Aku melepaskan sabuk pengaman yang sudah terpasang di tubuhku lalu mencondongkan tubuhku mendekati Albin, mendekatkan wajahku ke wajahnya.
Aku menyentuh bibirnya dengan ujung jemariku. Desiran darahku terasa semakin naik sampai ke ubun-ubun. Albin masih tertidur pulas. Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat berusaha menyingkirkan pikiran liar di dalam kepalaku, aku menelan air liur, hela napas Albin terasa hangat menyentuh wajahku.
Aku menyusupkan tangan ke belakang punggung Albin untuk mengambil tasnya yang tadi diletakkan Gina di belakangnya. Aku mengambil ponsel milik Albin, aku ingin mengirimkan pesan dari ponselnya ke ponselku agar aku tau nomornya, tapi ponsel Albin terkunci dengan pemindai sidik jari. Aku menghela napas panjang merasa sedikit kecewa, aku memasukan kembali ponselnya ke dalam tas. Aku mengambil dompetnya lalu mengeluarkan kartu Identitas miliknya, “Albin” hanya nama itu yang tertera di sana.
Perlahan aku menjalankan mobilku menuju rumah si White Queen, aku tertawa pelan saat muncul nama itu di benakku, si Ratu Putih dalam cerita Alice in Wonderland. Perlu waktu 45 menit untuk menempuh perjalanan ke rumah Albin di jalanan sepi seperti ini. Aku berhenti di sebuah rumah sederhana seperti yang digambarkan Gina sebelumnya, rumah nomor dua paling ujung di blok 4, itu pesan Gina. Dia tinggal dalam lingkungan perumahan yang cukup padat.
“Albin. Albin,” ucapku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Perlu usaha ekstra bagiku membangunkannya.
“Albin!” aku mengguncang tubuhnya lebih keras.
“Hum …” dia menggumam tanpa membuka mata.
“Ini rumahmu?” tanyaku. Albin tidak merespon. Aku menghela napas panjang, memang salahku memaksanya terus minum.
“Albin! Buka matamu! Ini rumahmu?” tanyaku lebih keras. Albin tetap tidak merespon. Aku kembali mengambil kartu identitasnya, mencocokkan alamat. Ok semua pas, pasti ini rumahnya. Aku mencari kunci rumah di dalam tasnya, kuharap ada di sana, jika tidak ada dengan terpaksa aku membawanya pulang ke rumah, itu artinya Albin dalam bahaya.
Aku membuka setiap kantung di tasnya, sykurlah aku menemukan kunci. Aku turun dari mobil lalu membuka pintunya, aku harap tidak ada yang melihat saat ini, aku takut ada warga yang salah paham sehingga aku harus menjelaskan kepada mereka. Aku menjelajahi rumah Albin, rumah sederhana dengan satu kamar tidur, tidak ada dapur, tapi ada meja kecil dekat pintu kamar mandi, ada kompor kecil di atasnya.
Aku membuka pintu kamar tidur, sebuah kasur terdapat di sana, aku segera mengangkat tubuh Albin dan membawanya ke kamar, melepaskan sepatunya lalu meletakkannya di sisi kasur. Aku harus segera pergi dari sini, takut ada warga yang melihat dan salah paham, aku takut Albin disangka membawa laki-laki ke rumah saat malam hari dan kami digerebek warga. Aku sering melihat di TV seperti itu, jika di rumahku atau di lingkunganku tidak masalah. Mungkin suatu hari aku akan mengajak Albin ke apartemenku? Aku segera buang jauh-jauh pikiran itu saat bayangan seseorang melintas di benakku. Aku segera pergi dan pulang ke rumah. Aku juga mengantuk dan sedikit pusing karena kandungan alkohol juga mengalir di dalam darahku.
~Masa sekarang, pukul 18:10~
Albin gelisah menunggu taxi online yang dia pesan, dia masih kesal dan sedikit bingung dengan apa yang terjadi malam tadi, perutnya masih terasa tidak nyaman. Dia merasa sangat kesal dan bodoh, lelaki yang diingatnya bernama Jo itu membohonginya. Dia berjanji memberikan uang begitu banyak, tapi uang itu tidak ada di manapun.
Albin segera masuk ke mobil jemputannya saat mobil itu tiba. Dia harus menaiki layanan taxi online karena sepeda motornya masih berada di Havana Club, karena dia diantarkan pulang.
Dalam perjalanan dia masih berusaha mengingat seperti apa wajah lelaki yang bernama Jo itu? Dia tidak bisa mengingatnya, hanya bayangan buram wajahnya saja yang ada di kepala Albin. Apa yang terjadi pun dia tidak mampu mengingatnya dengan baik, hanya ada satu momen yang terasa lekat, si Jo terus meletakkan lagi dan lagi uang berwarna hijau di atas bibir gelas.
“Aaaaahh!!!” Albin mendesah kasar penuh emosi sambil menendang-nendang bagian belakang kursi supir sekuat tenaga.
“Eeeeee! Kenapa Mbak?” si Sopir sangat terkejut mendengar Albin tiba-tiba berteriak sambil menendang-nendang kursi yang dia duduki. Tubuhnya beberapa kali memantul ke depan. Dia melihat ke spion yang menggantung di langit-langit mobil, dia memperhatikan Albin yang tiba-tiba terlihat menggila.
“Maaf Mas,” Albin tersipu malu, dia tersenyum aneh, dia baru tersadar apa yang dilakukannya.
“Saya pikir kerasukan tadi,” si Sopir mendelik sambil merengut.
Albin kembali tersenyum penuh penyesalan dan rasa bersalah, “Bego banget gue,” ucap Albin di dalam hati, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Albin menyandarkan kembali punggungnya, sambil melipat kakinya ke atas kursi, takut kembali lepas kendali jika mengingat si Jo. Si penipu tampan yang mengerjainya.
Albin turun dari mobil setelah membayar ongkos taxi, dia memasuki Havana Club lalu absen dengan memindai sidik jarinya, dia melapor ke bagian administrasi untuk memasukkan jam pulangnya bekerja tadi malam secara manual, dia tidak absen.
Albin menyimpan barang-barangnya ke locker, dia melihat Gina dan Rosi di sana, dia segera memasang wajah sedih saat melihat mereka.
“Gimana, Al? Ketemu duit lo?” tanya Gina saat melihat Albin mendekatinya dan Rosi.
“Gak ketemu. Gue kena tipu,” Albin mendesah kasar.
“Masa sih? Kayaknya baek gitu. Lo gak diapa-apain ‘kan?” Rosi memperhatikan Albin dengan seksama.
“Gak tau. Kayaknya sih gak, deh. Soalnya kalau diapa-apain kok gue di rumah, gak di hotel.” Albin menyandarkan kepalanya di dinding sambil memandangi langit-langit.
“Alah … Itu sih mau lo! Bangun-bangun di hotel sama cogan,” Gina tertawa sambil mendorong dahi Albin.
Albin tertawa gelak, “Ya gak lah. Apaan sih, cogan-cogan mulu dari tadi. Emang ganteng banget, ya?” ucap Albin dengan wajah bingung, dia berusaha mengingat kembali pelanggannya malam tadi, tetap buram.
“Makan tu cogan! Kena tipu ‘kan?” ucap Rosi mendelik kepada Albin.
“Eh ini juga ‘kan gara-gara kalian. Bukannya kalau mabuk parah dianterin pulang? Mungkin duit gue juga gak akan hilang.”
“Hemmm … makan tu duit!” Rosi menyapu wajah Albin dengan telapak tangannya.
“Kekepin sana kuat-kuat!” Gina juga melakukan hal yang sama, menggosok wajah Albin.
“Eh … bulu mata gue!” Albin berteriak histeris. Dia khawatir bulu mata palsunya terlepas. Gina dan Rosi tidak peduli, mereka meninggalkan Albin menuju meja bartender. Waktu sudah menunjukkan pukul 19:15. Mereka harus sudah berada di dalam Havana Club. Terkadang, ada saja pelanggan yang datang di jam begini meski tidak banyak, paling banyak di atas jam setengah sepuluh malam.
Albin mengejar kedua temannya lalu duduk di sisi mereka. Dia menuntut penjelasan dari kedua sahabatnya. Gina dan Rosi menjelaskan bagaimana dia begitu menempel tidak mau lepas, seperti cicak di dinding. Albin tertawa lepas, dia malu, tidak percaya kepada dirinya sendiri dan juga bingung, kenapa dia bisa melakukan hal itu. Setampan apakah si penipu yang bernama Jo hingga membuatnya bersikap bodoh seperti itu. Albin tersenyum, dia berharap si Jo akan datang lagi. Dia mau meminta kembali uang yang dijanjikannya.
Tidak lama kemudian mereka sibuk melayani pelanggan, menyapa pelanggan dari meja ke meja, bicara dengan ramah kepada mereka, menanyakan apa yang mereka butuhkan, minum satu atau dua sloki saat ditawarkan. Bertemu dengan macam-macam pelanggan, dari yang royal, ramah, sopan, pendiam, usil, pelit, hingga kurang ajar karena tiba-tiba menyusupkan tangan ke dalam rok mereka. Meski mereka marah, tapi mereka harus tetap tersenyum dan menolak dengan baik.
Albin mendesah kasar dan kecewa saat melihat ke arloji di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan jam 2 dini hari, “OK, si Jo yang konon katanya ganteng banget itu ternyata benar penipu,” ucap Albin di dalam hati. Albin mengangguk pelan sambil menarik napas dalam-dalam. Dia lupa seperti apa wajahnya, dia lupa mereka bicara apa, tapi dia ingat, dia merasa senang saat itu. Dia ingat mereka tertawa bahagia. Namun, alasan sebenarnya dia sangat berharap si Jo datang kembali, dia menginginkan uang yang sudah diberikan kepadanya.
Jovan memperhatikan presentasi dari direktur keuangan perusahaan. Mereka semua menatap ke LED screen besar di ruang meeting. Perusahaan kayu lapisnya semakin terancam karena kayu semakin sulit didapat. Bahkan mereka memiliki rencana mengurangi pegawai demi menyesuaikan keuangan perusahaan yang semakin sulit.Adi Jaya Sakti-ayahnya Jovan dan beberapa investor mendengarkan rapat dengan saksama. Tidak lama setelah itu Jovan memberikan presentasi untuk mengambil proyek pembukaan lahan yang akan dilakukan perusahan sawit, mereka bisa memberikan separuh harga untuk membuka lahan itu, tapi semua kayu yang ditebang menjadi milik PT. Adi Jaya Sakti. Para pemegang saham setuju dengan solusi itu. Rapat berlangsung lancar meski terja
~Jovan POV~Aku menyodorkan ponsel kepadaTasya, memintanya menggantikan ponselku besok. Tasya, dia seseorang yang sangat kupercaya. Dia bekerja bersama kami selama dua belas tahun. Bersamaku enam tahun dan bersama papa enam tahun.Ya, Tasya sebelumnya asisten papa kemudian papa menyerahkan kepadaku saat dia tidak aktif lagi bekerja.Tasya adalah seseorang yang jika diminta semua pekerjaan beres. Kadang dia sudah mengerjakannya sebelum kuminta. Seringkali saat aku mengatakan meminta sesuatu, ternyata sudah beres. Dia seperti bisa membaca pikiranku di masa depan.Dia adalah salah satu dari tiga asisten Papa. Salah satunya Papa Jadikan istri. Entah kenapa saat itu Papa mencari asisten muda, ada satu lagi asisten senior yang membimbing mereka sehingga mereka jadi sangat terampil.Tasya selalu berpenampilan sopan, bahkan bisa dibilang
Jovan menuruni tangga rumahnya sambil menenteng sebuah tas kerja di tangan. Dia mau menikmati sarapan pagi sebelum berangkat ke kantor pagi ini. Tubuhnya sebenarnya masih lelah karena baru kemarin sore tiba dari luar pulau meninjau lokasi lahan yang digarap perusahaannya.Namun, karena banyak hal yang harus dikerjakan dia tetap ke kantor hari ini.Ia bersenandung ringan sambil menapaki anak tangga. saat dia melihat lurus ke depan, di ruang makan sudah duduk lelaki tua yang sangat dikenalnya."Papa, sejak kapan datang?" Jovan menarik napas panjang melihat sang ayah sudah menunggunya."Baru aja, paling lima belas menitan," ucap Adi sambil tersenyum melihat putranya mendekat.Jovan menarik
Sekate-kate ini orang, “Ok Jo yang baik hati, kenapa Lo nipu gue?!”“Enak aja. Aku gak nipu kamu.”“Dasar tukang tipu! Gak ngaku lagi.”“Albin!” Jovan terhenyak. Harga dirinya terluka, “Gue bukan tukang tipu, ya! Lo gak sopan banget sih? Gue pelanggan di sini. Gue bisa adukan Lo bad attitude. Lo bisa dipecat!” Ia memalingkan wajahnya dengan kesal.Albin memajukan langkahnya hingga Jovan terpojok ke dinding “Gue gak butuh pelanggan tukang tipu kaya Lo!”“Club ini butuh pelanggan royal kaya gue!”“Royal apa-an? Sejak kapan orang royal ambil balik uangnya?” Albin mendengus kesal.&ldquo
Albin berjalan pelan bersama temannya keluar dari Havana klub. Mereka saling tertawa. Sesekali saling menggoda dan bercanda. Tawa mereka mengisi lorong parkiran sepeda motor khusus karyawan.Jovan bersandar pada pilar lorong parkiran. Dia tersenyum manis saat mendengar Albin dan teman-temannya menggosipkan para pelanggan mereka. Dari yang menyebalkan sampai yang baik hati.
Jovan menyusuri jalanan kota menuju rumah Albin. Dia sengaja pulang kerja lebih cepat dari biasanya hari ini. Butuh waktu 90 menit dari kantornya menuju rumah Albin. Jovan tersenyum sambil bersenandung riang mengikuti lagu yang diputarnya melalui music player.Ia mengingat kembali senyuman Albin, kemudian berganti saat wajah gadis itu merengut. Dia sendiri tidak mengerti kenapa suka menjahilinya. Mungkin hidupnya terlalu serius. Jovan juga tidak punya saudara sehingga keinginan bercanda dan menjahilinya tidak pernah tersalurkan. Sepertinya karena itulah dia menjahili Albin.Menjahili pekerjanya di kantor? Tentu saja tidak mungkin, hal itu akan merusak image-nya sebagai pemimpin.Dia tertawa saat mengingat mata Albin berkaca-kaca memakan makanan begitu banyak di atas meja malam tadi. Jovan merasa nyaman saat bersama Albin. Dia merasa senang saat mempermainkann
Jovan menarik pergelangan tangan Albin menuju mobil. Albin berjalan mengukuti langkah kaki Jovan, sementara pikirannya berlarian kesana kemari. Aksi heroik Jovan barusan membuatnya terdiam tak bisa berkata-kata.“Albin, makan, yuk. Lapar nih. Kali ini kamu yang traktir, ya. Beneran kali ini.” Jovan terus melangkah cepat di depan membelah kerumunan manusia.“Albin?” Jovan memalingkan wajahnya melihat ke Albin, “kamu gak mau? Kok diam? Pelit amat, sih!” Jovan menghentikan langkahnya.Jovan merangkul pundak Albin, “Kamu kenapa?” tanya-nya sambil menatap dalam wajah Albin.“Hum..um. Gak papa. Kamu?” tanya Albin gugup. Ritme debaran jantungnya semakin berpacu cepat.“Kan’ kamu liat sendiri aku g
“AAAHHH!” Jovan dan Albin mendesah keras bersama. Albin dan Jovan sama-sama menjauhkan tubuh mereka dan secara bersamaan pula menyentuh bibir mereka masing-masing. Albin menatap Jovan penuh murka. Bibir dalamnya terasa sangat sakit dan membengkak karena terbentur gigi seri dengan keras. Giginya juga terasa sakit karena merespon benturan. “Apa-apan sih?” Albin berang. Jovan menyapu bibirnya sendiri yang juga terasa sakit. Dia maju beberapa langkah mendekati Albin, “Maaf aku gak sengaja. Abisnya kamu mau pergi gitu aja. Aku udah nungguin dari tadi,” ucap Jovan menyentuh perlahan bibir Albin yang terlihat sedikit membengkak. “Masih sakit?” tanya Jovan sambil menatap lekat mata Albin. Dia menyapu bibir Albin dengan ujung jemarinya. Albin terdiam. Dia merasa gugup dan tenggorokannya tiba-tiba tercekat. Ia menelan ludah dengan susah payah. Napas
*Komentar tiap paragraf, ya. Kalau komentar dan riview kalian yahud ... nanti ada ektra part. Hahaha. Jangan lupa kasih riview ... jika yang kasih riview mencukupi 20 orang, aku kasih ektra part hari sabtu minggu nanti. Kenapa sabtu atau Minggu? Pas hari itu aku libur kerja. Jadi maafkan author yang nulis di sela kesibukan inih* BAB INI MENGANDUNG UNSUR PERCINTAN YANG EKPLISIT DAN MENDETIL. SILAHKAN SKIP KALAU KELIAN MERASA TIDAK NYAMAN* *** Jovan pergi ke toilet mencuci tangan dan membasuh celananya yang basah karena masih terdapat sisa-sisa cairan dirinya di sana. Menari di dalam benaknya apa yang baru saja terjadi di ruangan Gloria tadi. Semua benar-benar tampak nyata. Albin mengenakan lingerie cokelat keemasan, panjangnya menutup hingga sedikit di bawah bokong. Renda transparan di bagian dada, memperlihatkan separuh gunungan indah mempesona. Tatapan mata Albin yang sayu menggoda dirinya untuk
Jovan memandangi gedung-gedung tinggi di sisi jalanan sambil menyandarkan kepala di sandaran kursi mobil dengan tatapan hampa. Beberapa kali desah napas berat terdengar keluar dari mulutnya. Pikirannya melayang jauh memikirkan Albin. Akhir-akhir ini Ia merasa kebingungan. Menurutnya, kemungkinan dirinya sudah sembuh, tapi dia merasa takut untuk membuktikannya. Seringkali pikiran untuk membuktikan dirinya sudah sembuh atau belum, muncul di kepalanya. Namun, untuk mencoba kembali menonton video seperti saat itu, dia takut. Ia tidak yakin kalau dirinya akan baik-baik saja. Seringkali ia membayangkan hal-hal romantis dan indah bersama Albin, hal yang sebelumnya tidak pernah berani ia lakukan bahkan hanya dengan sekedar memikirkannya saja. Menurut pemikiran Jovan, mungkin itu indikasi bahwa dirinya sudah siap. Namun, ia sangat ragu. Bukankah saat itu mereka hampir saja bisa melakukannya, tapi gagal?
Jovan terdiam beberapa saat. Sungguh ia sangat ingin bertemu Albin, tetapi ia merasa belum siap. Ia takut jika mendengar Albin kembali bicara meminta kepastian agar dia bisa melakukan apa saja. Tentu saja Jovan paham apa maksud dari kalimat "apa saja" yang dikatakan Albin. Ia sanggup melepaskan Albin meski ia tak ingin, tapi jika memang Albin menginginkannya ia tidak bisa memaksa 'kan? Jovan benar-benar melepaskannya saat Albin terakhir kali mengirimkan pesan yang membuat dirinya merasa tidak berguna, tidak berharga dan tidak layak untuk hidup. Ia yakin, jika dia mendengar kata-kata itu lagi ia tidak akan pernah bisa bangkit lagi. Kata-kata itu sangat menyakiti dirinya. Seakan dikatakan dengan jelas, kalau kamu tidak mampu, aku cari lelaki lain. Belum lagi Jovan sangat takut diselingkuhi, takut ditinggakan lalu terpuruk dalam kesendirian. Karena itu ia melepaskan Albin, tapi Albin menolak untuk berpisah dan m
Jovan tersenyum memandangi pantulan bayangan dirinya di cermin. Ia merasa bahagia. Sudah sebulan terakhir dia sudah tidak lagi meminum obat. Ia dengan rutin mendatangi Felicia sekali dalam seminggu dan saat ini sudah berjalan selama tiga bulan. Perlu waktu bagi Jovan untuk benar-benar pulih. Felicia dan Adi terus membantu dirinya bangkit dan terus berusaha membangun kepercayaan dirinya kembali. Perlahan obat yang biasanya diminum dua kali sehari diturunkan sekali sehari. Beberapa waktu kemudian, terkadang Jovan lupa, kadang dia malas, dan dia baik-baik saja. Tidak lagi merasa cemas berlebihan walaupun tidak meminum obatnya. Setelah itu dia jadi tahu bahwa dirinya baik-baik saja tanpa obat. Ia tahu bahwa dirinya sudah bisa lepas obat. Wajah tampannya kini bersinar seperti sedia kala. Sinar matanya tidak lagi redup penuh kesedihan. Saat ini ia hanya meminum vitamin untuk otaknya karena setelah
"10. Aku akan menghadapi apa pun resikonya," ucap Jovan dengan nada bicara penuh percaya diri. Ia mengangkat wajah melihat dalam ke arah Felicia. "Yakin? Barusan kamu bilang hanya mau mencoba? Mencoba untuk tau lalu mundur? Kenapa? Apa pentingnya kamu sembuh tanpa obat?" Felicia menyandarkan punggung di sandaran kursi sambil meneliti Jovan lebih dalam. "Aku mau bersama Albin," kata Jovan lirih. Ia menurunkan pandangan ke meja. Ia mencoba menyembunyikan kesedihan. Senyuman Albin tiba-tiba membayang di kedua matanya. "Lalu mau apa kalau bersama Albin? 'Kan sekarang sudah bersama? Memangnya apa yang kamu anggap penting saat bersama Albin?" "Menjadi lelaki seutuhnya." Mata Jovan berkaca-kaca, "dia terus membicarakan mau mencari lelaki lain. Aku tau maksudnya, dia menyindirku karena tidak juga menyentuhnya." Air muka Jovan terlihat sangat sedih. "Apa p
Dada Albin bergemuruh hebat saat wajah tampan Kei mendekat dengan cepat ke arah wajahnya. Tubuhnya gemetar. Ia melihat semua seakan dalam gerakan lambat. Perlahan tapi pasti bibir Kei semakin dekat dengan wajahnya. Albin memalingkan wajah menghindari bibir Kei mendarat tepat di bibirnya. Kei terdiam melihat penolakan Albin. Ia menelan kembali hasratnya untuk mengecup bibir Albin yang terlihat sangat menggoda untuk dinikmati. "KEI!" tatap Albin nyalang penuh kemarahan kepada teman suaminya itu, "aku punya suami. Gak nyangka kamu tega begin!" seru Albin dengan kata-kata bergetar. Kei tersenyum tipis mendengar penuturan Albin, "Tapi Jovan sudah lepaskan kamu 'kan?" Albin melihat senyuman itu. Senyuman rumit yang seolah-olah merefleksikan perasaan dan pemikiran Kei. Sulit ditebak entah apa yang ada di benak Kei. Meski begitu, senyuman itu membuat Kei justru terlihat s
Adi bergegas menyusuri koridor dengan kaki tuanya. Suara tongkat beradu dengan lantai hampir serupa dengan suara heels seorang wanita saat menapaki lantai keramik. Seorang wanita muda seumuran Jovan berjalan di sisinya. Dia Ririn, pekerja Adi yang kemudian menjadi istrinya. Seseorang yang mampu menyembuhkan lukanya akibat dari perbuatan Jocelyn. "Aku tunggu di luar aja ya," kata Ririn dengan perasaan tak enak hati. Bukan ia tidak mau menjenguk Jovan, tapi dirinya dan Jovan tidak pernah satu kali pun bertegur sapa meskipun Jovan tidak pernah menyakitinya. Adi mengangguk paham. Mata tuanya mengekori sang istri duduk di kursi penunggu di depan pintu masuk ruang IGD. Ia juga melihat ada Roni dan Herman duduk di kursi itu. "Pak," sapa Roni berdiri, "mari saya antar ke dalam." Adi mengangguk, "Ada apa sebenarnya?" tanya Adi dengan napas berat.
Waktu berlalu. Perlahan tapi pasti detak jantung Jovan yang semula berpacu cepat karena dia merasa cemas kini mulai normal. Perasaan gelisah itu perlahan mulai memudar. Layar LED besar yang tertempel di dinding kamarnya menampilkan sepasang manusia yang saling berkecup mesra penuh cinta dan kemesraan. Jovan memperhatikan dengan saksama. Seulas senyuman manis tersemat di bibirnya. Ia ingat betapa manisnya rasanya saat dia melakukan hal itu dengan Albin. Pakaian sepasang manusia di layar itu terlepas satu persatu. Mereka terlihat begitu bergairah dan saling mencintai. Sayangnya di saat yang sama bayangan Jocelyn dan lelaki yang bersamanya muncul begitu saja. Terpicu adegan sepasang manusia yang tidak mengenakan pakaian. Jovan tetap menatap layar dengan tatapan hampa. Kesedihan kembali memagutnya sangat erat. Desahan nikmat terdengar dari film itu. D
Albin mem-packing barang-barang dengan lelehan air mata. Satu demi satu pakaiannya dimasukkan ke dalam koper dan tas besar. Sebenarnya dia sudah tahu perpisahan dengan Jovan pasti akan terjadi karena perjanjian mereka, tapi dia tidak menyangka akan secepat ini. Ia tidak tahu perpisahan akan sesakit ini. Andai ia tahu, tidak akan terucap kata-kata perpisahan dari bibirnya. Terlintas di pikirannya, Jovan memutuskan bercerai karena selama ini dia terus merongrong ingin berpisah saat mereka bertengkar. Semua barang-barangnya sudah tersimpan rapi. Ia meninggalkan gambar sketsa hasil karyanya menggambar Jovan. Dia membingkainya dengan frame kemudian ditempel di dinding. Albin berharap, saat melihat sketsa itu Jovan akan merindukan dirinya. Ia sudah siap untuk pergi. Tidak ada lagi yang tersisa, kecuali sisa kenangan dirinya dan juga Jovan di kamar itu. Kenangan itu melintas dan membayang dengan jelas secara nyat