervisor Front Deks (Orang yang bertanggung jawab atas seluruh pegawai hotel, mereka ditugaskan bisa memecat atau memberi denda terhadap karyawan yang melanggar peraturan di hotel ini)
Rosa masih terdiam, ia masih bersikap santai. Sedangkan Rio masih bingung apa yang harus ia lakukan apalagi rasa takut sudah memenuhi dirinya. Karena tidak ada jawaban dari bosnya, ia pun menoleh ke arah portenya.
“Kalian semua tolong bawakan barang tamu kita ke lantai atas kamar VVIP,” perintah Rio kepada porter.
“Baik Pak.” Dengan cekatan mereka membawa barang milik Rosa dan juga Dinda.
“Ayo, Din. Kita ke atas, kamar kita sudah disiapkan oleh mereka semua.” Dinda langsung bangkit dari duduknya, “tapi duluan aja ya, aku masih ada urusan di sini, kamu ikut aja sama pegawai yang membawa barang kita.” Dinda hanya mengagukkan kepalanya, ia berjalan di belakang porter. Setelah kepergian Dinda, ia menatap kembali ke arah Rio.
“Kamu bekerja di sini menjabat sebagai Front Desk Supervisor ya?” tanya Rosa kepada Rio.
“Be-benar Bu.”
“Kalau kamu?” Rosa menunjuk kepada pegawainya yang berada di samping Rio.
“Jabatan saya di sini sebagai Housekeeping supervisor.” Mendengar penjelasan dari pegawainya, Rosa hanya menggangukan kepalanya.
“Oke, saya mengerti. Kedatangan saya ke sini bukanlah untuk kunjungan perkerjaan, melainkan untuk beristirahat sejenak. Jadi saya minta tolong ke pada kalian berdua jangan beritahukan kepada atasan yang lain, bahwa saya ada di sini, karena saya tidak ingin repot.”
“Baik, Bu. saya mengerti.”
“Dan satu lagi untuk Pak Rio penanggung jawab atas seluruh pegawainya, setelah ini saya tunggu kamu di ruang kerja saya dan bawa dua pegawai tadi!” Rosa bergegas pergi menuju kamar VVIP, ia sudah merasa lelah dengan semua ini, semua barang sudah dibawakan oleh porter.
Sementara di kamar VVIP, Dinda begitu kagum dengan kemewahan kamar hotel ini, ia baru pertama kali menginjakkan kakinya di hotel semewah ini.
“Astaga! Kamarnya bagus banget, kok bisa ya aku ada di kamar hotel semewah ini?” Dinda mengeliligi kamar hotel yang ia tempati sekarang, bahkan pemandangan dari atas hotel begitu indah. Dari hotel ini kita bisa melihat pemandangan laut biru yang membentang luas di bumi ini.
“Ya, tuhan terima kasih karena engkau telah memberikan aku kesempatan untuk hidup di dunia ini sampai sekarang.” Dinda mengucapkan syukur atas nikmat tuhan yang telah ia berikan padanya, karena kesempatan inilah dia bisa merasakan tidur di hotel mewah dan melihat pemandang laut biru begitu luas.
“Dinda, kamu ngapain di situ?" tanya Rosa setelah masuk ke dalam kamar, ia melihat temanya sedang berdiri di dekat jendala memandangi luasnya lautan biru. “Ros, lihat deh pemandangan laut itu. Bagus banget loh. Aku jadi pengen main air laut, kaya seru deh.” “Nanti aku ajak ke laut ya, tapi sebelum itu kamu di sini dulu ya. Aku masih ada urusan di luar, kalau kamu mau minta apa-apa kamu bisa telepon pegawai yang ada di sini, nanti kamu bisa dibantu.” “Oke!” Dinda memberikan dua jempol untuk Rosa, ia pun kembali melanjutkan melihat pemandangan laut yang begitu indah. Rosa bergegas pergi ke ruang kerjanya, ia berjalan di sepanjang lorong hotel. Ketika dia berjalan, ia berpapasan dengan manajer, ketika manajer itu melihat bos besarnya ada di depan matanya langsung terbelalak. Rosa menyadari sikap dari manajernya, ia menaruh 1 jarinya di bibirnya menandakan ag
Melihat temanya yang sangat keras kepala, Dinda hanya bisa pasrah menerima perkataan Rosa. Pagi hari telah tiba, Rosa telah bersiap-siap untuk mencari pekerjaan yang cocok untuk mereka berdua. Sedangkan Dinda tetap berada di hotel menikmati semua fasilitas yang ada di sini. “Aku pergi keluar dulu ya, kamu di sini aja sampai aku kembali ke sini. Kalau kamu mau berenang kamu tinggal ke bawah aja, kalau kamu masih bingung kamu boleh minta bantuan sama Rio. Nanti aku yang akan sampaikan.” Dinda menggoyangkan kedua tangannya, bahwa Dinda menolak akan hal itu. Ia tidak ingin merepotkan orang lain hanya karena ia ingin berenang di kolam renang. “Makasih Ros, aku lebih baik tunggu kamu aja dari pada sama orang lain. Aku lebih nyaman sama kamu, aku enggak apa-apa kok nunggu kamu.” “Kamu yakin?” “Yakin! Ya udah sana kamu keluar aja cari kerja, nanti kalau sudah dapat
"Aargghh, lepaskan!" Rosa berontak saat pengawalnya memegang lengannya, ia diseret keluar dari dalam lift dan membawanya pergi menuju mobil. Semua orang yang melihat kejadian itu, merasa heran dan juga takut. Apalagi para pengawal keluarga Adhitama begitu menakutkan. "Apa-apan ini? Lepaskan saya! Kalian jangan macam-macam ya!" Rosa terus saja memberontak, sayangnya kekuatannya kalah jauh dari para pengawalnya. Sekuat apa pun Rosa melawan, ia tidak akan sanggup menandingi kekuatan para pengawalnya. Rosa dipaksa masuk ke dalam mobil. "Awas ya kalian semua! Tunggu pembalasanku!" ancam Rosa dari dalam mobil. Tangannya terus menunjuk-nunjuk ke arah pengawalnya. “Halo adikku tersayang,” sapa Brian dengan senyuman lebarnya menampakkan barisan gigi putih dan rapih. "Arrghh!" Rosa berteriak kencang, ia kaget ada Brian di dalam mobil. Saking emosinya ia tidak sadar di depannya sudah ada kakak sulungnya. J
Keesokan paginya Dinda, dan Rosa tengah bersiap-siap untuk melamar pekerjaan di sebuah cafe yang jaraknya lumayan jauh dari hotelnya. Untuk melamar pekerjaan mereka berdua harus mempunyai penampilan sebagus mungkin."Kita sarapannya di sana saja ya? Takut telat nanti.""Iya, lagiian aku belum lapar kok."“Oke, kita berangkat sekarang yuk, takut macet di jalan. Soalnya sekarang waktunya orang berangkat kerja,” ucap Rosa, ia tidak ingin terjebak macet, ia sengaja berangkat lebih awal dengan sepeda motornya yang telah ia sewa seharian penuh, agar tidak telat. Ia lebih baik menunggu dari pada harus telat untuk datang ke cafe. Kesempatan seperti ini tidak boleh ia lewatkan sedetik pun.Satu jam kemudian Rosa telah sampai di tempat tujuan, ia melihat cafenya masih tutup. Tapi sudah banyak orang yang melamar di cafe ini. sebelum jam menujukan pukul 8 ia dan Dinda memutuskan untuk menunggu
“Terima kasih Pak atas pengertiannya, jika ada waktu. Saya akan mengurus semuaya." 25 menit sudah ia menjalani proses interview. Dalam hati ia senang, untuk masalah identitas masih bisa dilewati.“Kalau gitu untuk interview sudah selesai ya, untuk hasilnya nanti saya umumkan lewat email yang sudah kamu kasih ke saya.”“Sekali lagi terima kasih Pak, kalau begitu saya pamit undur diri.” Rosa bangkit dari tempat duduknya, setelahnya ia keluar menuju pintu keluar. Selesai dari sini ia berniat ingin mampir di sebuah tempat makan yang tidak jauh dari cafe untuk makan siang."Ros, gimana interview tadi? Aku sampai gugup loh pas ditanya-tanya sama Pak Abian," ucap Dinda ia baru pertama kali melamar pekerjaan di sebuah cafe."Hmm, baik kok. Mudah-mudahan kita berdua bisa diterima ya kerja di cafe sana. Apalagi pelanggan di cafe tadi cukup ramai pengunjung."&
“Enggak apa-apa, Pak. Saya cuma lagi senang aja lihat Pak Abian bisa tersenyum lagi. Sudah bertahun-tahun saya bekerja dengan anda, semenjak meninggalnya Almarhum Istri anda. Tiba-tiba senyum anda hilang begitu saja bagai ditelan bumi, tapi hari ini. Saya bisa lihat senyum anda kembali." Mendengar tutur kata Elang, membuat wajah Abian merona merah. Ia jadi malu sendiri hanya karena senyumnya. Tapi, yang dikatakan Elang memang benar. Semenjak istrinya meninggal, ia tidak pernah memperlihatkan senyumnya kepada siapa pun. Bahkan keluarganya sekali pun.Beberapa hari kemudian Dinda, dan Rosa mendapatkan panggilan dari tempat ia melamar pekerjaan di sebuah Cafe Birdella. Melalui sebuah email.“Ros, aku dapat pesan email dari Pak Abian. Katanya aku diterima kerja di cafenya,” ucap Dinda kegirangan, begitu juga dengan Rosa yang mendapatkan email, bahwa dia diterima kerja sebagai karyawan cafe Birdella.&
“Maaf, saya tidak punya IG, karena saya tidak terlalu suka bermain di media sosial.” Terlihat wajah wanita itu sedikit kecewa, tapi mereka tidak patah semangat.“Kalau nomor ponsel, pasti punya dong,” pintanya dengan gaya centilnya.“Saya punya.” Rosa pun mengeluarkan satu ponselnya dan memberikan nomor itu kepada pelanggannya, "ini nomor ponsel saya, jika Kakak ingin memesan makanan bisa hubungi saya.” Pelanggan wanita itu beserta teman-temannya langsung menyimpan nomor Rosa di ponselnya masing-masing, mereka semua belum sadar jika Rosa itu seorang perempuan sama seperti mereka.“Kalau butuh sesuatu lagi, kalian bisa panggil saya atau teman saya yang lainnya. Kalau begitu saya permisi ya.”“Iya, Kak.” Rosa segera pergi dari pelanggan wanita itu, bagi Rosa, hal seperti ini sudah biasa. Banyak sekali yang meminta nama Ignya atau nomor p
“Biar pun hanya iseng, tetap tidak boleh. Enggak baik buat kesehatan.” Abian terus saja memberi nasehat kepada Rosa, sebenarnya ia sedikit jengah mendengar nasehat bosnya ini. Malas mendengar nasehat bosnya, ia pun mematikan rokoknya. Sayangnya abu dari rokok itu bertaburan ke mana-mana, alhasil mata Rosa terkena percikan abu rokok panas."Aarghh! Mataku," teriak Rosa menahan sakit karena matanya terkena percikan bara api rokok.“Tuh, 'kan! Apa saya bilang. Rokok itu bahaya!” Karena panik melihat Rosa terkena percikan bara rokok, seketika Abian mengambil air minumnya yang ada di dalam tas lalu menyiramkan air ke arah mata Rosa agar tidak merasa panas."Aduh, panas!" Ia terus saja mengucak matanya."Kamu enggak apa-apa?" Dengan cepat ia mengambil tisu di dalam tasnya dan membantu Rosa untuk membersihkan wajahnya. Yang terkena siraman air.Tangan
“Rosa? Ke sini dong.” Rosa melihat kea rah bosnya yang memanggil dirinya. Ia langsung bangkit dan berjalan kea rah arahnya. Melihat Rosa ada di depan matanya, pemilik café ini seketika terbelalak. Matanya terbuka lebar, mulutnya sampai menganganga melihat wajah Rosa mirip mendiang istri Abian.“Pa-Pak, dia—“ pemilik salon menunjuk Rosa dengan jarinya yang masih bergetar.“Namanya Rosa, dia ini perempuan. Jadi saya minta tolong sama kamu, tolong bikin dia makin cantik kaya artis Korea ya,” pintanya, sedangkan pemilik salon masih menatap takjub dengan wajah Rosa. Bisa ganteng, bisa juga cantik.“Luar biasa!” ujaranya lagi mengaggumi ketampanan Rosa. ia melihat penampilan Rosa dari ujung kepala hingga ujung kaki. Benar-benar mirip mendiang istri Abian. "Kaya kembarannya Mbak Birdella," ujarnya dalam hati.Hampir satu jam lebih Rosa berada di s
"Keluar sana! Gue mau kerja.”“Jadi lo usir gue? Oke, fine. Kalau lu usir gue dari sini, jangan harap lo bisa dekat lagi sama Ade gue!” Brian langsung berjalan ke arah pintu keluar, tak disangka Abian menahan lengan temannya. “Jangan beper lo, gue Cuma bercanda doang! Yailah, gitu aja dimasukin ke hati.” Brian tersenyum puas, baru diancam sedikit aja Abian ketar-katir.“Makannya Bi, lo harus bisa ambil hati gue. Bikin gue senang, siapa tahu hati gue luluh.” Mendengar hal itu Abian hanya berdesis. Rasanya dia mau muntah seember.Selama seharian penuh Brian berada di ruang kerja, tanpa melakukan aktifitas apa pun. Yang Brian lakukan hanyalah main ponsel, mengawasi Rosa bekerja, hingga tertidur di atas sofa. Sedangkan Abian tidak mempermasalahkan hal tersebut, selama Brian tidak menggangu pekerjaanya.“Lo enggak bosen apa di sini terus seharian?&rdqu
“Bi, mending lo pulang aja deh. Biar Rosa urusan gue!” kesalnya, padahal Rosa adalah adik kandungnya. Akan tetapi temannya selalu menyerobot apa yang dibutuhkan Rosa.“Mending lo duduk aja deh, biar Rosa gue yang urus.”“Gue ‘kan Kakak. Kenapa jadi lo yang repot sih.”“Lo Kakaknya, sedangkan gue bosnya. Jadi wajar aja gue kasih perhatian sama karyawan gue!”“Alibi banget lo!” melihat pertengkaran kakaknya dengan bosnya, Rosa hanya bisa tersenyum. Ia sih tidak masalah jika Abian membantu dirinya jika ia mengalami kesulitan, jika dibandingkan kakaknya. Abian lebih telaten dan sedikit berhati-hati.***"Cih, lihat aja kalau tuh duda tua pepet Rosa terus,” gumamnya mengingat ketika di rumah sakit. Brian benat-benar tidak diberi kesempatan untuk merawat adiknya. “Tapi, gue enggak sangka. Model kaya Abian udah nikah
"Eeh, tapi saya bisa kok pak pulang sendiri, lagian rumah saya dekat kok. Jadi enggak perlu diantar.”“Biarpun rumah kamu dekat, tetap saya antar pulang ke rumah. Malam-malam begini kita harus waspada dari tindak kejahatan.” Rosa memutar bola matanya malas, ia semakin risi. Baginya bosnya ini terlalu berlebihan.“Udah ya Pak, saya pulang dulu. Makasih deh tawaranya.” Dengan cepat ia berlari menuju pintu keluar.“Rosa! Tunggu saya.” Semakin ia mengejar Rosa, semkain jauh pula Rosa.***“Rosa?” ujar Abian dengan nada sedikit syahdu, membuat Rosa bergidik ngeri.“Dih, Pak Abian kenapa ya? Kok nada bicaranya jadi kaya cewek gitu sih?”“Hmm, saya mau minta tolong sama kamu? boleh?” lagi-lagi ia berucap dengan nada seperti perempuan.“Ngomongnya biasa aja
"Kamu pantas mendapatkan ini! Hukuman ini belum seberapa buat kamu. Aku akan memberikan hukuman yang berat lagi buat kamu!” ancamnya.Wajah cantik Mila kini sudah membiru, ia sudah kehabisan napas. Dengan cepat Aska melepaskan cekikanya. Ia tidak ingin Mila mati begitu saja. Ia ingin menghukum Mila dengan tanganya sendiri hingga Mila merasakan penderitaan."Hhukk...hhukkk." Mila menjatuhkan dirinya ke lantai, setelah ia lepas dari tangan Aska. napasnya sudah terengah-engah. nyawa dia hampir saja melayang.Aska memerintahkan pengawalnya, “bawa dia ke dalam mobil, dan ikat tubuhnya sekuat mungkin!” Mila hanya bisa pasrah tubuhhnya diseret paksa oleh pengawal ksusus. Sementara Brian dan Rosa sudah diamankan oleh para pengawalnya dan juga Abian yang sudah tiba di lokasi.“Ros, tolong kamu bertahan sedikit lagi. Kakak bakal bawa kamu ke rumah sakit, tolong jangan tinggalin Kakak se
1 pengawal pingsan. Tinggal sisa satu lagi. Karena takut ketahuan oleh pengawal yang lainya. Brian langsung mengeluarkan sebuah pisau ke arah pengawal, tepat mengenai keningnya seketika pengawal itu tewas."Rosa! Sadarlah Rosa. Ini Kakakmu!" Brian membagunkan Rosa yang sudah tidak sadarkan diri. Ia begitu sakit melihat keadaan adiknya yang cukup mengenenaskan. Brian tidak akan tinggal diam, dia akan membalas perbuatannya.Brian melepaskan ikatan tali dari tangannya, hati Brian semakin teriris melihat pergelangan tangan adiknya yang sudah penuh luka akibat ikatan tali terlalu kencang. Ia meneteskan air matanya, ia tidak sanggup melihat keadaan adiknya. Selama ia menjadi seorang kakak. Tidak pernah sekali pun ia melukai fisik adiknya, apalagi sampai separah ini.“Kak, Brian.” Sayup-sayup ia mendengar suara adiknya memanggil namanya. Ternyata adiknya masih bisa membuka matanya, ia mengusap air matanya agar adikn
Sudah 1 jam lebih Brian mengikuti mobil Mila, tetapi belum juga sampai di tempat tunjuan. Hingga akhirnya mobil Mila telah sampai di sebuah hutan yang lebat. Mobil Mila masuk ke dalam hutan. Begitu juga dengan Brian. Ia harus berhati-hati mengikuti mobil Mila agar tidak ketahuan. Setelah memasuki hutan yang paling dalam, mobil pun sampai di sebuah rumah tua yang sudah tidak berpenghuni.Diam-diam langkah Brian mengikuti Mila untuk sampai ke rumah tua. Tak di sangka ternyata rumah tersebut dijaga ketat oleh orang yang bertubuh kekar. Ada sekitar 3 orang yang menjaga di luar rumah dibagian luar.“Ck, penjaganya banyak banget di pintu depan,” gumamnya, ia terus memperhatikan rumah tua dan mencari celah agar bisa masuk ke dalam. Ia yakin jika adiknya pasti ada di dalam bersama dengan Mila. Brian mengembil ponselnya dalam saku celana untuk mengirim lokasi agar tim khususnya bisa datang ke sini untuk membantunya.
“Rosa lagi sama lo enggak?” Abian langsung bertanya ke inti permasalahan, ia lagi malas berdebat saat ini.“Lah, kenapa lo jadi nanya Rosa ke gue? Rosa 'kan lagi ada di kota tempat dia kerja.”“Serius lo?”“Serius lah, lagian ngapain juga gue sama si Rosa. Gue sekarang lagi di kota gue.”“Hoh, berarti Rosa lagi enggak sama lo ya? Ya udah gue tutup ya.”“Eh, jangan ditutup dulu! Sebenarnya kenapa sih lo nanya Ade gue lagi ada di mana?”“Semalam Ade lo enggak pulang ke rumah, temannya yang namanya Dinda sampai cari Rosa ke mana-mana tapi enggak ketemu. Malah ponselnya ada di gue sekarang, makannya gue hubungi elo, siapa tahu Rosa lagi sama lo.” Brian berdiri dari tempat duduknya, jantung berdetak kencang mengetahui adiknya belum pulang ke rumah sampai sekarang.&nbs
“Brian!” suara Mila sedikit ditinggikan agar Brian tersadar.“Eh, iya. Kenapa?”“Kamu ini kenapa sih? Dari tadi dipanggil kok enggak jawab?”“Masa sih?”“Dari tadi kamu terus lihatin saya loh, kamu ini kenapa sih? Apa penampilan saya terlihat aneh ya di mata kamu?” tanyanya membuat Brian kelimpungan, ia tidak sadar jika dirinya terus memperhatikan ibu tirinya ini. Ia sedang memikirkan mencari alasan yang tapat.“Kalung berliannya bagus, kayanya baru ya,” jar Brian baru mendapatkan ide ketika melihat kalung Mila.“Hoh, ini.” Mila menujuk ke arah kalungnya. “Kamu kok tahu kalau kalung berlian ini baru?”“I-iya, soalnya kelihatan silau. Kayanya kalungnya mahal ya?”“Enggak mahal kok, ini murah. Harganya cuma