Jovan menuruni tangga rumahnya sambil menenteng sebuah tas kerja di tangan. Dia mau menikmati sarapan pagi sebelum berangkat ke kantor pagi ini. Tubuhnya sebenarnya masih lelah karena baru kemarin sore tiba dari luar pulau meninjau lokasi lahan yang digarap perusahaannya.Namun, karena banyak hal yang harus dikerjakan dia tetap ke kantor hari ini.
Ia bersenandung ringan sambil menapaki anak tangga. saat dia melihat lurus ke depan, di ruang makan sudah duduk lelaki tua yang sangat dikenalnya.
"Papa, sejak kapan datang?" Jovan menarik napas panjang melihat sang ayah sudah menunggunya.
"Baru aja, paling lima belas menitan," ucap Adi sambil tersenyum melihat putranya mendekat.
Jovan menarik kursi lalu duduk di atasnya. Dia mengetuk meja beberapa kali dengan pelan. Memastikan meja yang baru dibelinya itu kuat dan tidak rusak jika ayahnya kembali kalap dan membanting meja.
Ia menyesap tehnya sambil melirik kepada Ayahnya, Jovan merasa tidak nyaman saat dipandangi Adi begitu rupa, "Kenapa, Pa?"
"Gak ada apa-apa."
"Dia sudah punya calon suami."
“Dia siapa?"
"Hemmm … pura-pura," seloroh Jovan tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala, "Papa kemarin telpon malam-malam suruh cari istri dengan benar itu apa maksudnya? Suruh aku sama si Tasya 'kan?"
"Kamu sudah tanya dia?"
"Sudah, dia sudah punya calon."
"Sayang sekali, dia sepertinya calon istri yang baik." Adi menyantap bubur oat yang sudah terhidang di meja.
Jovan menghela napas kasar karena kesal. Meski begitu dia berusaha menekan segala perasaan kemudian membicarakan masalah bisnis bersama sang ayah.
Setelah satu jam ia pamit ke kantor. Waktu sudah menunjukkan jam 8 pagi, Adi-ayahnya-Jovan pulang ke rumahnya yang baru.
Jovan memasuki mobil diantar sopir menuju kantornya. Ia memasang earphone bluetooth di telinga lalu memperhatikan tablet-nya. Dia memeriksa pekerjaan sambil membuat panggilan telepon kepada beberapa orang. Perjalanan 90 menit itu tidak terasa baginya karena dia sambil bekerja.
Seorang security membukakan pintu mobil Jovan. Dia melangkah keluar mobil lalu memasuki lobi kantor. Saat melewati pintu utama yang terbuat dari kaca bening dan tebal ia mengangguk pelan sambil tersenyum melihat Tasya berdiri di sisi pintu sebelah kanan.
Jovan terus melangkah maju sementara Tasya berjalan di belakangnya berjarak dua langkah.
"Bacakan," perintah Jovan.
Tasya menarik napas panjang, "Jam 10 rapat kinerja dengan dewan direksi. Jam 12 makan siang bersama dengan CEO Sinar Wijaya. Jam 2 main golf bersama para pemegang saham. Jam 9 malam bertemu Albin."
"Albin … “ Jovan menghentikan langkahnya secara tiba-tiba.
"Ya, Pak. Bapak yang minta diaturkan jadwal ketemu Albin hari ini."
"Ya aku yang minta. Pesankan meja VIP di Havana Club."
"Baik, Pak," ucap Tasya mengangguk paham. Mereka berjalan beriringan menuju ruangan kerja Jovan.
***
Jovan memperhatikan layar komputernya dengan saksama, keningnya mengkerut, terlihat jelas dia sedang berpikir keras. Sesekali dia menggelengkan kepala sambil berdecak kesal.
Terdengar bunyi telepon memecah kesunyian ruangan Jovan. Dia mengangkatnya.
"Pak, sudah jam 8, Bapak ada pertemuan dengan Albin di Havana.” Tasya mengingatkan dari ujung telepon.
Jovan melihat ke arloji di pergelangan tangan, waktu memang sudah menunjukkan jam 8 malam, "Ok, terima kasih, Tasya."
Tasya sedikit terkejut, Jovan tidak pernah mengucapkan kata terima kasih sebelumnya hanya karena dia mengingatkan agenda acara harian yang harus dikerjakannya.
"Sama-sama, Pak. Kita pergi sekarang?"
"Lo gak ikut. Pulang aja." Jovan berdiri dari kursi.
"Baik, Pak. Selamat malam." Tasya bersorak di dalam hati. Biasanya dia selalu ikut Jovan ke mana pun dia pergi. Tasya yakin, kali ini pasti bukan masalah pekerjaan.
***
Jovan POV
Aku menuju Havana diantarkan sopir. Saat memasuki area parkiran dadaku berdebar tak beraturan. Sudah lewat sebulan yang lalu aku bertemu dengannya. Aku lupa karena saking padatnya pekerjaan. Aaaah, entah apa yang dia pikirkan tentang aku.
Sesampainya di Havana aku meminta sopirku agar pulang naik taxi online setelah memintanya memarkir mobil di basement. Kulangkahkan kaki menuju lift, terbayang dalam ingatanku mengejarnya malam itu. Aku tersenyum teringat bagaimana cara dia tersenyum.
Kumasuki pintu Havana setelah membayar tiket. Segera saja aku disambut musik yang keras dan menghentak. Seorang wanita mendekatiku, aku sudah bisa membaca namanya dari jauh, nama yang menyala dalam gelap, “Dhea”, dia seseorang yang belum kukenal. Baguslah.
“Selamat malam, saya Dhea.” Wanita itu menyurungkan tangan sambil tersenyum manis.
“Selamat malam.” Aku menyambut uluran tangannya.
“Sudah aja meja?” tanya Dhea.
“Sudah.”
“Atas nama siapa?”
“Jovan.”
“Baik, silahkan tunggu, saya cek dulu,” ucap Dhea sambil tersenyum. Dia melangkah keluar. Sepertinya dia menuju meja loket. Entahlah, aku cuma menebak-nebak. Pintunya tertutup saat dia keluar.
Tidak lama kemudian dia kembali dan berjalan ke arahku, “Mas tadi beli tiket?”
“Iya.”
“Sini tiketnya, saya minta uangnya balik. Harusnya Mas gak perlu beli tiket. ‘Kan sudah pesan meja.” Dhea pergi keluar lalu datang lagi dan memberikan sejumlah uang kepadaku.
“Mari, Mas, room 107.” Dhea membuka tangan.
Kami melangkah ke sayap kiri club. Berjejer meja dan kursi yang hanya disekat separuhnya agar bisa melihat penampilan para pemain band di atas panggung.
Aku berjalan di belakang Dhea. Dadaku berdebar lebih cepat saat dari tempatku berjalan, aku melihat seorang gadis berambut putih. Dia benar-benar terlihat berbeda dan bersinar di antara teman-temannya. Kulit dan rambutnya sangat kontras dengan keremangan cahaya di dalam sini. Dia seperti setitik cahaya terang dalam kegelapan.
Sampai juga langkah kakiku mendekati mejanya. Dia sedang asik tertawa dan tersenyum bersama dua orang lelaki. Aku menahan napas, sesaat jantungku berdebar lebih cepat. Sial! perasaan apa ini? Saat aku rapat dengan calon investor pun rasanya tidak seperti ini.
Aku menatapnya dalam-dalam, di saat yang sama Albin mengarahkan pandangannya kepadaku.
Aku menelan ludah gugup. Dia tersenyum lebar, cantiiiik sekali. Aku tersenyum lebih lebar. Dia berdiri. Aku mempercepat langkah saat melihat dia berdiri menyambutku.
“Heeeiiii,” serunya riang.
Dia merangkul.
Sayangnya bukan aku. Dia merangkul Dhea.
Ughh…! Ternyata dia menyapa temannya, bukan aku. Bahkan dia tak melihat ke arahku sedikit pun. Aku berjalan melewati mereka berdua yang saling merangkul dan saling berbisik, “Aku cari sendiri,” ucapku kepada Dhea.
“Jangan.”
“Gak papa.” Aku meninggalkannya menjauh.
Sekilas aku sempat memperhatikan tempat Albin duduk. Di depannya tidak ada gelas. Sepertinya Albin tidak menemani mereka minum.
Room 107 ‘kan tadi dia bilang? Aku sedikit ragu. Sepertinya iya, 107. Aku segera masuk dan duduk . Aku memilih duduk di sofa yang bisa melihat langsung ke arah Albin duduk.
Aku melihat Albin dan Dhea duduk kembali di meja itu, mereka asik berbincang. Tidak lama seorang wanita masuk ke dalam room-ku, “Gina” aku membaca namanya.
“Selamat malam, sudah pesan minum?” tanya Gina sambil tersenyum menyurungkan tangan.
“Belum. Aku lagi nunggu teman,” sahutku sambil menjabat tangannya. Dia memandangiku lekat-lekat. Sepertinya dia berusaha mengenaliku dalam minimnya pencahayaan. Aku tersenyum tipis, apa dia mengingatku?
“Dengan, Mas siapa?” tanyanya kepadaku.
“Albin masuk hari ini?” Aku mengalihkan perhatiannya.
“Oh temennya Albin?”
“Hemm...hem,” aku mengangguk,” dia masuk kerja hari ini?”
“Ya, dia masuk. Mau saya panggilkan?’
“Ya tolong.”
“Mau pesan minum dulu sambil menunggu Albin?” Gina menawarkanku. Aku ingat mereka harus mengeluarkan minuman sebanyak-banyaknya ‘kan? Jadi wajar saja Gina berusaha menawariku.
“Martini dua.”
“OK.” Gina menyalakan pemantik tinggi-tinggi. Hanya dalam hitungan menit seorang waiter memasuki room--ku. Gina mengatakan pesananku di samping telinga waiter itu.
“Saya panggilkan Albin,” ucap Gina di telingaku.
“Ok,” jawabku sambil mengangguk pelan.
Gina keluar dari room-ku dan tepat di saat yang sama Albin berdiri dari mejanya. Dia berjalan dari satu meja ke meja lain menyapa pelanggan. Aku segera mengejar Gina lalu menarik tangannya dengan kuat.
“Gina, gak usah.”
“Ya? Gak usah? Apa yang gak usah?” Gina menatapku heran.
“Albin, gak usah panggil dia.”
“Mas mau Viar lain?”
“Gak, aku nunggu teman. Nanti gampang ‘lah kalau mau panggil”
“Oh, Ok.” Gina mengangguk paham. Aku mengangguk kepadanya sambil tersenyum.
Aku kembali ke room-ku memperhatikan Albin dari kejauhan. Dia cantik. Senyuman selalu mengembang dari bibirnya. Sesekali Albin tertawa gelak. Tidak lama kemudian dia menyalakan pemantik, seorang waiter mendekat. Dia pasti memintakan pesanan mereka.
Albin pasti berkeliling menyapa semua pelanggan dan dia pasti sampai ke mejaku jika tidak ada viar-nya.
Setelah waiter itu pergi dia kembali berbincang dengan mereka. Aaaaaah aku iri melihat keceriaan yang dibawakan Albin untuk mereka. Para lelaki itu tertawa gelak sambil memandanginya, aku tau arti pandangan itu, mereka menyukainya.
Tidak lama kemudian Albin menadahkan tangan. Seorang lelaki merogoh saku untuk mengambil dompet. Dia meletakkan sesuatu ke tangan Albin.
Aku tertawa pelan melihatnya, “Albin … Albin, kamu memang suka uang ternyata.”
Tapi … siapa yang tidak suka? Aku juga suka. Aku tertawa bersamaan dengan Abin saat di tersenyum senang melihat uang itu. Albin mengucapkan terima kasih dengan wajah berbinar. Aku bisa membaca bibirnya saat mengucapkan itu. Dia memasukkan uang itu ke dalam saku.
Albin kembali melangkah, dia berjalan ke arahku. Setiap langkahnya membuat jantungku berdebar lebih kencang. Dia semakin dekat dan aku semakin gugup.
Kuambil minumanku, memaksa cairan itu masuk melewati tenggorokan. Aku berusaha meminumnya hingga habis.
“Hai … selamat malam.” Albin bicara suara yang nyaring.
Uhuk...uhuk…!!!
Aku memukul dada berkali-kali.
Aku tersedak!
Aroma dan rasa alkohol terasa menyengat menyerang tenggorokan dan kepalaku. Aku terlalu gugup dan panik. Ini reaksi yang aneh. Baru pertama kali aku merasakan hal ini di dalam hidupku.
Albin berlari ke arahku. Dia segera membuka tutup air mineral yang tersedia di meja lalu memberikannya kepadaku.
Hidungku basah. Minuman itu keluar dari tenggorokan lalu melewati saluran hidung saat aku tersedak. Aku mengambil air yang diberikan Albin untuk menghilangkan rasa alkohol yang terasa sangat sengak di tenggorokan. Beberapa saat kemudian aku membaik.
“Gak papa?” tanya Albin kepadaku. Iris birunya menatapku sangat dalam.
“Udah gak papa,” ucapku sambil mengangguk lemah.
“Maaf, ya. Pasti karena kaget denger suara saya, ya Mas?”
“Enggak kok, emang suara kamu kenapa?”
“Teman-teman saya bilang kaya’ kambing kejepit,” ucap Albin menatapku dengan wajah yang terlihat lucu.
Sumpah! Tawaku hampir saja lepas tak terkendali, tapi melihat wajah cemasnya aku jadi kasihan. Menertawakannya padahal dia khawatir kepadaku. Aku ragu dia masih menunjukkan wajah itu jika dia tau siapa aku.
“Enggak kok, pasti telinga teman kamu yang konslet.”
“Ah … Mas bisa aja.” Dia tersenyum manis sekali, “Albin,” katanya sambil menyurungkan tangan.
“Udah tau,” ucapku sekenanya.
“Heh? Kok tau?”
“Ini,” aku menunjuk namanya, “aku sudah pernah ke sini. Jovan,” aku menyambut uluran tangannya.
“Jo … siapa?” mata Albin membulat.
“Jovan,” ulangku.
Albin mengambil pemantik di saku blazer-nya, dia menyalakan senter yang terdapat di pemantik itu lalu mengarahkannya ke wajahku.
“Albin! Apa-an ‘sih? Silau tau!” aku menutupi mata menggunakan tangan. Albin memandangiku lekat-lekat. Keningnya mengkerut.
“Maaf, saya kira Mas Jo yang lain.”
“Aku memang Jo yang itu.”
“A-apa?” Albin terkejut.
“Iya, aku Jo yang itu. Jo yang baik hati yang sudah mengantarkanmu pulang sebulan yang lalu.”
~Albin POV~
Apa?! Dia bilang apa?! Jo yang baik hati? Kutu kupret ini bilang apa?! Dasar kampret tukang tipu!
Aaarrrggghhh! betapa inginnya aku mengatakan semua sumpah serapah di hatiku. Sayang, aku masih mau terima gaji. Aku kalem …. aku harus kalem. Tarik napas dalam dulu.
Ufff….
Tarik napas … buang napas … tarik napas ... buang napas ….. kalau bisa, aku mau buang sial sekalian.
Aku kalem. Aku gak boleh bar-bar meski kerjanya di bar.
“Ok, Mas Jo yang baik hati dan tidak sombong, kok bohongin saya?” Aku menekan suaraku sebisa mungkin agar tidak terdengar seperti singa yang mengamuk.
“Jangan panggil Mas,” dia menatap wajahku lekat
sekate-kate ini orang, “Ok Jo yang baik hati kenapa lo nipu gue?!”
Sekate-kate ini orang, “Ok Jo yang baik hati, kenapa Lo nipu gue?!”“Enak aja. Aku gak nipu kamu.”“Dasar tukang tipu! Gak ngaku lagi.”“Albin!” Jovan terhenyak. Harga dirinya terluka, “Gue bukan tukang tipu, ya! Lo gak sopan banget sih? Gue pelanggan di sini. Gue bisa adukan Lo bad attitude. Lo bisa dipecat!” Ia memalingkan wajahnya dengan kesal.Albin memajukan langkahnya hingga Jovan terpojok ke dinding “Gue gak butuh pelanggan tukang tipu kaya Lo!”“Club ini butuh pelanggan royal kaya gue!”“Royal apa-an? Sejak kapan orang royal ambil balik uangnya?” Albin mendengus kesal.&ldquo
Albin berjalan pelan bersama temannya keluar dari Havana klub. Mereka saling tertawa. Sesekali saling menggoda dan bercanda. Tawa mereka mengisi lorong parkiran sepeda motor khusus karyawan.Jovan bersandar pada pilar lorong parkiran. Dia tersenyum manis saat mendengar Albin dan teman-temannya menggosipkan para pelanggan mereka. Dari yang menyebalkan sampai yang baik hati.
Jovan menyusuri jalanan kota menuju rumah Albin. Dia sengaja pulang kerja lebih cepat dari biasanya hari ini. Butuh waktu 90 menit dari kantornya menuju rumah Albin. Jovan tersenyum sambil bersenandung riang mengikuti lagu yang diputarnya melalui music player.Ia mengingat kembali senyuman Albin, kemudian berganti saat wajah gadis itu merengut. Dia sendiri tidak mengerti kenapa suka menjahilinya. Mungkin hidupnya terlalu serius. Jovan juga tidak punya saudara sehingga keinginan bercanda dan menjahilinya tidak pernah tersalurkan. Sepertinya karena itulah dia menjahili Albin.Menjahili pekerjanya di kantor? Tentu saja tidak mungkin, hal itu akan merusak image-nya sebagai pemimpin.Dia tertawa saat mengingat mata Albin berkaca-kaca memakan makanan begitu banyak di atas meja malam tadi. Jovan merasa nyaman saat bersama Albin. Dia merasa senang saat mempermainkann
Jovan menarik pergelangan tangan Albin menuju mobil. Albin berjalan mengukuti langkah kaki Jovan, sementara pikirannya berlarian kesana kemari. Aksi heroik Jovan barusan membuatnya terdiam tak bisa berkata-kata.“Albin, makan, yuk. Lapar nih. Kali ini kamu yang traktir, ya. Beneran kali ini.” Jovan terus melangkah cepat di depan membelah kerumunan manusia.“Albin?” Jovan memalingkan wajahnya melihat ke Albin, “kamu gak mau? Kok diam? Pelit amat, sih!” Jovan menghentikan langkahnya.Jovan merangkul pundak Albin, “Kamu kenapa?” tanya-nya sambil menatap dalam wajah Albin.“Hum..um. Gak papa. Kamu?” tanya Albin gugup. Ritme debaran jantungnya semakin berpacu cepat.“Kan’ kamu liat sendiri aku g
“AAAHHH!” Jovan dan Albin mendesah keras bersama. Albin dan Jovan sama-sama menjauhkan tubuh mereka dan secara bersamaan pula menyentuh bibir mereka masing-masing. Albin menatap Jovan penuh murka. Bibir dalamnya terasa sangat sakit dan membengkak karena terbentur gigi seri dengan keras. Giginya juga terasa sakit karena merespon benturan. “Apa-apan sih?” Albin berang. Jovan menyapu bibirnya sendiri yang juga terasa sakit. Dia maju beberapa langkah mendekati Albin, “Maaf aku gak sengaja. Abisnya kamu mau pergi gitu aja. Aku udah nungguin dari tadi,” ucap Jovan menyentuh perlahan bibir Albin yang terlihat sedikit membengkak. “Masih sakit?” tanya Jovan sambil menatap lekat mata Albin. Dia menyapu bibir Albin dengan ujung jemarinya. Albin terdiam. Dia merasa gugup dan tenggorokannya tiba-tiba tercekat. Ia menelan ludah dengan susah payah. Napas
Albin keluar daricafe, terus berjalan keluar tanpa memalingkan wajahnya untuk menoleh ke belakang. Air mata membasahi kedua pipinya. Dia menyapunya dengan kasar menggunakan lengan. Albin duduk di taman kecil yang terdapat di halamancafe. Dia mengambil ponsel lalu memesan ojekonline. Layar ponselnya basah terkena tetesan air mata. Setelahnya dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Albin terisak kuat, dia menangkupkan kedua tangannya ke wajah. “Aku cinta kamu, Jo. Aku cinta kamu,” ucap Albin lirih di sela isak tangisnya. Albin merasa begitu hancur. Dia berharap Jovan tadi mengatakan cinta kepadanya, karena itu mengajaknya menikah. “Sudahlah!” Albin menyapu air matanya. Albin mengangkat dagunya lalu menegakkan kepalanya. “Hidup gue baik-baik aja kok sebelum
ma kamu. Keselamatan kamu terjamin. Mau nikah sama aku?” Albin menundukkan wajah sambil memainkan kuku-kuku jarinya. Dia memejamkan matanya rapat-rapat sambil menarik napas panjang. “Jo, mereka mereka bilang darah Albino berharga mahal. Apa maksudnya? Kenapa mereka maksa aku? Apa salahku? Bukan salahku ‘kan, aku Albino? Andai bisa, aku juga gak mau. Bahkan orang tuaku aja gak mau aku ada.” Albin terisak. “Nooo,” Jovan menggelengkan kepalanya, “gak usah denger mereka. Mereka itu penjahat, Al. Mungkin aja mereka terlibat sindikat perdangangan manusia. Banyak orang-orang seperti itu. Kadang-kadang korban mereka para asisten rumah tangga yang polos dan gak ngerti apa-apa. Udahlah...gak udah dipikirin.” “Aku mau tau kenapa aku dibuang. Apa salahku?” Albin terisak. Tubuhnya terguncang. “Albin, kamu mau cari
Jovan memarkir mobil di depan rumah Albin. Hari ini adalah hari yang dijanjikan dan disepakati bersama antara dirinya dan sang ayah. Dia akan membawa wanita pilihannya untuk dijadikan istri. Rasa gugup memagut erat perasaan Jovan mengingat sikap Albin yang terkadang semaunya. Ia takut gadis itu akan bersikap sama kepada ayahnya. Namun, sepertinya Albin bisa menjaga sikap saat bersama orang lain. Pikiran itu sedikit menghalau kekhawatirannya. Jovan menurunkan kaca mobil lalu tersenyum sambil melambaikan tangan kepada Albin saat melihat gadis itu keluar dari pintu rumah. Perasaannya menghangat ketika melihat Albin tersenyum sambil menganggukan kepala. Jovan tidak tahu kenapa saat melihat Albin dia selalu rasa senang. Saat bersama gadis itu dia merasa nyaman. Albin seperti medan magnet mahadahsyat yang selalu menarik dirinya untuk mendekat. “Udah siap?” tanya Jovan saat bo
*Komentar tiap paragraf, ya. Kalau komentar dan riview kalian yahud ... nanti ada ektra part. Hahaha. Jangan lupa kasih riview ... jika yang kasih riview mencukupi 20 orang, aku kasih ektra part hari sabtu minggu nanti. Kenapa sabtu atau Minggu? Pas hari itu aku libur kerja. Jadi maafkan author yang nulis di sela kesibukan inih* BAB INI MENGANDUNG UNSUR PERCINTAN YANG EKPLISIT DAN MENDETIL. SILAHKAN SKIP KALAU KELIAN MERASA TIDAK NYAMAN* *** Jovan pergi ke toilet mencuci tangan dan membasuh celananya yang basah karena masih terdapat sisa-sisa cairan dirinya di sana. Menari di dalam benaknya apa yang baru saja terjadi di ruangan Gloria tadi. Semua benar-benar tampak nyata. Albin mengenakan lingerie cokelat keemasan, panjangnya menutup hingga sedikit di bawah bokong. Renda transparan di bagian dada, memperlihatkan separuh gunungan indah mempesona. Tatapan mata Albin yang sayu menggoda dirinya untuk
Jovan memandangi gedung-gedung tinggi di sisi jalanan sambil menyandarkan kepala di sandaran kursi mobil dengan tatapan hampa. Beberapa kali desah napas berat terdengar keluar dari mulutnya. Pikirannya melayang jauh memikirkan Albin. Akhir-akhir ini Ia merasa kebingungan. Menurutnya, kemungkinan dirinya sudah sembuh, tapi dia merasa takut untuk membuktikannya. Seringkali pikiran untuk membuktikan dirinya sudah sembuh atau belum, muncul di kepalanya. Namun, untuk mencoba kembali menonton video seperti saat itu, dia takut. Ia tidak yakin kalau dirinya akan baik-baik saja. Seringkali ia membayangkan hal-hal romantis dan indah bersama Albin, hal yang sebelumnya tidak pernah berani ia lakukan bahkan hanya dengan sekedar memikirkannya saja. Menurut pemikiran Jovan, mungkin itu indikasi bahwa dirinya sudah siap. Namun, ia sangat ragu. Bukankah saat itu mereka hampir saja bisa melakukannya, tapi gagal?
Jovan terdiam beberapa saat. Sungguh ia sangat ingin bertemu Albin, tetapi ia merasa belum siap. Ia takut jika mendengar Albin kembali bicara meminta kepastian agar dia bisa melakukan apa saja. Tentu saja Jovan paham apa maksud dari kalimat "apa saja" yang dikatakan Albin. Ia sanggup melepaskan Albin meski ia tak ingin, tapi jika memang Albin menginginkannya ia tidak bisa memaksa 'kan? Jovan benar-benar melepaskannya saat Albin terakhir kali mengirimkan pesan yang membuat dirinya merasa tidak berguna, tidak berharga dan tidak layak untuk hidup. Ia yakin, jika dia mendengar kata-kata itu lagi ia tidak akan pernah bisa bangkit lagi. Kata-kata itu sangat menyakiti dirinya. Seakan dikatakan dengan jelas, kalau kamu tidak mampu, aku cari lelaki lain. Belum lagi Jovan sangat takut diselingkuhi, takut ditinggakan lalu terpuruk dalam kesendirian. Karena itu ia melepaskan Albin, tapi Albin menolak untuk berpisah dan m
Jovan tersenyum memandangi pantulan bayangan dirinya di cermin. Ia merasa bahagia. Sudah sebulan terakhir dia sudah tidak lagi meminum obat. Ia dengan rutin mendatangi Felicia sekali dalam seminggu dan saat ini sudah berjalan selama tiga bulan. Perlu waktu bagi Jovan untuk benar-benar pulih. Felicia dan Adi terus membantu dirinya bangkit dan terus berusaha membangun kepercayaan dirinya kembali. Perlahan obat yang biasanya diminum dua kali sehari diturunkan sekali sehari. Beberapa waktu kemudian, terkadang Jovan lupa, kadang dia malas, dan dia baik-baik saja. Tidak lagi merasa cemas berlebihan walaupun tidak meminum obatnya. Setelah itu dia jadi tahu bahwa dirinya baik-baik saja tanpa obat. Ia tahu bahwa dirinya sudah bisa lepas obat. Wajah tampannya kini bersinar seperti sedia kala. Sinar matanya tidak lagi redup penuh kesedihan. Saat ini ia hanya meminum vitamin untuk otaknya karena setelah
"10. Aku akan menghadapi apa pun resikonya," ucap Jovan dengan nada bicara penuh percaya diri. Ia mengangkat wajah melihat dalam ke arah Felicia. "Yakin? Barusan kamu bilang hanya mau mencoba? Mencoba untuk tau lalu mundur? Kenapa? Apa pentingnya kamu sembuh tanpa obat?" Felicia menyandarkan punggung di sandaran kursi sambil meneliti Jovan lebih dalam. "Aku mau bersama Albin," kata Jovan lirih. Ia menurunkan pandangan ke meja. Ia mencoba menyembunyikan kesedihan. Senyuman Albin tiba-tiba membayang di kedua matanya. "Lalu mau apa kalau bersama Albin? 'Kan sekarang sudah bersama? Memangnya apa yang kamu anggap penting saat bersama Albin?" "Menjadi lelaki seutuhnya." Mata Jovan berkaca-kaca, "dia terus membicarakan mau mencari lelaki lain. Aku tau maksudnya, dia menyindirku karena tidak juga menyentuhnya." Air muka Jovan terlihat sangat sedih. "Apa p
Dada Albin bergemuruh hebat saat wajah tampan Kei mendekat dengan cepat ke arah wajahnya. Tubuhnya gemetar. Ia melihat semua seakan dalam gerakan lambat. Perlahan tapi pasti bibir Kei semakin dekat dengan wajahnya. Albin memalingkan wajah menghindari bibir Kei mendarat tepat di bibirnya. Kei terdiam melihat penolakan Albin. Ia menelan kembali hasratnya untuk mengecup bibir Albin yang terlihat sangat menggoda untuk dinikmati. "KEI!" tatap Albin nyalang penuh kemarahan kepada teman suaminya itu, "aku punya suami. Gak nyangka kamu tega begin!" seru Albin dengan kata-kata bergetar. Kei tersenyum tipis mendengar penuturan Albin, "Tapi Jovan sudah lepaskan kamu 'kan?" Albin melihat senyuman itu. Senyuman rumit yang seolah-olah merefleksikan perasaan dan pemikiran Kei. Sulit ditebak entah apa yang ada di benak Kei. Meski begitu, senyuman itu membuat Kei justru terlihat s
Adi bergegas menyusuri koridor dengan kaki tuanya. Suara tongkat beradu dengan lantai hampir serupa dengan suara heels seorang wanita saat menapaki lantai keramik. Seorang wanita muda seumuran Jovan berjalan di sisinya. Dia Ririn, pekerja Adi yang kemudian menjadi istrinya. Seseorang yang mampu menyembuhkan lukanya akibat dari perbuatan Jocelyn. "Aku tunggu di luar aja ya," kata Ririn dengan perasaan tak enak hati. Bukan ia tidak mau menjenguk Jovan, tapi dirinya dan Jovan tidak pernah satu kali pun bertegur sapa meskipun Jovan tidak pernah menyakitinya. Adi mengangguk paham. Mata tuanya mengekori sang istri duduk di kursi penunggu di depan pintu masuk ruang IGD. Ia juga melihat ada Roni dan Herman duduk di kursi itu. "Pak," sapa Roni berdiri, "mari saya antar ke dalam." Adi mengangguk, "Ada apa sebenarnya?" tanya Adi dengan napas berat.
Waktu berlalu. Perlahan tapi pasti detak jantung Jovan yang semula berpacu cepat karena dia merasa cemas kini mulai normal. Perasaan gelisah itu perlahan mulai memudar. Layar LED besar yang tertempel di dinding kamarnya menampilkan sepasang manusia yang saling berkecup mesra penuh cinta dan kemesraan. Jovan memperhatikan dengan saksama. Seulas senyuman manis tersemat di bibirnya. Ia ingat betapa manisnya rasanya saat dia melakukan hal itu dengan Albin. Pakaian sepasang manusia di layar itu terlepas satu persatu. Mereka terlihat begitu bergairah dan saling mencintai. Sayangnya di saat yang sama bayangan Jocelyn dan lelaki yang bersamanya muncul begitu saja. Terpicu adegan sepasang manusia yang tidak mengenakan pakaian. Jovan tetap menatap layar dengan tatapan hampa. Kesedihan kembali memagutnya sangat erat. Desahan nikmat terdengar dari film itu. D
Albin mem-packing barang-barang dengan lelehan air mata. Satu demi satu pakaiannya dimasukkan ke dalam koper dan tas besar. Sebenarnya dia sudah tahu perpisahan dengan Jovan pasti akan terjadi karena perjanjian mereka, tapi dia tidak menyangka akan secepat ini. Ia tidak tahu perpisahan akan sesakit ini. Andai ia tahu, tidak akan terucap kata-kata perpisahan dari bibirnya. Terlintas di pikirannya, Jovan memutuskan bercerai karena selama ini dia terus merongrong ingin berpisah saat mereka bertengkar. Semua barang-barangnya sudah tersimpan rapi. Ia meninggalkan gambar sketsa hasil karyanya menggambar Jovan. Dia membingkainya dengan frame kemudian ditempel di dinding. Albin berharap, saat melihat sketsa itu Jovan akan merindukan dirinya. Ia sudah siap untuk pergi. Tidak ada lagi yang tersisa, kecuali sisa kenangan dirinya dan juga Jovan di kamar itu. Kenangan itu melintas dan membayang dengan jelas secara nyat