Albin POV.
Tertegun aku memperhatikan wajah di cermin. Aku harus tiba di tempat kerja dalam waktu satu jam lagi. Dengan gerakan cepat kusempurnakan tampilan riasan.
Alisku yang berwarna putih kuberi warna cokelat, bulu mataku yang juga putih kuberi maskara cokelat gelap. Tidak lupa sedikit sapuan perona pipi berwarna pink peach, tak ketinggalan lipstik berwarna senada.
Aku puas dengan tampilan akhirku. "Aku cantik," ucapku pelan sambil tersenyum meyakinkan diri sendiri.
Ku buka lilitan handuk di rambutku yang basah. Rambutku yang putih tergerai indah. Aku tersenyum melihatnya, aku bangga dengan warna rambutku. Berapa banyak artis yang mewarnai rambutnya agar terlihat sepertiku? Berapa banyak uang yang harus mereka keluarkan?
Besarnya sama seperti gajiku pokokku selama dua bulan.
Sedangkan aku?
Ini warna asli rambutku. "Ini anugerah," aku mensyukuri semua yang ada pada diriku.
Kata Mama, aku adalah anugerah dari Tuhan. Mama bersyukur memiliki aku, aku juga bersyukur memiliki mereka. Semua yang ada di tubuhku adalah anugerah, meski aku berbeda. Meski seringkali dikucilkan.
"Aku berbeda karena aku istimewa," ucapku kepada diriku sendiri sambil menyisir rambut ikalku yang sebatas pinggang. Aku harus mencintai dan menghargai diriku sendiri.
Ku tatap irisku dengan selaput pelangi indah berwarna biru. Aku mengerjapkan mata berkali-kali, "Aku indah, aku cantik sekali." aku tersenyum puas.
Berapa banyak orang yang ingin memiliki iris berwarna biru sepertiku? Mereka melakukan operasi atau memakai softlens, beruntungnya aku memiliki semua ini apa adanya.
Aku sombong? Tidak! Aku mensyukuri apa yang ada pada diriku. Ini tidak mudah. Aku melewati masa sulit sepanjang hidup. Tidak punya teman karena aku diejek sebagai hantu. Alis putih, bulu mata putih, mata biru, kulit putih pucat seputih kapas.
Beberapa kali aku mencoba mengakhiri hidupku sendiri karena aku menolak keadaanku berbeda dengan orang lain. Untunglah, Tuhan sayang kepadaku, hingga percobaan bunuh diri itu selalu gagal. Saat aku sekolah SMP aku tahu, aku mengalami kelainan genetik, aku Albino, aku penderita Albines.
Saat aku tau, aku tidak mau namaku Albin, karena itu semakin mengingatkan kelainan yang kumiliki, tetapi belakangan aku tahu, Albin artinya putih. Orang tuaku memberikan nama Albin pasti karena mereka menyukaiku yang berwarna putih. Mamaku bilang begitu.
Semua orang tua pasti mencintai anaknya, tapi kenapa aku dibuang? Air mataku selalu menggenang saat mengingat hal ini.
Mamaku cerita, dulu masih banyak orang yang menganggap penderita Albines itu setan dan harus dibunuh, jadi dia bilang, kemungkinan orang tua kandungku berusaha menyelamatkanku sehingga aku 'diselundupkan'. Apa yang dikatakan mamaku membuat perasaanku menghangat. Aku sangat sayang Mama dan Bapak, semoga aku bisa membalas jasa mereka.
Aku bergegas memakai pakaian kerja, pakaian yang terlihat sama seperti para wanita yang bekerja di perkantoran, kami diwajibkan seperti itu.
kukenakan stoking hitam dan sepasang hi-heels sambil setengah berlari. Tempat kerjaku kejam, terlambat dua menit saja gajiku dipotong 30%.
Jovan POV.
Aku menyetir mobil sambil sedikit melamun, pikiranku melambung jauh. Dua minggu sudah berlalu sejak papa memerintahkan wajib menikah, terdengar seperti wajib militer di telingaku.
Layar yang terdapat di dasbor mobil menunjukkan waktu pukul 21:30. Aku mendesah kasar. Aku baru saja pulang dari kantor, jika CEO dalam novel banyak waktu luang, tidak denganku, aku harus terus bekerja, kadang aku berada di kantor hingga jam 1 atau jam 2 malam.
Sambil menghela napas panjang kulonggarkan dasi yang terasa menjerat leher. Bukan! Bukan dasi sebenarnya yang membuatku kesulitan bernapas. Aku terus terpikirkan kata-kata papa," Bawakan seorang gadis."
Papa keterlaluan, bagaimana bisa aku mencari seseorang untuk dijadikan istri dalam waktu tiga bulan? Sekarang saja sudah dua minggu berlalu.
Hasilnya?
Masih nihil!
Papa membuatku hampir gila rasanya, setiap kali aku melihat perempuan, aku memperhatikan mereka seperti kucing memperhatikan mangsa. Aku tidak melepaskan pandangan dari mereka.
Reaksi mereka?
Kebanyakan mereka salah tingkah. Mungkin mereka berpikir aku berpikiran mesum. Entahlah sepertinya begitu, para pekerja wanita di kantorku menurunkan rok saat kupandangi seperti itu.
Sial! Itu melukai harga diriku! Tapi, aku tidak bisa apa-apa, hanya bisa memijat kepalaku yang tiba-tiba berdenyut kuat.
"Arrrrggghhh!" Kupukul stir mobil berkali-kali untuk menumpahkan kekesalan. Saat bekerja pun sangat sulit untuk konsentrasi.
Aku memikirkan papa. Bagaimana jika dalam tiga bulan tidak ada gadis yang bisa kubawa? Bagaimana jika ternyata papa pergi dengan rasa kecewa?
Lampu akrilik berwarna biru bertulisan "Havana Club" menarik perhatianku. Tanpa sadar mobilku masuk ke sebuah area parkiran club malam.
Setelah memarkir mobil kutarik tuas rem tangan. Tidak sengaja pandanganku terarah lurus ke depan. Aku melihat seorang wanita berambut putih ikal panjang sepinggang melambaikan tangan sambil tersenyum pada mobil yang perlahan pergi dari parkiran.
Aku terpaku, terdiam beberapa saat. Dia mirip wanita cantik versi anime. Kulit dan rambutnya yang putih terlihat kontras dengan kegelapan malam, meski tempatnya berdiri saat ini tidak gelap.
Wanita itu masuk ke dalam, aku bergegas menutup pintu mobil dan berlari mengejarnya. Dia memasuki lift dan menghilang.
Aku berlari ke depan lift yang dimasukinya. Lampu di atas pintu lift menunjukkan angka 4.
Aku menghela napas panjang lalu menekan tombol lift di sebelahnya. Beberapa saat menunggu, lift turun dan pintunya terbuka untukku. Aku menekan tombol angka 4.
Saat aku tiba di lantai 4, aku melihat tulisan akrilik "Havana Club". Aku masuk ke dalam setelah membayar tiket masuk. Kupikir dia pasti bekerja di sini, mengingat pakaiannya seperti seseorang yang bekerja di kantor.
Saat memasuki memasuki klub itu aku disuguhi pemandangan yang mengesankan. Interior dan furniture Havana sangat cantik dan bagus. Pemain band bermain di atas panggung. Lampu sorot berwarna warni tak henti-hentinya diarahkan kepada mereka. Ku edarkan pandangan, mencoba mengenali seluruh tempat ini.
Seorang wanita mendekatiku, dia berpakaian seperti wanita yang kulihat di bawah tadi, tapi jelas wanita ini bukan dia.
"Selamat malam, Mas." Wanita itu mengulurkan tangan.
"Malam." Aku pun menyambut tangannya sambil tersenyum. Wanita ini terlihat manis, aku membaca name tag di dadanya menyala di dalam gelap, "Gina" keningku mengkerut, bagaimana bisa menyala dalam gelap? Terlihat bagus dan menarik.
"Sudah ada meja?" Gina bertanya kepadaku.
"Belum," sahutku cepat. Kami bicara dengan nada nyaring supaya tidak tenggelam dalam suara musik yang keras.
"Mari silahkan." Gina membuka tangan mengajakku berjalan menuju meja kosong.
Aku melewati sebuah meja. Napasku terasa berhenti. Wanita itu di meja itu ... itu dia! Si wanita berambut putih. Dia terlihat semakin bersinar dalam keremangan cahaya seperti ini.
Aku melihat nama di dadanya. "Albin" itu yang terbaca olehku. Albin asyik mengobrol dengan beberapa lelaki di meja itu, dia bicara sambil tersenyum, kadang tertawa.
Aku masing bingung, apa yang dikerjakan para wanita ini? Apa mereka menemani para lelaki yang datang ke sini?
"Mari, Mas, silahkan duduk." Gina tersenyum. Aku menarik kursi lalu duduk di atasnya.
"Mas mau apa?" Gina tersenyum ramah, dia duduk di sisiku. Aku merasa sedikit tidak nyaman. Kursi kami berdempetan. Dia meraih papan menu yang terselip di atas meja.
"Aku mau dia," aku menunjuk Albin yang terlihat begitu akrab dengan para lelaki di meja itu.
"Albin?! Oh, Albin sedang melayani customer lain," jawab Gina sambil tersenyum hambar.
"Tidak papa, aku akan menunggunya," jawabku cepat.
"Hum .. OK, saya akan sampaikan. Mas mau pesan minum dulu sambil menunggu Albin?" tawar Gina masih dengan senyuman yang manis.
"Boleh, whiskey double," ucapku cepat. Gina menyalakan pemantik, seorang waiter datang mendekat. Dia membisikkan sesuatu di telinganya, sepertinya pesananku. Si Waiter mengangguk lalu pergi.
"Saya beri tahu Albin, ya," ucap Gina di telingaku.
"Hum...um. OK," Ucapku sambil mengangguk.
Gina menjauh dan berjalan ke meja Albin kemudian berbisik kepadanya. Albin melihat ke arahku. Tidak lama kemudian dia bicara beberapa patah kata kepada empat pria di meja itu. Beberapa saat kemudian dia berjalan mendekatiku, sementara Gina kembali duduk di depan meja bartender.
"Hai ... halo, saya Albin." Albin tersenyum sambil mengulurkan tangan. Irisnya yang biru terlihat indah saat terkena biasan lampu sorot.
"Hai ... Jovan," ucapku menyambut tangannya. Aku memperhatikannya lekat-lekat. Mataku mengerjap beberapa kali, dia sangaaaaat cantik. Secantik peri dalam dongeng.
"Ada yang bisa saya bantu? Kata teman saya, Mas cari saya," Albin tersenyum manis sekali. Aku masih terdiam, memperhatikan dia inci demi inci.
"Mas, saya gak bertelinga runcing, jadi tenang aja saya bukan peri dari negeri dongeng, and i don't have any magic at all, (aku tidak punya sihir sama sekali)" Albin tertawa renyah. Aku tertawa saat mendengarnya. Albin orang yang punya keceriaan sepertinya.
"Duduk, Albin." Aku tersenyum lebar kepadanya.
“Mau pesan minum lagi?” Aku bertanya kepada sekumpulan lelaki di depanku.“Udahlah cukup, ntar susah,” seorang lelaki berseloroh kepadaku.“Susah kenapa?” Kedua alisku mengkerut. Mereka berempat sering kali datang ke Havana Club. Sepertinya mereka berempat anak orang kaya, wajah mereka masih muda, tapi mereka tak pernah absen datang ke sini saat weekend, apalagi saat ada artis datang, mereka sering kali memesan meja VIP.Susah, Al, nanti habis duit gak bisa kawinin kamu. Kamu mau mas kawin kamu bill doang?” Noval berseloroh kepadaku.“Boleh, kok. Tapiiii, mempelainya wanitanya botol minuman. Mau?” ucapku.“Yah, mana bisa. Kencing di botol aja aku gak bisa apa lagi ngawinin botol, Al. Yang ada botolnya yang pecah.” Noval tertawa lepas.“Kasih
Albin tersedak, beberapa detik setelah menghabiskan minuman yang terakhir. Dia hampir terjatuh ke belakang, aku menahannya, menariknya ke dalam pelukanku.Uang yang kuberikan tadi, dia kumpulkan di atas meja. Jatuh berhamburan ke lantai saat gelas yang dipakainya untuk menahan uang itu terjatuh terkena tangannya.Aku memeluk Albin dengan erat, dagunya tepat betopang di pundakku. Kuhirup aroma harum dari rambutnya, sesuatu yang hangat lembut dan kenyal menempel tepat di dadaku.Kesadaranku seakan lenyap beberapa saat, aku terdiam karena merasakan sesuatu yang tidak pernah aku rasakan lagi sejak hampir 16 tahun yang lalu.Aku menikmatinya. Menikmati wangi rambut dan tubuh Albin. Menikmati rasa hangat yang menyentuh dadaku bahkan sepertinya tubuhku menuntut lebih.Kesadaranku kembali saat melihat orang berlalu lalang di depan meja kami dan melangkahi uang yang kuberikan untuk
Aku melepaskan sabuk pengaman yang sudah terpasang di tubuhku lalu mencondongkan tubuhku mendekati Albin, mendekatkan wajahku ke wajahnya.Aku menyentuh bibirnya dengan ujung jemariku. Desiran darahku terasa semakin naik sampai ke ubun-ubun. Albin masih tertidur pulas. Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat berusaha menyingkirkan pikiran liar di dalam kepalaku, aku menelan air liur, hela napas Albin terasa hangat menyentuh wajahku.Aku menyusupkan tangan ke belakang punggung Albin untuk mengambil tasnya yang tadi diletakkan Gina di belakangnya. Aku mengambil ponsel milik Albin, aku ingin mengirimkan pesan dari
Jovan memperhatikan presentasi dari direktur keuangan perusahaan. Mereka semua menatap ke LED screen besar di ruang meeting. Perusahaan kayu lapisnya semakin terancam karena kayu semakin sulit didapat. Bahkan mereka memiliki rencana mengurangi pegawai demi menyesuaikan keuangan perusahaan yang semakin sulit.Adi Jaya Sakti-ayahnya Jovan dan beberapa investor mendengarkan rapat dengan saksama. Tidak lama setelah itu Jovan memberikan presentasi untuk mengambil proyek pembukaan lahan yang akan dilakukan perusahan sawit, mereka bisa memberikan separuh harga untuk membuka lahan itu, tapi semua kayu yang ditebang menjadi milik PT. Adi Jaya Sakti. Para pemegang saham setuju dengan solusi itu. Rapat berlangsung lancar meski terja
~Jovan POV~Aku menyodorkan ponsel kepadaTasya, memintanya menggantikan ponselku besok. Tasya, dia seseorang yang sangat kupercaya. Dia bekerja bersama kami selama dua belas tahun. Bersamaku enam tahun dan bersama papa enam tahun.Ya, Tasya sebelumnya asisten papa kemudian papa menyerahkan kepadaku saat dia tidak aktif lagi bekerja.Tasya adalah seseorang yang jika diminta semua pekerjaan beres. Kadang dia sudah mengerjakannya sebelum kuminta. Seringkali saat aku mengatakan meminta sesuatu, ternyata sudah beres. Dia seperti bisa membaca pikiranku di masa depan.Dia adalah salah satu dari tiga asisten Papa. Salah satunya Papa Jadikan istri. Entah kenapa saat itu Papa mencari asisten muda, ada satu lagi asisten senior yang membimbing mereka sehingga mereka jadi sangat terampil.Tasya selalu berpenampilan sopan, bahkan bisa dibilang
Jovan menuruni tangga rumahnya sambil menenteng sebuah tas kerja di tangan. Dia mau menikmati sarapan pagi sebelum berangkat ke kantor pagi ini. Tubuhnya sebenarnya masih lelah karena baru kemarin sore tiba dari luar pulau meninjau lokasi lahan yang digarap perusahaannya.Namun, karena banyak hal yang harus dikerjakan dia tetap ke kantor hari ini.Ia bersenandung ringan sambil menapaki anak tangga. saat dia melihat lurus ke depan, di ruang makan sudah duduk lelaki tua yang sangat dikenalnya."Papa, sejak kapan datang?" Jovan menarik napas panjang melihat sang ayah sudah menunggunya."Baru aja, paling lima belas menitan," ucap Adi sambil tersenyum melihat putranya mendekat.Jovan menarik
Sekate-kate ini orang, “Ok Jo yang baik hati, kenapa Lo nipu gue?!”“Enak aja. Aku gak nipu kamu.”“Dasar tukang tipu! Gak ngaku lagi.”“Albin!” Jovan terhenyak. Harga dirinya terluka, “Gue bukan tukang tipu, ya! Lo gak sopan banget sih? Gue pelanggan di sini. Gue bisa adukan Lo bad attitude. Lo bisa dipecat!” Ia memalingkan wajahnya dengan kesal.Albin memajukan langkahnya hingga Jovan terpojok ke dinding “Gue gak butuh pelanggan tukang tipu kaya Lo!”“Club ini butuh pelanggan royal kaya gue!”“Royal apa-an? Sejak kapan orang royal ambil balik uangnya?” Albin mendengus kesal.&ldquo
Albin berjalan pelan bersama temannya keluar dari Havana klub. Mereka saling tertawa. Sesekali saling menggoda dan bercanda. Tawa mereka mengisi lorong parkiran sepeda motor khusus karyawan.Jovan bersandar pada pilar lorong parkiran. Dia tersenyum manis saat mendengar Albin dan teman-temannya menggosipkan para pelanggan mereka. Dari yang menyebalkan sampai yang baik hati.
*Komentar tiap paragraf, ya. Kalau komentar dan riview kalian yahud ... nanti ada ektra part. Hahaha. Jangan lupa kasih riview ... jika yang kasih riview mencukupi 20 orang, aku kasih ektra part hari sabtu minggu nanti. Kenapa sabtu atau Minggu? Pas hari itu aku libur kerja. Jadi maafkan author yang nulis di sela kesibukan inih* BAB INI MENGANDUNG UNSUR PERCINTAN YANG EKPLISIT DAN MENDETIL. SILAHKAN SKIP KALAU KELIAN MERASA TIDAK NYAMAN* *** Jovan pergi ke toilet mencuci tangan dan membasuh celananya yang basah karena masih terdapat sisa-sisa cairan dirinya di sana. Menari di dalam benaknya apa yang baru saja terjadi di ruangan Gloria tadi. Semua benar-benar tampak nyata. Albin mengenakan lingerie cokelat keemasan, panjangnya menutup hingga sedikit di bawah bokong. Renda transparan di bagian dada, memperlihatkan separuh gunungan indah mempesona. Tatapan mata Albin yang sayu menggoda dirinya untuk
Jovan memandangi gedung-gedung tinggi di sisi jalanan sambil menyandarkan kepala di sandaran kursi mobil dengan tatapan hampa. Beberapa kali desah napas berat terdengar keluar dari mulutnya. Pikirannya melayang jauh memikirkan Albin. Akhir-akhir ini Ia merasa kebingungan. Menurutnya, kemungkinan dirinya sudah sembuh, tapi dia merasa takut untuk membuktikannya. Seringkali pikiran untuk membuktikan dirinya sudah sembuh atau belum, muncul di kepalanya. Namun, untuk mencoba kembali menonton video seperti saat itu, dia takut. Ia tidak yakin kalau dirinya akan baik-baik saja. Seringkali ia membayangkan hal-hal romantis dan indah bersama Albin, hal yang sebelumnya tidak pernah berani ia lakukan bahkan hanya dengan sekedar memikirkannya saja. Menurut pemikiran Jovan, mungkin itu indikasi bahwa dirinya sudah siap. Namun, ia sangat ragu. Bukankah saat itu mereka hampir saja bisa melakukannya, tapi gagal?
Jovan terdiam beberapa saat. Sungguh ia sangat ingin bertemu Albin, tetapi ia merasa belum siap. Ia takut jika mendengar Albin kembali bicara meminta kepastian agar dia bisa melakukan apa saja. Tentu saja Jovan paham apa maksud dari kalimat "apa saja" yang dikatakan Albin. Ia sanggup melepaskan Albin meski ia tak ingin, tapi jika memang Albin menginginkannya ia tidak bisa memaksa 'kan? Jovan benar-benar melepaskannya saat Albin terakhir kali mengirimkan pesan yang membuat dirinya merasa tidak berguna, tidak berharga dan tidak layak untuk hidup. Ia yakin, jika dia mendengar kata-kata itu lagi ia tidak akan pernah bisa bangkit lagi. Kata-kata itu sangat menyakiti dirinya. Seakan dikatakan dengan jelas, kalau kamu tidak mampu, aku cari lelaki lain. Belum lagi Jovan sangat takut diselingkuhi, takut ditinggakan lalu terpuruk dalam kesendirian. Karena itu ia melepaskan Albin, tapi Albin menolak untuk berpisah dan m
Jovan tersenyum memandangi pantulan bayangan dirinya di cermin. Ia merasa bahagia. Sudah sebulan terakhir dia sudah tidak lagi meminum obat. Ia dengan rutin mendatangi Felicia sekali dalam seminggu dan saat ini sudah berjalan selama tiga bulan. Perlu waktu bagi Jovan untuk benar-benar pulih. Felicia dan Adi terus membantu dirinya bangkit dan terus berusaha membangun kepercayaan dirinya kembali. Perlahan obat yang biasanya diminum dua kali sehari diturunkan sekali sehari. Beberapa waktu kemudian, terkadang Jovan lupa, kadang dia malas, dan dia baik-baik saja. Tidak lagi merasa cemas berlebihan walaupun tidak meminum obatnya. Setelah itu dia jadi tahu bahwa dirinya baik-baik saja tanpa obat. Ia tahu bahwa dirinya sudah bisa lepas obat. Wajah tampannya kini bersinar seperti sedia kala. Sinar matanya tidak lagi redup penuh kesedihan. Saat ini ia hanya meminum vitamin untuk otaknya karena setelah
"10. Aku akan menghadapi apa pun resikonya," ucap Jovan dengan nada bicara penuh percaya diri. Ia mengangkat wajah melihat dalam ke arah Felicia. "Yakin? Barusan kamu bilang hanya mau mencoba? Mencoba untuk tau lalu mundur? Kenapa? Apa pentingnya kamu sembuh tanpa obat?" Felicia menyandarkan punggung di sandaran kursi sambil meneliti Jovan lebih dalam. "Aku mau bersama Albin," kata Jovan lirih. Ia menurunkan pandangan ke meja. Ia mencoba menyembunyikan kesedihan. Senyuman Albin tiba-tiba membayang di kedua matanya. "Lalu mau apa kalau bersama Albin? 'Kan sekarang sudah bersama? Memangnya apa yang kamu anggap penting saat bersama Albin?" "Menjadi lelaki seutuhnya." Mata Jovan berkaca-kaca, "dia terus membicarakan mau mencari lelaki lain. Aku tau maksudnya, dia menyindirku karena tidak juga menyentuhnya." Air muka Jovan terlihat sangat sedih. "Apa p
Dada Albin bergemuruh hebat saat wajah tampan Kei mendekat dengan cepat ke arah wajahnya. Tubuhnya gemetar. Ia melihat semua seakan dalam gerakan lambat. Perlahan tapi pasti bibir Kei semakin dekat dengan wajahnya. Albin memalingkan wajah menghindari bibir Kei mendarat tepat di bibirnya. Kei terdiam melihat penolakan Albin. Ia menelan kembali hasratnya untuk mengecup bibir Albin yang terlihat sangat menggoda untuk dinikmati. "KEI!" tatap Albin nyalang penuh kemarahan kepada teman suaminya itu, "aku punya suami. Gak nyangka kamu tega begin!" seru Albin dengan kata-kata bergetar. Kei tersenyum tipis mendengar penuturan Albin, "Tapi Jovan sudah lepaskan kamu 'kan?" Albin melihat senyuman itu. Senyuman rumit yang seolah-olah merefleksikan perasaan dan pemikiran Kei. Sulit ditebak entah apa yang ada di benak Kei. Meski begitu, senyuman itu membuat Kei justru terlihat s
Adi bergegas menyusuri koridor dengan kaki tuanya. Suara tongkat beradu dengan lantai hampir serupa dengan suara heels seorang wanita saat menapaki lantai keramik. Seorang wanita muda seumuran Jovan berjalan di sisinya. Dia Ririn, pekerja Adi yang kemudian menjadi istrinya. Seseorang yang mampu menyembuhkan lukanya akibat dari perbuatan Jocelyn. "Aku tunggu di luar aja ya," kata Ririn dengan perasaan tak enak hati. Bukan ia tidak mau menjenguk Jovan, tapi dirinya dan Jovan tidak pernah satu kali pun bertegur sapa meskipun Jovan tidak pernah menyakitinya. Adi mengangguk paham. Mata tuanya mengekori sang istri duduk di kursi penunggu di depan pintu masuk ruang IGD. Ia juga melihat ada Roni dan Herman duduk di kursi itu. "Pak," sapa Roni berdiri, "mari saya antar ke dalam." Adi mengangguk, "Ada apa sebenarnya?" tanya Adi dengan napas berat.
Waktu berlalu. Perlahan tapi pasti detak jantung Jovan yang semula berpacu cepat karena dia merasa cemas kini mulai normal. Perasaan gelisah itu perlahan mulai memudar. Layar LED besar yang tertempel di dinding kamarnya menampilkan sepasang manusia yang saling berkecup mesra penuh cinta dan kemesraan. Jovan memperhatikan dengan saksama. Seulas senyuman manis tersemat di bibirnya. Ia ingat betapa manisnya rasanya saat dia melakukan hal itu dengan Albin. Pakaian sepasang manusia di layar itu terlepas satu persatu. Mereka terlihat begitu bergairah dan saling mencintai. Sayangnya di saat yang sama bayangan Jocelyn dan lelaki yang bersamanya muncul begitu saja. Terpicu adegan sepasang manusia yang tidak mengenakan pakaian. Jovan tetap menatap layar dengan tatapan hampa. Kesedihan kembali memagutnya sangat erat. Desahan nikmat terdengar dari film itu. D
Albin mem-packing barang-barang dengan lelehan air mata. Satu demi satu pakaiannya dimasukkan ke dalam koper dan tas besar. Sebenarnya dia sudah tahu perpisahan dengan Jovan pasti akan terjadi karena perjanjian mereka, tapi dia tidak menyangka akan secepat ini. Ia tidak tahu perpisahan akan sesakit ini. Andai ia tahu, tidak akan terucap kata-kata perpisahan dari bibirnya. Terlintas di pikirannya, Jovan memutuskan bercerai karena selama ini dia terus merongrong ingin berpisah saat mereka bertengkar. Semua barang-barangnya sudah tersimpan rapi. Ia meninggalkan gambar sketsa hasil karyanya menggambar Jovan. Dia membingkainya dengan frame kemudian ditempel di dinding. Albin berharap, saat melihat sketsa itu Jovan akan merindukan dirinya. Ia sudah siap untuk pergi. Tidak ada lagi yang tersisa, kecuali sisa kenangan dirinya dan juga Jovan di kamar itu. Kenangan itu melintas dan membayang dengan jelas secara nyat